Rabu, 26 Agustus 2009

KITA MENJADI AUTIS


Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Anak autis membangun dunianya sendiri dan hidup dalam dunianya sendiri.

Saat ini banyak sekali anak autis. Tapi bagi saya lebih banyak lagi orang yang menjadi autis. Orang yang maksud adalah orang yang memilih hidup dengan dunianya sendiri. Dia sibuk dengan dunianya meski di sekitarnya ada banyak orang. Dia menarik diri sedemikian rupa sehingga meninggalkan rasa sosialnya. Di ruang tunggu bandara dan banyak tempat umum, sering aku melihat orang tenggelam dalam dunia ipod atau HP. Mereka duduk bersanding dengan sesamanya tapi sama-sama tidak berkomunikasi satu dengan yang lain sebab telinga mereka sama-sama dijejali oleh earphone entah yang tersambung pada ipod atau HP. Mereka menikmati dunia yang mereka bangun sendiri sehingga terisolasi dari sesamanya. Dia terasing dari sesama.

Sejak jaman dulu telah terjadi pertentangan dalam melihat hubungan manusia dengan sesama. Ada yang mendukung individualis sebaliknya ada yang menolaknya. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) filsuf Perancis, berpendapat bahwa manusia sebagai molekul atau atom yang telah lengkap dalam dirinya. Bukan sel yang mengandaikan perlunya hubungan dengan sel lain. Menurutnya manusia adalah mahluk mandiri yang mengkaitkan diri dengan sesama bukan berdasarkan kebutuhan batin melainkan struktur. Hal senada juga diungkapkan oleh John Locke (1632-1704), filsuf Inggris. Dia mengatakan bahwa manusia bersedia mengikatkan diri dengan sesamanya supaya sama dalam segi hukum. Hal ini demi keamanan diri sendiri. Lebih keras lagi adalah pendapat Thomas Hobbes (1588-1679), dia mengatakan bahwa masyarakat adalah himpunan individu-individu yang masing-masing secara egoistis mengejar kepentingan mereka sendiri. Akibatnya adalah manusia perang melawan sesamanya. Homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Kalau mereka membangun pertemanan dengan sesama hanya untuk cease fire, sebab mereka takut dengan sesamanya yang akan menelannya. Jean Paul Sartre berpendapat bahwa manusia adalah neraka bagi sesamanya. Maka lebih baik tidak berhubungan dengan sesama.

Apa yang dikatakan oleh beberapa filsuf di atas sudah terbukti dalam masyarakat kita saat ini. Banyak orang telah mengasingkan diri atau terasing dari sesamanya. Seseorang mengatakan inilah paradoks jaman ini. Orang mudah berhubungan dengan sesamanya yang jauh tapi sulit berhubungan dengan sesama yang dekat. Dia SMS atau chatting dengan teman-temannya dalam dunia maya tapi mengabaikan orang yang nyata disebelahnya. Selain itu alat hiburan sudah berubah bukan lagi menjadi sarana hiburan untuk mengisi waktu luang melainkan sudah menjadi tuan yang mengasingkan manusia dari sesamanya. Orang dapat tenggelam dalam dunia hiburan entah game atau lagu, sehinga tidak sadar kalau dia berada di tengah masyarakat.

Manusia hanya bisa berkembang bila ada manusia lain. Gabriel Marcel (1889-1973), filsuf Perancis berpendapat bahwa manusia hanya bisa mencapai kesempurnaannya jika dia mengarahkan diri pada orang lain dengan cinta, sebab manusia tidak sempurna dari dirinya sendiri. Maka kesatuan antara "aku" dengan "kamu" menghasilkan kepenuhan hidup. Demikian pula Martin Heidegger (1889-1976) seorang filsuf Jerman dia mengatakan bahwa, persatuan antar manusia mulai pada asal mula dan sepanjang seluruh hidupnya bahkan sampai yang dianggap paling pribadi misalnya hati nurani, sifat dan sebagainya. Dengan demikian manusia ada untuk sesama dan hanya dapat menjadi manusia hanya bila dia bersama sesama yang riil. Dua pendapat yang berbeda antara para pemikir itu tidak akan habis bila dibahas. Namun kita bisa memilih apakah kita akan menjadi orang autis atau mulai menyapa sesama yang ada di dekat kita.

