Suatu saat menjelang lebaran, bapak dan ibu mengajak kami semua untuk berlebaran di rumah nenek. Ini berita yang sangat menggembirakan sebab kami jarang sekali pergi bersama-sama keluar kota. Nenek tinggal di Babat, sebuah kota kecil yang berjarak 73 km dari Surabaya, tempat tinggal kami. Bapak mengatakan bahwa kami akan menginap disana sekitar 4 hari. Beberapa hari menjelang berangkat bapak membagi hadiah lebaran berupa satu stel pakaian baru. Inilah pakaian baruku sepanjang tahun, sebab kami hanya membeli pakaian baru menjelang lebaran kecuali baju seragam sekolah. Gaji bapak sebagai pegawai negeri yang kecil tidak memungkinkan kami membeli pakaian kapan saja yang kami mau. Apalagi prinsip keadilan yang diterapkan oleh ibu bahwa kalau satu beli baju baru maka semua juga harus beli. Padahal kami enam bersaudara, maka anggaran baju baru cukup besar dan berat bagi bapak.
Malam takbir kami rayakan dengan menyalakan petasan. Beberapa tetangga membuat petasan memakai bambu atau tanah yang dilubangi lalu diisi air dan karbit. Suara petasan ini menggelegar dasyat sehingga membuat dinding kayu rumah nenek bergetar. Menjelang dini hari terdengar suara orang berteriak-teriak. Ternyata ada rumah yang terbakar akibat petasan. Dalam sekejap sebuah rumah yang terbuat dari bambu telah menjadi onggokkan arang yang menyala. Semua harta yang ada dalam rumah tidak ada yang dapat diselamatkan. Bersyukur tidak ada yang terluka.
Pagi hari setelah orang-orang selesai menjalankan sholat ied aku dan adik-adik pergi ke makam nenek dan kakek buyut. Ketika pulang ibu mengumpulkan kami semua. Ibu menceritakan akan penderitaan tetangga yang rumahnya terbakar. Dia baru saja datang dari menemuinya. Ibu menyarankan agar kami memberikan pakaian kami untuk anak-anaknya sebab mereka merayakan lebaran, sedangkan kami beragama Katolik sehingga tidak merayakan lebaran. Kasihan mereka tidak berpakaian yang pantas ketika lebaran. Saran ibu hanya kami tanggapi dengan gerutuan. Bagiku salah dia sendiri mengapa membuat petasan besar. Mereka juga tidak aku kenal. Selain itu pakaian yang kubawa hanya beberapa dan itu yang terbagus yang aku miliki.
Sampai siang ibu masih bertanya siapa yang akan memberikan pakiannya kepada mereka? Kebetulan tetangga itu mempunyai beberapa anak yang sepantar dengan kami. Akhirnya ibu membentangkan jariknya yang masih baru di meja tamu. Dia mengatakan siapa yang akan menambah akan ditunggu sampai sore. Ibu pun terus merayu agar kami rela berbagi. Akhirnya satu demi satu kami meletakkan pakaian kami di atas jarik ibu. Sore harinya semua itu diberikan pada tetangga. Sebelum berangkat ibu mengatakan nanti kalau ada rejeki kami akan dibelikan yang baru dan lebih bagus. Bagiku itu sebuah kata hiburan yang tidak akan terwujud. Kami harus menunggu lebaran tahun depan baru dapat baju baru lagi.
Bila mengingat pengalaman itu aku menjadi bersyukur. Aku bersyukur bahwa aku pernah, meski dengan terpaksa, memberikan yang terbaik apa yang aku miliki pada orang lain yang sedang membutuhkan. Aku sering prihatin bila melihat setumpuk pakaian layak pakai yang disumbang orang saat menjelang Natal atau Paskah atau ketika ada bencana. Aku beberapa kali harus membuang tumpukan pakaian yang tidak layak dipakai lagi. Memang sering diumumkan bahwa dibutuhkan pakaian bekas tapi bukan bekas pakaian. Pakaian bekas adalah pakaian yang pernah dipakai, sedangkan bekas pakaian adalah secarik kain yang dulu pernah menjadi pakaian tapi kini sudah tidak bisa disebut pakaian lagi.
Dorothy Day seorang suci dari Amerika mempunyai banyak rumah untuk melayani kaum miskin. Suatu hari ada seorang menyumbangkan cincin berlian yang sangat bagus padanya. Cincin itu lalu diberikan pada seorang perempuan tua yang sangat miskin. Beberapa orang protes mengapa cincin seindah itu diberikannya? Bukankah cincin itu dapat dijual lalu uangnya digunakan untuk membeli makanan atau kebutuhan yang lain? Tapi Dorothy Day menjawab bahwa orang miskin juga ingin tampil cantik dan memiliki barang bagus.
Kadang orang salah menilai orang miskin. Orang mengira bahwa orang miskin tidak perlu memakai pakaian yang bagus, sehingga yang diberikankan adalah pakaian yang dirinya sendiri sudah tidak ingin memakainya atau malu memakainya. Sebetulnya kaum miskin juga sama seperti manusia pada umumnya yang bangga bila memakai pakaian bagus atau memiliki barang bagus. Mengapa kita memberi mereka sesuatu yang sangat buruk dan tidak layak digunakan?
