Kamis, 20 Oktober 2011

HP DAN SUARA TUHAN


Kami sedang duduk melingkar dalam sebuah pertemuan. Semua serius mendengarkan seorang pembicara yang sedang menguraikan masalah-masalah sosial yang terjadi. Tiba-tiba terdengar suara dering HP. Suaranya sangat lemah. Mungkin pemiliknya sengaja mengecilkan volume suara. Meski sudah sangat lemah, namun bisa terdengar oleh hampir semua peserta yang datang. Suara itu seperti sebuah komando kepada semua orang. Mereka serentak memegang saku atau dompet kecil atau HPnya. Semua mengira HP miliknyalah yang berbunyi.

Suara HP yang sangat lemah di tengah kerasnya suara sang pembicara bisa terdengar dan menggerakan semua orang. Betapa hebatnya pengaruh suara ini. Hal ini mungkin disebabkan semua orang tidak lagi berkonsentrasi pada sang pembicara. Atau pikiran mereka terarah pada HPnya, sehingga begitu ada suara HP mereka mengira itu adalah miliknya. Atau mereka sedang menunggu dering HP sehingga begitu berdering semua tersentak seolah yang dinanti-nantikan akhirnya datang juga. Atau memang mereka sudah terbiasa mendengarkan suara HP, bahkan hidupnya sudah dikuasai oleh suara-suara HP, sehingga meski suara itu lemah bisa ditangkap oleh pendengaran mereka.

Pengaruh HP sudah sedemikian kuat dalam hidup seseorang, sehingga kemanapun dia pergi HP tidak akan ditinggalkan. Seorang teman pernah gelisah sepanjang perjalanan sebab HP miliknya tertinggal di rumah. Seolah-olah dia kelupaan membawa sesuatu yang sangat berharga. Seorang teman lain bisa tahan berjam-jam untuk saling berkirim sms, suatu bentuk komunikasi yang baru. Dia bisa tenggelam dalam dunianya sendiri. Bahkan di dalam gereja pun orang membawa HP, sehingga sekarang di beberapa gereja ada papan pengumuman di depan pintu agar HP tidak diaktifkan. HP adalah pernemuan yang masih tergolong baru namun sudah mempunyai pengaruh yang kuat dalam kehidupan orang sehari-hari.

Pikiranku meloncat dari HP ke sabda Allah, sebab saat itu kami sedang membahas sabda Allah di dunia jaman ini. Salah satu hal yang dikemukakan oleh pembicara adalah bahwa Allah bersabda sepanjang masa. Sabda Allah bisa ditemukan dalam Kitab Suci, pengalaman pribadi dan aneka peristiwa. Persoalannya manusia kurang peka akan sabda ini. Pikiranku membayangkan seandainya sabda Allah adalah dering HP sehingga meski hanya lirih pun semua orang terkejut dan bereaksi. Dia terkejut sebab mengira bahwa dering itu ditujukan padanya. Semua orang menanti dering itu. Mungkin ini yang dikatakan dalam Kitab Suci sebagai berjaga-jaga. Atau seperti yang digambarkan dalam mazmur bagai seorang hamba yang menatap jari tuannya (bdk Mzm 123:1-2). Dia menanti pernyataan tuannya.

Dering HP sudah sangat dikenal oleh pemiliknya. Dia menjadi peka dengan suara itu, sebab sudah sering mendengarkannya. Banyak orang tidak peka akan sabda Allah mungkin dia tidak mengenalnya. Hal ini bisa dilihat betapa sedikitnya umat Katolik yang membaca dan mempelajari Kitab Suci dengan serius. Menjadikan Kitab Suci sebagai bagian dari hidupnya. Bagaimana dia akan peka akan sabda Allah jika jarang membaca Kitab Suci?

Dering HP membuat orang terlonjak sebab dia merasa dipanggil atau dibutuhkan oleh seseorang. Dia disapa oleh seseorang. Apakah Allah tidak pernah menyapa manusia? Dia pasti setiap hari menyapa manusia dalam aneka bentuk. Dia membutuhkan manusia. Dia ingin berkomunikasi dengan manusia. Namun persoalanya manusia tidak menangkap signal dari Allah. Kurang peka akan tanda-tanda sabda Allah. Akibatnya meski Allah berulang kali menyapa, manusia merasa tidak memahaminya. Aneka peristiwa hidup yang dialami setiap hari dianggap sebagai hal biasa. Tidak ada kaitannya dengan Allah. Anugerah yang diterima dilepaskan dari Allah. Sapaan Allah melalui Kitab Suci hanya diingat. Tidak direaksi.

Jika kita sekarang dikuasai HP dan setiap saat menanti deringnya, mengapa kita tidak dikuasai oleh sabda Allah dan menantikannya? Jika kita peka dengan suara dering HP mengapa tidak peka dengan suara Allah? Jika kita kemana-mana membawa HP mengapa tidak membawa Kitab Suci? Jika kita bisa menghabiskan waktu berlama-lama untuk mengirim sms mengapa tidak tahan berlama-lama untuk berkomunikasi dengan Tuhan? Tampaknya HP lebih penting daripada sabda Allah.