Rabu, 19 Agustus 2009

INIKAH BANGSA MERDEKA?? (Sebuah catatan pada HUT RI ke 59)

Ruang sekretariat sangat sumpek. Ruang 2,5X2,5 m ini selain sebagai ruang sekretariat juga sebagai kamar tidur. Tikar kumuh, bantal lecek, pakaian kotor, meja komputer dan lemari pakaian yang sangat sederhana berjubel di dalamnya. Malam ini sebetulnya aku mau membetulkan komputer yang katanya kurang beres. Namun ternyata anak-anak ingin ngobrol. Maka beberapa anak duduk berdesakan di sekitarku. Tampang mereka tidak lebih bersih dari pada ruang sekretariat. Aku yakin sebagian besar dari mereka belum mandi padahal saat ini sudah hampir tengah malam. Mereka baru saja datang dari ngamen.

Bermula bicara soal tikar untuk tidur, sebab tikar yang ada sudah mulai robek dan kurang. Saat ini setiap malam berkumpul sekitar 20 anak. Mereka tidur berdesakan seperti pindang di lantai tanpa tikar. Aku janji akan membelikan mereka tikar baru. Obrolan terus berkembang masuk dalam kehidupan. Seorang anak mengatakan sebetulnya yang lebih penting bukan fasilitas rumah, melainkan masa depan mereka. Aku tersentak. Mereka lebih senang kalau aku bisa memberikan masa depan daripada aneka fasilitas untuk rumah. Aku jelaskan bahwa kesulitanku terbesar adalah menyalurkan mereka untuk bekerja. Tidak satupun dari mereka yang mempunyai ijasah SD. Setiap orang yang mencari pegawai sudah memberikan satu syarat utama adalah ijasah sekolah formal minimal SMA. Memang mereka tidak menuntut pekerjaan yang hebat. Mereka hanya ingin keluar dari perempatan jalan.

Aku selama ini memang dibingungkan masalah ini. Beberapa kali aku mencoba membuka usaha untuk menampung tenaga mereka namun semua gagal. Mungkin saja aku kurang faham akan dunia usaha atau memang mereka belum mempunyai etos kerja. Seorang anak cerita bahwa dia sudah bosan dipandang rendah oleh sesamanya. Pernah dia diludahi wajahnya oleh seseorang sebab dia memaksa ngamen di sebuah tempat. Teman yang lain sangat jengkel bila dikatakan sebagai pemalas yang tidak mau bekerja. Masih beberapa teman lagi yang menceritakan pengalaman buruk mereka di jalanan.

Mereka ingin bekerja seperti layaknya orang lain, tapi bagaimana bisa? Siapakah yang mau menerima mereka menjadi pegawainya bila sebuah cap sudah ditempelkan di dahi mereka? Beberapa teman keluar dari tempat kerja sebab disana sering direndahkan. Mereka tidak dilihat kemampuannya melainkan hanya latar belakang hidupnya. Salah satu teman mengatakan kecewa ketika mendengar perkataanku bahwa salah satu syarat diterima kerja adalah selembar ijasah. Dia langsung protes bahwa aku tidak beda dengan orang lain yang tidak memahami mereka. Aku hanya tersenyum mendengar protesnya. Beberapa teman lalu bercerita mengapa mereka sampai tidak sekolah. Mengapa mereka keluar dari sekolah sebelum lulus SD. Mereka ingin sekolah tapi keadaan memaksa mereka meninggalkan bangku sekolah.