Yesus bersabda bahwa seorang sahabat adalah orang yang berani memberikan nyawanya kepada sahabatnya. Bila nyawa saja sudah diberikan lalu apa artinya barang dan pakaian yang kita miliki? Yesus menghendaki pemberian bukan hanya pada saudara tapi juga pada sesama, seseorang yang kita temui di sepanjang hidup. Orang yang tidak kenal sama sekali atau orang asing seperti kisah seorang Samaria yang menolong orang Yahudi yang dirampok. Mereka pun harus diperlakukan secara istimewa. Bila kita memberi saudara kita barang yang tidak layak mungkinkah kita akan memberikan yang terbaik untuk sesama?
Malam takbir kami rayakan dengan menyalakan petasan. Beberapa tetangga membuat petasan memakai bambu atau tanah yang dilubangi lalu diisi air dan karbit. Suara petasan ini menggelegar dasyat sehingga membuat dinding kayu rumah nenek bergetar. Menjelang dini hari terdengar suara orang berteriak-teriak. Ternyata ada rumah yang terbakar akibat petasan. Dalam sekejap sebuah rumah yang terbuat dari bambu telah menjadi onggokkan arang yang menyala. Semua harta yang ada dalam rumah tidak ada yang dapat diselamatkan. Bersyukur tidak ada yang terluka.
Pagi hari setelah orang-orang selesai menjalankan sholat ied aku dan adik-adik pergi ke makam nenek dan kakek buyut. Ketika pulang ibu mengumpulkan kami semua. Ibu menceritakan akan penderitaan tetangga yang rumahnya terbakar. Dia baru saja datang dari menemuinya. Ibu menyarankan agar kami memberikan pakaian kami untuk anak-anaknya sebab mereka merayakan lebaran, sedangkan kami beragama Katolik sehingga tidak merayakan lebaran. Kasihan mereka tidak berpakaian yang pantas ketika lebaran. Saran ibu hanya kami tanggapi dengan gerutuan. Bagiku salah dia sendiri mengapa membuat petasan besar. Mereka juga tidak aku kenal. Selain itu pakaian yang kubawa hanya beberapa dan itu yang terbagus yang aku miliki.
Sampai siang ibu masih bertanya siapa yang akan memberikan pakiannya kepada mereka? Kebetulan tetangga itu mempunyai beberapa anak yang sepantar dengan kami. Akhirnya ibu membentangkan jariknya yang masih baru di meja tamu. Dia mengatakan siapa yang akan menambah akan ditunggu sampai sore. Ibu pun terus merayu agar kami rela berbagi. Akhirnya satu demi satu kami meletakkan pakaian kami di atas jarik ibu. Sore harinya semua itu diberikan pada tetangga. Sebelum berangkat ibu mengatakan nanti kalau ada rejeki kami akan dibelikan yang baru dan lebih bagus. Bagiku itu sebuah kata hiburan yang tidak akan terwujud. Kami harus menunggu lebaran tahun depan baru dapat baju baru lagi.
Bila mengingat pengalaman itu aku menjadi bersyukur. Aku bersyukur bahwa aku pernah, meski dengan terpaksa, memberikan yang terbaik apa yang aku miliki pada orang lain yang sedang membutuhkan. Aku sering prihatin bila melihat setumpuk pakaian layak pakai yang disumbang orang saat menjelang Natal atau Paskah atau ketika ada bencana. Aku beberapa kali harus membuang tumpukan pakaian yang tidak layak dipakai lagi. Memang sering diumumkan bahwa dibutuhkan pakaian bekas tapi bukan bekas pakaian. Pakaian bekas adalah pakaian yang pernah dipakai, sedangkan bekas pakaian adalah secarik kain yang dulu pernah menjadi pakaian tapi kini sudah tidak bisa disebut pakaian lagi.
Dorothy Day seorang suci dari Amerika mempunyai banyak rumah untuk melayani kaum miskin. Suatu hari ada seorang menyumbangkan cincin berlian yang sangat bagus padanya. Cincin itu lalu diberikan pada seorang perempuan tua yang sangat miskin. Beberapa orang protes mengapa cincin seindah itu diberikannya? Bukankah cincin itu dapat dijual lalu uangnya digunakan untuk membeli makanan atau kebutuhan yang lain? Tapi Dorothy Day menjawab bahwa orang miskin juga ingin tampil cantik dan memiliki barang bagus.
Kadang orang salah menilai orang miskin. Orang mengira bahwa orang miskin tidak perlu memakai pakaian yang bagus, sehingga yang diberikankan adalah pakaian yang dirinya sendiri sudah tidak ingin memakainya atau malu memakainya. Sebetulnya kaum miskin juga sama seperti manusia pada umumnya yang bangga bila memakai pakaian bagus atau memiliki barang bagus. Mengapa kita memberi mereka sesuatu yang sangat buruk dan tidak layak digunakan?
Yesus bersabda bahwa seorang sahabat adalah orang yang berani memberikan nyawanya kepada sahabatnya. Bila nyawa saja sudah diberikan lalu apa artinya barang dan pakaian yang kita miliki? Yesus menghendaki pemberian bukan hanya pada saudara tapi juga pada sesama, seseorang yang kita temui di sepanjang hidup. Orang yang tidak kenal sama sekali atau orang asing seperti kisah seorang Samaria yang menolong orang Yahudi yang dirampok. Mereka pun harus diperlakukan secara istimewa. Bila kita memberi saudara kita barang yang tidak layak mungkinkah kita akan memberikan yang terbaik untuk sesama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar