Senin, 30 September 2013
KOPI Rp 2000 AJA ENAK KOK.....
“Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh 10:10)
Banyak orang Katolik yang terpengaruh oleh teologi sukses sering mengatakan bahwa jika kita dekat dengan Tuhan maka Dia akan melimpahkan segalanya. Dasar argumen mereka adalah ayat di atas dan masih banyak ayat lain terutama dalam Perjanjian Lama. Teologi sukses memang menekankan adanya imbalan dari Allah berupa materi bagi siapa saja yang dekat denganNya. Mereka juga mengatakan bahwa bila kita memberi untuk Allah maka akan mendapatkan ganti 100 kali lipat. Atau jika mereka terus berdoa maka Allah akan memberikan apa yang mereka butuhkan secara berkelimpahan. Pendek kata semua ditekankan pada pemenuhan kehidupan duniawi.
Banyak teolog yang sudah menyanggah ajaran teologi sukses, sebab ada jutaan orang pengikut Kristus yang hidup dalam kemiskinan dan penindasan. Jika pengikut Kristus pasti kaya atau mendapat kelimpahan dari Allah, maka akan ada jutaan pengikut Kristus yang kecewa, sebab mereka masih berada dibawah garis kemiskinan. Dulu salah satu yang membuat Karl Marx jengkel dengan ajaran agama adalah agama dianggap telah menina bobokkan umatnya dengan janji-janji kebahagiaan di surga meski di dunia ini menderita. Baginya kemakmuran harus dirasakan oleh rakyat saat ini di dunia. Bukan nanti setelah mati. Kesejahteraan hanya dapat diraih melalui revolusi dimana rakyat berkuasa dan semua kekayaan dibagi rata. Maka dia mengatakan agama adalah candu bagi masyarakat. Suatu bentuk peninabobokan masyarakat akan situasi hidupnya yang menderita sehingga para kapitalis tetap dapat hidup tenang.
Aku bukan pengikut Karl Marx juga bukan pengikut teologi sukses. Aku percaya bahwa orang yang dekat dengan Allah maka dia akan mendapatkan kelimpahan. Hal ini bukan berarti bahwa dengan beriman aku akan mendapatkan kekayaan berlimpah seperti ajaran para penganut teologi sukses. Iman bukan untuk mencari kekayaan. Tetapi aku juga tidak percaya bahwa janji Allah hanya dipenuhi pada saat setelah mati, sebab ajaran agama bukan hanya untuk hidup setelah mati, tetapi juga saat hidup di dunia ini. Kelimpahan dari Allah harus sudah aku rasakan saat ini.
Menurutku jika orang dekat dengan Allah maka dia akan mensyukuri segala sesuatu yang dia terima dari Allah. Dia bersyukur ketika hujan. Dia juga bersyukur ketika panas. Dia bersyukur atas semua penghasilan yang diterimanya hari ini. Jika hari ini mendapat Rp 10.000 dia akan bersyukur, tetapi dia akan terus berjuang bagaimana caranya agar mendapatkan Rp 15.000. Tidak berhenti dengan apa yang diperolehnya saat ini. Bersyukur itu bukan hanya pasif atau menerima begitu saja situasi dan kondisi hidup kita dengan mimpi bahwa suatu saat kita akan mendapat kelimpahan dari Allah. Bersyukur itu tetap menuntut kita untuk aktif berjuang keluar dari situasi hidup yang kurang bagus. Apapun hasil dari perjuangan ini kita syukuri sebagai berkat Allah yang berlimpah dalam hidup kita, sehingga kita tidak mudah protes atau mengeluh.
Dengan dekat dengan Allah maka kita akan melihat bahwa segala yang kita terima saat ini adalah berkat yang berlimpah dari Allah meski mungkin itu hanya kopi seharga Rp 2000 saja. Semua hal meski sederhana akan kita terima dengan penuh syukur bila kita melihatnya sebagai berkat dari Allah. Kedekatan dengan Allah membuat hidup kita penuh kelimpahan bukan diartikan bahwa kita akan menjadi kaya raya tetapi kita bisa melihat semua yang kita alami, hadapi, terima, nikmati dan sebagainya sebagai berkat dari Allah yang berlimpah dalam hidup kita.
Rabu, 18 September 2013
MEMBANGUN KERAJAAN ALLAH
“Tetapi carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu.” (Luk 12:31)
Ayat ini sering diucapkan oleh orang-orang yang mengajak orang lain untuk melakukan pelayanan. Orang yang diajak menolak sebab merasa bahwa waktunya sudah habis untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup. Maka orang yang mengajak akan mengutip ayat ini. Dia hendak menekankan bahwa kita tidak perlu kuatir akan kebutuhan pokok kita, sebab bila kita mencari Kerajaan Allah maka semua itu akan dicukupkan oleh Allah. Memang pada ayat-ayat sebelumnya tertulis bahwa Allah tahu akan kebutuhan pokok kita sehingga kita tidak perlu cemas. Hal ini dipertentangkan dengan orang yang tidak percaya pada Allah. Mereka cemas tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Pemahaman ini bagiku dapat menjadi bumerang. Dalam pelayanan tidak jarang orang akan menghadapi aneka masalah. Perpecahan dalam komunitas, fitnah, waktu yang banyak tersita, dan sebagainya. Belum lagi soal ekonomi yang dapat menjadi semakin sulit. Akibatnya orang menganggap ayat ini salah atau hanya sebuah peninabobokan belaka. Inilah bahayanya bila ayat-ayat Kitab Suci dikaitkan dengan janji kemakmuran.
Tetapi apakah ayat itu salah? Firman Allah tidak pernah salah. Kitalah yang sering menafsirkan secara salah. Menurutku, yang tentu saja dapat salah, ayat itu benar sejauh diterapkan secara benar dalam kehidupan. Allah memerintahkan agar kita pertama-tama mencari Kerajaan Allah. Kerajaan Allah bukan hanya situasi setelah mati atau surga, melainkan juga komunitas di dunia yang hidup seperti yang diajarkan oleh Yesus. Komunitas yang hidupnya berdasarkan kasih pada Allah dan sesama seperti kasih pada dirinya sendiri. Dengan kasih ini mereka akan berbagi, solider, melayani dan sebagainya. Komunitas inilah yang perlu dibangun. Jika kita hidup dalam komunitas seperti ini maka kita tidak perlu kuatir akan kekurangan, sebab setiap orang akan berani berbagi miliknya. Hal ini bukan berarti kita tidak perlu bekerja sehingga kita bergantung pada orang lain. Rasul Paulus melihat hal itu maka dia dengan tegas mengatakan “Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2Tes 3:10). Sebaliknya kita harus bekerja keras agar dapat berbagi. “Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan.” (Ef 4:28). Tetapi bila segala daya upaya kita menemui jalan buntu dan gagal, maka kita akan dapat tetap tenang sebab ada komunitas yang siap berbagi.
Dengan demikian ayat ini benar sejauh kita berupaya membangun Kerajaan Allah. Pembangunan Kerajaan Allah adalah pembangunan budaya kasih dalam masyarakat. Saat ini di negara kita yang berdasarkan agama, banyak sekali orang kelaparan, sakit tidak dapat berobat dan hidup dalam aneka kemiskinan. Mereka sudah berjuang keras agar dapat hidup lebih baik, tetapi usaha mereka gagal karena tidak ada kesempatan, ditindas dan dimanipulasi oleh pemilik modal atau penguas dan sebagainya. Disisi lain ada orang hidup berkelimpahan yang memboroskan uang demi kenikmatan atau gengsi, misalnya pejabat membeli jam tangan seharga 100 juta, pesta hari raya menghabiskan dana 1 M, dan sebagainya. Orang miskin akan tetap menjadi miskin dan bahkan mungkin semakin miskin sebab orang kaya semakin serakah. Jika ayat ini kita terapkan dalam kehidupan maka rakyat kita akan sejahtera, sebab orang yang kaya berani berbagi pada orang miskin dan orang miskin tetap berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Inilah tugas kita yaitu membangun Kerajaan Allah. Jika kehidupan masyarakat sejahtera maka kita pun akan sejahtera.
Ayat ini sering diucapkan oleh orang-orang yang mengajak orang lain untuk melakukan pelayanan. Orang yang diajak menolak sebab merasa bahwa waktunya sudah habis untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup. Maka orang yang mengajak akan mengutip ayat ini. Dia hendak menekankan bahwa kita tidak perlu kuatir akan kebutuhan pokok kita, sebab bila kita mencari Kerajaan Allah maka semua itu akan dicukupkan oleh Allah. Memang pada ayat-ayat sebelumnya tertulis bahwa Allah tahu akan kebutuhan pokok kita sehingga kita tidak perlu cemas. Hal ini dipertentangkan dengan orang yang tidak percaya pada Allah. Mereka cemas tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Pemahaman ini bagiku dapat menjadi bumerang. Dalam pelayanan tidak jarang orang akan menghadapi aneka masalah. Perpecahan dalam komunitas, fitnah, waktu yang banyak tersita, dan sebagainya. Belum lagi soal ekonomi yang dapat menjadi semakin sulit. Akibatnya orang menganggap ayat ini salah atau hanya sebuah peninabobokan belaka. Inilah bahayanya bila ayat-ayat Kitab Suci dikaitkan dengan janji kemakmuran.
