Minggu, 04 Desember 2011

MISI

Hpku bergetar. Ada SMS yang masuk. Kubaca pesan singkat dari seroang teman. “Akhirnya pergi juga ke tanah misi. Selamat bermisi.”
“Thanks, maksudnya apa nih?” tanyaku
“Kamu kan selalu di kota besar dan sekarang pergi misi. Sekali lagi selamat.”
“Thanks lagi,” aku mengakhiri SMS

Setelah membaca SMS itu aku bertanya pada diri sendiri. Apakah aku sedang di tanah misi? Apakah aku sedang bermisi? Bila misi masih dipahami pergi untuk mewartakan Kristus agar semakin banyak orang yang mengenal Kristus, bagiku saat ini aku tidak bermisi. Dapat dikatakan disini Katolik adalah mayoritas. Di hampir semua kampung dapat dikatakan 95% adalah umat Katolik. Lalu kepada siapa lagi aku harus mewartakan Kristus? Disini aku hanya hidup dalam situasi masyarakat yang masih dapat dikategorikan miskin dan terbelakang.

Bila misi dipahami sebagai pewartaan Kristus pada orang yang belum mengenalnya, maka aku lebih merasa bermisi ketika di kota besar di pulau Jawa, dimana sebagian besar penduduknya bukan umat Katolik. Bahkan orang yang mempunyai keyakinan yang salah mengenai kekristenan, sehingga dapat menumbuhkan kebencian dalam hati yang siap untuk diwujudkan dalam tindakan anarkis. Selama di kota besar aku berusaha datang dalam komunitas-komunitas bukan Katolik. Pada masyarakat yang tidak mengenal kekristenan kecuali mengetahui Yesus Kristus adalah orang Yahudi.

Caraku bermisi tidak melalui dialog-dialog keagamaan dalam forum resmi melainkan melalui membangun persahabatan dan dialog karya. Bagiku dialog dalam forum resmi dengan mengundang para pakar hanyalah sebuah basa basi belaka. Pada umumnya hanya saling memujia dan seolah saling memahami. Selain itu peserta dialog adalah kaum intelektual yang mengutamakan intelektual daripada emosi. Sedangkan yang sering melakukan tindakan anarkis adalah masyarakat akar rumput yang lebih sering mengedepankan emosi daripada intelektual dan juga mudah dihasut.

Selama di kota besar aku mengadakan pertemanan dengan masyarakat akar rumput. Dalam pertemanan terbuka ruang dialog sebagai sehabat. Pada saat bertemu sambil minum kopi aku memasukan dan menjabarkan ajaran-ajaran Katolik, sehingga mereka dapat memahami kekatolikan itu seperti apa. Tidak jarang mereka pun melakukan nilai-nilai yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Ketika aku mendampingi anak jalanan dan kaum miskin lainnya, dalam pembicaraan aku mengajarkan tentang kekatolikan. Bagiku cukup bila mereka memahami dan mau menjalankan nilai-nilai Katolik seperti kasih, pengampunan, solidaritas dan sebagainya, meski mereka tidak dibaptis. Demikian pula ketika mendampingi kurban lumpur Lapindo, aku berteman dengan beberapa kyai yang mengasuh pondok pesantren. Ketika berbicara soal masalah lumpur pun aku tidak jarang memasukan ajaran Katolik dengan menyebut Yesus dan Injil. Dari situ aku tahu bahwa mereka kurang memahami Yesus dan kekatolikan. Bila kyai yang mempunyai ratusan santri kurang memahami Yesus bagaimana dengan para santrinya?

Selama di kota besar aku pun beberapa kali membangun persahabatan melalui budaya dengan orang bukan Katolik. Membuat karya bagi orang bukan Katolik. Mereka kupersilahkan masuk dalam areal gereja yang semula dianggap tidak pantas mereka masuki. Oleh karena mereka bersahabat maka mereka mau masuk dan melakukan aktifitas di areal gereja. Bagiku bermisi bila dipahami untuk mewartakan Kristus peluang yang terbesar ada di daerah yang belum mengenal Kristus yaitu di Jawa, entah di kota besarnya atau di daerah.

Oleh karena kesalahan konsep misi yang dipahami sebagai pergi ke daerah terpencil, maka imam yang ada di kota besar merasa bahwa dia tidak perlu bermisi lagi. Dia sibuk dengan acara liturgi dan mengurus umat atau acara lain yang disukainya, sehingga tidak mau meluangkan waktu untuk membangun persahabatan dengan orang bukan Katolik untuk mewartakan kekatolikan. Temanku pun salah dalam konsep misi.

Powered By Blogger