Kamis, 10 November 2011

AKU ANAK KOPRAL ANUMERTA (mengenang para prajurit yang gugur di Timor Timur dalam operasi Seroja1975-1978)


Saya adalah anak seorang kopral anumerta. Ya! Benar! Bapak adalah seorang anggota ABRI yang berpangkat kopral. Dia sudah tewas tertembak dalam suatu pertempuran maka dibelakangnya diberi tambahan anumerta.

Bapak bagi saya adalah sosok pribadi yang menyenangkan. Disetiap kesempatan luang, dia mengajak ibu, dua adik dan saya jalan jalan. Kami hanya jalan jalan menikmati keindahan kota. Sebelum jalan jalan bapak atau ibu senantiasa berpesan agar kami tidak meminta apa-apa. Kalau bapak atau ibu punya uang, maka kami akan dibelikan sesuatu, entah mainan yang dijual di emper toko atau kue kue di pedagang kaki lima. Kata ibu gaji bapak sangat kecil, sehingga tidak mungkin beli mainan di toko atau makan di restoran. Bapak hanyalah seorang prajurit. Tapi meski hidup susah, saya bangga pada bapak. Apalagi kalau melihat bapak dengan seragam lengkap. Dia tampak gagah dan tampan.

Kedekatan saya dengan bapak tidaklah lama. Saya masih kelas tiga SD ketika bapak mendapat tugas ke Timor Timur. Saya sendiri tidak tahu dimana tempat itu. Ibu hanya bilang bahwa Timor Timur itu jauh di timur negara Indonesia. Malam sebelum berangkat bapak mengambil peta Indonesia dan menunjukan dimana tempat yang namanya Timor Timur. Suatu daerah kecil yang diberi warna lain, sebab tidak termasuk negara Indonesia. Bapak menjelaskan bahwa dia bersama teman temanya harus naik kapal laut selama beberapa hari baru bisa mencapai tempat tersebut.

Kata ibu bapak kesana akan berjuang. Ini sudah menjadi tugas seorang prajurit yaitu siap diperintah kemana saja dan berjuang melawan musuh. Saya sendiri tidak tahu apa yang diperjuangkan bapak disana. Saya juga tidak tahu pasti siapa musuh bapak di sana. Apakah berjuang melawan penjajah seperti cerita kakek yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Atau berjuang melawan pemberontak seperti cerita kakek tentang pemberontakan Kahar Muzakar, RMS, DI/TII atau yang lain. Saya tidak tahu, ibu pun tidak tahu. Maklum ibu bukan orang yang berpendidikan tinggi. Kami juga kekurangan informasi, sebab tidak berlangganan surat kabar. Beberapa kali saya melihat bapak membaca surat kabar yang dibeli eceran atau hasil dari pinjam ke tetangga. Kami juga tidak mempunyai TV. Ini suatu barang yang sangat mewah. Yang kami punya hanya radio kecil dan hanya bisa menangkap siaran radio amatir. Atasan bapak juga tidak menjelaskan dengan rinci untuk apa dia harus mengirim bapak kesana. Bapak hanya mengatakan bahwa sebagai prajurit yang menjalankan sapta marga, maka dia harus siap untuk diutus kemana saja.

Bapak hanya mengatakan bahwa negara kita hendak mengintegrasi Timor Timur. Sampai bapak berangkat saya tidak tahu apa maksud integrasi. Apa yang menyebabkan kerusuhan. Siapa yang dianggap perusuh. Yang saya tahu pasti ialah bahwa bapak mendapat tugas untuk pergi ke Timor Timur bersama teman temannya. Kedua, hal itu berarti bahwa saya akan lama untuk tidak bertemu dengan bapak. Saya hanya akan memandang foto bapak yang gagah dalam seragam prajurit.

Sebulan bapak tidak terdengar kabar beritanya. Bagi ibu ini hal biasa. Ibu sudah tahu konsekwensi sebagai istri prajurit. Dia akan sering ditinggal pergi oleh suaminya. Tapi saya tidak senang bapak pergi terlalu lama. Saya kangen dengan bapak. Saya kangen belaian tangannya yang kasar. Saya kangen digendong belakang. Saya kangen diajak jalan jalan. Saya kangen untuk menunjukan pada teman teman bahwa bapak saya adalah seorang ABRI yang sangat gagah dalam pakaian seragamnya. Saya yakin ibu juga kangen, tapi tidak ditunjukan pada kami. Saya juga yakin bahwa adik adik kangen pada bapak, tapi mereka tidak bisa mengungkapkan, sebab mereka masih umur 3 th dan 4 bulan. Saya yang sudah besar, sudah klas 3 SD, dapat merasakan rasa kangen itu dan mengungkapkannya.

Hampir menginjak bulan keenam bapak belum juga pulang. Beberapa kali saya tanya ibu, kapan bapak kembali. Ibu selalu mengatakan tidak tahu atau kalau keadaan sudah aman. Kata ibu situasi di Timor Timur sangat berat dan gawat. Beberapa teman bapak tewas di sana. Ada yang pulang tapi mengalami gangguan jiwa. Dia sering teriak teriak pada malam hari dan sangat ketakutan dalam gelap. Padahal dulu dia pemberani. Kalau tidak pasti dia tidak akan jadi prajurit. Tapi kini dia menjadi penakut dan sikapnya aneh. Pernah dia menangkap cicak di rumah kami, langsung dimakan. Tentu saja saya jadi jijik. Kata ibu teman bapak itu mengira bahwa dia masih berada di Timor Timur. Ada juga teman bapak yang pulang dengan menyandang cacat tubuh. Ada yang kakinya hilang satu ada yang tangannya hilang. Melihat teman bapak itu, saya jadi takut. Jangan jangan bapak pulang nanti menjadi seperti itu. Tapi bapak belum pulang, maka saya hanya bisa berdoa semoga bapak bisa cepat pulang dan tidak berubah. Masih seperti bapak yang dulu.

24 September 2976 seorang tentara datang ke rumah kami. Saya tidak tahu apa yang dia ceritakan. Yang saya tahu tiba tiba ibu menjerit dan menangis histeris, sampai beberapa tetangga berusaha menenangkannya. Melihat ibu menangis semua adik juga ikut menangis. Tapi saya tidak, sebab tidak tahu mengapa ibu menangis. Banyak tetangga yang berkumpul di rumah kami sampai tentara itu pergi. Saya melihat ibu beberapa kali pingsan. Jika sadar dia berteriak teriak memanggil nama bapak. Saya mengira ibu bertengkar dengan tetantara itu dan memanggil bapak untuk membelanya. Akhirnya saya bertanya pada ibu apa yang terjadi. Dengan sedih tetangga sebelah menceritakan bahwa bapak tewas dalam pertempuran di Baucau. Ya bapak saya tewas dalam berjuang, meski saya sendiri tidak tahu apa yang diperjuangkan. Bapak juga tidak menjelaskan apa yang diperjuangkan.