Tetapi apakah ayat itu salah? Firman Allah tidak pernah salah. Kitalah yang sering menafsirkan secara salah. Menurutku, yang tentu saja dapat salah, ayat itu benar sejauh diterapkan secara benar dalam kehidupan. Allah memerintahkan agar kita pertama-tama mencari Kerajaan Allah. Kerajaan Allah bukan hanya situasi setelah mati atau surga, melainkan juga komunitas di dunia yang hidup seperti yang diajarkan oleh Yesus. Komunitas yang hidupnya berdasarkan kasih pada Allah dan sesama seperti kasih pada dirinya sendiri. Dengan kasih ini mereka akan berbagi, solider, melayani dan sebagainya. Komunitas inilah yang perlu dibangun. Jika kita hidup dalam komunitas seperti ini maka kita tidak perlu kuatir akan kekurangan, sebab setiap orang akan berani berbagi miliknya. Hal ini bukan berarti kita tidak perlu bekerja sehingga kita bergantung pada orang lain. Rasul Paulus melihat hal itu maka dia dengan tegas mengatakan “Sebab, juga waktu kami berada di antara kamu, kami memberi peringatan ini kepada kamu: jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” (2Tes 3:10). Sebaliknya kita harus bekerja keras agar dapat berbagi. “Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan.” (Ef 4:28). Tetapi bila segala daya upaya kita menemui jalan buntu dan gagal, maka kita akan dapat tetap tenang sebab ada komunitas yang siap berbagi.
Dengan demikian ayat ini benar sejauh kita berupaya membangun Kerajaan Allah. Pembangunan Kerajaan Allah adalah pembangunan budaya kasih dalam masyarakat. Saat ini di negara kita yang berdasarkan agama, banyak sekali orang kelaparan, sakit tidak dapat berobat dan hidup dalam aneka kemiskinan. Mereka sudah berjuang keras agar dapat hidup lebih baik, tetapi usaha mereka gagal karena tidak ada kesempatan, ditindas dan dimanipulasi oleh pemilik modal atau penguas dan sebagainya. Disisi lain ada orang hidup berkelimpahan yang memboroskan uang demi kenikmatan atau gengsi, misalnya pejabat membeli jam tangan seharga 100 juta, pesta hari raya menghabiskan dana 1 M, dan sebagainya. Orang miskin akan tetap menjadi miskin dan bahkan mungkin semakin miskin sebab orang kaya semakin serakah. Jika ayat ini kita terapkan dalam kehidupan maka rakyat kita akan sejahtera, sebab orang yang kaya berani berbagi pada orang miskin dan orang miskin tetap berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Inilah tugas kita yaitu membangun Kerajaan Allah. Jika kehidupan masyarakat sejahtera maka kita pun akan sejahtera.
Jumat, 02 Agustus 2013
DONA DONA DONA
Suatu hari aku mendengarkan lagu berjudul Donna Donna Donna yang dinyanyikan Joan Baez. Sebuah lagu kuno yang dulu waktu kecil sering aku dengar dinyanyikan oleh kakak-kakak mahasiswa yang sedang makan di rumah. Beberapa teman mengatakan lagu itu menjadi soundtrack film Gie. Sayang aku tidak nonton film itu. Semula aku mengira lagu itu bercerita tentang gadis yang bernama Donna, tetapi waktu membaca liriknya ternyata bukan. Dari Wikipedia aku tahu bahwa lagu itu merupakan ungkapan seorang Yahudi yang melihat kekejaman Nazi.
Lagu Donna Donna Donna diciptakan oleh Aaron Zeitlin (1898-1973) dan Sholmon Secunda (1894-1974) sebagai komposernya. Lagu ini menceritakan seekor sapi yang akan dibawa ke pembantaian. Dia sedih dan tidak tahu mengapa dia harus dipotong. Seorang petani mengatakan agar sapi tidak perlu mengeluh. Bahkan dia menyalahkan mengapa sapi tidak mempunyai sayap seperti burung walet yang dapat terbang bebas. Kepedihan hati sapi ini ditertawakan oleh angin dan walet yang bebas terbang di angkasa. Refrein Donna Donna Donna semula adalah Dana Dana. Dana sebetulnya merujuk pada Adonai atau Allah yang perkasa. Sebuah sebutan lain bagi Allah, sebab orang Yahudi takut menyebut Allah dengan sebutah Yahweh seperti nama yang diberikan Allah kepada Musa. Maka Dana Dana adalah teriakkan sapi itu kepada Allah. Sebetulnya lagu ini mengisahkan bangsa Yahudi yang digambarkan sebagai sapi yang akan dibawa ke tempat pembantaian oleh Nazi pada saat perang dunia kedua. Mereka diolok mengapa menjadi Yahudi sehingga tidak dapat bebas dan terbang tinggi. Lagu ini menjadi terkenal setelah liriknya diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Arthur Kevess dan Teddi Schwart lalu dinyanyikan oleh Joan Baez pada tahun 1960. Judulnya yang semula Dana Dana berubah menjadi Donna Donna.
Bagiku lagu Donna Donna Donna masih sangat relevan hingga saat ini. Donna Donna Donna adalah jeritan keputusasaan dari orang tertindas yang tidak mempunyai daya lagi. Mereka hanya dapat menatap sedih atas nasib yang harus mereka alami tanpa ada orang yang mau menolongnya. Orang lain hanya seperti petani yang menegur agar mereka tidak perlu mengeluh tentang nasib yang harus mereka alami. Atau menyalahkan mengapa kamu bernasib miskin. Mengapa kamu dilahirkan sebagai orang miskin atau cacat atau kaum marginal. Mengapa kamu tidak dilahirkan untuk memiliki kekuatan yang dapat membuatmu dapat menikmati kebebasan dan kebanggaan. Sebagian orang hanya mentertawakan nasib yang harus dialami oleh orang tertindas. Mereka seperti burung walet yang menunjukkan kebebasannya atau seperti angin yang mentertawakan sepanjang malam.
Ada jutaan orang-orang tak berdaya seperti sapi yang akan dibawa ke pembantaian. Mereka tidak tahu mengapa hidup mereka menderita seperti ini. Mereka pun sebetulnya tidak ingin menjalani hidup seperti ini. Semua manusia ingin menikmati kebebasan dan mampu menjadi dirinya sendiri apa adanya yang membuatnya bangga sebagai dirinya. Penindasan terjadi disebabkan adanya orang-orang yang merasa dirinya kuat atau mempunyai kekuatan sehingga dia dapat memperlakukan sesamanya seperti apa yang diinginkannya. Dia dapat merampas kemerdekaan sesamanya dan menjadikannya seperti sapi yang tidak berdaya.
Pembantaian ala Nazi terhadap Yahudi memang sudah jarang terjadi. Tetapi pembantaian terjadi dalam bentuk lain. Arogansi mayoritas yang menindas kebebasan minoritas dalam aneka bentuk. Arogansi kekuasaan yang menindas orang yang tidak berkuasa dan sebagainya masih terjadi di depan mata kita. Petani yang dirampas hak atas tanahnya oleh aparat penguasa dan keamanan. Orang beragama yang dirampas kebebasanannya untuk hidup sesuai dengan agamanya. Orang lahir dari etnis tertentu yang ditindas sebab dia lahir dalam etnis itu. Semua itu masih terjadi di negara kita.
Para korban seperti sapi yang hanya dapat menatap sedih akan semua itu. Orang lain hanya menyalahkan mereka mengapa mereka memeluk agama minoritas. Mengapa dia lahir di etnis tertentu. Mengapa petani tidak mau mengikuti kemauan para penguasa yang telah dibeli oleh para pemilik modal. Para penguasa yang mempunyai kekuasaan seperti burung walet yang hanya menatap dan mendiskusikan di ruang-ruang aman tanpa berusaha berbuat sesuatu. Mereka membuat pernyataan-pernyataan hebat yang bukan bersumber dari keinginan untuk membela tetapi demi menjaga popularitas dan merebut hati rakyat. Hal ini sama saja dengan mentertawakan kebodohan kaum tertindas. Kaum tertindas akhirnya hanya berteriak pada Allah. Mereka mengharap kekuatan Allah sendiri yang akan mengubah situasi hidup mereka. Teriakan putus asa ini disebabkan mereka merasa sudah tidak ada lagi orang yang mau menolong dan peduli atas hidupnya.
