Sabtu, 28 Mei 2011

JANGAN TAKUT BERBUAT BAIK

Menjadi orang Katolik pada jaman ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi menjadi Katolik di tengah mayoritas bukan Katolik seperti di pulau Jawa, Sumatra dan beberapa pulau lain. Sudah puluhan kali terjadi penganiayaan dan pembakaran gedung gereja yang tidak pernah diselesaikan tuntas oleh pemerintah. Belum lagi sikap diskriminatif yang harus dialami oleh orang Katolik baik di masyarakat maupun di lembaga-lembaga pemerintahan bahkan di lembaga pendidikan dimana seharusnya peserta didik diajar untuk saling menghormati dan menghargai sesamanya, tapi disitu pun terjadi tindakan diskriminatif yang dapat dikatakan sudah melembaga. Peserta didik bahkan para guru pun dapat menghina dan memperlakukan sewenang-wenang murid Katolik seolah hal itu sudah menjadi biasa dan wajar. Di kampung pun warga dapat memperlakukan orang Katolik dengan sewenang-wenang. Semua itu seolah sudah suatu sikap atau tindakan yang tidak perlu dipersoalkan lagi.

Seorang umat bercerita bahwa bila dia menolong tetangga yang sedang menderita maka dia dituduh akan mengkristenkan. Tetapi bila dia tidak peduli pada tetangganya yang sedang menderita maka dia akan dituduh sebagai orang yang tidak punya nurani. Apapun yang dilakukan dianggap salah. Bila tetangga mengadakan doa dengan menggunakan pengeras suara yang terdengar sampai puluhan rumah, maka tidak ada orang yang protes. Tetapi bila dia mengadakan doa bersama meski tidak menggunakan pengeras suara pun dapat menjadi masalah. Akibat pembiaran dari pemerintah maka berbagai macam tindakan diskriminatif terus terjadi dan seolah hal biasa yang tidak perlu dipersoalkan. Padahal para bapa pendiri bangsa ini sudah meletakkan semboyan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai dasar negara.

Oleh karena banyaknya perlakuan yang tidak nyaman, maka banyak orang Katolik lebih suka tidak terlibat dalam berbagai urusan kemasyarakatan. Mereka lebih suka menutup diri dan menghindari kontak dengan masyarakat untuk menghindari masalah. Suatu saat aku datang ke tempat kaum miskin. Pada awalnya mereka tidak mempersoalkan kehadiranku, meski tahu bahwa aku seorang Katolik. Tapi lambat laun beberapa anak mulai mempersoalkan kehadiranku. Seorang anak mengatakan bahwa dia dilarang menerima apapun dariku sebab aku orang Katolik. Mereka tidak mau menerima barang dan bantuan dari orang Katolik. Kebetulan saat itu mereka hendak memperbaiki rumah ibadahnya. Beberapa orang berdiri di tepi jalan sambil membawa kardus untuk meminta sumbangan bagi pendirian rumah ibadah. Maka aku bertanya pada mereka seandainya aku memasukan uang ke dalam kardus itu apakah mereka akan menolak? Apakah mereka akan bertanya terlebih dahulu pada para pengendara mobil yang lewat baru menyodorkan kardus setelah mereka tahu bahwa pengendara itu bukan orang Katolik? Pertanyaanku ini tidak ada yang bisa menjawab.

“Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar.” (1Ptr 3:14). Penulis surat Petrus mendorong kita untuk terus berbuat baik meski kita harus mengalami penganiayaan. Orang yang bersikap sewenang-wenang dan menindas sebenarnya adalah orang yang takut. Mereka takut kehilangan pengikut. Mereka takut tidak dihargai oleh pengikutnya dan berbagai macam ketakutan yang lain. Ketakutan-ketakutan inilah yang dicoba untuk ditutupi dengan tindak kekerasan. Maka penulis surat Petrus mengingatkan agar kita tidak takut pada apa yang mereka takuti.

Kita pun hendaknya tidak jemu-jemu untuk berbuat baik, meski orang lain mengancam kita, sebab perbuatan baik bukanlah sekedar kewajiban moral melainkan konsekwensi sebagai pengikut Kristus. Bila kita mencintai Kristus, maka kita melakukan apa yang dilakukan oleh Kristus yaitu berbuat kasih kepada semua orang termasuk kepada orang yang membenci kita. Tapi hal ini tidak mudah. Maka Yesus menjanjikan Roh Kudus yang akan memberi kekuatan pada kita untuk terus berbuat baik, meski apa yang kita lakukan ditolak bahkan membahayakan jiwa kita.

Kamis, 26 Mei 2011

MODEL SEORANG PEMIMPIN

Seorang pejabat tinggi berdiri di depan banyak orang yang duduk dengan rapi dan penuh hormat. Dia berbicara panjang lebar mengenai maksud kedatangannya. Ada tiga hal yang menjadi tujuan kedatangannya. Pertama dia ingin mengetahui sejauh mana orang yang ada di bawah kekuasaannya menjalankan program-program yang telah dicanangkan. Kedua, dia ingin memberikan dukungan atas apa yang sudah dilakukan. Ketiga, dia ingin mengadakan dialog secara langsung dengan masyarakat sehingga terjalin relasi yang baik antara pimpinan dan masyarakat. Tapi pada akhir pertemuan hampir semua orang menjadi jengkel, sebab ketiga hal itu tidak terwujud. Petinggi itu terus menerus berbicara dan menyalahkan semua yang telah dilakukan oleh masyarakat. Dia pun tidak membuka forum dialog.

Sebetulnya apa yang dilakukan oleh petinggi itu untuk datang pada masyarakat adalah suatu tindakan yang sangat baik. Tapi cara dia menyampaikan gagasannya membuat orang enggan mengikutinya bahkan sebaliknya membuat orang berusaha melawannya. Masyarakat merasa bahwa selama ini mereka telah melakukan yang terbaik untuk kemajuan daerahnya. Mereka membuat aneka program yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya dan melaksanakannya sebaik mungkin. Maka ketika disalahkan mereka menjadi marah dan menumbuhkan keinginan untuk menolak semua kebijakan yang telah dicanangkan oleh petinggi itu. Dengan menyalahkan apa yang telah dilakukan oleh masyarakat maka petinggi itu secara langsung telah merendahkan keseriusan, kebanggaan, keputusan dan rasa hormat masyarakat pada dirinya sendiri.

Orang yang dicela atau disalahkan sering kali berusaha untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran. Celaan dianggapnya sebagai sebuah tantangan untuk membuktikan kebenaran apa yang sudah dilakukan. Sebetulnya bila petinggi itu ingin agar kebijakannya diikuti oleh masyarakat, maka dia harus lebih berhati-hati dalam mengungkapkan pemikirannya. Dia mendengarkan dengan tenang apa yang telah dilakukan oleh masyarakat dan memberikan penilaian yang baik. Memang tidak jarang orang berusaha memuji apa yang telah dilakukan oleh seseorang tapi pujian itu tidak dilakukan dengan tulus, sehingga tidak jarang orang berkata, “Apa yang kamu lakukan sudah baik, tapi… “ setelah kata tapi itu muncul deretan kata cela dan menyalahkan. Seorang pemimpin yang baik tidak mudah untuk mencela orang. Dia berusaha memahami apa yang sudah dilakukan orang dan secara lembut dan ramah dia memasukan ide-idenya sehingga orang yang diajak berbicara dapat menerimanya.