Bapak tewas. Saya tidak berani mengatakan bapak gugur. Kata itu hanya untuk para pahlawan dan para tentara yang mempunyai pangkat. Bapak bukan pahlawan. Dia juga bukan perwira. Dia hanya seorang prajurit yang mati ditembak. Saya kehilangan bapak. Padahal saya masih membutuhkan bapak. Apalagi adik adik. Tentu si bungsu tidak akan pernah tahu siapa bapaknya. Dia hanya akan tahu dari sebuah foto di ruang tamu. Saya sedih sekali. Bapak telah ditembak. Saya tidak tahu siapa yang menembak bapak. Saya tidak tahu apakah yang menembak bapak bisa disebut musuh atau bapaklah yang dianggap sebagai musuh. Saya tidak tahu siapa yang benar, siapa yang dibela, siapa yang diperjuangkan. Yang saya tahu dengan pasti ialah bahwa bapak diperintahkan untuk pergi ke Timor Timur dan mati ditembak orang di sana.

Beberapa minggu kemudian peti mati bapak datang. Ibu histeris di depan peti mati. Tapi bapak tetap mati. Sebetulnya saya ingin sekali melihat wajah bapak yang gagah untuk terakhir kalinya. Tapi ada larangan untuk membuka peti mati. Saya tidak kuasa dengan perintah itu. Ibu pun tidak kuasa menolak perintah atasan bapak. Ibu harus percaya bahwa yang ada dalam peti mati itu adalah jenasah bapak. Betapa sedihnya hati saya. Untuk melihat wajah bapak yang terakhir saja tidak bisa. Dengan berderai air mata, saya mengatar bapak ke pemakaman. Dalam pemakaman ada beberapa sambutan yang saya sendiri tidak tahu apa yang dikatakan oleh atasan bapak. Hanya yang saya tahu dia menyerahkan sebuah amplop berisi uang dan sebuah tanda penghargaan. Ganti nyawa bapak adalah uang yang ada dalam amplop dan selembar kertas yang katanya berisi tanda penghargaan atas keberanian bapak dalam membela negara. Saya nangis saat itu. Saya tidak mau nyawa bapak diganti oleh lembaran itu. Saya lebih memilih bapak tidak mendapat tanda jasa dan kenaikan pangkat, dari pada harus kehilangan bapak yang saya cintai.

Ternyata bapak bukanlah satu satunya dan yang terakhir. Masih banyak teman teman bapak yang tewas atau pulang dengan cacat. Mereka pada umumnya adalah prajurit dengan pankat rendah. Saya belum mendengar seorang jendral yang tewas atau pulang dengan cacat tubuh. Tapi hal ini semakin membanggakan saya bahwa bapak jauh lebih berani berjuang dari pada para jendral, sebab buktinya bapak berani tewas ditembak, sedangkan para jendral pulang dengan selamat. Tapi merekalah yang terkenal, sedangkan bapak tetap sebagai kopral anumerta, yang tidak pernah disebutkan dalam sejarah. Bapak hanyalah seorang prajurit yang harus taat pada perintah atasan bahkan siap mati demi membela bangsa dan negara.

Sampai kini kesedihan terus berlanjut. Kehilangan bapak dan kemiskinan akibat pensiun bapak yang kecil tidak mampu memenuhi semua kebutuhan hidup. Ibu dan saya harus berjuang untuk bisa bertahan hidup. Tapi saat ini saya sedih sekali. Timor Timur yang dulu diperjuangkan bapak dan teman-temannya sampai memberikan nyawanya kini merdeka. Menjadi negara baru yang bernama Timor Leste. Lebih sedih lagi adalah hujatan dari banyak orang pada bapak dan teman-temannya yang terlibat dalam operasi Seroja. Mereka dicaci maki sebagai pelanggar HAM. Mereka dianggap sebagai biang kerusuhan. Bapak menjadi tentara bukan untuk menindas, tapi punya tujuan mulia yaitu mempertahankan negara dan bangsa dari serangan musuh, seperti kakek dulu mempertahankan negara dari serangan Belanda. Saya yakin kalau boleh memilih bapak pasti menolak untuk pergi ke Timor Timur. Dia berangkat kesana karena taat pada perintah atasan. Disana dia pasti pernah menembak dan dia mati terkena tembakan. Oleh siapa? Musuh bangsa? Pejuang bangsa?

Bapak dan teman-teman dituduh telah melakukan kekerasan di Timor Timur. Bapak bukan orang yang suka kekerasan. Dia pasti menembak supaya tidak mati ditembak. Tapi toh akhirnya dia ditembak. Pengurbanan nyawa bapak tidak ada gunanya, bahkan saya saat ini malu jika ingin mengatakan bahwa bapak adalah salah satu personil ABRI dalam operasi Seroja untuk pengintegrasian Timor Timur pada tahun 1975. Seolah apa yang dilakukan bapak adalah kesalahan besar, padahal bapak hanya seorang prajurit yang harus taat pada pimpinan.

Di depan kuburan bapak saya hanya bisa mengeluh pada sebuah batu nisan. Saya ingin protes mengapa bapak dulu memilih sebagai tentara, mengapa bukan sebagai pekerja pabrik, kantor, bahkan tukang becak atau pemulung sekalipun. Mengapa bapak memilih menjadi tentara? Mengapa bapak mau dikirim ke Timor Timur? Apakah itu dosa bapak, sehingga banyak orang sekarang sinis pada saya? Pernah ibu meneguhkan saya, ketika saya digelisahkan oleh persoalan ini. Ibu mengutip dari Injil Yohanes, "Barang siapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah dia yang melemparkan batu yang pertama pada perempuan itu." Saya hanya berdoa semoga bapak hanyalah sebagai perempuan yang tertangkap berbuat zinah. Bapak dan teman teman harus diadili sedangkan yang berkepentingan tidak diadili. Dan yang mengadili bapak adalah masa yang sebenarnya juga penuh dengan dosa, sering berbuat kekerasan, tidak adil, penindas. Ini meneguhkan saya agar saya tidak melihat nyawa bapak sebagai sebuah kesia siaan.

Tapi bagaimanapun juga salib masih harus kami pikul. Kemiskinan, status kami sebagai anak piatu, kerinduan kami pada bapak yang tidak mungkin dipenuhi dan terlebih nama jelek bapak karena dia adalah tentara yang tergabung dalam operasi Seroja. Ya, saya hanyalah anak seorang kopral anumerta. Seorang kopral yang katanya membela nusa dan bangsa sehingga harus menyerahkannya nyawanya.

Rabu, 09 November 2011

PERJALANAN

Suatu hari Saul disuruh oleh ayahnya untuk mencari keledai-keledai mereka yang hilang. Ditemani seorang bujang, maka pergilah Saul mencari keledai-keledai itu. Namun mereka tidak mampu menemukannya. Dalam keputusaasaan Saul memutuskan untuk kembali, tapi bujangnya mengajak untuk menemui penglihat. Mereka berangkat kesana dan itulah awal perubahan hidup Saul. Dia bertemu dengan Samuel yang kelak akan menahbiskannya sebagai raja Yahudi (1Sam 9:3-..).

Perjalanan hidup seseorang tidak bisa diduga sebelumnya. Sebuah kejadian yang tidak terduga bisa mengubah jalan hidup seseorang. Menurut buku The Celentin's Phropecy, bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang kebetulan. Semua sudah masuk dalam suatu kerangka besar hidup. Saul tidak pernah menduga sebelumnya bahwa perutusan ayahnya untuk mencari keledai dan kegagalan usaha dalam pencarian itu ternyata suatu berkah yang mampu mengubah hidupnya bahkan lebih besar lagi perubahan sejarah bangsa Israel. Saul tidak pernah menduga bahwa dia akan menjadi raja, sebab dia hanyalah seorang pemuda yang berasal dari suku Benyamin, suku yang terkecil. Saul bahkan berasal dari kaum yang paling hina dari suku Benyamin (1Sam 9:21).