Obrolan terus berlanjut sampai dini hari. Mataku sudah ngantuk maka aku pamit pulang. Dalam perjalanan pulang aku melihat beberapa orang sibuk memasang bendera untuk menyambut hari kemerdekaan. Indonesia sudah merdeka 59 tahun. Sebuah perjalanan sebagai bangsa merdeka yang sudah cukup lama. Apakah kemerdekaan itu sudah bisa dinikmati oleh semua penduduk? Anak-anak di rumah singgah belum menikmati arti kemerdekaan itu. Dalam UUD dan pancasila jelas ditulis keadilan bagi seluruh bangsa Indonesia. Apakah anak-anak sudah diperlakukan adil oleh negara? UUD mengatakan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak. Apakah cukup mendapat hak sedang untuk memperoleh hak itu dia harus membayar sekian ratus ribu bahkan jutaan rupiah? Betapa mahal untuk menikmati hak pendidikan. UUD juga menulis bahwa kaum miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Sejauh mana negara memelihara anak-anak ini?

Merdeka dalam kamus bahasa Indonesia diartikan bebas atau terlepas dari, menjadi diri sendiri dan tidak tergantung atau terikat pada orang atau sesuatu. Melihat arti ini maka timbul pertanyaan apakah bangsa ini sudah merdeka? Memang disini sudah tidak ada lagi Belanda atau Jepang yang menjadi penjajah. Indonesia sudah lepas dari penjajahan. Namun apakah bangsa ini sudah lepas dari ketergantungan dan keterikatan pada orang atau sesuatu? Apakah bangsa ini sudah menjadi bangsa yang mampu mengungkapkan dirinya sendiri? Aku merasa bahwa masih banyak orang belum merdeka. Mereka hanya bebas untuk bukan bebas dari. Pemahaman kemerdekaan yang semula bebas dari dibelokkan menjadi kebebasan untuk. Akibat pemahaman ini maka setiap orang bebas untuk korupsi. Bebas untuk menarik uang sekolah setinggi mungkin. Bebas untuk tidak peduli pada sesamanya dan sebagainya. Aku pikir teman-temanku adalah kurban dari sikap sekian banyak orang yang memaknai kemerdekaan sebagai cara untuk mementingkan diri sendiri.

Kapankah anak-anakku menikmati situasi bangsa yang merdeka? Dimana mereka bisa mendapatkan perhatian dari pemerintah. Mereka bebas mengamen tanpa harus diludahi. Mereka bisa berjalan tegak tanpa harus dihina dan dicap sebagai pemalas. Kapankah pemerintah mau mensubsidi uang sekolah mereka? Kapankan pemerintah mampu membuka lapangan pekerjaan bagi mereka yang hanya mampu menempuh pendidikan rendah? Siapakah yang akan bertanggungjawab akan nasih mereka? Anak-anak yang ada di rumah singgah hanya 20 an anak. Aku yakin masih ribuan anak yang menjalani hidup seperti mereka. Tidak mampu sekolah karena kemiskinan keluarganya. Aku tidak akan menyalahkan keluarganya mengapa mereka miskin. Beberapa anak bercerita bahwa orang tuanya ingin mereka sekolah sampai pandai. Namun apa daya jerat kemiskinan tidak mampu mereka lepaskan. Jangankan sekolah untuk makan saja mereka merasa sangat kesulitan.

Bendera di tepi jalan berkibar dihembus angin dini hari. Aku memacu kendaraanku melalui deretan bendera. 59 th merdeka ternyata belum mampu mengubah banyak bangsa ini. Bukan perubahan fisik seperti pembangunan dan penyediaan sarana namun perubahan mental dan moral. Suatu perubahan mendasar dalam diri manusia. Manusia yang tidak terikat pada rasa ingin memiliki dan menguasai. Rasa ingin menindas dan berlaku sewenang-wenang terhadap sesama. Manusia yang mampu menciptakan situasi dimana orang lain mampu menjadi dirinya sendiri. Orang yang mandiri. Aku hanya bermimpi di dini hari.