Gereja adalah komunitas pengikut Yesus. Allah telah hadir di dunia untuk membebaskan kaum tertindas, orang yang tertawan, orang yang menderita seperti yang dikatakan oleh Yesus pada awal karyaNya (Luk 4:18-19). Pernyataan Yesus itu adalah misi yang akan dijalani sepanjang hidup dan diteruskan pada para pengikutNya. Tugas Gereja bukan hanya berkutat pada hal karitatif dan keindahan liturgi atau menambah jumlah anggota. Tugas Gereja adalah melakukan pembebasan dan pembentukan sebuah masyarakat yan berbudaya baru. Masyarakat yang adil, semartabat, sejahtera dan melepaskan aneka sekat manusia berdasarkan kasih kepada Allah dan sesama. Jika Gereja melakukan tugasnya maka tidak ada lagi orang yang berteriak pada Allah sebab Allah sudah sungguh nyata dalam tubuh Gereja. Tetapi apakah sejauh ini Gereja sudah menjalankan misi Yesus yang tertuang dalam Injil Lukas? Sudahkah Gereja membangun budaya baru dengan terus menyerukan pertobatan seperti yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis (Luk 3:3-17)? Tampaknya hal ini masih jauh dari kenyatan, sehingga masih banyak orang akan bernyanyi Donna Donna Donna.
Rabu, 11 April 2012
KISAH SENGSARA DI SERAWAI: KAYAFAS
Dalam kisah sengsara perhatian orang banyak terpusat pada beberapa pribadi yang dianggap biang keladi atau orang jahat. Pertama adalah Yudas Iskariot seorang murid yang mengkhianati gurunya, Petrus murid yang menyatakan akan berani mati tetapi akhirnya menyangkal gurunya dan Pilatus pemimpin Romawi yang menyerahkan Yesus pada pengadilan rakyat yang membenciNya setelah menyiksannya dengan keji. Ketiga tokoh ini banyak dibahas dan disalahkan, terutama Yudas Iskariot. Tetapi jarang sekali orang membahas sumber masalahnya yaitu Kayafas.
“Kayafaslah yang telah menasihatkan orang-orang Yahudi: "Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa.” (Yoh 18:14). Memang apa yang dikatakan Kayafas ini hanya ada dalam Injil Yohanes. Dalam Injil Matius para imam kepala berkumpul di rumah Kayafas untuk merencanakan penangkapan Yesus dengan keputusan agar tidak pada saat perayaan Paskah agar tidak menimbulkan kekacauan. “Pada waktu itu berkumpullah imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi di istana Imam Besar yang bernama Kayafas, dan mereka merundingkan suatu rencana untuk menangkap Yesus dengan tipu muslihat dan untuk membunuh Dia.” (Mat 26:3-4). Injil Markus tidak sekalipun menyebut Kayafas sedangkan Injil Lukas hanya sekali menyebut nama Kayafas yaitu pada saat Yesus lahir. Mungkin oleh karena tidak ditulis oleh semua Injil maka peran Kayafas terlewatkan dari perhatian orang.
Jika melihat apa yang dikatakan oleh Kayafas pada Injil Yohanes maka jelaslah bahwa ide pembunuhan Yesus itu dimunculkan oleh Kayafas. Dialah orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan Yesus dan penyusun skenarionya. Kayafas sebagai imam kepala sangat berkepentingan atas kematian Yesus, sebab tindakan dan ajaran Yesus telah mampu menarik banyak orang sehingga mereka mengikutiNya. “Lalu imam-imam kepala bermupakat untuk membunuh Lazarus juga, sebab karena dia banyak orang Yahudi meninggalkan mereka dan percaya kepada Yesus.” (Yoh 12:10-11). Kehadiran Yesus telah menggoyahkan kedudukan dan posisi para imam di dalam masyarakat Yahudi. Mereka yang semula ditaati, dihargai dan mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Yahudi, kini mulai kehilangan pengaruhnya. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan semua itu adalah dengan menghilangkan Yesus.
Jika semakin banyak rakyat yang lebih percaya pada Yesus daripada para imam dan mereka mengikuti Yesus, maka para imam akan kehilangan banyak pemasukan. Imam kepala atas persetujuan kekuasaan Romawi menguasai bait Allah. Sebetulnya bait Allah bukan hanya pusat keagamaan dan adat melainkan juga pusat perputaran uang. Ada pajak bait Allah yang dibebankan pada rakyat, “Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: "Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?” (Mat 17:24). Bait Allah juga menjual hewan yang akan dipersembahkan pada bait Allah dengan harga yang berlipat lipat sehingga Yesus mengatakan sebagai sarang penyamun. "Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun." (Mat 21:13). Bait Allah juga menerima persembahan-persembahan dari umat. Maka di bait Allah ada banyak uang. Jika semakin banyak orang meninggalkan para imam dan bait Allah maka para imam akan kehilangan pemasukan uang. Dengan demikian pembunuhan Yesus adalah usaha Kayafas untuk memulihkan posisi imam kepala di dalam masyarakat Yahudi dan menyelamatkan pemasukan uang yang dapat hilang..
Kayafas bukanlah satu-satunya orang yang melakukan cara-cara kejam mengurbankan sesamanya dengan berlindung dibalik nasionalisme, hukum agama, adat istiadat dan sebagainya demi mempertahankan kedudukan, pengaruh dan pemasukannya. Sampai saat ini terus bermunculan Kayafas-Kayafas baru dalam berbagai versi. Kurban pun terus berjatuhan. Dalam perjalanan sejarah bangsa kita pun hadir Kayafas-Kayafas yang tega menghilangkan atau membunuh orang yang berani mengusik kedudukannya. Munir, Wiji Thukul, Petrus Bima dan sebagainya adalah deretan kurban yang dianggap dapat mengusik kedudukan seseorang. Masih banyak lagi kurban yang tidak sampai dibunuh atau dihilangkan tapi dimatikan kehidupan sosialnya.
Kayafas menghasut rakyat untuk membunuh Yesus agar kepentingannya tetap terjaga. Dalam melakukan usahanya itu Kayafas bekerja sama dengan kaum Farisi, ahli Taurat, tua-tua bangsa dan penjajah Romawi. Mereka berhasil menghasut rakyat agar Yesus dihukum mati. Di sini pun ada Kayafas yang menghasut rakyat untuk membunuh secara sosial siapa saja yang berani melawan kehendaknya untuk menguasai tanah. Dia bekerja sama dengan para ketua adat yang menguasai hukum adat, pemerintahan yang menguasai hukum negara dan aparat kepolisian yang menegakkan hukum negara. Seperti Kayafas yang membeli Yudas Iskariot dengan 30 keping uang perak agar dia mengkhianati Yesus, maka Kayafas disini pun membeli beberapa orang dengan uang atau jabatan agar mengkhianati sesamanya, kelompoknya, keluarganya bahkan dirinya dan perjuangannya sendiri.
Seperti Kayafas yang berlindung demi keselamatan bangsa, maka Kayafas disini pun berlindung dibalik anjuran presiden, peraturan menteri, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat untuk merampas tanah rakyat demi kemakmuran pribadi. Mereka tidak peduli rakyat yang tidak berdaya menjadi kurban keserakahan dan kepentingannya. Mereka tidak peduli rakyat akan mati sebab alam menjadi rusak, orang kehilangan ladang, anak cucu mereka tidak mempunyai ladang untuk menyambung kehidupannya. Mereka telah menjatuhkan hukuman mati bukan bagi orang yang hidup saat ini tapi juga anak cucu mereka yang hidup saat ini. Inilah Kayafas disini. Masih banyak lagi contoh Kayafas lain yang hanya hidup demi mempertahankan kepentingan diri sendiri meskipun harus mengurbankan masyarakat yang tidak berdaya.
“Kayafaslah yang telah menasihatkan orang-orang Yahudi: "Adalah lebih berguna jika satu orang mati untuk seluruh bangsa.” (Yoh 18:14). Memang apa yang dikatakan Kayafas ini hanya ada dalam Injil Yohanes. Dalam Injil Matius para imam kepala berkumpul di rumah Kayafas untuk merencanakan penangkapan Yesus dengan keputusan agar tidak pada saat perayaan Paskah agar tidak menimbulkan kekacauan. “Pada waktu itu berkumpullah imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi di istana Imam Besar yang bernama Kayafas, dan mereka merundingkan suatu rencana untuk menangkap Yesus dengan tipu muslihat dan untuk membunuh Dia.” (Mat 26:3-4). Injil Markus tidak sekalipun menyebut Kayafas sedangkan Injil Lukas hanya sekali menyebut nama Kayafas yaitu pada saat Yesus lahir. Mungkin oleh karena tidak ditulis oleh semua Injil maka peran Kayafas terlewatkan dari perhatian orang.