Sikap menyalahkan sebetulnya hendak menunjukkan bahwa dirinya benar dan tahu sedangkan orang lain salah dan tidak tahu. Socrates, seorang filsuf besar dari Yunani, 469-399 SM pernah mengatakan “Apa yang aku ketahui dengan pasti adalah aku tidak tahu apa-apa”. Sikap rendah hati semacam inilah yang membuat orang mempunyai semangat untuk mendengarkan dan melihat kebenaran diluar dirinya. Seorang petinggi memang harus mempunyai visi misi dan kebijakan untuk mengarahkan masyarakat pada sebuah cita-cita luhur. Untuk menyampaikannya perlu rendah hati sehingga tidak merasa tahu dan paling benar. Dia mampu menghargai setiap kegiatan dan gerak dari masyarakat. Apa yang dicita-citakan disempurnakan oleh apa yang sudah ada dalam masyarakat. Disini memang perlu kejelian untuk merangkum dan menggabungkan apa yang sudah ada. Bukan menyalahkan yang menimbulkan perlawanan dari masyarakat.

Seorang pemimpin perlu lemah lembut. Dia menyampaikan semua ide dan visi misinya dengan kelembutan. Tidak dengan kata-kata kasar dan menghakimi. Kelemahlembutan akan mampu mengubah pemikiran orang tanpa orang itu merasa diubah. Orang akan mengikuti dan menerima semua ide dan pemikiran tanpa merasa dirinya dianggap sebagai orang bodoh. Hal ini bisa dilakukan bila orang menghargai sesamanya sebagai orang yang bermartabat dan menempatkan diri pada orang lain. Maka untuk menjadi seorang pemimpin tidak saja dibutuhkan kepandaian tapi juga memahami diplomasi, memiliki kerendahatian dan kelemahlembutan agar masyarakat rela mengikutinya.

Selasa, 17 Mei 2011

NEGARA TANPA PERIKEMANUSIAAN


Ruang yang cukup lebar terasa sangat sempit. Sekitar 30 orang duduk berdesakkan di lantai dengan alas tikar ala kadarnya. Asap rokok yang disemburkan dari hampir setiap bibir berputar-putar mencari jalan keluar. Membentuk tabir kelabu yang seolah menjadi benteng sehingga udara segar dari halaman yang baru saja diguyur gerimis tidak mampu masuk. Pengapnya udara terasa bertambah panas oleh suara perdebatan dan usulan dari teman-teman jalanan yang saat ini sedang berkumpul. Mereka adalah kaum miskin yang berusaha mempertahankan hidupnya dengan mencari makan di jalan. Mereka terdiri dari berbagai profesi yaitu PSK, banci, pengamen jalanan, pengemis dan orang-orang yang bekerja serabutan di jalan.

Pada umumnya pembicaraan mereka merupakan keluhan akan sikap aparat keamanan yang suka menangkapi mereka. Hampir setiap minggu selalu ada penangkapan atau yang lebih dikenal dengan istilah cakupan atau garukan. Biasanya pada kamis malam dilakukan garukan lalu mereka dibawa ke pondok sosial. Sampai disana ada calo yang berusaha mengeluarkan mereka. Tentu saja mereka harus membayar calo itu. Seorang PSK mengatakan bahwa dia sedang berada di kamar ketika ada garukan. Ternyata dia ikut digaruk dan untuk keluar dia terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 300.000, suatu jumlah yang sangat besar. Dia mengatakan kerja seminggu saja belum tentu dapat uang segitu. Ada pula yang mengalami pemukulan oleh aparat sebab menolak untuk dibawa. Mereka tidak mau dibawa sebab mereka tidak tahan tinggal di liposos. Disana mereka dijadikan satu dengan orang gila dan makanan pun tidak manusiawi. Orang yang waras pasti tidak akan tega memakan makanan disana. Ujung-ujungnya mereka harus membayar calo yang kemungkinan telah bekerja sama dengan petugas di liposos agar mereka dapat bebas lagi.

Mereka bekerja di jalanan sebab mereka sudah tidak mampu lagi untuk bekerja yang lain. Sekali masuk dalam kehidupan di jalanan memang agak sulit untuk keluar. Ada stigmata yang diberikan oleh masyarakat dan tidak mudah untuk dihilangkan. Ketika mendampingi anak-anak jalanan beberapa tahun lalu, salah satu keluhan anak-anak adalah bahwa tidak ada orang yang mau memperkerjakan mereka. Orang takut bahwa mereka akan mencuri, merusak, malas dan sebagainya. Padahal mereka belum pernah mencoba memperkerjakan. Pemerintah hanya mampu menangkap tapi tidak mampu membuka ruang kerja yang layak bagi mereka. Memang kadang mereka dilatih suatu ketrampilan tapi untuk mengetrapkan ketrampilan itu tidak mudah. Mereka diajari montir dan diberi peralatan bengkel. Tapi dimana mereka akan membuka bengkel? Selain itu apa artinya pelatihan hanya 3 bulan bagi seorang anak yang tidak pernah mendapat pendidikan sama sekali? Mereka akan kalah bersaing dengan bengkel yang sudah buka bertahun-tahun atau orang yang mempunyai ketrampilan.

Kaum jalanan adalah orang miskin. Tapi mereka masih diperas oleh orang-orang yang bukan hidup di jalan. Oleh orang-orang yang seharusnya mampu melindunginya. Oleh orang-orang yang mengaku mempunyai status lebih tinggi. Mendengar segala keluhan teman-teman yang disampaikan dengan nada tinggi, aku hanya mampu geleng-geleng kepala. Betapa mengerikan negeri ini dimana kaum miskin masih diperas sedemikian rupa. Padahal dalam pasal 34 UUD 45 jelas tertulis bahwa kaum miskin bukan hanya dipelihara negara, tapi juga negara wajib mengembangkan sistem jaminan sosial, memberdayakan, bertanggung jawab menyediakan fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang layak. Negara wajib melindungi kaum miskin dan bertanggungjawab. Tapi apa yang tertulis dalam pasal 34 tampaknya masih jauh. Hanya sebuah impian.

Memang negara membuat sistem jaminan sosial, pendidikan dan kesehatan bagi kaum miskin. Tapi pelaksanaan itu masih jauh dari yang diharapkan. Bahkan tidak jarang orang memanfaatkan kaum miskin untuk memperkaya diri. Rumah sakit menjual obat kedaluwarsa, sekolah memungut aneka tarikkan, dan garukan yang berujung pada uang tebusan. Dimanakah peri kemanusiaan yang tercantum dalam Pancasila?

APAKAH AKU PUNYA TEMAN?

Seorang teman mengatakan dengan bangga bahwa dia sekarang mempunyai 2000 lebih teman di jejaring facebook. Tampaknya ada perlombaan terselubung diantara para teman untuk mendapat sebanyak mungkin teman di jejaring sosial itu. Di daftar temanku juga ada lebih dari seribu orang. Tapi hanya sedikit yang kukenal. Lainnya tidak pernah kukenal secara pribadi. Menyapanya juga tidak kulakukan. Dia pun tidak menyapaku. Bagaimana aku dapat mengatakan mereka adalah teman bila aku tidak mengenalnya secara pribadi? Aku hanya “mengklik” confirm bila ada orang yang ingin menambahkan aku sebagai teman mereka. Maka bagiku mereka hanyalah deretan nama dan foto yang asing. Aku pun asing bagi mereka. Beberapa mengirim pesan “thanks sudah di add” atau kalimat lain yang intinya mengucapkan terima kasih sudah dijadikan teman. Aku pun hanya membalas “terima kasih kembali.” Hanya itu. Setelah itu tidak ada lagi komunikasi untuk bisa lebih saling memahami. Apalagi bertemu muka.

