Senin, 30 Agustus 2010

PESTA

Aku sering enggan kalau diundang datang ke sebuah pesta. Semakin pesta itu diselenggarakan di tempat bagus, semakin aku enggan untuk datang. Dalam sebuah pesta aku sering menjadi orang asing. Tidak kenal orang. Tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Hanya duduk sambil melihat orang berjalan kian kemari atau orang-orang yang duduk melingkari sebuah meja penuh hidangan. Atau menonton acara demi acara yang bagiku sering membosankan. Atau mendengarkan musik hingar bingar tapi tidak aku kenali. Di tengah keriuhan pesta dan kerumunan orang aku menjadi orang kesepian. Seorang asing ditengah orang-orang yang juga mengalami keterasingan. Maka aku selalu berusaha mencari cara agar tidak datang ke sebuah pesta.

Memang tidak semua pesta membuatku terasing. Ada pesta yang memakai cara makan sambil berdiri, sehingga aku bisa bebas bergerak kemana yang aku suka. Aku bisa mencari teman untuk diajak berbicara sambil menikmati makanan. Bagiku pesta dengan cara makan berdiri masih lebih menyenangkan daripada pesta dengan duduk mengelilingi meja yang sudah ditentukan oleh orang yang mengundang pesta. Kebosan dalam sebuah pesta bersumber dari rasa ketidakberkawanan. Dalam diriku atau hampir semua manusia pada umumnya, membutuhkan interaksi dengan sesamanya. Ada kebutuhan batin untuk menjadi diriku. Aku baru bisa menjadi diriku bila aku berinteraksi dengan sesamaku. Bukan hanya sekedar duduk mengelilingi meja tanpa mampu mengungkapkan apa yang aku rasakan.

Ekaristi sering dikatakan sebagai sebuah perjamuan. Pesta yang diselenggarakan oleh Yesus sendiri. Dimana umat yang datang diajak makan bersama Yesus. Hal yang mengagumkan bahwa Yesus tidak memberi makanan yang enak tapi memberikan diriNya sendiri untuk keselamatan manusia. Kita memakan tubuh dan meminum darah Kristus. “Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kata-Nya: "Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” (Luk 22:19). Inilah suka cita kita dimana kita menerima tubuh dan darah Kristus.

Suka cita juga terwujud dalam persekutuan. Dalam ekaristi kita bersekutu dengan sesama dan Kristus sebagai kepalanya. Tapi sayangnya rasa persekutuan dalam ekaristi sudah semakin menipis. Banyak orang menjadi terasing ketika hadir dalam ekaristi. Dia tidak mengenal dan dikenal. Banyak orang hanya memusatkan diri untuk bersekutu dengan Yesus sehingga tidak peduli pada sesamanya. Rasa keterasingan ini membuat banyak orang menjadi enggan datang ke perjamuan. Akibat keterasingan ini orang menjadi tidak suka cita, sehingga ketika bernyanyi atau berdoa, mereka hanya seperti menjadi kewajiban. Semua nyanyian dan doa akan meriah bila memancar dari dalam hati yang suka cita. Bukan dari keindahan liturgi atau kehebatan sebuah koor. Koor hanya memberi semangat pada umat untuk bernyanyi, tapi bukan memunculkan suka cita. Orang hanya akan kagum mendengar keindahan musiknya saja.

Dalam misa harus ada persahabatan yang setara. Tidak ada lagi Yahudi atau Yunani. Tidak ada lagi Jawa atau Flores atau Cina atau yang lain. Semua adalah sahabat. Tidak ada lagi kaya atau miskin. Pejabat atau orang biasa. Semuanya setara. Persahabatan baru tumbuh bila ada kesetaraan. Memang di dunia tidak dapat dipungkiri bila ada kelas-kelas dalam masyarakat. Kelas-kelas ini sudah terbangun selama ribuan tahun. Orang kaya dianggap lebih tinggi dibanding orang miskin. Pejabat dianggap lebih tinggi dibandingkan orang tanpa jabatan. Memang tidak ada aturan tertulis yang mengatur tatanan ini, tapi aturan yang tidak tertulis masih kuat. Untuk itu perlu adanya perubahan mendasar dalam membangun hidup menggereja. Bila di dunia orang yang rendah jabatannya harus memberi salam terlebih dahulu pada orang yang dianggap lebih tinggi, maka dalam Gereja orang yang merasa dirinya lebih tinggi harus menyapa terlebih dahulu orang yang dianggap sederhana. Dalam hal ini dibutuhkan kerendahan hati dimana orang menghargai semua orang karena dia adalah sesamaku.