YESUS SANG REVOLUSIONER

Revolusi adalah perubahan sosial budaya yang cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Sistem masyarakat yang lama dibongkar secara radikal (seakar-akarnya) dan dibangun budaya, ideologi, dasar-dasar hukum, ekonomi yang baru demi tercapainya sebuah perbaikan. Sebuah revolusi dapat mengakibatkan pertumpahan darah, sebab muncul pertentangan antar kelas dan kelompok. Tapi tidak semua revolusi menumpahkan darah. Sebuah revolusi dapat berdampak luas, sehingga mempengaruhi banyak orang dalam aneka jaman namun juga dapat hanya berdampak di suatu tempat saja dan dalam waktu tertentu saja.

Jean Paul Sartre (1905-1980) seorang filsuf Perancis menulis artikel berjudul “Sang Revolusioner”. Menurut Sartre “sang Revolusioner” adalah orang yang lahir dari rakyat tertindas. Memang tidak semua kaum tertindas akan menjadi revolusioner, sebab mereka mengharapkan dapat menikmati apa yang dinikmati oleh kelas menengah. Bagi saya mereka tidak bergerak mungkin dikooptasi oleh kelas menengah atau mereka pesimis dan pasrah akan hidupnya. Banyak orang menganut fatalisme, pasrah pada nasib. Seorang revolusioner berjuang demi transformasi radikal atas eksistensi dirinya. Mungkin dia sadar bahwa dia tidak mampu mengubah seluruhnya seketika, namun dia berjuang untuk menciptakan tahap yang mendasar untuk mencapai masyarakat yang adil sejahtera. Dia tidak bergerak sendiri melainkan membangun solidaritas. Solidaritas hanya tercapai bila masyarakat tanpa kelas. Sartre mengkritik orang yang dianggap “pribumi”, sebutan bagi penduduk yang terjajah. “Pribumi” adalah orang yang tidak mampu menunjukkan eksistensinya. Dia adalah kaum miskin yang tidak peduli akan eksistensinya. Orang yang hidup hanya menjalankan kehidupannya. Dia tidak punya tujuan hidup, segalanya dijalankan karena memang harus menjalankan. Seperti buruh yang hidup hanya untuk bekerja bukan untuk tahap memiliki modal usaha atau kapital.

Membaca tulisan Sartre, maka saya berusaha melihat apakah Yesus termasuk sang revolusioner? Pada jaman Yesus ada kelas-kelas dalam masyarakat Yahudi. Ada Saduki orang yang mengurus keuangan Bait Allah. Ada imam yang melakukan persembahan. Untuk jadi imam butuh restu dari orang Romawi dan mereka juga harus memberi upeti. Ada Farisi dan ahli Kitab. Selain itu masih ada orang-orang yang diangkat oleh penjajah Romawi sebagai pegawai pemerintahan dan penguasa Romawi sendiri. Yesus ada dalam pihak kaum miskin yang sering ditindas.

Yesus bukan datang untuk memberontak dan mengusir penjajah. Dia membangun suatu masyarakat baru yang tanpa kelas. Semua adalah saudara baik Yahudi maupun non Yahudi yang diwakili oleh orang Samaria. Dia menghargai perempuan dan anak-anak. Masyakarat tanpa kelas ini mendasarkan diri pada hukum kasih. Inilah sebuah perubahan radikal. Bila Yesus berontak maka suatu saat akan terjadi pemberontakan lagi. Kudeta akan menimbulkan kudeta baru. Keputusan Yesus untuk membangun masyarakat baru tanpa melakukan pemberontakan tampaknya kurang dipahami oleh murid muridNya. Mereka ingin menjadikan Yesus raja yang artinya membangun kekuatan politis tandingan. Mereka telah siap untuk melakukan pemberontakan, maka Petrus membawa pedang. Dia adalah nelayan dan tampak janggal ketika membawa pedang dan siap melawan para tentara yang berusaha menangkap Yesus.