Semua teman yang ada dalam daftar temanku pada umumnya adalah teman anonim. Teman yang sebetulnya bukan teman, sebab tidak kukenal sama sekali. Bila aku hilangkan nama yang tidak kukenal, maka daftar temanku mungkin hanya beberapa puluh orang saja. Teman sebagai orang yang kukenal dan mengenalku. Orang yang bukan hanya tahu namaku tapi juga keseluruhan diriku. Teman yang pernah bertemu muka dan menjalin relasi yang personal atau berinteraksi denganku. Lalu mengapa orang bangga memiliki deretan nama yang tidak pernah berinteraksi?

Ada pula orang yang beberapa kali mengirim pesan-pesan singkat di inbox. Apakah mereka sudah menjadi teman? Mereka hanya bertanya suatu masalah atau bercerita hal-hal ringan. Terkadang timbul diskusi panjang lebar mengenai sebuah topik masalah. Apakah hal ini dapat dikatakan aku sudah berteman dengannya? Bila ditanya siapa dia aku hanya dapat mengatakan dia berpendapat tentang sesuatu seperti ini. Tidak lebih dari itu. Dia masih sangat gelap bagiku. Aku hanya mengetahui pemikirannya dalam satu masalah tertentu. Bila aku berteman dengan seseorang mengandaikan aku mengenal pemikiran, karakter. kepribadiannya, latar belakang hidupnya, sehingga aku dapat memahami apa yang dikatakan atau dipikirkan. Sedangkan saat aku membaca pesan di inbox aku tidak tahu lawan bicarakan dengan baik sebab semua hanya aku lihat dari tulisan yang merupakan ungkapan pemikiran, pandangan hidupnya, perasaannya saja. Padahal dalam berkomunikasi tidak cukup mendengar apa yang dikatakan secara verbal tapi juga memahami apa yang dikatakan non verbal. Apa yang eksplisit dan implisit. Padahal apa yang non verbal biasanya jauh lebih banyak berbicara dibandingkan yang verbal mengingat kata-kata sangat terbatas.

Kemajuan tehnologi komunikasi dan informasi di satu sisi dapat membongkar batas-batas yang selama ini menjadi penyekat relasi antar manusia, tapi disisi lain telah menghilangkan relasi personal. Relasi yang membuat dua atau lebih orang berinteraksi sehingga saling mengenal bukan hanya sekedar nama, status, tempat tinggal dan sebagainya tapi sungguh mengenal orang secara pribadi. Interaksi yang mengandaikan adanya relasi yang saling memasuki satu dengan yang lain. Menumbuhkan kedekatan satu dengan yang lain dan saling mengembangkan. Terlebih saling memahami dan dia menjadi berarti bagiku.

Dengan demikian perlu dipertanyakan apakah deretan ribuan nama yang ada dalam daftar temanku adalah sungguh temanku atau hanya sekedar deretan nama seperti deretan nama di pekuburan yang berjajar rapi tapi tidak saling berinteraksi. Mereka kukenal dari foto mereka, meski tidak jarang foto dan nama sangat disamarkan. Andai suatu saat aku bertemu dengannya di jalan atau tempat umum, mungkin tidak saling menyapa sebab tidak saling mengenal. Andai dia dalam masalah aku pun tidak tahu dan andai dia meninggalpun aku masih memasang namanya di deretan nama temanku. Dengan demikian sebetulnya aku hanya mempunyai deretan nama orang dan foto di deretan temanku. Mereka orang yang tidak kukenal sama sekali.

Minggu, 15 Mei 2011

KEBAHAGIAAN

Secara kebetulan aku bertemu dengan teman lama. Sejak lulus dari SMA sekitar 27 tahun lalu kami tidak pernah kontak lagi. Semula aku ragu untuk menyapanya, sebab kami sudah banyak berubah. Setelah kami saling menatap beberapa saat barulah kami menyadari bahwa kami saling mengenal. Pertemuan dengan teman lama sangat menyenangkan. Kami membongkar kembali semua peristiwa yang pernah kami alami bersama diselingi tawa bahagia. Akhirnya kami saling bercerita tentang diri kami. Dia banyak bercerita soal keluarga dan pekerjaannya. Aku salut ketika tahu bahwa dia sudah menjadi seorang pengusaha furniture. Istrinya seorang dosen di perguruan tinggi swasta. Anaknya dua yang satu sudah kuliah sedangkan yang bungsu masih SMA kelas 2. Dalam pembicaraan dia beberapa kali mengeluh tentang ekonomi keluarganya yang tidak seperti diharapkannya. Dia merasa bahwa apa yang dihasilkan selama ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Banyak orang merasa tidak cukup dengan apa yang dimilikinya. Ketika dia mempunyai penghasilan 1 juta per bulan, dia berharap mempunyai penghasilan 2 juta per bulan agar cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi setelah dia mendapatkan penghasilan 2 juta per bulan, dia tetap masih merasa tidak cukup. Baginya yang ideal dia mempunyai penghasilan 4 juta per bulan. Jika nanti bila dia mempunyai penghasilan 4 juta aku yakin dia tetap akan mengatakan tidak cukup. Seorang teman mengatakan kenaikan penghasilan membuat kenaikan pengeluaran. Dia ingin hidup hemat tapi istri dan anaknya tidak bisa. Dia tidak tega melihat anaknya hanya naik angkot sedangkan temannya naik motor, maka dia beli motor. Dulu istrinya cukup belanja di pasar dekat rumah kini hal itu sudah tidak dilakukan lagi, sebab dia belanja di supermarket. Maka dia mengatakan berapapun penghasilan seseorang dia tidak akan merasa cukup sebab kenaikan penghasilan diikuti oleh perubahan gaya hidup. Oleh karena merasa bahwa penghasilannya tidak cukup, maka dia mulai melakukan usaha yang penuh resiko atau menyerempet bahaya demi mengejar penghasilan yang lebih tinggi.

Beberapa waktu lalu aku diundang makan oleh sekelompok orang yang tinggal di tepi sungai. Dalam sebuah rumah berukuran 2X3 m kami duduk dilantai, sebab tidak mungkin dia mengisi perabot dalam rumahnya. Kami sungguh menikmati makanan yang tersedia. Dalam waktu sekejap nasi di bakul sudah tanpa sisa. Semua orang setelah makan mengatakan alhamdulilah bahwa mereka dapat makan hari ini dengan lauk yang luar biasa yaitu biawak. Sambil makan mereka mengatakan sudah bersyukur hari ini bisa makan. Mereka tidak bermimpi untuk mendapatkan makanan yang lebih enak lagi. Cukuplah bahwa mereka tidak kelaparan. Rasa syukur inilah yang sering kali kurang dimiliki oleh banyak orang. Mereka hidup dalam keinginan untuk mendapat sesuatu yang lebih, sehingga tidak mampu merasakan kenikmatan yang ada.

Orang yang membutuhkan adalah orang yang miskin. Aku melihat teman SMAku adalah seorang miskin yang merasa bahwa apa yang dimilikinya saat ini belum cukup bagi keluarganya. Dia masih membutuhkan penghasilan yang lebih besar lagi agar dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Sebaliknya teman-teman di tepi sungai adalah orang yang kaya, sebab meski rumah mereka dari tripleks dan sempit tapi mereka merasa sudah cukup dan mampu menghidupi keluarganya. Mereka bersyukur meski hanya dapat menikmati segelas kopi seharga Rp 2000. Mereka tidak bermimpi dapat menikmati kopi seharga Rp 40.000 seperti di cafe. Bagi mereka harga itu tidak masuk akal dan hanya pemborosan belaka. Mengapa membeli kopi seharga Rp 40.000 bila kopi seharga Rp 2000 sudah enak? Kekayaan mereka bukan karena materi tapi cara mereka memandang materi. Bagi mereka materi bukan segalanya meski mereka membutuhkan untuk hidupnya. Kenikmatan bukan karena mahalnya makanan tapi karena mereka dapat memakan makanan setelah seharian kelaparan. Seandainya mungkin aku mempunyai penghasilan seperti yang dimiliki temanku yang mempunyai penghasilan besar tapi juga mempunyai sikap penuh syukur seperti teman-teman di tepi sungai tentu hidupku akan lebih bahagia.