Jika melihat apa yang dikatakan oleh Kayafas pada Injil Yohanes maka jelaslah bahwa ide pembunuhan Yesus itu dimunculkan oleh Kayafas. Dialah orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan Yesus dan penyusun skenarionya. Kayafas sebagai imam kepala sangat berkepentingan atas kematian Yesus, sebab tindakan dan ajaran Yesus telah mampu menarik banyak orang sehingga mereka mengikutiNya. “Lalu imam-imam kepala bermupakat untuk membunuh Lazarus juga, sebab karena dia banyak orang Yahudi meninggalkan mereka dan percaya kepada Yesus.” (Yoh 12:10-11). Kehadiran Yesus telah menggoyahkan kedudukan dan posisi para imam di dalam masyarakat Yahudi. Mereka yang semula ditaati, dihargai dan mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Yahudi, kini mulai kehilangan pengaruhnya. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan semua itu adalah dengan menghilangkan Yesus.
Jika semakin banyak rakyat yang lebih percaya pada Yesus daripada para imam dan mereka mengikuti Yesus, maka para imam akan kehilangan banyak pemasukan. Imam kepala atas persetujuan kekuasaan Romawi menguasai bait Allah. Sebetulnya bait Allah bukan hanya pusat keagamaan dan adat melainkan juga pusat perputaran uang. Ada pajak bait Allah yang dibebankan pada rakyat, “Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: "Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?” (Mat 17:24). Bait Allah juga menjual hewan yang akan dipersembahkan pada bait Allah dengan harga yang berlipat lipat sehingga Yesus mengatakan sebagai sarang penyamun. "Ada tertulis: Rumah-Ku akan disebut rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun." (Mat 21:13). Bait Allah juga menerima persembahan-persembahan dari umat. Maka di bait Allah ada banyak uang. Jika semakin banyak orang meninggalkan para imam dan bait Allah maka para imam akan kehilangan pemasukan uang. Dengan demikian pembunuhan Yesus adalah usaha Kayafas untuk memulihkan posisi imam kepala di dalam masyarakat Yahudi dan menyelamatkan pemasukan uang yang dapat hilang..
Kayafas bukanlah satu-satunya orang yang melakukan cara-cara kejam mengurbankan sesamanya dengan berlindung dibalik nasionalisme, hukum agama, adat istiadat dan sebagainya demi mempertahankan kedudukan, pengaruh dan pemasukannya. Sampai saat ini terus bermunculan Kayafas-Kayafas baru dalam berbagai versi. Kurban pun terus berjatuhan. Dalam perjalanan sejarah bangsa kita pun hadir Kayafas-Kayafas yang tega menghilangkan atau membunuh orang yang berani mengusik kedudukannya. Munir, Wiji Thukul, Petrus Bima dan sebagainya adalah deretan kurban yang dianggap dapat mengusik kedudukan seseorang. Masih banyak lagi kurban yang tidak sampai dibunuh atau dihilangkan tapi dimatikan kehidupan sosialnya.
Kayafas menghasut rakyat untuk membunuh Yesus agar kepentingannya tetap terjaga. Dalam melakukan usahanya itu Kayafas bekerja sama dengan kaum Farisi, ahli Taurat, tua-tua bangsa dan penjajah Romawi. Mereka berhasil menghasut rakyat agar Yesus dihukum mati. Di sini pun ada Kayafas yang menghasut rakyat untuk membunuh secara sosial siapa saja yang berani melawan kehendaknya untuk menguasai tanah. Dia bekerja sama dengan para ketua adat yang menguasai hukum adat, pemerintahan yang menguasai hukum negara dan aparat kepolisian yang menegakkan hukum negara. Seperti Kayafas yang membeli Yudas Iskariot dengan 30 keping uang perak agar dia mengkhianati Yesus, maka Kayafas disini pun membeli beberapa orang dengan uang atau jabatan agar mengkhianati sesamanya, kelompoknya, keluarganya bahkan dirinya dan perjuangannya sendiri.
Seperti Kayafas yang berlindung demi keselamatan bangsa, maka Kayafas disini pun berlindung dibalik anjuran presiden, peraturan menteri, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat untuk merampas tanah rakyat demi kemakmuran pribadi. Mereka tidak peduli rakyat yang tidak berdaya menjadi kurban keserakahan dan kepentingannya. Mereka tidak peduli rakyat akan mati sebab alam menjadi rusak, orang kehilangan ladang, anak cucu mereka tidak mempunyai ladang untuk menyambung kehidupannya. Mereka telah menjatuhkan hukuman mati bukan bagi orang yang hidup saat ini tapi juga anak cucu mereka yang hidup saat ini. Inilah Kayafas disini. Masih banyak lagi contoh Kayafas lain yang hanya hidup demi mempertahankan kepentingan diri sendiri meskipun harus mengurbankan masyarakat yang tidak berdaya.
Jumat, 30 Maret 2012
JALAN SALIB: PERHENTIAN I : YESUS DIHUKUM MATI
Yesus telah berbuat baik sepanjang hidupNya. "Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata." (Mrk 7:37). Dia mengajar penuh kuasa tidak seperti para guru di jamanNya. “Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat.” (Mrk 1:22). Tapi kehadiran Yesus dan ajaranNya meresahkan para penguasa, sebab Yesus berpihak pada kaum miskin dan terbuang. Ajaran Yesus telah menyadarkan masyarakat miskin akan kebobrokan para penguasa. Mereka berlindung dibalik hukum dan adat istiadat untuk menindas rakyat. Mereka membebani rakyat dengan aneka aturan sedangkan mereka sendiri tidak melakukannya. Mereka pun bekerja sama dengan penjajah demi mendapatkan kedudukan dan kenikmatan.
Hukuman mati bagi Yesus adalah bentuk ketidakadilan dari segelintir penguasa yang berusaha tetap menduduki jabatannya. Pengadilan ini tidak adil dan penuh kelicikan, fitnah dan manipulasi. Bergabungnya antara pemimpin agama, tua-tua bangsa, dan kekuatan politik yaitu kekuasaan Romawi, membentuk suatu kekuatan yang hebat. Rakyat miskin tidak berdaya menghadapi kekuatan itu. Maka mereka memilih diam, melarikan diri atau turut menyalahkan Yesus demi keselamatan diri mereka sendiri. Pengadilan yang tidak adil berlangsung. Yesus disiksa, dihujat dan akhirnya dihukum mati.
Hukuman mati yang dialami oleh Yesus terus terjadi sampai saat ini. Banyak orang yang tidak bersalah diadili dengan penuh kesewenang-wenangan oleh orang yang merasa terganggu kedudukan, status, jabatan apalagi menyangkut penghasilannya. Telah banyak orang yang berpihak pada rakyat miskin dan berjuang untuk membela mereka mengalami perlakuan yang tidak adil. Mereka disingkirkan dan dimatikan karakternya dengan diberi cap sebagai komunis dan sebagainya. Mereka pun dimasukan penjara dalam proses pengadilan yang tidak adil sama sekali. Bahkan beberapa dari mereka mengalami penyiksaan dan kematian yang mengenaskan.
Wajah para yang menuntut Yesus agar dihukum mati saat ini diwakili oleh para pemimpin yang korup, kekuatan bersenjata, dan pemodal. Mereka bahu membahu menjadi kekuatan yang mengerikan untuk mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Mereka bekerja sama untuk menghukum mati siapa saja yang berani melakukan penyadaran-penyadaran pada masyarakat tertindas. Mereka membuat hukum untuk melindungi kepentingan, kekayaan dan kedudukannya. Mereka melegalkan keserakahannya meski harus mengurbankan rakyat banyak yang seharusnya mereka lindungi. Rakyat banyak merasa jerih, sehingga mereka berusaha mencari keselamatan diri mereka masing-masing. Mereka menjadi diam bahkan turut menghujat siapa saja yang berani membela kaum tertindas.
Wajah Yesus jaman kini tergambar pada para kurban pengadilan yang tidak adil. Kita sering menyesali dan mengutuki sikap kaum Farisi, ahli Taurat, tua-tua bangsa yang telah menghukum mati Yesus. Tetapi kita sering memilih diam dan turut menyalahkan bila ada orang yang diperlakukan tidak adil, meski harus bertentangan dengan hati nurani kita. Renungan jalan salib bukan mengajak kita untuk menangisi Yesus melainkan menyadarkan kita bahwa Yesus masih terus diadili sampai saat ini. Dimana kita berada saat Yesus sendirian menghadapi orang-orang yang sangat membenciNya? Apa yang akan kita lakukan bila melihat ada penindasan?
Minggu, 04 Desember 2011
MISI
Hpku bergetar. Ada SMS yang masuk. Kubaca pesan singkat dari seroang teman. “Akhirnya pergi juga ke tanah misi. Selamat bermisi.”