Dalam Perjanjian Baru kisah perubahan hidup yang senada ada dalam diri Paulus. Dia tidak pernah mengira bahwa dia akan menjadi seorang pewarta agama Kristen. Dia yang semula pergi ke Damsyik dengan penuh kebencian untuk menghancurkan umat Kristen, ternyata dalam perjalanan dia berubah total. Perjalanan ke Damsyik tidak hanya mengubah cara pandang Saulus terhadap kekristenan, namun lebih dari itu dia mengubah sejarah Kekristenan. Banyak orang mengakui bahwa Paulus merupakan tokoh kunci perkembangan agama Kristen. Jika tidak ada Paulus, mungkin agama Kristen masih merupakan agama kecil di Yahudi.

Sidharta Budha Gautama semula hanyalah seorang pangeran di sebuah kerajaan kecil. Suatu hari dia memutuskan untuk keluar dari istana dan mengadakan suatu perjalanan yang mampu mengubah hidupnya. Pertemuannya dengan orang miskin dan orang mati mampu mengubah pandangan hidupnya, bahkan keseluruhan pribadinya. Perjalanannya itu merupakan satu titik tolak atau titik balik yang mengubahnya.

Perjalanan dapat menjadi suatu perubahan dalam diri manusia. Suatu peristiwa entah suka atau duka, yang ditemukan dalam perjalanan dapat menjadi cahaya dalam hidup dan mengubah pola pikir manusia. Perubahan bisa frontal seperti Paulus atau Sidharta maupun seperti Saul. Perjalanan Saul mengubahnya dari seorang gembala menjadi seorang pemimpin Israel. Saulus yang semula orang musuh agama Kristen berubah menjadi tokoh kekristenan. Sidharta yang semula pangeran yang sangat terjamin hidupnya, berubah total menjadi pertapa yang hidup dalam kemiskinan. Perubahan bukan hanya soal yang menyangkut hal-hal lahiriah, melainkan keseluruhan cara hidup, pandangan, visi dan seluruh kepribadiannya.

Contoh di atas menunjukan bahwa perubahan hidup dimulai dengan sebuah perjalanan. Perubahan hidupku juga dimulai oleh suatu perjalanan. Semula keluargaku tinggal di Bogor yang merupakan daerah muslim yang taat. Suatu saat orang tuaku mendapat tugas di Surabaya, maka mulailah aku memasuki kota Surabaya. Disinilah aku berubah menjadi seorang Katolik dan lebih lanjut menjadi imam. Jika direnungkan, pilihan hidupku ini tidak masuk akal. Aneh. Aku yang dibesarkan dalam agama Islam yang bercampur kejawen memutuskan untuk menjadi Katolik. Aku yang tidak pernah memiliki cita-cita menjadi imam kemudian memutuskan menjadi imam. Kekatolikanku yang hanya terbatas pada misa di hari Natal saja, ternyata berani memutuskan diri untuk menjadi imam.

Aktifitasku terlibat dalam pertemanan dengan anak-anak jalanan dan kaum miskin lainnya juga dimulai dari suatu perjalanan. Aku bersama seorang teman berjalan ke terminal Joyoboyo untuk mencari seseorang. Di terminal aku mulai ngobrol dengan beberapa orang miskin dan perhatianku tertuju pada anak-anak miskin. Mulailah aku sedikit demi sedikit melakukan pertemanan dengan mereka hingga mengumpulkan mereka dan memiliki rumah singgah.

Memang keputusanku untuk menjadi Katolik dan menjadi imam dan terlibat dalam pertemanan dengan kaum miskin, tidak mutlak akibat perpindahan atau kepergianku itu. Saul bisa menjadi raja Israel dan Paulus bisa menjadi rasul juga bukan disebabkan hanya kepergian saja. Banyak hal-hal yang mengubah hidup dalam perjalanan itu. Seandainya Saul menemukan keledainya secepat mungkin, dia pasti akan kembali ke rumah orang tuanya dan mungkin dia akan tetap sebagai warga biasa. Demikian pula dengan Paulus, jika dia tidak mendapatkan penampakan di jalan, kemungkinan dia masih dikenang sebagai salah satu tokoh pembunuh umat Kristen. Maka perjalanan tidak bisa dijadikan tolok ukur suatu perubahan manusia. Pertemuan dengan orang lain dan aneka peristiwa yang direfleksi inilah yang menentukan sebuah perubahan. Seandainya Saul tidak bertemu dengan Samuel, mungkin dia hanya tetap akan menjadi penggembala. Seandainya Saulus tidak bertemu dengan Yesus mungkin dia akan melanjutkan perjuangannya membunuh orang Kristen. Pertemuan tidak langsung mengubah, melainkan perlu waktu untuk merenung. Saulus membutuhkan beberapa tahun untuk merenung sebelum keluar sebagai pewarta. Aneka peritiswa akan berlalu begitu saja jika tanpa sebuah permenungan yang sungguh-sungguh. Dalam buku Sang Alkemis karangan Paulo Coelho, dikatakan bahwa semua peristiwa itu biasa saja. Peristiwa akan menjadi baru dan mengubah jika direfleksikan.

Yesus mengajak orang untuk mengikuti Dia melakukan suatu perjalanan dari Galilea menuju ke Yerusalem. Untuk mengikuti Yesus hanya ada satu syarat yaitu keberanian untuk meninggalkan segala sesuatu, menyangkal diri sendiri dan memikul salib. Suatu syarat yang tidak mudah. Hal ini memang sengaja dilakukan Yesus sebab perjalanan yang dilakukanNya bukan suatu wisata melainkan pewartaan Kerajaan Allah. Perjalanan pertobatan dan pengampunan. Perjalanan belas kasih dan keberpihakan pada kaum miskin dan tertindas. Perjalanan menuju bukit Golgota. Maka sebagai langkah awal untuk menguji keberanian para murid adalah membunuh keegoisan dan keindividualisan untuk mampu dibunuh demi orang-orang yang dilayani.

Kekatolikan adalah suatu perjalanan. Kita telah memutuskan untuk bersama Yesus berjalan menuju bukit Golgota. Suatu perjalanan yang penuh tantangan dan penderitaan. Perjalanan yang telah dimulai dengan pembunuhan diri sendiri dan kesiapan untuk memikul salib. Perjalanan ini sering sangat membosankan, memasuki kegelapan, kesepian, pergulatan dengan diri sendiri, membuat putusa asa dan sebagainya. Beranikah kita terus untuk melakukan perjalanan bersama Yesus? Kita tidak perlu membayangkan untuk menjadi seperti Saul ataupun Saulus, melainkan cukuplah menjadi diri kita, namun ada perubahan pandangan hidup, visi dan sikap hidup yang merupakan hasil sebuah refleksi.

Selasa, 08 November 2011

YIN YANG


Buku I-Ching menuliskan dua prinsip yang menjadi sumber segala eksistensi dan transformasi di alam semesta yaitu Yin-Yang. Yin artinya yang tertutup, yang pasif, mewakili bumi, malam, kegelapan, bulan, betina, air dan sebagainya. Sedangkan Yang yang terbuka, aktif, terang, dan mewakili matahari, langit, jantan, api, aksi, kuat, gembira dan sebagainya. Yin-Yang membentuk sebuah lingkaran yang berarti sempurna dan dibatasi oleh garis lengkung, bukan garis lurus tegas, sebab hendak menggambarkan bahwa keduanya saling mendukung. Menyatu. Bahkan keduanya saling memuat. Dalam Yin ada Yang demikian pula sebaliknya. Hal ini disebabkan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Tidak ada ketotalan. Dalam kebaikan ada kejahatan demikian pula sebaliknya.