Rabu, 11 Mei 2011

PEMIMPIN VISIONER

Suatu saat orang-orang yang mengikuti Yesus ingin mengangkat Yesus menjadi raja. “Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.” (Yoh 6:15). Seandainya masyarakat ingin mengangkat kita menjadi raja apakah kita akan menolak? Saat ini banyak orang berlomba untuk menjadi raja-raja kecil. Mengejar kekuasaan dengan berbagai cara bahkan sampai cara yang paling kotor sekalipun dijalani. Orang ingin menjadi raja sebab dengan menjadi raja akan mendapatkan berbagai macam jaminan, kekayaan, fasilitas, penghormatan dan lainnya yang tidak didapatkan bila menjadi rakyat biasa. Seorang anggota DPR merasa sudah sangat berkuasa. Dia naik pesawat yang bukan pesawat yang harus ditumpanginya, sehingga membuat kesal banyak orang. Seorang pejabat menggunakan pengawalan polisi ketika melintasi jalan yang macet sehingga membuat semakin macet dan jengkel banyak orang. Masih banyak lagi hal yang didapat bila seorang menjadi raja.

Yesus menolak menjadi raja sebab bila Dia menjadi raja maka Dia akan menjauh dari visiNya menyelamatkan manusia. Hampir semua calon pemimpin selalu menyatakan visi, misi dan programnya. Semua yang mereka tawarkan sangat bagus dan membuat rakyat tertarik dan berharap dia menjadi pemimpin yang sesuai apa yang ditawarkan. Tapi apa yang ditawarkan dilupakan ketika mereka sudah menduduki kursi kekuasaan. Hal ini dapat terjadi sebab para pemimpin bukanlah seorang visioner. Mereka hanyalah seorang yang mengejar kenikmatan dari kekuasaan. Memang tidak semua pemimpin adalah seorang pengejar kekuasaan. Mahatma Gandhi adalah pemimpin visioner. Dia seorang yang mempunyai visi dan terus berjuang untuk berjalan mengarah sesuai dengan visinya. Dia tidak gentar ketika dipukuli, dimasukkan penjara dan akhirnya dibunuh oleh orang yang diperjuangkannya. Dia ingin membangun dunia yang adil, tanpa kekerasan dan terjadinya persaudaraan diantara semua manusia meski mereka berbeda agama dan kasta.

Pemimpin visioner adalah pemimpin yang tumbuh dari rakyat biasa. Yesus muncul dari rakyat jelata di Galilea. Mahatma Gandhi muncul dari rakyat biasa di Afrika Selatan. Ketokohan mereka diberikan oleh rakyat bukan dari kekuasaan yang dimiliki. Mereka tidak mengejar kekuasaan melainkan memperjuangkan agar visi mereka terwujud di dunia. Gandhi tidak menjadi presiden India. Seandainya dia mau maka dia dapat saja menjadi presiden India yang pertama. Bila Yesus mau maka Dia dapat menjadi raja dan meloloskan diri dari penyaliban. “Atau kausangka, bahwa Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku?” (Mat 26:53). Bila Yesus menyerang para musuhNya, maka Dia gagal mewujudkan visiNya yaitu kesetiaan pada kehendak Bapa dan melaksanakan hukum kasih yang total pada manusia. Kasih yang memancar seperti sinar matahari yang menerangi baik orang yang baik maupun orang yang jahat. Kasih yang memberikan pengampunan kepada para musuh.

Kita tidak memiliki pemimpin visioner. Para pemimpin kita hanyalah orang yang berhasil memenangkan perebutan kekuasaan. Kemenangan perlu dipertahankan, maka mereka berusaha mempertahankan kedudukannya dengan berbagai cara. Kemenangan diperoleh dengan mengeluarkan dana, maka ketika menjadi pejabat berusaha meraup dana sebanyak mungkin untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Mereka tidak mempunyai visi yang perlu diperjuangkan, sehingga tidak malu bila mengkhianati visi yang pernah dipropagandakan. Ketika mencalonkan diri menjadi gubernur, visinya adalah Jakarta untuk semua. Tapi setelah menjadi gubernur maka yang dilakukan pertama adalah mengadakan penggusuran pada orang yang dulu mendukungnya. Hal ini berbeda dengan para pemimpin pada jaman sebelum kemerdekaan. Mereka mempunyai visi membebaskan bangsa dan negara dari penjajahan, maka mereka berjuang mewujudkan visinya meski harus keluar masuk penjara dan hidup miskin. Mereka menolak berbagai tawaran yang menggiurkan dari penjajah yang dapat mengaburkan visinya. Sebaliknya visi yang dikatakan oleh para calon pemimpin saat ini hanyalah sebuah cara untuk mengelabuhi masyarakat agar memilihnya.

Senin, 09 Mei 2011

MEMBELI YANG TIDAK DAPAT DIBELI

Akhir-akhir ini nama Melinda Dee atau Inong Malinda begitu terkenal. Dia dituduh telah korupsi uang sebesar 17 M bahkan mungkin lebih tapi masih belum dapat dibuktikan. Sebetulnya kasus korupsi sudah menjadi bagian dari pemberitaan media setiap hari. Satu kasus belum selesai sudah muncul kasus lain. Selain itu banyak kasus melibatkan pejabat bahkan mantan menteri. Tapi kasus korupsi Melinda banyak dibicarakan bukan soal korupsinya melainkan soal sosok Melinda. Dalam waktu singkat di dunia maya muncul beberapa foto Melinda dalam pose yang sangat seksi dan menonjolkan satu bagian tubuhnya. Kecantikan, keseksian dan mobil yang dimiliki Melinda jauh lebih menarik perhatian dan menjadi bahan pembicaraan daripada kasus korupsinya itu sendiri. Mungkin orang sudah bosan berbicara kasus korupsi sehingga mencari segi lain dari sang koruptor untuk dijadikan bahan pembicaraan di saat berkumpul.

Sebetulnya apakah yang dicari oleh orang sehingga dia akhirnya memutuskan untuk korupsi sampai milyardan rupiah? Semua orang pasti mengatakan bahwa uang adalah segalanya. Dengan memiliki uang maka orang dapat membeli segalanya. Tapi apakah setelah mampu membeli mobil mewah, mengubah wajah dan bentuk tubuh, maka dia sudah memperoleh apa yang dicarinya atau dikejarnya selama ini? Pada intinya orang mencari kebahagiaan. Dengan uang yang banyak dan mengendarai mobil mewah orang mengira sudah bahagia. Apakah Melinda sudah menikmati kebahagiaan sebelum dia ditangkap? Hanya Melinda sendiri yang tahu sebab dia yang merasakannya.

Chris Lowney dalam bukunya yang berjudul Heroic Living mengatakan bahwa ada yang dapat dibeli oleh orang miskin tapi tidak mampu dibeli oleh orang kaya yaitu kedamaian dan kebahagiaan. Orang kaya terus berlomba untuk menjadi yang paling kaya, tapi setiap saat selalu muncul orang yang dianggap paling kaya. Pencarian kekayaan bukan lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup melainkan telah berubah menjadi nafsu untuk mengalahkan orang lain. Untuk mencari kehormatan, pengakuan, yang terhebat dan sebagainya. Pada akhir tahun 1700 seorang bernama Alexis de Tocqueville mengatakan bahwa warga Amerika menemukan kemakmuran hampir di setiap tempat, tapi bukan kebahagiaan yang mereka temukan, sebab keinginan untuk menjadi makmur telah menjadi nafsu yang berkobar-kobar yang menggelisahkan. Maka seorang rabi bernama bernama Meir mengatakan “Siapa yang disebut kaya? Yaitu orang yang mendapatkan kedamaian dari kekayaannya.”

