Minggu, 15 Maret 2009

APAKAH HEBATNYA SEBUAH JABATAN?

Seorang berkata padaku sambil memuji-muji seseorang yang memangku jabatan tinggi di Gereja. Mendengar itu aku hanya tersenyum. Dia bertanya mengapa aku tersenyum sinis? Padahal aku tersenyum biasa saja. Dia berharap aku pun ikut memuji kehebatan bila orang mampu memangku jabatan tinggi di Gereja. Aku tanya apakah hebatnya sebuah jabatan? Dia lalu menjelaskan banyak hal tentang hebatnya sebuah jabatan.

Gereja adalah kumpulan umat manusia yang beriman pada Yesus. Mereka adalah bagian dari dunia, yang berarti semua pola pikirnya tetap mengikuti pola pikir yang berkembang di dunia. Bila umat manusia di dunia menganggungkan jabatan maka anggota Gereja pun menganggungkan jabatan. Memang banyak orang yang tahu dan pernah baca Injil dimana Yesus mengkritik para rasul yang berebut jabatan untuk duduk di sebelah kanan dan kiri atau mengklaim siapa yang terbesar diantara mereka. Tapi apa yang dibaca itu hanya sekedar pengetahuan. Masih jauh dari penghayatan. Bila Yesus menegaskan bahwa orang yang ingin menjadi besar harus melayani atau jabatan untuk melayani, namun kenyataannya jauh dari itu. Tidak jarang jabatan itu menjadi ajang pamer kekuasaan, sebab memang dunia mengajarkan bahwa sebuah kedudukan terkait erat dengan kekuasaan dan kehormatan. Banyak umat yang jengkel dengan seorang romo yang sering menunjukkan kekuasaanya. Tidak jarang dia mengatakan saya ini romo kepala yang berkuasa atas paroki ini. Bila kebijakannya diserang maka dengan cepat dia mengatakan “Yang menjadi romo paroki itu kamu atau aku?” Aku yakin bahwa Yesus tidak mengajarkan hal itu, tapi pola pikir dunia yang sudah menancap dalam di dalam sanubarinya maka pola pikir dunialah yang muncul sedangkan ajaran Yesus hanyalah sebuah perkataan dan pengetahuan.

Dalam budaya Jawa sering orang mengatakan “Wong jawa kok ora njawani.” Hal ini bila ada orang yang bersikap atau bertutur kata tidak sesuai dengan budaya dan adat Jawa. Dari kalimat ini tersirat arti bahwa kejawaan seseorang dilihat dan diukur dari cara dia bersikap dan bertutur kata. Bila dia tidak mampu bersikap atau bertutur selayaknya tata aturan budaya Jawa maka dia dianggap tidak njawani. Dia bukan orang Jawa. Dengan demikian kejawaan seseorang bukan karena dia dilahirkan sebagai orang Jawa atau di tanah Jawa tapi dari cara dia bersikap, bertindak dan bertutur kata.

Sebetulnya prinsip ini juga dapat diterapkan pada jabatan. Jabatan adalah sebuah tempat dalam sebuah struktur yang dibuat dan disepakati oleh masyarakat atau sebuah komunitas. Dalam Gereja ada herarki yang sudah disepakati oleh umat Katolik dimana dalam herarki itu ada tempat-tempat yang diduduki oleh seseorang. Bila prinsip orang Jawa itu diterapkan dalam Gereja maka seorang romo itu baru bisa disebut sebagai romo bila dia bersikap dan bertutur selayaknya seorang romo. Bukan karena dia menduduki jabatan atau ditahbiskan begitu saja.

Yesus disebut Anak Allah bukan karena Dia dikandung oleh Maria dari Roh Kudus, melainkan karena Dia melakukan banyak karya bagi manusia. Dia mengajarkan agar manusia kembali kepada Allah. Keanakallahan Yesus terpancar dari sikap hidup, perkataan dan apa saja yang dilakukanNya. Maka ketika disalib seorang prajurit dengan melihat cara Yesus mati, dia menjadi percaya bahwa orang ini adalah sungguh Anak Allah. Pertanyaan kecil apakah para romo sudah menunjukkan keromoannya dari tutur kata dan sikapnya? Bila dia sudah menunjukkan keromoannya dari perilakunya, maka dia tidak perlu mengatakan “saya ini romo paroki” atau “siapa yang menjadi romo, saya atau kamu?” Orang yang masih menyatakan jabatan apa yang disandangnya mungkin sebetulnya dia tidak mampu menunjukkan jabatan itu dari sikap hidupnya. Dia adalah seorang romo yang tidak ngromoi, maka perlu menyatakan diri siapa adanya. Bagiku orang seperti ini adalah orang yang patut dikasihani. Maka aku tersenyum.