Pemahan diatas adalah pemahaman orang yang berusaha masuk dalam dunia filsafat Cina. Bagiku yang awam filsafat, aku hanya berusaha menarik hal sederhana saja. Hal yang bisa dikaitkan dengan hidup kongkrit. Pemahaman Yin-Yang menunjukan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Kebaikan apapun masih ada hitamnya, sebaliknya kejahatan apapun masih ada kebaikannya. Bahkan perpaduan antara putih dan gelap membentuk sebuah lingkaran yang sempurna. Apakah penulis buku I Ching hendak mengatakan bahwa kesempurnaan dunia itu tersusun dari sisi gelap dan putih? Jika demikian maka manusia pun tersusun dari gelap dan putih.

Awal bulan ini TV di rumah singgah dicuri oleh anak yang dipercaya untuk menjaga barang-barang milik bersama. Minggu lalu ada dua anak lagi yang wajahnya masuk dalam koran Memorandum akibat membacok seorang bapak penjual rokok di tepi jalan. Usia bapak ini sudah sekitar 60 th. Kini 3 anak masuk tahanan polsek dan satu anak menjadi buron. Seorang bertanya mengapa aku masih bertahan mendampingi anak-anak yang penuh kejahatan seperti itu? Dia mengusulkan agar aku menutup rumah singgah, sebab mereka semua dalam kuasa kegelapan. Tapi begitu ada niat menutup, maka muncul wajah-wajah yang masih membutuhkan. Wajah yang ketakutan akan tidur di jalanan lagi.

Aku yakin dalam diri anak jalanan yang dianggap jahat masih ada titik-titik baiknya juga. Mereka pasti mempunyai benih kebaikan, hanya tertimbun oleh kejahatan yang diakibatkan situasi dan sejarah buruk hidup mereka. Bagaikan Yin yang memuat Yang. Aku teringat suatu hari ada anak yang bertengkar sampai salah satu sudah hendak mengeluarkan pisau untuk membacok temannya. Setelah kami pisah, salah satu dari mereka pergi. Tidak beberapa lama kemudian dia datang lagi dengan membawa nasi bungkus. Ternyata teman yang hampir dibacok itupun diberi nasi bungkus. Ketika kutanya kok memberi nasi pada anak itu? Dia menjawab bahwa dia kasihan melihat anak itu kelaparan. Dari sini aku terheran-heran, baru saja dia hampir membacoknya akibat kejengkelan hati dan sekarang dia sudah melupakan kejengkelan hatinya dan memberikan sebagian miliknya untuk anak yang telah membuatnya marah. Bukankah ini sebuah aplikasi ajaran Yesus soal pengampunan? Kadang aku sendiri pun tidak mampu begitu mudah melupakan kesalahan orang, ternyata teman ini dapat melakukannya. Bukankah ini sebuah benih kebaikan?

Dalam komunitas anak jalanan ternyata tidak semua anak jalanan mempunyai gambaran mengerikan seperti yang sering dikatakan oleh orang. Tidak semua anak jalanan suka mabuk, mencuri, berkelahi dan sebagainya. Ada anak-anak yang menjadi anak jalanan sebab terpaksa. Mereka tidak mempunyai pilihan hidup yang lain. Memang orang akan mengatakan bahwa itu tidak mungkin. Tapi jika sudah berdekatan dengan mereka dan mendengar kisah hidup mereka sampai menjadi anak jalanan, baru orang akan memahaminya. Ada anak-anak jalanan yang baik, namun karena cerita soal mereka sudah hitam, sehingga semua anak jalanan dianggap hitam. Pengadilan semacam ini yang membuat anak jalanan tidak bisa keluar dari situasi hidupnya saat ini, sebab banyak orang sudah menutup jalan keluar.

Menurut Yin Yang setiap kebaikan pasti masih ada keburukannya. Sebab dalam Yang mengandung Yin. Sekarang tergantung kita mau melihat kemana. Persoalanya banyak orang mudah tertarik melihat warna hitam daripada wahana yang lebih luas. Dalam Yang yang putih itu, banyak orang yang tertarik dengan bulatan Yin di tempat yang paling terang. Tapi sebaliknya banyak orang mengalami kesulitan untuk melihat bulatan Yang yang ada dalam gambaran Yin. Kegelapan atau warna hitam mungkin lebih menarik indra seseorang, sehingga orang lebih mudah melihat hitam di atas putih daripada putih diatas hitam.

Melihat Yin-Yang kita bisa belajar dalam menghadapi dunia. Dalam kejahatan anak jalanan pasti ada kebaikannya. Di dalam kebaikan teman kita pasti ada titik celah yang bisa dikritik. Orang yang berpikir positif akan berusaha mencari kebaikan dalam kejahatan. Atau memaklumi noda hitam yang ada dalam kebaikan, sehingga dia mampu bersyukur atas kebaikan yang ada. Pandangan ini akan memberinya harapan untuk tetap berjuang. Tidak mudah putus asa dan menyerah.

Memaklumi kejahatan anak jalanan bukan berarti aku menyetujui aneka kejahatan yang dilakukan oleh mereka. Aku harus berani menegur dan mengajak mereka berproses untuk menyadari diri dan hidup mereka agar siap keluar dari lingkaran kejahatan. Pemakluman adalah keberanianku untuk tidak memusatkan perhatian pada hal negatif melainkan berusaha mencari titik-titik positif meski sekecil apapun. Dari satu titik itulah aku berusaha menunjukan pada mereka bahwa masih ada sisi diri mereka yang positif dan bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya. Dengan demikian bagiku Yin Yang adalah sebuah bentuk cara pandang untuk senantiasa percaya bahwa di dalam kehidapan anak jalanan yang kelam masih ada sisi baiknya. Bahwa mereka masih mempunyai harapan untuk berubah. Harapan bahwa masih ada hari esok yang lebih baik. Hal ini memberiku semangat untuk terus berteman dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka.

Yesus adalah orang yang berpikir sangat positif. Dia tetap melihat kebaikan dalam diri para murid meski sering kali mereka menunjukan noda-noda hitam. Dia sudah mengetahui Petrus akan berkhianat dan itu sungguh terjadi, namun Dia tetap memberikan kepercayaan. Dia tetap melihat sisi positif dalam diri Petrus. Namun bukan berarti Dia mendiamkan kejahatan. Dia dengan tegas menegur para murid, bahkan Dia juga tidak segan-segan mengkritik para ahli Taurat dan kaum Farisi di depan publik, sebab mereka memiliki sisi gelap dalam hidupnya. Ini bukan bentuk ungkapan kebencian melainkan gebrakanNya terhadap para tokoh masyarakat yang tidak bisa dijadikan teladan agar mereka menyadari akan kekeliruan hidupnya.