“Thanks, maksudnya apa nih?” tanyaku
“Kamu kan selalu di kota besar dan sekarang pergi misi. Sekali lagi selamat.”
“Thanks lagi,” aku mengakhiri SMS
Setelah membaca SMS itu aku bertanya pada diri sendiri. Apakah aku sedang di tanah misi? Apakah aku sedang bermisi? Bila misi masih dipahami pergi untuk mewartakan Kristus agar semakin banyak orang yang mengenal Kristus, bagiku saat ini aku tidak bermisi. Dapat dikatakan disini Katolik adalah mayoritas. Di hampir semua kampung dapat dikatakan 95% adalah umat Katolik. Lalu kepada siapa lagi aku harus mewartakan Kristus? Disini aku hanya hidup dalam situasi masyarakat yang masih dapat dikategorikan miskin dan terbelakang.
Bila misi dipahami sebagai pewartaan Kristus pada orang yang belum mengenalnya, maka aku lebih merasa bermisi ketika di kota besar di pulau Jawa, dimana sebagian besar penduduknya bukan umat Katolik. Bahkan orang yang mempunyai keyakinan yang salah mengenai kekristenan, sehingga dapat menumbuhkan kebencian dalam hati yang siap untuk diwujudkan dalam tindakan anarkis. Selama di kota besar aku berusaha datang dalam komunitas-komunitas bukan Katolik. Pada masyarakat yang tidak mengenal kekristenan kecuali mengetahui Yesus Kristus adalah orang Yahudi.
Caraku bermisi tidak melalui dialog-dialog keagamaan dalam forum resmi melainkan melalui membangun persahabatan dan dialog karya. Bagiku dialog dalam forum resmi dengan mengundang para pakar hanyalah sebuah basa basi belaka. Pada umumnya hanya saling memujia dan seolah saling memahami. Selain itu peserta dialog adalah kaum intelektual yang mengutamakan intelektual daripada emosi. Sedangkan yang sering melakukan tindakan anarkis adalah masyarakat akar rumput yang lebih sering mengedepankan emosi daripada intelektual dan juga mudah dihasut.
Selama di kota besar aku mengadakan pertemanan dengan masyarakat akar rumput. Dalam pertemanan terbuka ruang dialog sebagai sehabat. Pada saat bertemu sambil minum kopi aku memasukan dan menjabarkan ajaran-ajaran Katolik, sehingga mereka dapat memahami kekatolikan itu seperti apa. Tidak jarang mereka pun melakukan nilai-nilai yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Ketika aku mendampingi anak jalanan dan kaum miskin lainnya, dalam pembicaraan aku mengajarkan tentang kekatolikan. Bagiku cukup bila mereka memahami dan mau menjalankan nilai-nilai Katolik seperti kasih, pengampunan, solidaritas dan sebagainya, meski mereka tidak dibaptis. Demikian pula ketika mendampingi kurban lumpur Lapindo, aku berteman dengan beberapa kyai yang mengasuh pondok pesantren. Ketika berbicara soal masalah lumpur pun aku tidak jarang memasukan ajaran Katolik dengan menyebut Yesus dan Injil. Dari situ aku tahu bahwa mereka kurang memahami Yesus dan kekatolikan. Bila kyai yang mempunyai ratusan santri kurang memahami Yesus bagaimana dengan para santrinya?
Selama di kota besar aku pun beberapa kali membangun persahabatan melalui budaya dengan orang bukan Katolik. Membuat karya bagi orang bukan Katolik. Mereka kupersilahkan masuk dalam areal gereja yang semula dianggap tidak pantas mereka masuki. Oleh karena mereka bersahabat maka mereka mau masuk dan melakukan aktifitas di areal gereja. Bagiku bermisi bila dipahami untuk mewartakan Kristus peluang yang terbesar ada di daerah yang belum mengenal Kristus yaitu di Jawa, entah di kota besarnya atau di daerah.
Oleh karena kesalahan konsep misi yang dipahami sebagai pergi ke daerah terpencil, maka imam yang ada di kota besar merasa bahwa dia tidak perlu bermisi lagi. Dia sibuk dengan acara liturgi dan mengurus umat atau acara lain yang disukainya, sehingga tidak mau meluangkan waktu untuk membangun persahabatan dengan orang bukan Katolik untuk mewartakan kekatolikan. Temanku pun salah dalam konsep misi.
“Thanks, maksudnya apa nih?” tanyaku
“Kamu kan selalu di kota besar dan sekarang pergi misi. Sekali lagi selamat.”
“Thanks lagi,” aku mengakhiri SMS
Setelah membaca SMS itu aku bertanya pada diri sendiri. Apakah aku sedang di tanah misi? Apakah aku sedang bermisi? Bila misi masih dipahami pergi untuk mewartakan Kristus agar semakin banyak orang yang mengenal Kristus, bagiku saat ini aku tidak bermisi. Dapat dikatakan disini Katolik adalah mayoritas. Di hampir semua kampung dapat dikatakan 95% adalah umat Katolik. Lalu kepada siapa lagi aku harus mewartakan Kristus? Disini aku hanya hidup dalam situasi masyarakat yang masih dapat dikategorikan miskin dan terbelakang.
Bila misi dipahami sebagai pewartaan Kristus pada orang yang belum mengenalnya, maka aku lebih merasa bermisi ketika di kota besar di pulau Jawa, dimana sebagian besar penduduknya bukan umat Katolik. Bahkan orang yang mempunyai keyakinan yang salah mengenai kekristenan, sehingga dapat menumbuhkan kebencian dalam hati yang siap untuk diwujudkan dalam tindakan anarkis. Selama di kota besar aku berusaha datang dalam komunitas-komunitas bukan Katolik. Pada masyarakat yang tidak mengenal kekristenan kecuali mengetahui Yesus Kristus adalah orang Yahudi.
Caraku bermisi tidak melalui dialog-dialog keagamaan dalam forum resmi melainkan melalui membangun persahabatan dan dialog karya. Bagiku dialog dalam forum resmi dengan mengundang para pakar hanyalah sebuah basa basi belaka. Pada umumnya hanya saling memujia dan seolah saling memahami. Selain itu peserta dialog adalah kaum intelektual yang mengutamakan intelektual daripada emosi. Sedangkan yang sering melakukan tindakan anarkis adalah masyarakat akar rumput yang lebih sering mengedepankan emosi daripada intelektual dan juga mudah dihasut.
Selama di kota besar aku mengadakan pertemanan dengan masyarakat akar rumput. Dalam pertemanan terbuka ruang dialog sebagai sehabat. Pada saat bertemu sambil minum kopi aku memasukan dan menjabarkan ajaran-ajaran Katolik, sehingga mereka dapat memahami kekatolikan itu seperti apa. Tidak jarang mereka pun melakukan nilai-nilai yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Ketika aku mendampingi anak jalanan dan kaum miskin lainnya, dalam pembicaraan aku mengajarkan tentang kekatolikan. Bagiku cukup bila mereka memahami dan mau menjalankan nilai-nilai Katolik seperti kasih, pengampunan, solidaritas dan sebagainya, meski mereka tidak dibaptis. Demikian pula ketika mendampingi kurban lumpur Lapindo, aku berteman dengan beberapa kyai yang mengasuh pondok pesantren. Ketika berbicara soal masalah lumpur pun aku tidak jarang memasukan ajaran Katolik dengan menyebut Yesus dan Injil. Dari situ aku tahu bahwa mereka kurang memahami Yesus dan kekatolikan. Bila kyai yang mempunyai ratusan santri kurang memahami Yesus bagaimana dengan para santrinya?
Selama di kota besar aku pun beberapa kali membangun persahabatan melalui budaya dengan orang bukan Katolik. Membuat karya bagi orang bukan Katolik. Mereka kupersilahkan masuk dalam areal gereja yang semula dianggap tidak pantas mereka masuki. Oleh karena mereka bersahabat maka mereka mau masuk dan melakukan aktifitas di areal gereja. Bagiku bermisi bila dipahami untuk mewartakan Kristus peluang yang terbesar ada di daerah yang belum mengenal Kristus yaitu di Jawa, entah di kota besarnya atau di daerah.
Oleh karena kesalahan konsep misi yang dipahami sebagai pergi ke daerah terpencil, maka imam yang ada di kota besar merasa bahwa dia tidak perlu bermisi lagi. Dia sibuk dengan acara liturgi dan mengurus umat atau acara lain yang disukainya, sehingga tidak mau meluangkan waktu untuk membangun persahabatan dengan orang bukan Katolik untuk mewartakan kekatolikan. Temanku pun salah dalam konsep misi.