Selasa, 18 Oktober 2011

TERLAMBAT

Aku sedang mempersiapkan kursi di kapel untuk misa nanti malam. Tiba-tiba HPku berdering. Kulihat nomor telpon rumah singgah. Terdengar suara teman yang mengatakan bahwa ibu tetangga depan rumah sudah meninggal. Aku terkejut. Setelah memberi tahu beberapa hal yang perlu dia kerjakan terutama menjaga teman-teman di rumah singgah agar tidak ribut dan besar bantuan yang perlu dia berikan, telpon kututup. Pikiranku berkecamuk. Penuh penyesalan dan pengandaian.

Siang tadi setelah mengurus sebuah keluarga yang akan pulang ke Atambua aku ke rumah singgah. Disni sebetulnya aku hanya menunggu waktu keberangkatan ke Prigen untuk memberi retret pada sebuah kelompok. Ketika sedang mengobrol dengan teman-teman soal latihan musik, seorang anak datang padaku dan mengatakan agar aku melihat ibu dari tetangga depan rumah yang sedang sakit. Aku datang ke sebuah rumah kontrakan yang agak kecil. Rumah itu terdiri dari dua ruang. Ruang pertama kamar tidur sekaligus merangkap ruang tamu, sedang kamar belakang menjadi dapur sekaligus tempat ibu itu berbaring. Seorang bapak menceritakan bahwa ibunya sudah dua hari ini sakit. Dia tidak mau makan dan berak darah. Katanya beberapa hari yang lalu dia makan sambal tempe. Bapak ini tidak mampu membawa ke dokter sebab tidak punya uang sama sekali. Maka ibunya tidak diberi obat apa-apa.

Aku minta seorang teman di rumah singgah untuk mengantar ke UGD nanti sore, sebab aku tidak membawa uang yang cukup. Aku menelpon bendahara rumah singgah agar dia nanti sore datang ke rumah singgah dengan membawa uang untuk berobat. Kulihat jam di dinding sudah hampir pukul 14.00. Aku pamit sebab sudah membuat janji dengan beberapa orang untuk berangkat retret bersama-sama. Ternyata pukul 16 lebih ibu ini meninggal dunia. Jadi teman di rumah singgah belum sempat membawa ke UGD sebab bendahara rumah singgah baru pulang dari kantor pukul 17.00. Terlambat!

Mendengar bahwa ibu ini meninggal aku jadi sedih. Kenapa tadi aku tidak menelpon teman-teman yang mau retret agar menunggu sejenak, sebab aku sedang mengantar ibu ini ke rumah sakit. Pasti teman-teman juga maklum. Selain itu untuk sampai Prigen aku hanya membutuhkan waktu satu jam saja. Jadi masih ada cukup waktu untuk persiapan disana. Seandainya ibu ini dibawa ke rumah sakit mungkin dia akan tertolong. Anak ibu itu mengatakan, sebetulnya dua hari yang lalu seorang yang bekerja di puskesmas sudah menyarankan agar ibu ini opname tapi tidak ada biaya. Harusnya aku segera membawanya ke UGD. Aku memang tidak membawa uang, tapi bukankah aku mempunyai ATM dan di rumah sakit ada mesin ATM? Mengapa aku tidak peka akan situasi seperti ini? Mengapa aku meremehkan keselamatan seseorang?

Di depan tabernakel aku termenung seorang diri. Terbayang perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati. Aku sering membuat renungan dari perikop ini, namun ketika berhadapan dengan kenyataan, aku tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang mengabaikan kurban dengan alasan mereka mempunyai kesibukan masing-masing. Agar tetap dapat menjalankan tugas yang harus dikerjakannya. Namun mereka telah menyepelekan nyawa seseorang. Dihadapkan dengan kenyataan ini aku jadi malu melihat diriku sendiri. Aku telah menyepelekan nyawa seseorang demi sebuah retret. Seandainya aku telat datang di rumah retret pun aku yakin semua peserta bisa maklum sebab nyawa seseorang lebih penting dari sebuah acara perkenalan. Tapi mengapa tidak aku lakukan? Mengapa aku lebih mementingkan acara persiapan dibandingkan nyawa seseorang. Mengapa aku tidak sadar bahwa dua hari tidak makan adalah sesuatu yang parah? Aneka pertanyaan muncul. Aneka penyesalan pun datang.

Tidak tahan duduk di depan tabernakel aku berjalan ke lantai dua dimana teman-teman sedang mempersiapkan ruangan. Aku ceritakan ini pada mereka. Sebetulnya dalam perjalanan tadi pun aku sudah bercerita bahwa ada seorang ibu yang sakit. Tapi hanya sepintas saja. Mereka mencoba menghibur dengan mengatakan mungkin Yesus memang belum memberi kesempatan padaku untuk berbuat baik. Sambil berjalan kembali ke kapel aku tersenyum kecut. Bagiku Yesus sudah datang dan memberi kesempatan tapi aku membutakan diri. Aku menutup pintu hatiku dengan berbagai macam alasan yang masuk akal. Aku telah menumpulkan hati. Ternyata tidak mudah untuk menjadi orang yang seperti diharapkan oleh Yesus, yaitu peka terhadap penderitaan sesama.

Yesus bersabda bahwa Dia akan datang seperti pencuri di tengah malam. Aku dituntut untuk berjaga-jaga. Aku harus siap menunggu kedatanganNya kapan saja Dia mau. Tidak peduli siang atau malam. Aku sedang sibuk atau menganggur. Dia datang sesuka hatiNya. Aku hanya diminta untuk berjaga. Dia sudah datang padaku tapi aku tidak siap. Aku terlelap oleh kepentinganku, sehingga Dia berlalu. Aku tidak berjaga-jaga. Hiburan teman-temanku semakin membuatku gundah. Apakah ini teguran Yesus agar aku senantiasa siap menanti kedatanganNya?

Saat ini aku sedang mempersiapkan retret dengan tema yang membuatku bergidik yaitu “Mencari wajah Yesus dalam wajah orang miskin”. Aku dan teman-teman telah mempersiapkan retret kali ini dengan serius. Aku membaca beberapa buku sebagai referensi. Mendiskusikan bersama. Kami ingin agar pada akhir retret semua peserta akan mampu menemukan wajah Yesus di dalam kaum miskin yang dilayaninya. Ternyata Yesus ingin mengajarku terlebih dahulu. Dia ingin aku retret terlebih dahulu sebelum memberikan retret. Dia ingin agar aku bergulat terlebih dahulu sebelum mengajak umat untuk bergulat. Dia telah mematahkan kesombonganku yang seolah-olah telah menemukan wajahNya di tengah kaum miskin. Dia ingin agar aku menemukanNya bukan hanya dari buku dan refleksi, melainkan dari realita hidup yang nyata.

Kematian tetangga depan rumah memang sangat menyakitkan hatiku, namun aku yakin bahwa Yesus berniat mengajarku. Dia ingin agar aku tidak hanya sekedar sharing dari buku melainkan dari realita hidup. Aku harap pengalaman ini semakin membuatku senantiasa berjaga. Peka akan kehadiranNya yang nyata bukan hanya berteori.

Senin, 17 Oktober 2011

PESTA UNTUK KAUM MISKIN

Seorang teman mengatakan dia diminta oleh seseorang untuk menjualkan undangan dalam rangka mencari dana untuk kaum miskin. Katanya ada sekelompok orang Katolik yang kaya ingin mencari dana untuk kaum miskin dengan mengadakan makan malam bersama dan mengundang artis. Bagi yang ingin datang harus membeli undangan yang harganya bervariasi. Aku bertanya padanya apakah dia membeli undangan itu? Dia mengatakan membeli 10 dan dibagikan pada teman-temannya sebab dia sendiri sibuk.

Dia membeli sebab melihat tujuannya acara itu sangat bagus yaitu untuk menggalang dana bagi orang miskin. Aku lalu bertanya mengapa untuk membantu orang miskin harus memakai cara makan malam di rumah makan mewah? Dia menjawab bahwa untuk mendapatkan ikan besar harus dengan umpan yang besar. Untuk mengajak orang kaya mau menolong orang miskin harus dengan acara seperti itu. Mendengar penjelasan seperti itu aku menjadi prihatin. Aku tanya dia seandainya Yesus masih hidup dan Dia ditawari undangan itu apakah Dia akan membeli? Apakah Dia mau menjadi panitia acara seperti itu? Apakah dia mau mengadakan acara seperti itu?

Jujur saja aku sebetulnya prihatin dengan acara semacam itu. Mengapa untuk menolong orang miskin harus melalui pesta? Ibu Teresa dari Kalkuta, seorang perempuan yang menjadi santa karena kepeduliannya pada kaum miskin, pernah mengkritik orang-orang yang sibuk membicarakan kaum miskin di hotel-hotel mewah. Kini terjadi disini. Orang ingin membantu orang miskin dan membicarakannya di rumah makan mewah. Aku tanya pada temanku apakah itu tidak berarti menjual orang miskin? Mengapa mereka yang sudah miskin masih tega untuk dijual? Mengapa kemiskinan digunakan untuk mencari dana? Temanku mengatakan hal itu perlu agar mendapatkan dana yang lebih besar sehingga semakin banyak orang dapat dibantu. Bagiku apapun yang dikatakan temanku, tetap sama saja. Ini menjual kemiskinan.

Aku pernah merasakan betapa tidak enaknya mengalami hal seperti itu. Suatu hari ada sekelompok orang yang kaya dari sebuah organisasi kemasyarakatan datang ke tempat dampingan kami di tepi sungai. Setelah membagi bingkisan mereka meminta aku mencari sebuah karton. Kebetulan ada karton bekas kotak mie instant. Ternyata karton itu disobeknya sehingga menjadi sebuah bentangan karton besar. Dengan spidol hitam dia menuliskan kata-kata bahwa kelompoknya membantu kami. Sebetulnya mereka sudah menyiapkan spanduk tapi lupa membawa. Katanya untuk dokumentasi. Aku diminta membawa karton itu dan berdiri bersama teman-teman untuk difoto. Rasanya saat itu aku sungguh merasa malu. Bagiku lebih baik tidak usah diberi daripada disuruh foto seperti itu. Masih ada beberapa pengalaman lagi yang membuatku prihatin bagaimana orang miskin sudah tidak memiliki apa-apa tapi masih tega dijual. Digunakan untuk mencari keuntungan. Bagiku hal ini memanfaatkan kemiskinan untuk mencari keuntungan.