Tapi sebaliknya ada orang yang berpikiran negatif, dia akan selalu melihat bagian hitam dalam hidup. Akibatnya dia tidak akan puas dengan banyak hal. Memprotes apa saja yang terjadi. Bahkan mungkin dia tidak puas dengan apa yang ada dalam dirinya. Banyak orang yang menyesali mengapa dia dilahirkan. Mengapa dia tidak mempunyai talenta seperti yang lain dan sebagainya. Orang ini tidak akan mampu bersyukur. Kalau toh dia berdoa, isi doanya hanya akan berisi keluhan dan protes tidak puas pada Tuhan. Hidupnya tidak akan tenang sebab senantiasa melihat hal-hal negatif dalam diri, sesama dan lingkungan.

Aku punya seorang teman yang jika bertemu selalu mengeluh. Ada saja hal yang dijadikan sebagai bahan untuk dikeluhkan. Aku kadang jengkel juga dengannya, sebab bagiku hal yang tidak perlu dipersoalkan, baginya sudah menjadi sebuah persoalan. Akibat memusatkan diri pada pandangan negatif, maka dia tidak bisa menikmati hidup. Dia tidak puas dengan apa yang dimiliki, apa yang terjadi dan apa yang dihadapi. Dia sulit untuk bersyukur dan bergembira. Jika dikritik dia marah, sebaliknya jika dipuji juga tidak senang sebab dia curiga bahwa orang memuji pasti ada maksudnya. Hidupnya penuh dengan kecurigaan dan keluhan. Bagaimana dia bisa bersyukur pada Tuhan jika selalu mengkritik Tuhan yang menganugerahkan hujan dan panas?

Dalam diri anak jalanan memang memuat unsur Yin yang sangat besar. Namun semua itu bukan akhir, sebab mereka juga mempunyai unsur Yang, maka yang terpenting adalah bagaimana kita mulai mencari unsur Yang dalam diri anak jalanan dan memperluasnya. Keberanian untuk melihat unsur Yang akan sangat besar artinya bagi usaha membangun pertemanan dengan anak jalanan. Hal ini pun akan membantu kita untuk berproses melihat unsur Yang dalam aneka peristiwa hidup dan diri kita sendiri. Aku yakin jika kita mampu melihat unsur Yang dalam bagian Yin maka hidup akan menjadi semakin hidup.

Minggu, 06 November 2011

LAMPU YANG RUSAK

Kami duduk melingkar mendengarkan seorang romo yang sedang memberikan renungan. Namun hampir semua dari kami yang berada disitu tidak bisa mendengarkan dengan baik. Hati kami digelisahkan oleh lampu neon. Ada satu lampu neon di tengah ruangan yang berkedi-kedip dan menimbulkan suara mendengung yang cukup keras. Penjaga rumah sudah kami beri tahu tapi dia tidak mempunyai cadangan lampu, maka kami terpaksa mengikuti pertemuan diterangi lampu yang rusak. Aku sama seperti yang lain menjadi merasa tidak nyaman. Sambil berbisik-bisik pada teman disebelah aku mulai mengkritik tempat ini.

Tampaknya romo pembimbing menyadari akan situasi yang tidak mengenakan ini. Maka dia mengatakan agar kami jangan memperhatikan lampu melainkan mulai berusaha menyimak apa yang diuraikannya. Dia mengatakan semakin kami memperhatikan lampu maka kami akan semakin jengkel. Jik kami semakin jengkel maka kami semakin tidak bisa memahami apa yang dikatakan olehnya. Perkataan romo mendorongku untuk berusaha konsentrasi pada materi yang sedang dibahas. Aku berusaha melupakan lampu dan memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh romo pembimbing. Tidak terasa waktu konfrensi sudah selesai.

Di tengah dinginnya udara Pacet aku berusaha merenungkan apa yang baru aku alami tadi. Dalam hidup tidak ada yang sempurna. Hal yang sudah direncanakan matang pun kadang kala masih menimbulkan sesuatu yang tidak sesuai dengan rencana. Beberapa kali aku mengalami kegagalan. Padahal aku sudah mempersiapkan dengan serius. Kegagalan ini membuatku merasa gagal dalam aneka hal. Aku selama beberapa hari bisa tenggelam dalam rasa kecewa, gelisah, ingin berontak dan sebagainya. Jika sudah demikian maka aku enggan melakukan segala sesuatu, sebab seluruh diriku terpusat dalam rasa gagal itu.

Dalam komunitas pun ada saja orang yang kuanggap kurang sesuai dengan yang kuharapkan. Aku ingin menyingkirkannya. Namun aku tidak mampu, sebab dia pun berhak tinggal dalam komunitas. Aku pun tidak bisa melarikan diri dari realita komunitas seperti ini. Aku dipaksa menerima teman-teman sekomunitas apa adanya.

Dalam hal ini hanya dibutuhkan kesiapan untuk menerima apa adanya. Ini butuh kebesaran hati, sebab tidak mudah menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang aku kehendaki. Sering kali aku memimpikan semuanya orang bisa hidup sesuai dengan apa yang kukehendaki. Namun ini mustahil. Setiap orang mempunya gaya hidup sendiri-sendiri. Mereka mempunyai penampilan yang berbeda. Mereka mempunyai karakter dan kepribadian yang unik, sehingga tidak sama dengan kepribadian dan karakterku. Bahkan mungkin bertentangan.

Sebetulnya jika aku tidak suka dengan orang, belum tentu aku tidak suka keseluruhan dirinya. Aku bisa tidak suka akan kepribadiannya atau sikapnya atau gaya hidupnya atau yang lain. Hanya sebagian dari dirinya saja yang tidak kusukai, tapi akibatnya aku tidak menyukai dirinya secara keseluruhan. Sama seperti kejadian tadi. Gara-gara hanya sebuah lampu aku menjadi jengkel. Padahal masih ada 3 lampu lain yang menyala dengan bagus. Aku menjadi tidak suka pada semua pegawai dan pengurus rumah retret ini yang kuanggap tidak tanggap. Aku mengkritik pegawai yang malas, managemen yang tidak profesional sampai pemilik rumah yang pelit dan sebagainya. Dari persoalan lampu yang kecil menjadi melebar kemana-mana. Seolah-olah dalam rumah ini tidak ada yang baik.

Untung romo pembimbing memberikan pencerahan, bahwa jangan memusatkan diri pada sesuatu yang menjengkelkan, melainkan alihkan pandangan ke hal lain. Memang memusatkan diri pada hal negatif jauh lebih mudah. Pernah aku juga menguji sekelompok anak muda. Aku mengambil selembar kertas putih dan memberikan titik hitam. Ketika kutanya apa yang mereka lihat, hampir semua mengatakan sebuah titik hitam dalam sebidang kertas putih. Mengapa jawaban tidak dibalik yaitu sebidang kertas putih yang mempunyai titik hitam? Sebab memang titik hitam itu menarik perhatian. Semua orang memusatkan pada titik itu. Hal hitam dan negatif sangat mudah dilihat dan diingat oleh orang.