Kamis, 10 November 2011
AKU ANAK KOPRAL ANUMERTA (mengenang para prajurit yang gugur di Timor Timur dalam operasi Seroja1975-1978)
Saya adalah anak seorang kopral anumerta. Ya! Benar! Bapak adalah seorang anggota ABRI yang berpangkat kopral. Dia sudah tewas tertembak dalam suatu pertempuran maka dibelakangnya diberi tambahan anumerta.
Bapak bagi saya adalah sosok pribadi yang menyenangkan. Disetiap kesempatan luang, dia mengajak ibu, dua adik dan saya jalan jalan. Kami hanya jalan jalan menikmati keindahan kota. Sebelum jalan jalan bapak atau ibu senantiasa berpesan agar kami tidak meminta apa-apa. Kalau bapak atau ibu punya uang, maka kami akan dibelikan sesuatu, entah mainan yang dijual di emper toko atau kue kue di pedagang kaki lima. Kata ibu gaji bapak sangat kecil, sehingga tidak mungkin beli mainan di toko atau makan di restoran. Bapak hanyalah seorang prajurit. Tapi meski hidup susah, saya bangga pada bapak. Apalagi kalau melihat bapak dengan seragam lengkap. Dia tampak gagah dan tampan.
Kedekatan saya dengan bapak tidaklah lama. Saya masih kelas tiga SD ketika bapak mendapat tugas ke Timor Timur. Saya sendiri tidak tahu dimana tempat itu. Ibu hanya bilang bahwa Timor Timur itu jauh di timur negara Indonesia. Malam sebelum berangkat bapak mengambil peta Indonesia dan menunjukan dimana tempat yang namanya Timor Timur. Suatu daerah kecil yang diberi warna lain, sebab tidak termasuk negara Indonesia. Bapak menjelaskan bahwa dia bersama teman temanya harus naik kapal laut selama beberapa hari baru bisa mencapai tempat tersebut.
Kata ibu bapak kesana akan berjuang. Ini sudah menjadi tugas seorang prajurit yaitu siap diperintah kemana saja dan berjuang melawan musuh. Saya sendiri tidak tahu apa yang diperjuangkan bapak disana. Saya juga tidak tahu pasti siapa musuh bapak di sana. Apakah berjuang melawan penjajah seperti cerita kakek yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Atau berjuang melawan pemberontak seperti cerita kakek tentang pemberontakan Kahar Muzakar, RMS, DI/TII atau yang lain. Saya tidak tahu, ibu pun tidak tahu. Maklum ibu bukan orang yang berpendidikan tinggi. Kami juga kekurangan informasi, sebab tidak berlangganan surat kabar. Beberapa kali saya melihat bapak membaca surat kabar yang dibeli eceran atau hasil dari pinjam ke tetangga. Kami juga tidak mempunyai TV. Ini suatu barang yang sangat mewah. Yang kami punya hanya radio kecil dan hanya bisa menangkap siaran radio amatir. Atasan bapak juga tidak menjelaskan dengan rinci untuk apa dia harus mengirim bapak kesana. Bapak hanya mengatakan bahwa sebagai prajurit yang menjalankan sapta marga, maka dia harus siap untuk diutus kemana saja.
Bapak hanya mengatakan bahwa negara kita hendak mengintegrasi Timor Timur. Sampai bapak berangkat saya tidak tahu apa maksud integrasi. Apa yang menyebabkan kerusuhan. Siapa yang dianggap perusuh. Yang saya tahu pasti ialah bahwa bapak mendapat tugas untuk pergi ke Timor Timur bersama teman temannya. Kedua, hal itu berarti bahwa saya akan lama untuk tidak bertemu dengan bapak. Saya hanya akan memandang foto bapak yang gagah dalam seragam prajurit.
Sebulan bapak tidak terdengar kabar beritanya. Bagi ibu ini hal biasa. Ibu sudah tahu konsekwensi sebagai istri prajurit. Dia akan sering ditinggal pergi oleh suaminya. Tapi saya tidak senang bapak pergi terlalu lama. Saya kangen dengan bapak. Saya kangen belaian tangannya yang kasar. Saya kangen digendong belakang. Saya kangen diajak jalan jalan. Saya kangen untuk menunjukan pada teman teman bahwa bapak saya adalah seorang ABRI yang sangat gagah dalam pakaian seragamnya. Saya yakin ibu juga kangen, tapi tidak ditunjukan pada kami. Saya juga yakin bahwa adik adik kangen pada bapak, tapi mereka tidak bisa mengungkapkan, sebab mereka masih umur 3 th dan 4 bulan. Saya yang sudah besar, sudah klas 3 SD, dapat merasakan rasa kangen itu dan mengungkapkannya.
Hampir menginjak bulan keenam bapak belum juga pulang. Beberapa kali saya tanya ibu, kapan bapak kembali. Ibu selalu mengatakan tidak tahu atau kalau keadaan sudah aman. Kata ibu situasi di Timor Timur sangat berat dan gawat. Beberapa teman bapak tewas di sana. Ada yang pulang tapi mengalami gangguan jiwa. Dia sering teriak teriak pada malam hari dan sangat ketakutan dalam gelap. Padahal dulu dia pemberani. Kalau tidak pasti dia tidak akan jadi prajurit. Tapi kini dia menjadi penakut dan sikapnya aneh. Pernah dia menangkap cicak di rumah kami, langsung dimakan. Tentu saja saya jadi jijik. Kata ibu teman bapak itu mengira bahwa dia masih berada di Timor Timur. Ada juga teman bapak yang pulang dengan menyandang cacat tubuh. Ada yang kakinya hilang satu ada yang tangannya hilang. Melihat teman bapak itu, saya jadi takut. Jangan jangan bapak pulang nanti menjadi seperti itu. Tapi bapak belum pulang, maka saya hanya bisa berdoa semoga bapak bisa cepat pulang dan tidak berubah. Masih seperti bapak yang dulu.
24 September 2976 seorang tentara datang ke rumah kami. Saya tidak tahu apa yang dia ceritakan. Yang saya tahu tiba tiba ibu menjerit dan menangis histeris, sampai beberapa tetangga berusaha menenangkannya. Melihat ibu menangis semua adik juga ikut menangis. Tapi saya tidak, sebab tidak tahu mengapa ibu menangis. Banyak tetangga yang berkumpul di rumah kami sampai tentara itu pergi. Saya melihat ibu beberapa kali pingsan. Jika sadar dia berteriak teriak memanggil nama bapak. Saya mengira ibu bertengkar dengan tetantara itu dan memanggil bapak untuk membelanya. Akhirnya saya bertanya pada ibu apa yang terjadi. Dengan sedih tetangga sebelah menceritakan bahwa bapak tewas dalam pertempuran di Baucau. Ya bapak saya tewas dalam berjuang, meski saya sendiri tidak tahu apa yang diperjuangkan. Bapak juga tidak menjelaskan apa yang diperjuangkan.
Bapak tewas. Saya tidak berani mengatakan bapak gugur. Kata itu hanya untuk para pahlawan dan para tentara yang mempunyai pangkat. Bapak bukan pahlawan. Dia juga bukan perwira. Dia hanya seorang prajurit yang mati ditembak. Saya kehilangan bapak. Padahal saya masih membutuhkan bapak. Apalagi adik adik. Tentu si bungsu tidak akan pernah tahu siapa bapaknya. Dia hanya akan tahu dari sebuah foto di ruang tamu. Saya sedih sekali. Bapak telah ditembak. Saya tidak tahu siapa yang menembak bapak. Saya tidak tahu apakah yang menembak bapak bisa disebut musuh atau bapaklah yang dianggap sebagai musuh. Saya tidak tahu siapa yang benar, siapa yang dibela, siapa yang diperjuangkan. Yang saya tahu dengan pasti ialah bahwa bapak diperintahkan untuk pergi ke Timor Timur dan mati ditembak orang di sana.
Beberapa minggu kemudian peti mati bapak datang. Ibu histeris di depan peti mati. Tapi bapak tetap mati. Sebetulnya saya ingin sekali melihat wajah bapak yang gagah untuk terakhir kalinya. Tapi ada larangan untuk membuka peti mati. Saya tidak kuasa dengan perintah itu. Ibu pun tidak kuasa menolak perintah atasan bapak. Ibu harus percaya bahwa yang ada dalam peti mati itu adalah jenasah bapak. Betapa sedihnya hati saya. Untuk melihat wajah bapak yang terakhir saja tidak bisa. Dengan berderai air mata, saya mengatar bapak ke pemakaman. Dalam pemakaman ada beberapa sambutan yang saya sendiri tidak tahu apa yang dikatakan oleh atasan bapak. Hanya yang saya tahu dia menyerahkan sebuah amplop berisi uang dan sebuah tanda penghargaan. Ganti nyawa bapak adalah uang yang ada dalam amplop dan selembar kertas yang katanya berisi tanda penghargaan atas keberanian bapak dalam membela negara. Saya nangis saat itu. Saya tidak mau nyawa bapak diganti oleh lembaran itu. Saya lebih memilih bapak tidak mendapat tanda jasa dan kenaikan pangkat, dari pada harus kehilangan bapak yang saya cintai.
Ternyata bapak bukanlah satu satunya dan yang terakhir. Masih banyak teman teman bapak yang tewas atau pulang dengan cacat. Mereka pada umumnya adalah prajurit dengan pankat rendah. Saya belum mendengar seorang jendral yang tewas atau pulang dengan cacat tubuh. Tapi hal ini semakin membanggakan saya bahwa bapak jauh lebih berani berjuang dari pada para jendral, sebab buktinya bapak berani tewas ditembak, sedangkan para jendral pulang dengan selamat. Tapi merekalah yang terkenal, sedangkan bapak tetap sebagai kopral anumerta, yang tidak pernah disebutkan dalam sejarah. Bapak hanyalah seorang prajurit yang harus taat pada perintah atasan bahkan siap mati demi membela bangsa dan negara.
Sampai kini kesedihan terus berlanjut. Kehilangan bapak dan kemiskinan akibat pensiun bapak yang kecil tidak mampu memenuhi semua kebutuhan hidup. Ibu dan saya harus berjuang untuk bisa bertahan hidup. Tapi saat ini saya sedih sekali. Timor Timur yang dulu diperjuangkan bapak dan teman-temannya sampai memberikan nyawanya kini merdeka. Menjadi negara baru yang bernama Timor Leste. Lebih sedih lagi adalah hujatan dari banyak orang pada bapak dan teman-temannya yang terlibat dalam operasi Seroja. Mereka dicaci maki sebagai pelanggar HAM. Mereka dianggap sebagai biang kerusuhan. Bapak menjadi tentara bukan untuk menindas, tapi punya tujuan mulia yaitu mempertahankan negara dan bangsa dari serangan musuh, seperti kakek dulu mempertahankan negara dari serangan Belanda. Saya yakin kalau boleh memilih bapak pasti menolak untuk pergi ke Timor Timur. Dia berangkat kesana karena taat pada perintah atasan. Disana dia pasti pernah menembak dan dia mati terkena tembakan. Oleh siapa? Musuh bangsa? Pejuang bangsa?
Bapak dan teman-teman dituduh telah melakukan kekerasan di Timor Timur. Bapak bukan orang yang suka kekerasan. Dia pasti menembak supaya tidak mati ditembak. Tapi toh akhirnya dia ditembak. Pengurbanan nyawa bapak tidak ada gunanya, bahkan saya saat ini malu jika ingin mengatakan bahwa bapak adalah salah satu personil ABRI dalam operasi Seroja untuk pengintegrasian Timor Timur pada tahun 1975. Seolah apa yang dilakukan bapak adalah kesalahan besar, padahal bapak hanya seorang prajurit yang harus taat pada pimpinan.
Di depan kuburan bapak saya hanya bisa mengeluh pada sebuah batu nisan. Saya ingin protes mengapa bapak dulu memilih sebagai tentara, mengapa bukan sebagai pekerja pabrik, kantor, bahkan tukang becak atau pemulung sekalipun. Mengapa bapak memilih menjadi tentara? Mengapa bapak mau dikirim ke Timor Timur? Apakah itu dosa bapak, sehingga banyak orang sekarang sinis pada saya? Pernah ibu meneguhkan saya, ketika saya digelisahkan oleh persoalan ini. Ibu mengutip dari Injil Yohanes, "Barang siapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah dia yang melemparkan batu yang pertama pada perempuan itu." Saya hanya berdoa semoga bapak hanyalah sebagai perempuan yang tertangkap berbuat zinah. Bapak dan teman teman harus diadili sedangkan yang berkepentingan tidak diadili. Dan yang mengadili bapak adalah masa yang sebenarnya juga penuh dengan dosa, sering berbuat kekerasan, tidak adil, penindas. Ini meneguhkan saya agar saya tidak melihat nyawa bapak sebagai sebuah kesia siaan.
Tapi bagaimanapun juga salib masih harus kami pikul. Kemiskinan, status kami sebagai anak piatu, kerinduan kami pada bapak yang tidak mungkin dipenuhi dan terlebih nama jelek bapak karena dia adalah tentara yang tergabung dalam operasi Seroja. Ya, saya hanyalah anak seorang kopral anumerta. Seorang kopral yang katanya membela nusa dan bangsa sehingga harus menyerahkannya nyawanya.
Bapak bagi saya adalah sosok pribadi yang menyenangkan. Disetiap kesempatan luang, dia mengajak ibu, dua adik dan saya jalan jalan. Kami hanya jalan jalan menikmati keindahan kota. Sebelum jalan jalan bapak atau ibu senantiasa berpesan agar kami tidak meminta apa-apa. Kalau bapak atau ibu punya uang, maka kami akan dibelikan sesuatu, entah mainan yang dijual di emper toko atau kue kue di pedagang kaki lima. Kata ibu gaji bapak sangat kecil, sehingga tidak mungkin beli mainan di toko atau makan di restoran. Bapak hanyalah seorang prajurit. Tapi meski hidup susah, saya bangga pada bapak. Apalagi kalau melihat bapak dengan seragam lengkap. Dia tampak gagah dan tampan.
Kedekatan saya dengan bapak tidaklah lama. Saya masih kelas tiga SD ketika bapak mendapat tugas ke Timor Timur. Saya sendiri tidak tahu dimana tempat itu. Ibu hanya bilang bahwa Timor Timur itu jauh di timur negara Indonesia. Malam sebelum berangkat bapak mengambil peta Indonesia dan menunjukan dimana tempat yang namanya Timor Timur. Suatu daerah kecil yang diberi warna lain, sebab tidak termasuk negara Indonesia. Bapak menjelaskan bahwa dia bersama teman temanya harus naik kapal laut selama beberapa hari baru bisa mencapai tempat tersebut.
Kata ibu bapak kesana akan berjuang. Ini sudah menjadi tugas seorang prajurit yaitu siap diperintah kemana saja dan berjuang melawan musuh. Saya sendiri tidak tahu apa yang diperjuangkan bapak disana. Saya juga tidak tahu pasti siapa musuh bapak di sana. Apakah berjuang melawan penjajah seperti cerita kakek yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Atau berjuang melawan pemberontak seperti cerita kakek tentang pemberontakan Kahar Muzakar, RMS, DI/TII atau yang lain. Saya tidak tahu, ibu pun tidak tahu. Maklum ibu bukan orang yang berpendidikan tinggi. Kami juga kekurangan informasi, sebab tidak berlangganan surat kabar. Beberapa kali saya melihat bapak membaca surat kabar yang dibeli eceran atau hasil dari pinjam ke tetangga. Kami juga tidak mempunyai TV. Ini suatu barang yang sangat mewah. Yang kami punya hanya radio kecil dan hanya bisa menangkap siaran radio amatir. Atasan bapak juga tidak menjelaskan dengan rinci untuk apa dia harus mengirim bapak kesana. Bapak hanya mengatakan bahwa sebagai prajurit yang menjalankan sapta marga, maka dia harus siap untuk diutus kemana saja.
Bapak hanya mengatakan bahwa negara kita hendak mengintegrasi Timor Timur. Sampai bapak berangkat saya tidak tahu apa maksud integrasi. Apa yang menyebabkan kerusuhan. Siapa yang dianggap perusuh. Yang saya tahu pasti ialah bahwa bapak mendapat tugas untuk pergi ke Timor Timur bersama teman temannya. Kedua, hal itu berarti bahwa saya akan lama untuk tidak bertemu dengan bapak. Saya hanya akan memandang foto bapak yang gagah dalam seragam prajurit.
Sebulan bapak tidak terdengar kabar beritanya. Bagi ibu ini hal biasa. Ibu sudah tahu konsekwensi sebagai istri prajurit. Dia akan sering ditinggal pergi oleh suaminya. Tapi saya tidak senang bapak pergi terlalu lama. Saya kangen dengan bapak. Saya kangen belaian tangannya yang kasar. Saya kangen digendong belakang. Saya kangen diajak jalan jalan. Saya kangen untuk menunjukan pada teman teman bahwa bapak saya adalah seorang ABRI yang sangat gagah dalam pakaian seragamnya. Saya yakin ibu juga kangen, tapi tidak ditunjukan pada kami. Saya juga yakin bahwa adik adik kangen pada bapak, tapi mereka tidak bisa mengungkapkan, sebab mereka masih umur 3 th dan 4 bulan. Saya yang sudah besar, sudah klas 3 SD, dapat merasakan rasa kangen itu dan mengungkapkannya.