Aku bayangkan saat ini ada sebagian orang makan makanan yang sangat enak sambil menikmati kemewahan sebuah restoran besar. Sambil menikmati hidangan yang mewah mereka asyik membicarakan sesamanya yang membayangkan makanan seperti itu saja tidak berani. Bahkan mungkin mereka tidak mampu membayangkan sebab mereka tidak pernah melihat makanan seperti yang dimakan oleh orang yang membicarakan mereka saat ini. Bagiku kegiatan ini adalah sebuah ejekan bagi kaum miskin. Mereka yang kelaparan dibicarakan oleh orang yang kenyang dan masih mempunyai banyak makanan berlimpah. Dalam pesta pasti ada banyak makanan tersisa yang akan dibuang begitu saja. Entah kalau restoran itu mengijinkan makanan sisa untuk dibawa pulang oleh karyawannya atau dibagikan pada kaum miskin. Namun pada umumnya kebijakan restoran tidak mengijinkan hal itu. Bagaimana membicarakan orang lapar sambil membuang makanan ke dalam tong sampah?

Aku senang bila ada orang yang kaya sudi memikirkan nasib sesamanya yang miskin. Bagiku kepedulian kepada sesama yang menderita bukan muncul dari malam dana, namun dari rasa syukur. Orang yang mendapatkan kekayaan berlimpah menyadari bahwa apa yang mereka miliki berasal dari Allah. Kesadaran ini membuatnya bersyukur. Rasa syukur itulah yang diwujudkan dengan mengembalikan apa yang dari Allah kepada Allah lagi yang ada dalam diri orang miskin. Jadi pemberian kepada orang miskin adalah perwujudan rasa syukur seseorang atas anugerah Allah yang diterimanya.

Memang ada orang mengadakan malam dana dengan alasan untuk membuka mata orang kaya akan kemiskinan yang ada. Bagaimana mereka akan terbuka hatinya bila tidak ada yang memberi tahu? Bagiku ini alasan yang dicari-cari. Di negara ini begitu kita membuka pintu rumah akan mudah melihat orang miskin. Begitu kita keluar rumah di jalan sudah banyak orang miskin. Di perempatan sudah banyak anak pengamen dan pengemis. Di tepi-tepi jalan banyak pedagang kaki lima. Di depan rumah mereka ada penjual-penjual sayur dan makanan keliling. Di tepi-tepi jalan berderet rumah kumuh dan kaum gelandangan yang berjalan tanpa tujuan. Bagaimana mungkin mereka tidak tahu kalau ada orang miskin yang membutuhkan pertolongan? Namun oleh karena hal itu hanya dilihat oleh mata bukan mata hati atau kepekaan hati maka semua dianggap biasa saja bahkan mulai tumbuh pengadilan-pengadilan tentang kaum miskin.

Untuk mampu melihat kaum miskin dibutuhkan kepekaan mata hati. Apakah setelah ada malam dana maka akan tumbuh kepekaan hati? Bagiku kalau toh disana tiba-tiba ada orang yang mau menyumbang, apakah sumbangan itu muncul karena kepekaan hati atau karena banyak mata yang memandang dia memberikan sumbangan? Yesus mengatakan “Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Mat 6:4) Kalau memang mau memberi apakah perlu harus melalaui sebuah pesta yang dihadiri oleh banyak orang? disinilah tampak bahwa banyak orang tampaknya mencintai sesamanya padahal sebetulnya dia mencintai dirinya sendiri.

Pemberian adalah perwujudan cinta seseorang pada sesamanya. Dia memberi atau menolong sesama sebab dia merasa bahwa dia mencintai mereka. Bila seorang mencintai sesama berarti dia berani berkurban demi sesama. Pemberian atau pertolongan adalah bentuk kurban bagi sesama. Kurban berarti tidak mengambil keuntungan bagi diri sendiri. Paulus mengajarkan bahwa kita bila memberi tanpa mencari keuntungan, “Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita” (Rm 12:8). Keuntungan bukan hanya materi melainkan juga popularitas, penghargaan dan sebagainya. Bila orang berkurban tapi masih mencari keuntungan bagi diri sendiri apakah dia sudah berkurban? Bukankah dia sama saja dengan berdagang?

Yesus dalam pelayananNya melibatkan orang kaya. Namun Dia tidak pernah mengadakan malam dana. Dia memberikan keteladanan bagaimana mengasihi orang yang menderita. Dia menyerukan melalui kata dan tindakan agar orang peduli pada sesama. Dengan demikian sebetulnya yang dibutuhkan bukanlah sebuah pesta yang menghabiskan banyak dana melainkan keteladanan. Bagaimana orang mau peduli bila tidak ada yang memberi contoh? Sebetulnya contoh itu sudah jelas yaitu Yesus. Namun orang akan berdalih bahwa Yesus tentu saja dapat melakukan hal itu sebab Dia adalah Putra Allah, sedangkan mereka hanyalah manusia biasa. Hal ini sebetulnya salah, sebab sudah menghilangkan kemanusiaan Yesus yang juga dapat sedih dan takut. Selain itu kita dapat melihat kembali panggilan kita. Bukankah Yesus menuntut bagi orang yang mengikutiNya keterlibatan secara total? “Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” (Luk 18:22)

Kamis, 13 Oktober 2011

PAK TOMO DAN RUMAH BATUNYA

Pak Tomo hanyalah seorang lelaki tua dengan tubuh yang kurus. Badannya hitam terbakar matahari. Rambutnya sudah putih semua. Kalau bicara sudah susah dan pendengarannya sudah mulai agak berkurang. Tapi aku sangat kagum dengannya.Pak Tomo tinggal di desa Ngroto. Suatu desa kecil di lereng gunung Lawu, sekitar 38 km dari kota Ngawi. Desa yang sangat terpencil. Untuk mencapai desa Ngroto, kita harus berjalan mendaki melalui jalan berbatu sambil menikmati suara air yang gemericik, bajang keret yang bernyanyi, desir angin di sela daun bambu dan kesejukan udara pegunungan. Sejauh mata memandang hanya hamparan sawah yang semakin lama semakin kabur dan membaur dengan awan biru.

Desa Ngroto hanyalah desa biasa. Kelebihan desa ini karena di situ tinggal Pak Tomo. Lelaki tua ini mempersilahkan aku untuk masuk dalam rumahnya. Sebuah rumah batu dengan banyak ruang. Sebagian ruangan masih belum diberi atap. Sebagian lagi masih separo jadi. Namun yang membuatku kagum adalah rumah itu dibangun hanya dari balok balok batu. Mirip candi pada jaman dulu. Tidak ada kayu dan semen. Pak Tomo hanya menyusun balok balok batu saja.

Pak Tomo dengan bangga mengajakku memasuki ruang demi ruang. Dia bercerita bahwa rumah ini dia bangun sendiri selama 40 tahun. Gila pikirku. Membangun rumah batu sendirian tanpa alat-alat yang berarti. Dulu disini banyak sekali batu hitam yang besar-besar. Kisah Pak Tomo sambil menunjukan halamannya yang penuh dengan pepohonan. Lalu dia mulai memotong motong batu itu menjadi balok-balok dan mulailah pembangunan rumah dimulai. Bekas galian batu dia tanami dengan cengkeh, kopi, jambu, apokat, durian, dan berbagai macam pohon lain. Lama lama kebunnya yang semula penuh dengan batu menjadi kebun buah-buahan dan batu itu dia susun menjadi rumah yang sangat besar dan unik.

Aku hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala melihat hasil karyanya. Bayangkan selama 40 tahun dia sendirian membangun rumah itu. Dia mengatakan bahwa kenekadannya membangun rumah batu ini telah meminta kurban. Istrinya meninggalkan dia, sebab istrinya tidak memahami ide gilanya. Banyak orang juga mencemooh karyanya yang dianggap gila. Tapi Pak Tomo tetap nekat. Dia terus memotong batu-batu dan menyusunnya. Kapan bapak akan mengakhiri pembangunan ini? tanyaku. Dia mengatakan jika dia sudah mati, maka pembangunan rumah itu juga akan berhenti. Apakah bapak tidak takut rumah ini roboh? tanyaku lagi. Pak Tomo hanya tertawa dan mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini akan musnah, termasuk rumahnya ini. Tapi telah terjadi beberapa kali gempa bumi dan rumah ini tidak roboh, katanya dengan bangga.

Dalam diri Pak Tomo aku melihat sebuah semangat yang menyala-nyala yang tidak terpadamkan. Suatu perjuangan panjang. Selama 40 tahun dia sendirian mengubah lahannya yang semula tidak bisa ditanami menjadi sebuah kebun buah. Dia mampu sendirian membangun rumah dari batu. Perjuangan panjang yang disertai hujatan. Dia hanya bersandar pada alam dan Tuhannya.

Sambil mengendarai mobil sendirian pulang ke Surabaya, pikiranku penuh dengan kekaguman pada Pak Tomo. Ya, aku mengagumi keteguhannya. Pada pilihan hidupnya. Pada keputusannya yang berusaha untuk terus membangun sampai kematian yang akan menghentikannya. Saat ini aku sedang bimbang dengan aktifitasku di komunitas kaum marginal. Beberapa persoalan yang tidak terpecahkan membuatku berpikir untuk membubarkan apa yang telah dimulai bersama teman-teman. Dalam sharing terakhir bersama teman-teman, aku mengatakan pada mereka bahwa aku membangun komunitas ini seperti membangun rumah di atas pasir. Aku ternyata belum siap untuk lebih serius dalam aktifitas pendampingan anak jalanan. Aku gamang dengan keputusanku, bahkan menyesal mengapa aku dulu tergesa gesa mengumpulkan teman-teman anak jalanan untuk bergabung dalam aktifitas ini. Mengapa aku tidak membangun dasar lebih kuat baru mengajak teman teman?