Demikian pula dalam hidup. Titik hitam seseorang sering kali diingat dan menjadi pusat perhatian. Akibatnya semua lembaran hidup putih lain yang dimilikinya seolah tidak pernah ada, kalau toh ada dianggap sebagai sebuah hal yang biasa atau bahkan dilupakan. Seorang teman pernah tertangkap mencuri barang. Dia harus menjalani hidup selama beberapa bulan didalam penjara. Ketika keluar dari penjara sedikit sekali orang yang berani memberikan kepercayaan padanya. Semua orang melihatnya sebagai bekas pencuri. Padahal sebelum mencuri banyak orang percaya padanya. Dia mencuri pun akibat terdesak tuntutan keluarga sebab orang tuanya sakit dan membutuhkan banyak biaya. Barang yang dicuri pun bukanlah barang mahal, hanya beberapa peralatan dapur dan makan. Dia menjualnya hanya laku Rp 150.000. tapi akibat semua itu dia sudah dianggap sebagai orang yang penuh dengan dosa. Seluruh hidupnya hitam kelam.

Kupandang langit yang hitam. Seandainya tidak hitam pasti bintang tidak akan tampak indah seperti malam ini. Gelap pun dibutuhkan dalam dunia. Gelap pun bisa menambah keindahan alam. Mengapa aku selalu ingin semuanya putih dan terang? Hidupku pun tersusun dari hitam dan putih. Gelap dan terang. Keberhasilan dan kegagalan. Sikap buruk dan baikku. Semua membentukku menjadi diriku saat ini. Aku tidak akan berkembang bila hanya memusatkan diri pada hal buruk atau kegagalan dalam hidupku. Aku tidak bisa bersyukur pada Allah bila hanya memusatkan pandangan pada hal negatif dan menjengkelkan yang melekat pada diriku.

Syukur romo tadi menyadarkan aku akan hal itu. Keberanian untuk tidak lari dari kekurangan yang ada namun tidak memusatkan diri padanya. Tidak berusaha berontak akan kekurangan yang ada, melainkan menerimanya. Sebab semakin berontak akan semakin menjengkelkan dan membuatku tidak berkembang.

Jumat, 04 November 2011

SEBOTOL MINYAK GORENG

Suatu hari ibu menyuruhku untuk membeli minyak goreng. Aku mengajak kedua adikku untuk pergi ke warung yang tidak seberapa jauh dari rumah. Dalam perjalanan pulang kami berkejaran di pematang sawah. Namun sial, aku terjatuh dan terperosok masuk ke sawah. Botol minyak yang kubawa pecah. Minyak tumpah di sawah. Sejenak kami termangu. Kami sudah membayangkan wajah ibu yang akan marah dan mengomel lama sekali. Minyak ini akan digunakan untuk menggoreng lauk untuk makan siang ini. Rasa sedih dan bersalah merasuk dalam dadaku.

Kami duduk di pematang sawah tanpa bicara. Ada perasaan takut, sedih, menyesal dalam hati. Aku hampir menangis, bukan karena hanya takut dimarahi oleh ibu, namun menyesal telah memecahkan botol minyak. Aku menyesali kecerobohanku. Tidak melakukan tugas dengan baik. Aku sedih mengingat bahwa ibu harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli minyak, padahal aku tahu bahwa ibu tidak mempunyai banyak uang. Kami sangat miskin. Bila aku punya uang mungkin rasa sesal itu tidak sebegitu besar sebab aku akan menggantikannya. Namun aku tidak punya uang satu rupiah pun. Sesaat kami hanya duduk menatap minyak yang mulai terserap oleh tanah. Ingin aku mengulangi perjalanan dan tidak berkejaran sehingga tidak jatuh dan memecahkan botol minyak. Aku menyesal mengapa tadi bergurau dan berlarian. Namun semua sudah terjadi. Kami harus pulang apapun akibatnya.

Dengan langkah berat kami menyusuri jalan pulang. Kami tidak bicara sesuatu pun. Semakin mendekati rumah, hatiku semakin takut dan galau. Aku melihat ibu duduk di teras rumah dengan seorang tamu. Semakin dekat dengan teras, kakiku semakin berat. Ingin rasanya menangis. Di teras kulihat ibu tersenyum. Dengan lembut dia tanya mana minyak yang harus kami beli? Sejenak aku hanya bisa tertunduk takut menatap wajah ibu. Dengan suara bergetar aku katakan bahwa minyaknya tumpah di sawah. Aku sempat melirik wajah ibu. Dia tetap tersenyum. Lalu dengan lembut dia menyodorkan uang dan menyuruhku untuk membeli minyak lagi dengan peringatan agar aku tidak lari-lari lagi di sawah.

Perkataan ibu itu bagiku sebagai suatu berkat. Aku sangat bahagia sekali. Sepertinya ada beban besar yang terlepas dari diriku. Ingin rasanya aku melonjak kegirangan dan memeluk ibu saat itu juga. Aku merasakan kebahagiaan yang tidak terkirakan. Aku yang bersalah dan ketakutan akibat kesalahanku, ternyata tidak dipersoalkan oleh ibu. Meski sedih ibu memberiku uang lagi. Ibu mempercayaiku lagi tanpa kemarahan yang aku bayangkan selama perjalanan ke rumah. Tanpa komando untuk kedua kali aku langsung berlari ke warung lagi dengan penuh suka cita.

Pengalaman ini membuatku bisa merasakan betapa bahagianya si anak bungsu yang diterima lagi oleh bapanya (Luk 15:11-32). Dia tidak hanya diterima bahkan dibuat spesial dengan perhiasan dan pesta. Dia yang telah berdosa dan takut akan bapanya, ternyata ketakutannya itu tidak terjadi bahkan sebaliknya menjadi suka cita. Aku yakin meski tanpa pesta pun anak itu sudah menjadi bahagia, sebab bapanya menerima dia kembali. Dia pun sudah menetapkan sejak mau berangkat pulang bahwa dia akan menjadi pegawai bapaknya. Dia sadar akan ketidakpantasannya akibat tindakannya selama ini. Dia sadar bahwa akibat perbuatannya dia sepantasnya mendapatkan hukuman. Namun bapanya memberikan jauh lebih besar dari apa yang dia harapkan. Bapanya tidak saja mengampuni, namun memperlakukannya secara istimewa. Kebahagiaan anak bungsu ini menjadi berlipat dan tidak terkatakan.

Salah satu amanat Yesus yang harus diwartakan oleh para murid adalah berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa (Luk 24:46-53). Kamu adalah saksi akan semua itu. Yesus datang ke dunia untuk mencari dan mengampuni orang yang berdosa. Dosa-dosaku yang tidak terhitung diampuniNya. Allah selalu berusaha mengampuni manusia “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.” (Yes 1:18). Sebenarnya ada perbedaan mendasar dalam Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, Allah akan menghukum orang yang berdosa atau orang yang berani melawan Allah (bdk Yes 1:19). Sedangkan dalam Perjanjian Baru Yesus menunjukkan kasih Allah yang sangat besar. Dia akan memberikan hujan dan matahari yang sama baik untuk orang jahat maupun orang baik (Mat 5:45). Yesus pun diutus untuk mencari domba yang hilang. Dia datang ke dunia untuk memanggil orang berdosa agar mereka bertobat, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat” (Luk 5:32). Perutusan ini pula yang diberikan oleh Yesus kepada para murid setelah Dia bangkit.