Konon wajah dan tubuh Melinda berubah, sebab dia melakukan operasi plastik. Apakah Melinda akan puas dengan wajah dan tubuhnya saat ini? Banyak orang melakukan beberapa kali operasi plastik di wajah dan tubuhnya, sebab dia tidak akan pernah puas. Michael Jackson adalah tokoh terkenal yang entah sudah berapa kali dia mengubah wajahnya sehingga jauh berbeda dari saat dia masih remaja. Dia tidak akan pernah puas dengan tubuh dan wajahnya. Orang yang mengejar kepuasan tidak akan sampai pada kebahagiaan. Orang berlomba memiliki HP tercanggih, tapi apa yang sekarang canggih dua bulan lagi sudah tidak menjadi tercanggih. Dia tidak akan pernah puas dengan apa yang dimiliki bila selalu ingin menjadi yang nomor satu.

Yesus bersabda dalam kotbah di bukit tentang seruan berbahagialah orang yang miskin. Hal ini bukan berarti Dia ingin melegalkan kemiskinan dan membuat orang miskin tidak berjuang untuk meraih kehidupan yang lebih baik lagi, melainkan Dia ingin menunjukkan bahwa kaum miskinlah yang dapat berbahagia. Kemiskinan bukan disempitkan ketidakadaan materi melainkan lebih pada semangat hidup. Maka tepat apa yang dikatakan oleh Rabi Meir bahwa kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang puas akan apa yang dimilikinya. Orang miskin yang bersemangat miskin dapat mensyukuri apa yang ada pada dirinya. Dia tidak terbakar nafsu untuk berlomba memiliki sesuatu yang lebih hebat dari apa yang sudah dimilikinya. Dia mensyukuri apa yang ada padanya. Rasa syukur itu akan menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan yang tidak dapat diraih oleh siapa saja yang terbakar nafsu untuk memiliki yang lebih.

CATATAN DARI SERAWAI: RANTAU MALAM


Pada tahun 1986 dirilis film berjudul The Mission yang dibintangi oleh Robert de Niro. Film ini menceritakan perjuangan imam-imam Yesuit pada tahun 1750 an di pedalaman Amerika Selatan. Dalam film itu digambarkan medan yang indah tapi sulit dilalui oleh para misionaris. Mereka harus melalui sungai-sungai yang deras arusnya, tebing-tebing curam, hutan belantara dan air terjun yang terjal tapi sangat indah. Ketika aku bersama beberapa orang menyusuri anak sungai Serawai, aku membayangkan para misionaris itu. Anak sungai ini airnya deras dan dangkal. Airnya sangat jernih sehingga orang dapat melihat bebatuan dan ikan yang berkeliaran di dasar sungai. Beberapa bagian sungai sangat dangkal sehingga perahu harus di dorong agar dapat bergerak kembali. Di kiri kanan sungai berdiri pohon-pohon besar yang memberi keteduhan. Suatu perjalanan yang sangat indah menuju kampung yang Rantau Malam.

Kampung ini diberinama Rantau Malam, sebab pada jaman dahulu orang hanya bisa sampai ke tempat ini pada malam hari setelah seharian menyusuri sungai Serawai lalu masuk ke sungai Jelundung, anak sungai Serawai. Konon orang Dayak yang tinggal disini dulu merupakan orang-orang Dayak yang melarikan diri dari penjajahan. Mereka tidak mau hidup dibawah penjajahan. Tapi orang yang bercerita tidak menjelaskan secara jelas siapa yang disebut penjajah itu. Apakah Belanda atau Jepang atau bangsa lain lagi. Tampaknya masih belum ada orang yang secara serius berusaha menyelidiki dan menulis sejarah kampung-kampung Dayak yang terletak di sepajang sungai ini.

Semua penduduk di Rantau Malam mengaku beragama Katolik. Sebetulnya semua penduduk di kampung-kampung sepanjang sungai Serawai dan anak sungainya semua mengaku beragama Katolik. Agama Katolik tampaknya menjadi agama mayoritas di beberapa kampung sepanjang Dalam Serawai. Di dua kampung yang lebih dekat muara ada juga orang yang beragama Protestan, tapi tidak banyak. Meski agama Katolik merupakan agama mayoritas tapi umat disini kurang mendapatkan pelayanan dari imam. Mereka misa hanya dua kali setahun yaitu pada Paskah dan Natal. Itu pun tidak tepat pada hari perayaannya. Akibat jarang mengadakan misa, maka banyak umat yang tidak paham mengenai segala urusan liturgi. Bagi mereka yang terpenting ada pastur yang datang dan merayakan misa.

Aku misa malam Paskah di Rantau Malam. Aku membayangkan di paroki tempatku pasti misa ini sangat meriah. Semua dipersiapkan sebaik mungkin. Aku selama beberapa malam terus mendengar orang latihan koor. Anak misdinar dan asisten imam berlatih beberapa kali demikian pula lektor. Gereja dihias meriah. Tapi disini semua itu tidak ada. Aku terpaksa menghilangkan beberapa bagian liturgi sebab umat tidak paham. Misa dilakukan sederhana. Tanpa koor, misdinar, lektor yang siap membaca, dan hiasan altar. Semua sangat sederhana.

Umat yang hadir dalam misa sekitar 300 an mulai dari anak-anak sampai orang tua. Semua dengan tekun mengikuti misa. Meski ada puluhan anak kecil duduk di bangku paling depan tapi tidak ada keributan sama sekali. Mereka duduk dalam diam dan tertib. Suatu hal yang sulit ditemui di paroki kota. Kehadiran anak-anak dan kaum muda sangat menguntungkan, sebab merekalah yang bernyanyi atau menjawab apa yang dikataan imam. Mereka tampak mengikuti misa dengan tekun dan khusyuk. Meski hujan turun sangat deras dan petir menggelegar tapi mereka tetap tenang. Mungkin karena misa hanya setahun dua kali maka mereka sungguh menikmati.

Pada malam hari sambil berbaring di lantai kayu dalam gelap, dingin dan basah karena pulang dari gereja kehujanan, aku membayangkan betapa memprihatinkan umat disini. Mereka seperti domba tanpa gembala. Mereka harus mencari sendiri pemahaman imannya tanpa bimbingan. Betapa enaknya umat di kota yang selalu mendapat pelayanan imam bahkan mati pun harus beberapa kali imam yang memimpin. Tapi apakah iman orang kota jauh lebih berkembang daripada iman disini?

Minggu, 08 Mei 2011

CATATAN DARI SERAWAI: BERBURU EMAS


Konon pada jaman dahulu kala ada seorang bermimpi melihat sebuah pohon besar yang tingginya sampai menjulang ke langit. Pohon itu bertangkai dan berdaun emas. Keesokan harinya dia pergi mencari pohon itu. Akhirnya di tengah hutan dia menemukan pohon emas yang ada dalam mimpinya lalu menebangnya. Tapi ketika hampir putus batang itu menyambung lagi. Berhari-hari dia berusaha menebang pohon itu tapi tidak bisa roboh. Dia bermimpi kembali dan diberi sebuah kapak oleh dewa. Ketika orang itu mengapak pohon, maka daun-daun emasnya berguguran dan jatuh ke dalam sungai Serawai. Akhirnya pohon itu tumbang puncaknya di Kalimantan Tengah, sehingga sampai saat ini daerah Kalimantan Tengah menghasilkan emas yang sangat banyak. Sedangkan di sungai Serawai di Kalimantan Barat menghasilkan emas sedikit, sebab berasal dari daun yang rontok.