Kamis, 26 Agustus 2010

ANDAI AKU MATI HARI INI

Andai ada orang sakti yang mengatakan padaku bahwa hari ini aku akan mati, maka apa yang akan terjadi dalam hidupku? Apakah aku berusaha menikmati hidup sebelum kematian itu datang? Ataukah aku akan berdoa terus menerus sampai kematian itu datang? Atau aku tidak peduli dan beraktifitas seperti biasa? Ketika komet Halley, sebuah komet yang tampak dari bumi setiap 75 atau 76 tahun sekali, tampak pada sekitar April 1910, banyak orang mengira akan terjadi kiamat. Di beberapa tempat orang duduk di luar rumah sambil makan dan minum sampai mabok dengan harapan bila kiamat itu datang mereka sedang tidak sadarkan diri. Sebagian lain masuk dalam doa-doa agar bila kiamat itu datang maka mereka akan masuk surga.

Kematian adalah peristiwa yang pasti akan dialami oleh semua manusia. Tapi banyak orang takut menghadapi saat itu. Orang ingin mengulur waktu agar tidak segera mencapai akhir dari hidupnya. Bahkan orang berusaha untuk melupakannya saat yang membuatnya gelisah dan menakutkan itu. Beberapa waktu lalu aku nonton film berjudul “Tuesdays with Morrie” yang dibintangi Jack Lemon sebagai Morrie dan Hank Azaria sebagai Mitch Albon. Kisahnya menceritakan percakapan antara Morrie, seorang profesor yang mengindap penyakit parah dan Mitch, mantan mahasiswanya yang menjadi wartawan olahraga yang sangat sibuk. Suatu hari Mitch bercerita bahwa Morrie pernah masuk kelas dan diam. Selama beberapa menit dia hanya diam. Lalu para mahasiswa bertanya mengapa dia diam? Morrie menjawab bahwa diam menyadarkan kita akan kematian sehingga membuat kita takut.

Kita takut akan kematian sebab kita terpisah dari segala yang kita miliki atau mengikat kita di dunia. Kita masuk dalam situasi ketidakberdayaan absolut, dimana kita tidak mampu menentukan kemana kita akan pergi dan apa yang akan terjadi. Kita yang biasanya menentukan menjadi orang yang ditentukan. Kita tidak memiliki kekuasaan atas diri kita. Segala yang kita bangun selama hidup menjadi tidak berarti lagi. Apalagi bila kita mengimani ada surga dan neraka dimana neraka digambarkan sebagai sesuatu tempat yang sangat mengerikan, maka kita cemas apakah kita akan masuk ke tempat yang mengerikan itu? Kita ingin menolak tempat itu tapi tidak mampu.

Bila kematian adalah suatu peristiwa yang sudah pasti harus kita alami, maka tidak perlu kita takut untuk menjalaninya. Kita hanya perlu mempersiapkan diri. “Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.” (Mat 25:13). Kematian dapat datang setiap saat. Seseorang yang saat ini masih sehat dan bergembira tiba-tiba satu jam kemudian dia sudah meninggal dunia. Sebaliknya orang yang sudah sakit parah dan divonis dokter bahwa umurnya tinggal beberapa saat lagi, ternyata dia tetap dapat hidup sampai beberapa tahun lagi. Saat kematian hanya Tuhan yang tahu. Kita hanya diminta untuk berjaga-jaga menghadapi saat yang pasti itu.

Andai kita sadar bahwa kita akan mati, maka setiap waktu adalah sangat berharga. Beberapa orang yang sudah hampir meninggal mengatakan bahwa masih banyak hal yang seharusnya dapat dikerjakan ternyata belum dikerjakan. Hal ini disebabkan dia tidak pernah mengingat kematian dan baru mengingat setelah dia merasa kematian semakin mendekat. Dalam hidup kita mempunyai banyak keinginan untuk melakukan segala sesuatu. Tapi sering kali kita menunda mewujudkannya dengan keyakinan bahwa kita masih mempunyai waktu. “Supaya waktu yang sisa jangan kamu pergunakan menurut keinginan manusia, tetapi menurut kehendak Allah.” (1Ptr 4:2). Kita berjalan menuju batas akhir hidup kita. Sisa waktu yang masih ada kita gunakan untuk melakukan perbuatan yang baik. Mencintai sesama secara lebih. Melakukan tindakan pertobatan, sehingga kita tidak takut lagi akan neraka. Bukan diboroskan untuk hal-hal yang tidak berguna dan pengejaran kenikmatan bagi diri sendiri yang kita tahu akan menghasilkan hukuman di neraka. Kesadaran akan sisa waktu mendorong kita untuk mewujudkan apa yang kita inginkan, tanpa menunda, sebab kita tidak tahu kapan Allah datang yang akan mengakhiri perjalanan hidup kita.

Rabu, 25 Agustus 2010

KEHORMATAN

Semua manusia senang bila dia sadar menerima penghormatan dari apa yang dikerjakan atau apa yang dimiliki. Seorang pelukis sangat senang bila ketika pameran banyak orang yang datang dan memberikan apresiasi atas lukisannya. Seorang yang mengadakan pesta sangat senang bila semua orang yang diundangnya mau datang. Kehadiran para tamu merupakan bukti bahwa mereka menghormatinya. Memperhitungkan jati diri atau martabatnya. Sebaliknya orang dapat tertekan bila dia manyadari bahwa dirinya tidak dihormati oleh sesamanya. P van Breemen, seorang imam ahli nuklir, menulis buku dengan judul “Bagaikan Roti Diremah” dalam satu bagian dia mengatakan bahwa bila orang tidak dihormati atau tidak diakui, maka dia akan menjadi orang yang sakit jiwanya.

Hormat adalah inti dari cinta. Dimana tidak ada hormat maka tidak ada cinta. Orang tidak akan berkembang menjadi manusia yang sepenuhnya bila dia tidak dicintai. Dia merasa direndahkan atau dilecehkan. Sepasang suami istri yang hidup berkelimpahan tiba-tiba ingin memutuskan hubungan perkawinan mereka. Setelah berbicara panjang lebar ternyata akar masalah mereka adalah kurangnya rasa hormat menghormati. Sang suami sudah merasa cukup memenuhi kebutuhan istrinya dengan memberikan banyak harta. Tapi dia sering menegur keras istrinya di depan umum, sehingga istrinya merasa dipermalukan atau diperlakukan dengan tidak hormat. Dia merasa harga dirinya direndahkan dan diperlakukan tidak sebagai manusia.

Rasa dihormati memang sangat dibutuhkan oleh setiap manusia. Tetapi pengejaran rasa hormat apa lagi yang berlebihan dapat melukai banyak orang. Semua orang tidak suka melihat orang yang gila hormat. Orang yang merasa bahwa dirinya pantas dihormati, sehingga sikap dan perkataannya menjadi sebuah kesombongan, suatu tindakan yang melawan cinta. Yesus menegur orang-orang yang mengejar penghormatan bagi dirinya sendiri. “Celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan suka menerima penghormatan di pasar.” (Luk 11:43). Kehormatan bukan dikejar tapi kehormatan akan datang sendiri bila kita berbuat baik. “tetapi kemuliaan, kehormatan dan damai sejahtera akan diperoleh semua orang yang berbuat baik, pertama-tama orang Yahudi, dan juga orang Yunani. Sebab Allah tidak memandang bulu.” (Rm 2:10-11). Dengan demikian yang perlu kita kejar adalah melakukan hal yang baik, tapi bukan perbuatan baik dimanipulasi untuk mencari kehormatan. Melakukan perbuatan baik demi mencari kehormatan, maka akan membuat orang menjadi munafik.

Kehormatan akan datang sendiri bila kita mampu mewujudkan cinta pada sesama. Tindakan, sikap, dan perkataan yang mewujudkan cinta yang tulus tanpa ada kemunafikan akan membuat orang lain memandang kita dengan penuh hormat secara tulus. Ada kisah seorang raja di Eropa yang merasa sangat dihormati oleh rakyatnya. Suatu hari dia jalan-jalan menyusuri kota. Tapi dia heran mengapa banyak rakyatnya yang lari sembunyi bila melihatnya dari jauh. Seorang pengawal disuruh menangkap seorang yang sedang berusaha menghindari raja itu. Ketika rakyat itu ditanya mengapa dia lari untuk sembunyi, dengan gemetar rakyat itu mengatakan bahwa dia takut pada raja. Jawaban itu menyadarkan sang raja bahwa kehormatan bukan tumbuh dari jabatan, status atau kehebatan yang disandangnya, melainkan dari rasa cinta. Meski raja itu sudah melakukan banyak hal untuk rakyat tapi bila dia tidak mencintai dan menghormati rakyatnya maka dia pun tidak akan dihormati.