Belas kasih Allah yang mengampuni dosa kita bukan berarti bahwa kita dipersilahkan untuk berbuat dosa, sebab toh Allah siap mengampuninya. Bagiku hal ini kurang tepat. Allah memang mengampuni dosaku. Dia menerimaku kembali tanpa memberikan hukuman, bahkan aku diangkatNya sebagai anak bukan budak atau hamba dan Allah menjanjikan akan kebahagiaan surgawi. Namun belas kasih ini diberikan padaku agar aku bertobat. Pengampunan diberikan agar aku tidak melakukan dosa lagi. Pada Perjanjian Lama Allah menghukum orang berdosa, ternyata hukuman tidak membuat jera. Manusia masih berbuat dosa. Maka Yesus datang dengan memberikan cara baru. Dia mengampuni orang berdosa agar mereka bertobat. Kesadaran akan pengampunan ini membuat orang merasakan suka cita. Aku merasakan suka cita sebab ibu tidak marah. Ketidakmarahan ibu membuatku melihat belas kasih yang besar. Hal ini bukan berarti aku boleh berlarian lagi sehingga menumpahkan minyak, melainkan membuatku semakin hati-hati agar tidak berbuat kesalahan yang sama.

Aku bayangkan seandainya ibu marah dan mengomel atau sampai memukul, mungkin rasa sesalku akan berubah menjadi rasa marah baik pada diri sendiri maupun pada adikku yang tadi mengajakku berlarian. Hukuman membuat orang cenderung membuat pertahanan diri. Entah dengan memberikan alasan yang tepat agar tidak disalahkan atau mulai mencari kambing hitam agar kesalahannya tidak tampak. Pengampunan dan belas kasih membuat orang sadar akan dosanya dan menyesalinya. Dia tidak akan marah dan mencari kambing hitam.

Suka cita yang tidak terperikan adalah suka cita yang ditimbulkan oleh kesadaran akan belas kasih Allah yang besar meski aku orang berdosa. Suka cita bukan karena Tuhan memberikan kelimpahan harta, namun suka cita pengampunan dosa. Aku yang pendosa senantiasa diberi kesempatan untuk bertobat. Ditunggu untuk kembali ke rumahNya kapan saja aku mau. Suka cita ini membuatku bertobat.

Rasa suka cita pengampunan bukan hanya aku simpan dan menjadi milikku pribadi, namun harus dibagikan pada sesama. Namun hal itu tidak mudah, sebab aku masih sering sulit mengampuni sesama. Aku tidak ubahnya seperti hamba yang memohon belas kasih pada Allah untuk melepaskan hutang-hutangku, namun aku tidak mau melepaskan hutang orang yang berhutang padaku (Mat 18:21-35). Aku memohon agar Allah mengampuni dosaku, namun aku tidak mau mengampuni dosa sesamaku. Aku ingin mendapatkan suka cita pengampunan, namun aku tidak mau memberikan suka cita itu pada sesama. Aku merasa Allah wajib mengampuniku, namun aku tidak wajib mengampuni sesamaku. Aku bebas menyakiti hati Allah, namun hatiku tidak boleh disakiti.

Kesadaran suka cita pengampunan seharusnya bukan hanya membuatku bertobat. Tidak melakukan dosa yang sama, melainkan juga menumbuhkan dalam diriku keberanian untuk mengampuni dosa sesamaku. “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat 6:12). Jelas dalam doa yang diajarkan oleh Yesus, bahwa pengampunan yang aku terima dari Allah merupakan buah dari pengampunan yang aku berikan pada sesama. Bila aku sulit mengampuni sesama maka aku juga sulit diampuni oleh Allah. Hal ini juga dapat dilihat secara lain, bahwa pengampunan itu tidak mudah. Aku sudah sering sulit mengampuni sesama, maka dapat aku bayangkan sendiri betapa berat Allah mengampuniku yang senantiasa berbuat dosa. Kesadaran ini membuatku hati-hati agar aku tidak mudah berbuat dosa, meski Allah siap mengampuni.

Namun pengampunan pada sesama baru dapat kulakukan bila aku sudah pernah merasakan suka cita pengampunan dari Allah atau dari sesama. Bila aku tidak pernah merasakan diampuni, maka sulit rasanya untuk mampu mengampuni sesama. Seandainya aku tidak pernah memiliki pengalaman diampuni ibuku sebab memecahkan botol minyak, maka aku juga tidak pernah merasakan betapa bahagianya pengampunan itu. Anak-anak yang di rumah singgah hidup penuh dengan dendam. Mereka sulit untuk memberikan pengampunan. Bagi mereka hukum sudah jelas yaitu mata ganti mata, gigi ganti gigi. Mereka bersikap seperti itu sebab mereka belum pernah merasakan indahnya diampuni. Bila mereka berbuat kesalahan maka mereka dihukum baik dengan kata maupun siksaan tubuh. Pengalaman hukuman bagi orang berdosa membuat merekapun akan melakukan hukuman bagi sesamanya yang dianggap salah oleh mereka. Maka aku bayangkan seandainya semua orang pernah merasakan indahnya pengampunan mungkin dunia ini akan lebih baik. Tidak ada lagi aneka tindak kekerasan yang dapat merugikan banyak manusia. Seandainya banyak orang berbagi keindahan pengampunan maka akan semakin banyak orang akan berusaha mengampuni. Ya aku hanya bermimpi dan berandai-andai.

Kamis, 03 November 2011

CHIKO


Sore itu kami sedang duduk di ruang tamu. Diluar hujan turun dengan derasnya. Tiba-tiba adikku masuk. Tubuhnya basah kuyup. Dia menggendong Chiko sambil mengomel panjang lebar. Tidak lama kemudian sudah terdengar dengkingan Chiko dari kamar mandi. Chiko adalah seekor anjing kecil. Aku tidak tahu jenis apa. Tinggi tubuhnya tidak lebih dari 25 cm. Bulunya putih dan panjang. Sangat lucu. Chiko suka main air hujan. Maka ketika hujan turun langsung adikku mencarinya. Ketika tidak diketemukan di rumah, dia segera keluar rumah mencarinya di tengah guyuran hujan.

Tidak berapa lama kemudian adikku sudah keluar dari kamar mandi dan mulai mengeringkan tubuh Chiko dengan handuk. Dia lalu menyuruh Chiko duduk dekat kami berkumpul. Tidak sampai 5 menit Chiko sudah lari keluar dan berguling-guling di teras. Padahal lantai teras masih berupa tanah, akibatnya tubuh Chiko kotor kembali. Penuh dengan tanah. Melihat hal itu adikku langsung berteriak-teriak memarahi Chiko. Aku hanya tertawa dan menggodanya. Percuma memarahi anjing yang tidak mampu memahami bahasa manusia.

Hujan sudah reda. Aku segera pulang ke Surabaya. Dalam perjalanan pulang dari rumah ibu, aku membayangkan kembali peristiwa adikku dengan Chiko. Aku bisa memahami kejengkelannya. Dia sudah susah-susah mencari sampai basah kuyup lalu ketika menemukan dia menggendongnya. Dia memandikan dengan sampho yang dia biasa gunakan. Setelah itu dia mengeringkan dengan handuk, tapi tidak lama kemudian Chiko sudah berguling-guling di tanah yang kotor lagi. Jelas hal ini membuat jengkel saja. Maka ketika jengkel adikku mengambil rantai dan merantai Chiko. Katanya sebagai pelajaran. Apakah Chiko akan faham akan hukuman yang diberikan oleh adikku? Apakah besok kalau setelah dimandikan dia tidak akan berguling kembali di tanah? Apakah kalau hujan dia tidak akan main-main di luar lagi? Aku tidak yakin sebab Chiko bukanlah adikku. Dia hanya seekor anjing yang menuruti keinginannya saja.