Perkataan Pak Tomo seolah perkataan guru yang membuka mataku untuk tetap berjalan dalam keputusanku, meski banyak orang tidak memahami dan mencaci maki. Meski yang dibuat tidak pernah akan selesai sampai kematian mendatang. Meski rumah itu tetap kosong dan kebun buahnya tidak mampu menghidupinya dengan layak. Apakah sikap Pak Tomo suatu kebodohan? Apakah yang dilakukannya bukan suatu kesia-siaan belaka? Apakah Pak Tomo seorang yang gila? Atau dia orang frustasi? Tidak. Bagiku dia orang yang patut dihargai. Dia bukan orang yang bodoh, sebab mampu mendesain rumah sedemikian unik. Meski tidak berpendidikan formal, dia mampu menyusun batu sedemikian tinggi dan tidak roboh karena gempa bumi. Dia adalah orang yang setia dengan apa yang telah dimulai. Dia adalah orang yang berjalan tanpa henti. Dia adalah pekerja yang bekerja bukan untuk kesombongan dan pujian. Dia membangun rumah besar untuk masa depan jika ada orang yang membutuhkannya.

Permenunganku lebih jauh membawaku pada Sang Guru sejati. Yesus juga seorang yang nekat. Dia beberapa kali jengkel dengan murid muridNya yang tetap tidak mampu memahami karya keselamatan yang dibawaNya. Dia senantiasa diintip oleh para musuh-musuhNya untuk dihabisi. Dia dianggap gila oleh keluarganya. Dia dikhianati oleh muridNya. Dia ditinggalkan oleh orang orang terdekatNya. Namun Dia tetap berjalan menyeleseikan tugasNya. Apakah segala belenggu hilang dengan kehadiranNya? Tidak. Masih banyak orang yang terbelenggu oleh dosa. Dia sendiri bersabda bahwa orang miskin akan masih tetap ada. Lalu buat apa Dia datang? Akankah karyaNya sia-sia? Mungkin beberapa muridNya dulu juga merasakan bahwa karya Sang Guru akan sia-sia. Berakhir! Tapi ternyata sampai 2000 tahun karya Yesus masih terus berlangsung. Aku yakin bahwa rumah Pak Tomo tidak akan pernah selesai. Apakah akan sia-sia? Aku yakin suatu saat pasti akan ada orang yang meneruskannya dan rumahnya akan menjadi bahan pembicaraan orang.

Pak Tomo bukan seorang Kristen. Dia juga mungkin tidak mengenal siapa Yesus itu. Namun sikap hidupnya tidak jauh dari Yesus, yang pantang menyerah. Sikap yang terus berusaha dan bekerja dalam kesendirian dan kesepian. Kerja yang tidak membutuhkan penghargaan dari orang lain, hanya cukup untuk kerja itu sendiri. Dia ingin meninggalkan rumah ini untuk banyak orang, bahkan dia menawarkan agar aku menggunakan ruang atas rumahnya untuk gereja. 40 tahun Pak Tomo bekerja keras memotong batu, menyusunnya, mengangkatnya sehingga terbentuk rumah di tengah kebun buah yang subur. Ah seandainya aku bisa nekad seperti dia.

Rabu, 12 Oktober 2011

GOSIP

Seorang teman duduk di depanku. Dia bercerita tentang berita yang didengarnya. Menurutnya selama ini aku sudah digosipkan. Aku tertegun. Begitu mengerikan cerita yang beredar tentang diriku selama ini. Teman itu meminta penjelasan apakah benar semua berita itu? Aku tersenyum. Aku serahkan padanya untuk menilai sendiri. Dia sudah mengenalku selama ini, maka apakah dia percaya atau tidak tentang berita itu silakan dia sendiri menilai. Bagiku setiap kata pelurusan hanya akan merupakan pembelaan diri belaka. Orang sudah terlanjur memakai kaca mata hitam sehingga semua akan tampak gelap.

Dalam budaya Jawa, entah budaya lain aku tidak tahu, menggunjing orang sudah merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan. Setiap hari dapat ditemui dimana-mana bila ada dua atau tiga orang berkumpul dapat muncul aktifitas mengunjing sesama. Entah berita baik atau buruk itu tergantung siapa yang menjadi bahan pembicaraan. Pada umumnya yang menjadi topik pembicaraan adalah hal buruk. Orang bisa tahan berjam-jam membicarakan keburukan sesama dengan sangat bersemangat.

Memang setiap orang berhak mempunyai pendapat mengenai orang lain. Dia bisa memuji orang lain setinggi langit atau menjelekkan sedalam lautan. Semua itu hak dan kebebasan orang dalam melihat sesamanya. Namun apakah kebebasan itu bisa diberitakan pada orang lain yang mungkin mempunyai pendapat yang berbeda? Apakah bijaksana bila orang menyatakan pendapatnya tentang orang lain tanpa meminta penjelasan? Bukankah ini sebuah pengadilan tidak adil? Dimana orang yang diadili tidak diberi kesempatan untuk membela diri, sebab semua tuduhan diungkapkan tanpa diketahui oleh si tertuduh?

Ada teman yang berusaha melihat hal positif kalau dia digunjingkan. Menurutnya hanya orang terkenal yang dijadikan bahan gosip. Misalnya saja seorang tokoh hanya membeli baju baru saja sudah menjadi bahan berita yang luas. Coba kalau dia orang biasa saja, pasti tidak akan ada orang peduli. Maka kalau digunjingkan orang jangan takut tapi harus bangga. Pendapat ini memang tampak konyol, tapi aku pikir bagus juga agar tidak terlalu tertekan bila gosip sedang menimpanya.

Dalam Kitab Suci beberapa penulis Kitab Suci sudah memperingatkan akan bahayanya perkataan yang muncul dari lidah. Yakobus mengatakan bahwa lidah itu seperti api, meski kecil dapat membakar seluruh hutan. Demikian pula gosip meski mulanya hanya kecil namun bila sudah sampai ketelinga satu dua orang pasti akan berkembang besar dan membinasakan orang itu. Ada sebuah cerita dari Antony de Mello tentang seorang ibu yang membuat gosip seorang pastor. Ketika ibu ini mengaku dosa pada pastor itu dan menyesal bahwa dia sudah menyebarkan gosip, maka pastor itu mengajaknya naik ke loteng tertinggi di gereja. Pastor itu membawa bantal lalu menyobek bantal itu sehingga bulu isi bantal berterbangan kemana-mana. Dia menyuruh ibu itu untuk mengumpulkan semua bulu dan memasukan kembali. Ketika ibu itu terheran-heran, maka pastor itu mengatakan demikian pula gosip. Dia akan menyebar kemana-mana dan tidak bisa dibersihkan semua.

Tuhan menciptakan mulut agar manusia bisa memujiNya. Namun sering kali yang keluar lain sama sekali. Yesus mengatakan kalau ada dua atau tiga orang berkumpul dalam namaNya maka Dia hadir. Namun sungguhkan bila ada dua atau tiga orang Kristen berkumpul Yesus hadir bila yang keluar adalah gosip? Yakobus mengatakan “jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya (Yak 1:26)”. Apa yang ditulis Yakobus sangat tegas dan keras, namun sebetulnya Yesus lebih keras lagi, Dia mengatakan barang siapa mengatakan saudaranya kafir, maka harus dihukum. Gosip tidak hanya mengatakan saudaranya kafir melainkan jauh lebih dari itu.

Kita memang tidak bisa menghindar dari gosip, sebab hal itu sangat menyenangkan. Bahkan hampir semua televisi menyediakan waktu khusus untuk membicarakan orang. Belum lagi majalah dan koran. Tidak jarang apa yang menjadi bahan berita adalah keburukan orang. Bahkan semakin buruk semakin sering ditayangkan, misalnya perceraian seseorang ditayangkan berulang-ulang. Mengapa kalau ada orang yang hidup perkawinannya bahagia tidak ditayangkan segencar kalau dia cerai? Dalam hal ini Yakobus mengatakan bahwa hendaknya orang cepat mendengar namun lambat mengatakan. Biarkan semua informasi masuk tapi orang tidak perlu menanggapi. Perlu dipertimbangkan baik buruknya. Apa gunanya bagi orang itu dan diri sendiri. Bila tidak ada gunanya bahkan menjatuhkan orang lain mengapa harus dikatakan dan disebarluaskan dengan penuh semangat?

Mungkin orang sangat senang mendengar atau mengetahui kejelekan orang lain. Dengan melihat keburukan orang lain dia bisa menutupi keburukannya sendiri. Dia bersembunyi dibalik keburukan orang lain. Semakin banyak keburukan orang lain yang diceritakan, maka lawan bicaranya bahkan dirinya sendiri tidak sempat untuk melihat keburukan yang ada dalam dirinya. Mungkin orang itu takut untuk melihat sisi negatif yang ada dalam dirinya maka dia lebih suka menutupi dengan menunjukkan sisi negatif orang. Beberapa teman yang tidak bisa menerima diri kulihat memang mempunyai kecenderungan yang kuat untuk menyebarkan atau membuat gosip.

Setiap orang mempunyai sisi negatif dan positif. Setiap orang dapat berbuat salah. Mengapa orang lebih suka melihat sisi negatif? Yesus sudah mengajarkan bila ada saudara yang bersalah maka ditegur empat mata, kalau tetap tidak mau berubah maka dibawa beberapa saksi. Kalau masih tidak bisa maka dibawa ke sidang. Bukan digosipkan. Anehnya ada orang yang menyebarkan gosip dengan alasan dia sangat mencintainya.

Temanku masih bersemangat cerita. Aku katakan padanya ya sudah. Aku ingat cerita A. de Mello tentang seorang pendeta yang dituduh menghamili seorang gadis desa. Ketika semua orang mencaci maki dan memaksanya untuk bertanggung jawab, maka dia mengatakan “ya sudah”. Namun akhirnya anak perempuan itu sadar bahwa dia sudah berbohong soal orang yang menghamili lalu mengatakan pada semua penduduk akan kebohongannya. Penduduk pun berbondong-bondong meminta maaf pada pendeta itu. Pendeta itu tetap mengatakan “ya sudah”. Nah aku ingin seperti pendeta itu yang berusaha mengatakan “ya sudah”.