Semua orang membutuhkan dihormati sebagai rasa dicintai. Hal itu harus dimulai dari diri kita sendiri yang berusaha untuk menghormati sesama, meski sesama itu kita anggap kurang baik bahkan mungkin musuh kita. "Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.” (Luk 6:27) Dengan melakukan apa yang disabdakan oleh Yesus maka kita sudah menghormati sesama meski hal itu sangat menyakitkan diri kita. Sebetulnya disinilah letak kehormatan kita.

Minggu, 22 Agustus 2010

CINTA: BERSATU DENGAN ALLAH

Ketika Yesus ditanya oleh ahli Taurat apakah hukum yang pertama dan utama, maka Yesus mengulang apa yang sudah tertulis dalam kitab Taurat agar manusia mengasihi Tuhan dengan seluruh dirinya. "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Mat 22:37). Mengasihi Tuhan bukan hanya dengan hati yang terkait dengan soal rasa yang dialami dalam sejarah kehidupan, atau dengan akal budi yang berusaha mencintai Tuhan dengan mempelajari semesta dan tanda alam melainkan dengan seluruh diri. Mengasihi Tuhan dengan keseluruhan hidup membuat manusia menyatu dengan Tuhan, “Aku dan Bapa adalah satu.” (Yoh 10:30)

Cinta yang penuh membuat orang menjadi satu dengan yang lain. Cinta membuat orang mengidentifikasikan diri dengan orang yang dicintai sepenuhnya, sehingga dia tidak lagi menjadi dirinya melainkan menjadi seperti orang yang dicintainya. “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:20) Mengidentifikasikan diri berarti berusaha berpikir, berkata, bersikap seperti orang yang dicintai. Dengan demikian bila kita mencintai Allah dengan seluruh diri maka seluruh sikap, kata dan pikiran kita merupakan sikap, kata dan pikiran Allah. Kita menjadi gambaran Allah meski jauh dari sempurna, sebab pengidentifikasian diri tidak mungkin bisa secara total. Kita adalah kita yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan dan berjuang untuk meniru sedekat mungkin Allah yang kita cintai.

Namun cinta pada Allah masih sering terbatas pada rasa atau akal budi. Belum menjadi satu kesatuan diri yang terwujud dalam tindakan nyata sehingga orang yang melihat kita akan melihat Allah. Pernah ada seorang tahanan menghitung semua ayat yang ada dalam Kitab Suci, dimana letak ayat yang berada tepat di tengah keseluruhan Kitab Suci, hafal ayat demi ayat yang ada dalam Kitab Suci. Kasih pada Allah harus kongkrit yang dapat diindrai oleh manusia. “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” (Yoh 1:14). Yesus mewujudnyatakan firman Allah dalam hidupNya, sehingga Dia adalah Firman yang hidup. Dia dan Allah adalah satu. Dari Dia kita bisa melihat kemuliaan Allah, kasih karunia dan kebenaranNya.

Cinta pada Allah juga sering terbatas dalam waktu. Ketika orang berdoa, misa dan sebagainya dia merasa sedang mencintai Allah. Tapi ketika dia sedang bekerja, belajar, atau melakukan aktifitas hidup maka dia melupakan cinta pada Allah. Di dalam gereja kita menyatakan cinta pada Allah tapi begitu keluar dari gereja kita sudah melupakan cinta pada Allah. Cinta pada Allah itu terwujud dalam keseluruhan hidup. Apapun yang kita lakukan tetap merupakan perwujudan cinta pada Allah. Maka Yesus menyatakan bahwa Allah bukan lagi ada di langit yang tinggi atau di gunung atau di Bait Allah di Yerusalem. Allah ada di dalam diri sesama terutama yang miskin dan menderita.

Keterputasan cinta pada Allah inilah yang membuat kita tidak mampu menjadikan diri kita sebagai gambaran diri Allah. Bagaimana mungkin orang akan melihat kita sebagai gambaran Allah yang benar dan penuh kasih karunia bila sikap kita sewenang-wenang. Arogan dan melecehkan sesama? Allah macam apa yang akan kita tampilkan dalam hidup sehari-hari di tengah keluarga dan masyarakat? Allah adalah kasih. Menampilkan Allah adalah menampilkan kasih kepada dunia. “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.” (1Yoh 4:12). Di negara kita setiap orang harus beragama. Banyak rumah ibadat didirikan. Hari-hari raya keagamaan menjadi hari libur nasional untuk memberi kesempatan bagi pemeluk agama untuk merayakannya. Tapi melihat situasi krisis moral dan penumpulan hati nurani yang semakin hari semakin parah, maka timbul pertanyaan apakah masyarakat sungguh mencintai Allah atau hanya sekedar taat pada negara agar mereka memiliki agama?

Powered By Blogger