Adanya emas di sungai Serawai membuat penduduk kampung di tepi sungai Serawai berlomba mendulang emas, baik dengan cara tradisional yaitu menggunakan semacam penggorengan dari almunium atau kaya maupun dengan cara lebih modern dengan menggunakan mesin diesel untuk menyedot dasar sungai lalu dialirkan ke sebuah tempat seperti talang air. Atau menyemprot air ke atas gumpalan tanah yang digali lalu air dan tanah itu dibuang ke sungai melalui talang. Pasir emas akan menempel di karpet yang menjadi alas dari talang. Puluhan perahu mengapung di atas sungai dan menyedot dasar sungai atau talang-talang besar di tepi sungai yang memuntahkan air bercampur lumpur ke dalam sungai.

Penambangan emas membuat sungai seperti di aduk-aduk dasarnya, sehingga lumpur berwarna kecoklatan muncul di permukaan air. Apalagi bila penambangan ada di tebing atau lahan di tepi sungai. Lumpurnya dibuang ke dalam sungai. Akibatnya sungai menjadi keruh. Air yang semula jernih seperti kaca menjadi coklat kental. Orang tidak lagi mampu melihat dasar sungai. Padahal beberapa tahun lalu orang mampu melihat ikan dan bulus yang berkeliaran di dasar sungai. Orang pun sulit mendapatkan air bersih, sebab air sudah bercampur lumpur. Beberapa lahan kebun karet dan lahan pertanian tidak dapat difungsikan lagi sebab sudah berlubang-lubang. Sudah banyak rumah, bahkan rumah betang yang dibongkar sebab diduga di bawah rumah itu ada emasnya. Orang tidak peduli lagi akan sandung atau tempat untuk menyimpang kerangka dan abu nenek moyang. Orang tidak peduli lagi rumah betang dan kebun. Semua bermimpi mendapat daun emas.

Memang ada orang yang mendapatkan cukup banyak uang dari emas. Konon ada orang dari kampung Rantau Malam mendapatkan bongkahan emas seberat 1 ons lebih. Cerita tentang legenda orang bermimpi menebang pohon emas dan cerita ada orang mendapat emas 1 ons, membuat semakin banyak orang berusaha mendapatkan emas dengan berbagai cara. Mereka tidak peduli lagi akan sungai yang selama ini menjadi sumber kehidupan. Bagi orang Dayak di kecamatan Serawai, Kabupaten Nanga Pinoh, Kalimantan Barat, peran sungai sangat vital dalam kehidupannya. Sungai menjadi sumber ikan untuk makan, sumber air minum, mandi dan cuci. Sungai juga menjadi penghubung antara satu kampung dengan kampung lain, sebab tidak ada jalan darat. Kampung-kampung juga hampir semuanya berada di tepi sungai entah sungai besar atau kecil. Tapi kini sungai sudah tercemar. Airnya keruh dan sebetulnya tidak layak lagi untuk air minum, mandi dan cuci. Ikan-ikan pun sudah semakin sedikit. Mereka telah kehilangan sebagian fungsi sungai yang mereka warisi dari nenek moyangnya.

Emas telah merusak sungai dan daratan. Mereka saat ini ada yang senang sebab mendapatkan emas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat ini. Tapi tidak jarang yang akhirnya bangkrut, sebab kehilangan rumah dan kebun mereka. Bagi mereka yang saat ini mendapatkan emas dari kebun pun tidak mempunyai masa depan yang cerah. Mereka saat ini dapat menikmati hasil penjualan emas, tapi setelah uang itu habis, maka mereka tidak memiliki penghasilan lagi. Mereka kehilangan kebun dan semua tumbuhan yang ada di atasnya. Tumbuhan yang selama ini menunjang hidupnya atau yang dapat diwariskan kepada anaknya. Kebun mereka telah menjadi kumbangan yang tidak dapat ditanami. Impian menemukan bongkahan emas tidak sebanding dengan suramnya masa depan mereka. Emas hanya membawa kenikmatan sesaat saja tanpa menyisakan sesuatu bagi anak cucu.

Sabtu, 07 Mei 2011

CATATAN DARI SERAWAI: PEMBODOHAN

Di rumah kepala dusun berkumpul beberapa bapak-bapak. Sambil minum tuak dan memakan kue-kue mereka tenggelam dalam pembicaraan tentang menerima sawit atau tidak. Saat ini ada sebuah perusahaan yang didukung oleh aparat pemerintah akan membuka kebun sawit. Mereka berusaha membeli tanah rakyat untuk dijadikan kebun sawit. Beberapa janji yang indah ditawarkan oleh perusahaan sawit. Beberapa orang termakan janji indah tawaran itu, tapi beberapa orang masih meragukan kebenaran tawaran itu dan mereka juga berpikir soal dampak dari pembukaan kebun sawit. Maka timbullah pro dan kontra antara menerima kebun sawit atau menolaknya.

Seorang bercerita bahwa bila menerima kebun sawit maka akan dibangun jalan darat yang menghubungkan antar kampung. Mereka juga akan dapat bekerja di kebun sawit dengan gaji yang tetap. Selain itu mereka juga dapat memiliki saham dari perusahaan dengan sistem plasma yaitu tanah mereka dikelola oleh perusahaan dan mereka mendapatkan keuntungan setiap bulannya. Memang sampai saat ini tidak ada jalan darat yang menghubungkan antar kampung, sehingga mereka harus menggunakan sungai. Padahal transportasi melalui sungai sangat mahal dan lambat. Untuk pergi ke sebuah kampung yang berjarak sekitar 7 kilometer saja mereka membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan perahu bermesin 14 PK dan membutuhkan bensin kira-kira 8 liter. Padahal harga bensin Rp 12.500/ liter. Bila ada jalan darat maka orang dapat naik motor yang lebih cepat dan hemat.

Mendengar perdebatan itu aku bertanya apakah perusahaan akan membuat jalan antar kampung atau antar perkebunan dengan sungai tempat mengangkut sawit? Memang di beberapa perkebunan sawit ada jalan yang lebar dan keras bahkan bagus, tapi itu demi kepentingan perusahaan untuk memelihara pohon dan mengangkut buah sawit. Tidak untuk kampung. Memang ada kampung yang diuntungkan bila letak kampung itu dilalui oleh perusahaan untuk mengangkut sawit. Selain itu tidak ada kampung di dalam kebun sawit kecuali perumahan untuk pekerja. Maka sarana transportasi pasti masih akan tetap menjadi masalah. Perusahaan menjanjikan pekerjaan sebagai buruh bagi para warga. Hal ini memang konsekwensi perusahaan yang telah mengambil tanah warga. Konon tanah warga akan dibeli 600 ribu/ ha atau 1,2 juta/ha bila ada pohon karetnya. Bila menjadi buruh sawit maka selamanya akan tetap menjadi buruh perusahaan. Betapa mengenaskan rakyat menjadi buruh diatas tanah miliknya sendiri.