KATA DAN MAKNA DIRI

Suatu saat seorang pembina anak-anak sekolah minggu mengkritikku. Dia menyatakan keberatan kalau aku memaki dan sampai didengar oleh anak sekolah minggu. Aku berpikir sejenak untuk mengingat apakah aku pernah memaki anak sekolah minggu. Pembina itu mengatakan bahwa aku mengatakan “jangkrik!” pada salah satu anak jalanan yang sedang berkunjung di pasturan dan kebetulan di dekatku ada anak sekolah minggu. Anak itu menyampaikan pada pembinanya bahwa aku memaki. Mendengar itu aku hanya menghela napas.

Di tengah anak jalanan aku dianggap orang yang tidak pernah memaki, sebab kata “jangkrik” itu bukan sebuah makian. Mereka terbiasa mengucapkan kata yang lebih kotor dan kasar lagi misalnya kata “j…k” atau sebutan hewan. Tapi kata yang sama ditangkap berbeda. Bagi anak sekolah minggu kata “jangkrik” itu sangat kasar maka perlu melaporkan pada pembinanya. Kata yang sama bisa ditangkap dan ditafsirkan secara berbeda oleh orang yang berbeda.

Di tengah anak jalanan aku adalah bagian dari mereka. Mereka tahu bahwa aku seorang romo tapi mereka tidak peduli dengan jabatan itu. Bagi mereka jabatan romo hanya diketahui sebagai seorang Katolik. Tidak mempunyai muatan apa-apa selain dianggap sebagai pemimpin. Tapi bagi anak bina iman, jabatan romo itu mempunyai makna tertentu. Jabatan itu memuat di dalamnya tentang kesucian, keteladanan, kewibawaan dan sebagainya, sehingga sedikit saja kata makian sudah dianggap masalah besar, sebab tidak mencerminkan kesucian, keteladanan dan sebagainya. Dengan demikian sebuah kata dimaknai secara berbeda sebab terkait erat dengan jabatan, dimana dia berada dan kepada siapa dia berbicara.

Dalam kitab Amsal beberapa kali dikatakan agar orang hati-hati dalam berbicara. alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya! (Ams 15:23) Kata “jangkrik” bila tepat di tengah anak jalanan tidak ada masalah, tapi bila di tengah anak sekolah minggu akan jadi masalah. Ini sebuah pembelajaran bagi bagaimana aku harus berkata tidak hanya berkata tapi harus tepat dimana aku berada. Namun hal ini tidak mudah. Tidak jarang kata meluncur begitu saja akibat kebiasaan atau kurang kesadaran diri siapa aku ini dan dimana aku berada. Hal ini dapat menimbulkan masalah.

Dalam budaya Jawa ada istilah, ajining diri soko lati, terjemahan sederhananya adalah orang dihargai dari lidahnya atau perkataannya. Perkataan merupakan perwujudan dari pikiran, perasaan, karakter dan keseluruhan diri seseorang. Memang untuk memahami perkataan seseorang perlu juga melihat apa yang implisit, sebab ada orang yang mengungkapkan dirinya lebih besar pada yang implisit daripada yang eksplisit. Namun apa yang eksplisit itulah yang ditangkap orang secara cepat dan jelas. Oleh karena itu perlu berhati-hati dalam berkata-kata, sebab dari situ orang akan dinilai.