Sabtu, 01 Oktober 2011

SEBUAH BALLPOINT BEKAS

Bapak itu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku mencoba tersenyum padanya. Kami duduk berhadapan dalam kebisuan. Sebuah ballpoint tergeletak di meja yang membatasi kami. Kami menatap ballpoint itu. Mosok hanya ini tanya bapak itu berulang-ulang seolah pada dirinya sendiri. Aku hanya diam. Memahami perasaan yang bergolak dalam hatinya. Lima tahun aku berjuang bersama dia membangkitkan sebuah lembaga yang sudah hancur total. Sebuah lembaga sosial yang disingkiri oleh banyak orang sebab setiap tahun terus merugi. Semua karyawan digaji jauh dibawah standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Mereka masih bertahan bekerja ditempat ini sebab sudah tidak mempunyai pilihan lagi mengingat usia mereka sudah tua.

Lembaga ini dulu pernah berjaya. Banyak sekali uang yang berputar dari bantuan-bantuan asing. Tapi beberapa pengurusnya melakukan korupsi besar-besaran. Setelah tidak ada lagi yang dapat diambil mereka satu demi satu keluar dengan meninggalkan teman-teman mereka yang miskin dan tidak memiliki masa depan. Sedangkan mereka sudah kaya raya. Ada yang mempunyai bis, ada yang mempunyai sawah berhektar-hektar, ada yang mendirikan lembaga baru yang lebih kuat dan sebagainya. Mereka tidak peduli lagi pada lembaga sosial ini yang telah menjadi lembaga miskin.

Aku ditugaskan untuk memimpin lembaga yang sudah hancur ini. Selama 4 tahun aku berjuang bagaimana memperkuat lembaga ini. Sedikit demi sedikit lembaga ini mulai bangkit kembali. Gaji pegawai naik untuk mengejar ketinggalan dari standari gaji yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pelayanan baru dibuka. Beberapa ruang yang menjadi lahan korupsi ditutup. Karyawan mendapatkan tunjangan-tunjangan yang selama ini tidak pernah mereka peroleh. Setelah lembaga ini dianggap menguntungkan kembali tiba-tiba aku diberhentikan. Hal ini disebabkan aku bersuara keras untuk menaikkan kesejahteraan karyawan. Bagiku tidak masuk akal bagaimana mungkin karyawan dipaksa untuk melayani dan peduli pada kaum miskin sedangkan hidup mereka masih dibawah garis kemiskinan. Sebetulnya masalah ini banyak terjadi dalam lembaga-lembaga sosial dibawah gereja. Gereja bangga bisa melayani dan peduli pada kaum miskin tapi tidak peduli pada karyawan yang bekerja di lembaga itu. Inilah salah satu bentuk ketidakadilan yang terjadi dalam tubuh Gereja.

Pemberhentianku yang mendadak membuat para karyawan protes. Tapi usaha mereka sia-sia. Mereka menghadapi tembok tebal yang berdiri kokoh. Posisiku terjepit diantara dua sisi. Disatu sisi aku termasuk dalam herarki Gereja disisi lain aku juga termasuk karyawan. Usaha para karyawan untuk berdialog ditanggapan dengan ancaman pemberhentian. Siapa yang tidak setuju dengan keputusan ini silakan berhenti. Mereka pun menjadi terdiam. Tidak mungkin mereka berhenti bekerja dari lembaga ini, sebab mereka pasti tidak akan dapat bekerja lagi di tempat lain mengingat usia yang sudah tua. Jika mereka tidak bekerja lalu keluarga mereka akan diberi makan apa. Kaum miskin sering dikalahkan dan dipaksa untuk menerima situasi yang tidak mereka inginkan oleh para penguasa yang menjadi tempat gantungan hidup mereka. Ancaman ini adalah bentuk kesewenang-wenangan penguasa yang membuatku menjadi keras melawan penguasa. Sikap kerasku ini semakin mempercepat pemberhentianku.

Acara pelepasanku dilakukan secara sederhana. Seorang pejabat Gereja dihadapan para karyawan memberiku sebuah hadiah. Setelah acara usia hadiah kubuka di depan bapak ini. Ternyata sebuah ballpoint murah dan bekas. Karton tempat ballpoint ini tampak lusuh. Beberapa karyawan senior yang melihatnya hanya mampu meneteskan air mata. Mereka sangat kecewa. Sebetulnya aku tidak peduli dengan hadiah ini, sebab hidupku sudah berkecukupan. Tapi bagi bapak ini masalahnya adalah arogansi dan ketiadaan penghargaan terhadap sesama. Bila terhadap pemimpin lembaga saja sudah demikian apalagi terhadap karyawan kecil dan kaum miskin yang dilayani. Bapak ini hanya mampu menangis pedih melihat betapa dalam jurang antara teori yang sering dikotbahkan untuk peduli dan menghargai kaum miskin dengan realita yang terjadi.

Powered By Blogger