Perusahaan yang bekerja sama dengan pemerintah telah mengobral janji indah tentang kemakmuran dan kemajuan desa yang sesungguhnya merupakan suatu pembodohan. Masyarakat diberi impian yang indah tentang kemajuan desa dan hasil yang mencukupi bagi kebutuhan mereka. Semua itu pasti jauh dari kenyataan. Pemerintahpun ingin lepas tangan terhadap pembangunan fasilitas bagi masyarakat. Pembangunan jalan adalah tanggungjawab pemerintah yang merupakan pemanfaatan dana dari hasil pajak. Maka tidak perlu bergantung pada perusahaan sawit. Demikian pula pekerjaan adalah tanggungjawab pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat. Pemerintah seharusnya juga mampu melindungi tanah rakyat dari rampasan perusahaan. Pemerintah juga harus melindungi alam. Hutan di Kalimantan sudah semakin sedikit akibat penebangan, penggalian tambang dan perkebunan sawit. Pemerintah harus bertanggungjawab terhadap semua ini.

Tampaknya pemerintah ingin lepas tangan dari masalah kemiskinan, keterbelakangan masyarakat yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Bahkan ingin mengeruk keuntungan dengan memperbodoh dan menekan masyarakat. Maka dibutuhkan orang atau lembaga yang memberikan penyadaran dimana masyarakat diajak untuk berpikir kritis sehingga mengetahui siapa yang dirugikan dan siapa yang diutungkan dalam setiap kebijakan pemerintah. Program perkebunan sawit apakah sungguh demi kesejahteraan rakyat atau hanya menguntungkan perusahaan yang dapat memberi upeti kepada pemerintah sehingga aparatnya semakin kaya?

Selasa, 03 Mei 2011

CATATAN DARI SERAWAI: ADA-ADA SAJA

Kulihat beberapa orang menenteng HP. Wah ternyata masyarakat di pedalaman ini mengikuti perkembangan tehnologi telekomunikasi pikirku penuh kekaguman. Aku lalu mengaktifkan HP yang kubawa. Ternyata tidak ada signal. Aku bertanya pada mereka apa kartu yang mereka pakai sehingga mendapat signal? Ternyata di kampung ini memang tidak terjangkau signal provider apapun. Bila mau mencari signal maka harus naik perahu motor sekitar 30 menit lalu jalan kaki mendaki bukit sekitar 15 menit lagi baru ada signal meski kadang ada dan tidak ada. Seorang penduduk menyarankan aku agar manjat pohon di belakang rumahnya agar mendapat signal. Aku lihat di belakang rumahnya ada pohon karet yang cukup besar dan menjulang tinggi. Ya ampun lebih baik menelpon dari pada jatuh dari pohon karet yang tegak lurus. Kampung-kampung di sepanjang sungai Serawai ini memang tidak terjangkau signal. Seorang teman mudika yang mengatarku mengatakan sebaiknya aku membeli signal di kota kecamatan.

Ternyata banyak orang menggunakan HP bukan untuk sarana komunikasi. Mereka menggunakan HP untuk memotret, mendengarkan lagu dan penerangan pada saat berjalan di malam hari. Ternyata HP telah beralih fungsi. HP menjadi sarana hiburan untuk mendengarkan lagu pada siang hari, sebab pada umumnya mereka hanya menyalakan diesel untuk penerangan setelah hari gelap sekitar pk 18.00 sampai pk 22.00 saja. Setelah itu tidak ada listrik. Padahal semua sarana hiburan membutuhkan listrik. Maka wajar saja bila HP berubah fungsi menjadi sarana hiburan yang murah untuk mendengarkan lagu.

Di malam hari mereka dapat menonton TV menggunakan antena parabola. Antara pk 19 sampai pk 21 hampir semua TV swasta yang signalnya dapat tertangkap oleh antena parabola menayangkan sinetron. Akibatnya mereka setiap hari hanya menonton sinetron dengan gaya hidup mewah. Mereka juga dijejali iklan aneka tehnologi canggih. Terjadilah loncatan antara realita yang sangat terbatas dengan tawaran yang sangat menganggumkan dan tidak terbatas. Mereka menonton berbagai macam mobil dan kepadatan kendaraan, padahal disini tidak ada mobil satu pun. Mobil hanya ada di kota kabupaten yang jaraknya 7 sampai 8 jam bila mereka menaiki body terbang, istilah untuk speed boat. Mereka melihat HP yang digunakan untuk komunikasi dan aneka tawaran kartu dari berbagai provider padahal disini tidak ada signal. Mereka ditawari aneka makanan yang menggugah selera makan padahal disini sayuran sangat mahal sekali. Mereka terus diajak bermimpi tentang kehidupan mewah di kota.

Dunia modern yang ditawarkan oleh TV masih jauh mereka rasakan dan masih membutuhkan beberapa tahun mungkin puluhan tahun lagi untuk sampai menjadi kenyataan di daerah sini. Listrik yang sudah bukan sesuatu yang asing di kota masih menjadi sesuatu yang sangat mahal. Seorang menceritakan bahwa bila dia menyalakan mesin pembangkit listrik maka dia membutuhkan bensin sebanyak 4 liter/ jam. Bila harga bensin disini Rp 15.000/ liter maka membutuhkan dana Rp 60.000/ jam. Maka mereka harus mengeluarkan dana sekitar Rp 240.000/ hari untuk listrik selama 4 jam saja. Betapa besar pengeluaran yang harus mereka keluarkan untuk satu hari saja.

Jurang perbedaan antara gaya hidup kota yang mereka tonton dari aneka sinetron dan realita desa yang dijumpai sehari-hari sangat dalam. Orang kota dapat menikmati semua fasilitas yang disebut modern sedang di sini semua itu hanya mereka lihat dalam TV. Mereka hanya diajak bermimpi menikmati. Iklan HP yang begitu gencar dan sering kali diiklankan jauh dari fungsinya sebagai alat komunikasi misalnya ada iklan HP dengan speaker yang menggelegar dan sebagainya, meresap dalam pikiran mereka, sehingga mereka ingin memilikinya. Penduduk kampung yang kurang terdidik sehingga kurang mampu berpikir kritis terseret oleh pembodohan yang ditayangkan oleh TV melalui sinetron dan iklan. Pagi ini aku dibangunkan oleh lagu-lagu yang keluar dari HP. Lumayan juga ada suara lain selain suara berderak-derak lantai kayu yang diinjak orang yang sedang berjalan hilir mudik di dalam rumah.

CATATAN DARI SERAWAI: BUNTAK KOMUNITAS PERJUANGAN


Buntak adalah bahasa Dayak Uud Danum yang berarti belalang. Beberapa tahun lalu ada hama belalang yang menyerang perkebunan di daerah Nanga Serawai. Kejadian ini mendorong beberapa orang untuk membentuk komunitas dalam mengatasi belalang dan menjaga kebun mereka agar tidak terserang belalang lagi. Perkumpulan mereka dinamai “Buntak” untuk mengingat peristiwa berdirinya perkumpulan akibat buntak. Pada awal berdirinya ada 45 orang yang menjadi anggota. Tapi seiring berjalannya waktu kini dan seleksi alamiah maka anggota komunitas Buntak tinggal berjumlah 22 orang. Komunitas ini dipimpin oleh seorang kepala sekolah SMP.

Setiap anggota Buntak mempunyai lahan yang ditanami karet, sebab mereka menolak menanam sawit yang merusak alam. Mereka mengadakan kerja bakti secara bergilir di kebun-kebun milik anggota. Bila bulan ini diadakan kerja bakti di kebun milik A, maka semua anggota datang ke kebun milik A. Mereka mengerjakan apa saja yang diperintah oleh A untuk merawat kebunnya. Bila A meminta untuk menyabit ilalang, maka semua menyabit ilalang dan sebagainya. Semangat ini sangat bagus dan merupakan cerminan dari semangat Gereja awali. Memang dalam semangat Gereja awali lebih keras lagi dimana setiap anggota tidak mempunyai hak milik, sebab semuanya adalah milik bersama. “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.” (Kis 4:32). Komunitas Buntak masih menghargai hak milik pribadi tapi seolah-olah menjadi milik bersama sehingga dirawat bersama-sama seperti mereka merawat milik sendiri.