Hampir menginjak bulan keenam bapak belum juga pulang. Beberapa kali saya tanya ibu, kapan bapak kembali. Ibu selalu mengatakan tidak tahu atau kalau keadaan sudah aman. Kata ibu situasi di Timor Timur sangat berat dan gawat. Beberapa teman bapak tewas di sana. Ada yang pulang tapi mengalami gangguan jiwa. Dia sering teriak teriak pada malam hari dan sangat ketakutan dalam gelap. Padahal dulu dia pemberani. Kalau tidak pasti dia tidak akan jadi prajurit. Tapi kini dia menjadi penakut dan sikapnya aneh. Pernah dia menangkap cicak di rumah kami, langsung dimakan. Tentu saja saya jadi jijik. Kata ibu teman bapak itu mengira bahwa dia masih berada di Timor Timur. Ada juga teman bapak yang pulang dengan menyandang cacat tubuh. Ada yang kakinya hilang satu ada yang tangannya hilang. Melihat teman bapak itu, saya jadi takut. Jangan jangan bapak pulang nanti menjadi seperti itu. Tapi bapak belum pulang, maka saya hanya bisa berdoa semoga bapak bisa cepat pulang dan tidak berubah. Masih seperti bapak yang dulu.
24 September 2976 seorang tentara datang ke rumah kami. Saya tidak tahu apa yang dia ceritakan. Yang saya tahu tiba tiba ibu menjerit dan menangis histeris, sampai beberapa tetangga berusaha menenangkannya. Melihat ibu menangis semua adik juga ikut menangis. Tapi saya tidak, sebab tidak tahu mengapa ibu menangis. Banyak tetangga yang berkumpul di rumah kami sampai tentara itu pergi. Saya melihat ibu beberapa kali pingsan. Jika sadar dia berteriak teriak memanggil nama bapak. Saya mengira ibu bertengkar dengan tetantara itu dan memanggil bapak untuk membelanya. Akhirnya saya bertanya pada ibu apa yang terjadi. Dengan sedih tetangga sebelah menceritakan bahwa bapak tewas dalam pertempuran di Baucau. Ya bapak saya tewas dalam berjuang, meski saya sendiri tidak tahu apa yang diperjuangkan. Bapak juga tidak menjelaskan apa yang diperjuangkan.
Bapak tewas. Saya tidak berani mengatakan bapak gugur. Kata itu hanya untuk para pahlawan dan para tentara yang mempunyai pangkat. Bapak bukan pahlawan. Dia juga bukan perwira. Dia hanya seorang prajurit yang mati ditembak. Saya kehilangan bapak. Padahal saya masih membutuhkan bapak. Apalagi adik adik. Tentu si bungsu tidak akan pernah tahu siapa bapaknya. Dia hanya akan tahu dari sebuah foto di ruang tamu. Saya sedih sekali. Bapak telah ditembak. Saya tidak tahu siapa yang menembak bapak. Saya tidak tahu apakah yang menembak bapak bisa disebut musuh atau bapaklah yang dianggap sebagai musuh. Saya tidak tahu siapa yang benar, siapa yang dibela, siapa yang diperjuangkan. Yang saya tahu dengan pasti ialah bahwa bapak diperintahkan untuk pergi ke Timor Timur dan mati ditembak orang di sana.
Beberapa minggu kemudian peti mati bapak datang. Ibu histeris di depan peti mati. Tapi bapak tetap mati. Sebetulnya saya ingin sekali melihat wajah bapak yang gagah untuk terakhir kalinya. Tapi ada larangan untuk membuka peti mati. Saya tidak kuasa dengan perintah itu. Ibu pun tidak kuasa menolak perintah atasan bapak. Ibu harus percaya bahwa yang ada dalam peti mati itu adalah jenasah bapak. Betapa sedihnya hati saya. Untuk melihat wajah bapak yang terakhir saja tidak bisa. Dengan berderai air mata, saya mengatar bapak ke pemakaman. Dalam pemakaman ada beberapa sambutan yang saya sendiri tidak tahu apa yang dikatakan oleh atasan bapak. Hanya yang saya tahu dia menyerahkan sebuah amplop berisi uang dan sebuah tanda penghargaan. Ganti nyawa bapak adalah uang yang ada dalam amplop dan selembar kertas yang katanya berisi tanda penghargaan atas keberanian bapak dalam membela negara. Saya nangis saat itu. Saya tidak mau nyawa bapak diganti oleh lembaran itu. Saya lebih memilih bapak tidak mendapat tanda jasa dan kenaikan pangkat, dari pada harus kehilangan bapak yang saya cintai.
Ternyata bapak bukanlah satu satunya dan yang terakhir. Masih banyak teman teman bapak yang tewas atau pulang dengan cacat. Mereka pada umumnya adalah prajurit dengan pankat rendah. Saya belum mendengar seorang jendral yang tewas atau pulang dengan cacat tubuh. Tapi hal ini semakin membanggakan saya bahwa bapak jauh lebih berani berjuang dari pada para jendral, sebab buktinya bapak berani tewas ditembak, sedangkan para jendral pulang dengan selamat. Tapi merekalah yang terkenal, sedangkan bapak tetap sebagai kopral anumerta, yang tidak pernah disebutkan dalam sejarah. Bapak hanyalah seorang prajurit yang harus taat pada perintah atasan bahkan siap mati demi membela bangsa dan negara.
Sampai kini kesedihan terus berlanjut. Kehilangan bapak dan kemiskinan akibat pensiun bapak yang kecil tidak mampu memenuhi semua kebutuhan hidup. Ibu dan saya harus berjuang untuk bisa bertahan hidup. Tapi saat ini saya sedih sekali. Timor Timur yang dulu diperjuangkan bapak dan teman-temannya sampai memberikan nyawanya kini merdeka. Menjadi negara baru yang bernama Timor Leste. Lebih sedih lagi adalah hujatan dari banyak orang pada bapak dan teman-temannya yang terlibat dalam operasi Seroja. Mereka dicaci maki sebagai pelanggar HAM. Mereka dianggap sebagai biang kerusuhan. Bapak menjadi tentara bukan untuk menindas, tapi punya tujuan mulia yaitu mempertahankan negara dan bangsa dari serangan musuh, seperti kakek dulu mempertahankan negara dari serangan Belanda. Saya yakin kalau boleh memilih bapak pasti menolak untuk pergi ke Timor Timur. Dia berangkat kesana karena taat pada perintah atasan. Disana dia pasti pernah menembak dan dia mati terkena tembakan. Oleh siapa? Musuh bangsa? Pejuang bangsa?
Bapak dan teman-teman dituduh telah melakukan kekerasan di Timor Timur. Bapak bukan orang yang suka kekerasan. Dia pasti menembak supaya tidak mati ditembak. Tapi toh akhirnya dia ditembak. Pengurbanan nyawa bapak tidak ada gunanya, bahkan saya saat ini malu jika ingin mengatakan bahwa bapak adalah salah satu personil ABRI dalam operasi Seroja untuk pengintegrasian Timor Timur pada tahun 1975. Seolah apa yang dilakukan bapak adalah kesalahan besar, padahal bapak hanya seorang prajurit yang harus taat pada pimpinan.
Di depan kuburan bapak saya hanya bisa mengeluh pada sebuah batu nisan. Saya ingin protes mengapa bapak dulu memilih sebagai tentara, mengapa bukan sebagai pekerja pabrik, kantor, bahkan tukang becak atau pemulung sekalipun. Mengapa bapak memilih menjadi tentara? Mengapa bapak mau dikirim ke Timor Timur? Apakah itu dosa bapak, sehingga banyak orang sekarang sinis pada saya? Pernah ibu meneguhkan saya, ketika saya digelisahkan oleh persoalan ini. Ibu mengutip dari Injil Yohanes, "Barang siapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah dia yang melemparkan batu yang pertama pada perempuan itu." Saya hanya berdoa semoga bapak hanyalah sebagai perempuan yang tertangkap berbuat zinah. Bapak dan teman teman harus diadili sedangkan yang berkepentingan tidak diadili. Dan yang mengadili bapak adalah masa yang sebenarnya juga penuh dengan dosa, sering berbuat kekerasan, tidak adil, penindas. Ini meneguhkan saya agar saya tidak melihat nyawa bapak sebagai sebuah kesia siaan.
Tapi bagaimanapun juga salib masih harus kami pikul. Kemiskinan, status kami sebagai anak piatu, kerinduan kami pada bapak yang tidak mungkin dipenuhi dan terlebih nama jelek bapak karena dia adalah tentara yang tergabung dalam operasi Seroja. Ya, saya hanyalah anak seorang kopral anumerta. Seorang kopral yang katanya membela nusa dan bangsa sehingga harus menyerahkannya nyawanya.
Langganan:
Postingan (Atom)