Disinilah perlu kesadaran yang terus menerus baik kesadaran akan siapa diriku sesungguhnya maupun kesadaran tempat dan lawan bicara. Semakin tinggi jabatanku dalam masyarakat semakin harus mampu mengontrol diri sehingga dapat berhati-hati dalam berucap, sebab setiap ucapanku dapat dijadikan pegangan oleh umat. Aku tidak bisa berbicara seenaknya di tengah umat seperti kalau aku sedang duduk-duduk di tepi jalan bersama anak-anak jalanan. Kerunyaman dapat muncul bila aku tidak sadar siapa diriku, dimana aku berkata dan kepada siapa aku berkata.

Jumat, 06 Maret 2009

PONARI

Di dusun Kedongsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang ada anak kecil bernama Ponari yang tiba-tiba menjadi dukun. Ribuan orang datang padanya setiap hari untuk meminta kesembuhan. Menurut cerita beberapa orang saat ini pasien Ponari mencapai sekitar 20.000 orang dan akan terus bertambah setiap harinya. Bila satu pasien memberi Rp 2000 saja pada Ponari maka saat ini uang Ponari sudah 40 juta rupiah. Bahkan ada orang yang mengatakan bahwa uang Ponari di tabungan sudah mencapai angka 1 milyard lebih. Maka tidak heran bila Ponari menjadi rebutan dan muncul pula dua dukun baru yang hampir sama dengan Ponari.

Hadirnya dukun Ponari yang menghebohkan menimbulkan pro dan kontra. Mulai dari kalangan masyarakat bawah yang berdiskusi di warung kopi atau tepi jalan sampai ahli-ahli dalam berbagai bidang yang berdiskusi di ruang-ruang yang nyaman, berusaha menanggapi masalah Ponari. Seorang teman yang menyempatkan diri datang ke tempat Ponari dan melihat aktifitasnya memberikan pendapat bahwa banyak orang sembuh sebab mereka yakin akan sembuh. Sejak datang mereka yakin bahwa Ponari akan mampu menyembuhkan penyakitnya. Bahkan orang yang tidak dapat datang dan hanya memberikan foto atau KTPnya saja merasa bahwa mereka akan sembuh bila meminum air yang sudah dicelupi batu sakti milik Ponari. Apakah batu itu memang sangat sakti sehingga hanya dicelupkan beberapa detik saja sudah membuat air menjadi air yang sakti? Ataukah karena kepercayaan orang begitu kuat akan sembuh maka dia bisa sembuh?

Beberapa ahli bebatuan menyatakan pendapat bahwa tidak mungkin sebuah batu dicelupkan dalam beberapa detik bisa memberi efek pada air satu ember. Seorang ahli sosiologi dari sebuah universitas di Semarang mengatakan bahwa itu hanya sebuah sugesti saja. Ahli psikologi anak mengatakan bahwa itu hanya eksploitasi anak saja. Seorang yang terlibat dalam partai mengatakan bahwa kasus Ponari terkait dengan semakin dekatnya Pemilu. Beberapa kali dalam sejarah Indonesia menjelang Pemilu muncul orang yang menyatakan diri sebagai ratu adil dan sebagainya. Ahli agama mengatakan bahwa hal itu musryik. Seorang tokoh masyarakat mengatakan bahwa hal itu terjadi sebab biaya rumah sakit semakin mahal. Masih ada banyak pendapat dari berbagai disiplin ilmu. Tetapi apapun pendapat para ahli tidak didengarkan oleh banyak orang. Mereka tetap berdatangan dan ada banyak yang merasa telah disembuhkan.

Saya tidak ingin menambah deretan panjang pendapat yang pro dan kontra. Tapi saya berusaha mengkaitkan dengan Injil. Beberapa kali dalam peristiwa penyembuhan Yesus bersabda “imanmu telah menyelamatkan engkau.” Contoh yang paling jelas adalah seorang perempuan yang sakit pendarahan dan sudah parah. Ketika melihat Yesus dia berkata, seandainya aku sentuh jubahNya saja, aku akan sembuh (Mrk 5:25-34). Kesembuhan perempuan itu bukan karena jubah Yesus melainkan imannya pada Yesus. Maka Yesus pun menegaskan bahwa imanmu telah menyelamatkan engkau.

Menurut saya kesembuhan orang-orang itu karena dia beriman pada Ponari. Apakah pantas seseorang beriman pada Ponari?

Powered By Blogger