Komunitas Buntak merupakan angin segar di tengah sikap individualis dimana orang hanya berpikir untuk dirinya saat ini saja, sedangkan dalam komunitas ini ditekankan kebersamaan. Maka kekuatan mereka adalah adanya pertemuan-pertemuan rutin untuk membahas masalah kebun dan aneka hal lainnya. Kehadiran komunitas Buntak di Nanga Serawai juga merupakan kekuatan baru ditengah masyarakat untuk menjadi sarana pembelajaran perjuangan dan pilihan dalam menanami kebun mereka. Saat ini banyak warga yang memberikan lahannya untuk dikelola oleh perusahaan sawit, sebab mereka ditekan oleh aparat pemerintah yang telah bekerja sama dengan perusahaan. Mereka juga terbujuk oleh segala rayuan dan janji perusahaan. Sawit memang tampaknya menjanjikan bagi kehidupan saat ini. Tapi bukan untuk masa depan, sebab sawit merusak lahan perkebunan dan hanya menghasilkan sekitar 20 sampai 25 tahun saja. Sedangkan karet dapat menjaga air tanah, disekitarnya dapat ditanami tumbuhan lain dan terus berproduksi meski sudah 25 tahun juga memungkinkan hewan hidup di sekitarnya. Menanam karet adalah orang yang mau berpikir ke depan demi anak dan cucu mereka. Sedangkan menanam sawit hanya berpikir untuk diri sendiri saat ini, sebab 25 tahun ke depan lahan ini akan rusak.

Komunitas Buntak yang menolak lahan sawit maka tidak jarang harus berhadapan dengan aparat pemerintah. Menurut pemimpin komunitasnya dia sudah beberapa kali dicaci maki oleh aparat kecamatan sebab dia tetap bertahan untuk menanam karet dan tidak mau melepaskan lahan mereka pada perusahaan sawit. Inilah perjuangan katanya sambil tersenyum. Dia akan terus berjuang bersama komunitasnya, meski harus berhadapan dengan pemerintah bahkan aparat Gereja. Telah terdengar gosip bahwa petinggi Gereja dekat dengan aparat pemerintah yang sudah dibeli oleh perusahaan. Hal ini sangat memprihatinkan. Dalam buku biografi Dorothy Day yang ditulis Jim Forest, Dorothy mengatakan bahwa “Memang Gereja menangisi kemalangan orang miskin, tapi tidak ada teriakan melawan mereka yang menumpuk keuntungan dengan mengorbankan orang miskin.” Kegelisahan pembela kaum miskin adalah melihat Gereja diam dan hanya berkutat dalam karya amal dan altar. Para pemimpin Gereja harusnya bercermin dari pemimpin Buntak untuk berjuang demi rakyat seperti Yesus yang sepanjang hidupNya berpihak dan berada di tengah kaum miskin dan tertindas. Gereja harus kembali ke semangat awalinya menjadi pembela kaum miskin.

Senin, 02 Mei 2011

CATATAN DARI SERAWAI: BERPIHAK

Sambil menikmati arak beras ketan aku mendengarkan dua orang teman yang sedang menceritakan kegaluan hati mereka. Saat ini ada beberapa orang yang sedang ditahan oleh aparat keamanan akibat melakukan perusakan properti sebuah perusahaan saat aksi menentang perusahaan perkebunan sawit. Pembukaan perkebunan sawit memang sedang marak dan menimbulkan pro dan kontra di tempat ini. Kehadiran perusahaan yang berusaha membebaskan lahan milik masyarakat yang sering kurang adil dan kesadaran masyarakat bahwa sawit dapat merusak tanah meski menjanjikan hasil yang cukup bagus pada saat ini. Persoalan tanah inilah yang membuat beberapa penduduk protes sampai terjadi perusakan.

Seorang teman mengatakan bahwa dia tidak mau terlibat dalam masalah ini, sebab dapat menjebaknya dalam masalah yang jauh lebih rumit. Menurutnya bila dia terlibat dalam pendampingan warga yang ditangkap maka dia akan berhadapan dengan pemerintah dan Gereja. Mendengar ini aku menjadi terkejut. Temanku menjelaskan bahwa perusahaan didukung oleh pemerintah daerah. Sedangkan pemimpin Gereja sangat dekat dengan pemerintah daerah sehingga cenderung mendukung kebijakan pemerintah daerah. Lalu temanku bertanya sebaiknya apa yang harus dilakukan? Aku jawab sebaiknya kita membela yang lemah dan benar. Itu juga yang diajarkan oleh Yesus selama karyaNya. Dia selalu berada pada orang yang terpinggirkan, tak berdaya dan miskin. Dia tidak berada dalam posisi orang yang kuat.

Warga dianggap bersalah sebab merusak properti milik perusahaan, sehingga mereka ditangkap aparah. Tapi mengapa mereka sampai merusak? Inilah yang tidak dipahami. Bila mereka pendapat mereka didengarkan tentu tidak akan terjadi perusakan yang merupakan bentuk ungkapan kemarahan warga yang kurang dipahami. Kebuntuan komunikasi sering menjadi pemicu kekerasan. Hal semacam ini sudah sering terjadi di berbagai tempat. Terjadinya kerusuhan yang menimbulkan kurban akibat tembakkan atau pemukulan oleh TNI di Kebumen atau kerusahan di Alas Tlogo, Pasuruan dan sebagainya disebabkan warga melakukan perusakan properti milik TNI. Terjadinya perusakan itu disebabkan terjadinya kebuntuan komunikasi. Pihak pemerintah tidak mampu menjadi mediator apalagi melindungi warganya. Bahkan tanpa rasa malu para pemimpin daerah berusaha mencari untung dari masalah ini. Akhirnya rakyat harus berjuang sendiri untuk mempertahankan tanah miliknya.

Gereja seharusnya menjadi mediator antara perusahaan yang telah mampu membeli pemerintahan dengan warga. Tapi hal ini tidak terjadi. Pemimpin Gereja tampaknya lebih berpihak pada yang kuat dan tidak berani mengambil resiko bila membela warga. Dengan demikian Gereja sudah kehilangan jati dirinya sebagai pejuang keadilan. Dalam dokumen sosial yang biasanya disebut sebagai Ajaran Sosial Gereja sebetulnya sudah jelas bahwa Gereja harus membela rakyat yang sering dikalahkan oleh para pemilik modal. ASG yang dimulai dari ensiklik Rerum Novarum dimana Paus Leo XIII pada tahun 1891 mengkritik kapitalisme dan sosialisme yang dianggap merugikan buruh sampai saat ini para Paus terus menulis dokumen yang menunjukkan posisi Gereja dalam perjuangan rakyat miskin dan tertindas. Para Paus menyerukan akan keadilan dan kesejahteraan bersama.

Tapi tampaknya Gereja lebih suka tampil sebagai lembaga amal daripada lembaga perjuangan dan corong dari masyarakat yang tertindas. Dorothy Day pernah menulis “Musim panasku yang diisi dengan membaca, berdoa dan berefleksi terasa penuh dosa ketika aku menyaksikan saudara-saudariku dalam perjuangan mereka. Perjuangan yang dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan orang lain.” Inilah tantangan Gereja pada jaman ini dimana keadilan sering kali dikalahkan oleh pemilik modal yang mampu membeli penguasa. Para pemimpin Gereja harus berani menunjukkan posisinya dimana seharusnya dia berada, meski posisi itu merupakan suatu pilihan yang sulit. Dia akan dimusuhi oleh pejabat dan pengusaha.

Powered By Blogger