Lamunanku membawa pada hubunganku dengan Tuhan. Chiko adalah gambaran diriku. Aku tidak jarang masuk dalam sebuah bahaya dosa. Aku menikmati bermain-main dalam dosa seperti Chiko menikmati main-main air hujan. Aku tidak menyadari bahaya akan tindakanku. Aku yakin Allah mengetahui dan kuatir akan keselamatan jiwaku, namun aku tidak. Aku tetap bermain dan menikmati apa yang aku anggap menyenangkan.

Dosa pada umumnya sangat menyenangkan meski akibat dari dosa seringkali menimbulkan sakit dan luka yang dalam. Bahkan tidak jarang dosa menghantui seumur hidupku. Menimbulkan penyesalan yang panjang. Namun meski aku tahu akibatnya pun aku tetap melakukan dosa. Aku tidak pernah berhenti melakukan dosa dalam aneka bentuk tindakan. Chiko lebih baik, sebab dia main air hujan tanpa tahu akibatnya. Dia hanya ingin bermain. Sedangkan aku tahu akibat dosa. Tuhan telah memberiku akal budi yang cukup sehingga membuatku bisa mempertimbangkan sebuah tindakan. Aku bisa memilih sebuah tindakan dosa atau bukan. Namun aku tetap memutuskan untuk melakukan. Ini lebih parah dari Chiko.

Seringkali aku membuat aneka alasan untuk berbuat dosa. Melakukan pembenaran diri atau memaafkan diri dengan alasan banyak orang yang melakukan atau itu hal biasa dalam hidup. Sebuah warna lain dari hidup dan aneka alasan yang lain. Namun jika jujur aku tahu bahwa aku salah dalam mengambil keputusan. Tidak ada dosa yang terjadi secara tidak sengaja. Semua sudah aku pertimbangkan dan dengan kesadaran penuh. Chiko lari ke jalanan yang hujan aku yakin tidak didasari oleh pertimbangan kesadaran yang penuh dan akal budi yang cukup. Chiko tidak mempunyai kesadaran seperti yang aku miliki.

Namun dosa-dosaku tidak menyurutkan Allah untuk menyelamatkan. Dia mengutus PutraNya untuk datang ke dunia dan menyelamatkan aku. Dia masuk dalam lingkungan yang penuh dengan dosa dan mencariku. Ketika ditemukan aku digendongnya, seperti adikku menggendong Chiko. Namun bedanya Yesus tidak semarah adikku. Dia tidak pernah mengomel ketika menggendongku. Bahkan Dia mengatakan bersukacita seperti seorang janda yang menemukan satu keping dinarnya yang hilang. Allah bersuka cita ketika menemukan aku yang berdosa.

Aku disucikan oleh Allah dengan baptisan. Seperti adikku membersihkan Chiko dari segala lumpur dengan shampo yang digunakannya. Yesus menyelamatkan aku dengan tetesan darahNya. Ini lebih dari shampo. Dia mengurbankan diriNya demi membersihkan diriku sehingga aku layak dan pantas untuk duduk dan bersamanya di dalam kerajaanNya. Namun aku sering tidak menyadari hal ini. Maka seperti Chiko setelah baptis pun aku lalu lari kembali pada kesenanganku. Berguling-guling dalam dosa. Aku tidak mampu mempertahankan kebersihan diri dan jiwaku. Gereja menyediakan sakramen tobat, dimana aku memohon ampun atas segala dosa dan membangun niat ingin kembali kepada Allah. Namun buah sakramen tobat tidak berlangsung lama. Aku masuk kembali dalam dosa. Seolah denda belum aku laksanakan sudah ada dosa lagi yang aku lakukan.

Allah tidak seperti adikku yang langsung marah ketika melihat Chiko berlari kembali ke teras yang kotor. Allah memberikan aku kebebasan. Dia membiarkan aku memilih sebuah pilihan hidup. Dia tidak merantaiku sehingga aku tidak bisa bergerak. Alalh memberiku kebebasan untuk memilih apa yang hendak aku lakukan. Allah adalah bapa yang baik. Dia menungguku dan menyosongku ketika aku pulang kembali padaNya setelah mengecewakanNya. Gereja senantiasa terbuka bagi orang berdosa yang ingin kembali. Namun sayang ada orang yang arogan sehingga menutup pintu Gereja bagi orang berdosa yang ingin bergabung kembali. Banyak orang yang merasa berdosa tidak mau masuk kembali dalam Gereja sebab dia merasa ditolak oleh sesamanya. Padahal Allah tidak pernah menolak, bahkan Dia sangat bersuka cita dan berharap orang berdosa akan kembali lagi dalam pangkuanNya.

Aku tidak ubahnya seperti Chiko yang lebih suka menuruti kesenanganku sendiri daripada taat pada kehendak Allah. Padahal Allah sudah berbicara dengan bahasa yang aku mengerti. Bertindak yang bisa aku lihat. Allah sudah menjadi bagian dari manusia. Ini berbeda antara adikku dengan Chiko. Adikku berbicara dalam bahasa manusia yang tidak dimengerti seekor anjing. Dia tidak menjadi anjing agar Chiko melihat keteladanannya. Jika Chiko tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh adikku hal ini wajar, sebab ada perbedaan besar antara keduanya. Sedangkan aku dengan Yesus tidak ada bedanya. Dia juga manusia yang berbicara dalam bahasa manusia. Aku faham apa yang dikehendakiNya. Aku bisa melihat keteladananNya. Namun aku masih tidak taat.

Melihat Chiko mengotori tubuhnya kembali, adikku kecewa. Dia merasa apa yang sudah dilakukannya menjadi sia-sia. Jika aku berguling dalam dosa, aku yakin Yesus kecewa melihat keputusanku. Namun Dia tidak mengomel. Dia mungkin hanya menatapku dengan sedih sama seperti ketika Dia menatap Petrus yang mengkhianatiNya. Sama dengan ketika Dia mempersilakan Yudas menjalankan segala rencananya. Aku bayangkan ada nada getir ketika Yesus mempersilahkan Yudas.

Allah sudah sering kecewa dengan pilihan tindakanku. Aku pun sadar akan hal itu, namun aku lemah dan sering jatuh. Apakah keyakinan kasih Allah yang tidak menghukumku ini membuatku tidak takut berbuat dosa? Apakah Allah sengaja membiarkan aku berbuat dosa? Aku yakin tidak. Sama seperti ketika Yesus berhadapan dengan kaum Farisi yang mempersoalkan perceraian. Dia mengatakan bahwa akibat kekerasan hati merekalah maka Musa memberikan surat cerai. Ya ketegaran hatilah yang membuatku berulang kali jatuh dalam dosa. Ketegartengkukkanlah yang membuatku masuk dalam dosa. Tanggung jawab ini tidak bisa dilemparkan pada Allah, melainkan aku harusnya bersyukur bahwa Allah masih memberiku kesempatan untuk bertobat dan tetap memberiku kebebasan untuk memilih apa yang hendak aku lakukan. Allah tidak seperti adikku yang membawa rantai dan memberikan hukuman atas segala tindakanku. Aku hanya harus menanggung konsekwensi atau akibat dari apa yang aku lakukan. Aku harus memetik buah dari dosa.

Pengalaman sore ini menyadarkan aku bahwa aku tidak lebih baik dari Chiko, seekor anjing kecil yang suka main air hujan.

Powered By Blogger