Dalam membangun masyarakat baru Yesus melihat jauh ke depan. Komunitas yang baru dibentukNya adalah cikal bakal dari dunia baru. Dunia yang damai sejahtera dan adil seperti gambaran Yesaya dimana pemangsa dan yang siap dimangsa dapat hidup berdampingan secara rukun (Yes 11:6-10). Bagaimana dengan Gereja saat ini? Apakah tetap memposisikan diri pada kaum miskin untuk membangun masyarakat baru? Ataukah masyarakat baru menjadi sebuah utopia yang tidak menyejarah? Ataukah Gereja sudah menikmati kemampanan sebuah kelas tertentu sehingga lupa akan tugas dan perannya seperti yang dikehendaki Yesus? Apakah Gereja masih terus melakukan revolusi yaitu melakukan transformasi radikal akan budaya dalam masyarakat?

Jumat, 14 Agustus 2009

GEREJA YANG BERJUANG

Tulisan sebelumku yang berjudul “Yesus Kaum Kiri” ternyata menimbulkan pertanyaan bagi seseorang. Baginya Yesus itu penyelamat manusia dari dosa bukan soal kiri atau kanan. Gereja tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Apa yang dikatakan memang benar bahwa Gereja tidak boleh terlibat dalam politik praktis misalnya mendukung satu partai politik atau seorang imam mencalonkan menjadi anggota legislatif atau kepala daerah. Tapi bukan berarti Gereja melepaskan diri dari masalah kemanusiaan. Gereja tidak hanya berbicara soal Kerajaan Allah ketika sudah kebangkitan nanti. Gereja harus menempatkan diri dan menunjukkan perannya sesuai dengan posisinya.

Beberapa tahun lalu Gereja dihebohkan oleh teologi pembebasan yang muncul di Amerika Selatan yang menimbulkan pro dan kontra. Francis Wahono Nitiprawiro dalam bukunya yang berjudul “Teologi Pembebasan” menjelaskan panjang lebar mengenai perbedaan antara teologi pembebasan dengan Marxisme. Teologi pembebasan adalah upaya Gereja untuk menjalankan salah satu tugasnya yaitu kenabian. Dalam situasi masyarakat yang tidak adil dimana banyak rakyat dimiskinkan dan ditindas, maka Gereja tidak boleh diam. Gereja harus terlibat dalam masalah dunia seperti harapan Konsili Vatikan II yang tertuang dalam konstitusi dogmatik Gaudium et Spes. Gereja tidak boleh menjadi getho atau menikmati kenyamanan menara gading. Dalam hal inilah sering kali Gereja lupa atau berusaha menikmati kemampanan kaum kanan atau tidak mau repot. Keterlibatan dalam perjuangan kaum miskin membutuhkan banyak energi bahkan kesiapan untuk memberikan nyawanya seperti uskup Oscar Romero (1917-1980) yang dibunuh karena menyuarakan kenabian di El Salvador. Sering kali perjuangan seperti para tokoh teologi pembebasan ini dicap sebagai orang kiri.

Edicio de la Torre seorang teolog dari Philipina membedakan orang yang berjuang. Ada orang yang menderita tapi tidak berjuang. Ada orang yang menderita maka berjuang. Ada orang yang berjuang maka menderita. Yesus adalah orang yang berjuang maka menderita. Dia berjuang untuk membangun sebuah dunia baru. Dunia ini dinikmati mulai saat ini. Kerajaan Allah sudah datang. “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” (Mat 12:28). Kehadiran Kerajaan Allah merupakan hadirnya tatanan baru dalam masyarakat. Siapa saja yang ingin masuk dalam tatanan baru ini harus mengubah dirinya secara total. Gaya hidup, pemikiran, pandangan hidup dan budaya lama tidak bisa dicampur dengan tatanan baru ini. Dalam kotbah di bukit Yesus mengkonfrontasikan antara tata kehidupan baru dengan tata kehidupan lama. Hukum utama adalah kasih. Kasih pada Allah yang semula hanya dipusatkan pada doa dan liturgi diubah menjadi kasih nyata kepada sesama. “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan,” (Mat 9:13). Terbuka bagi siapa saja dan bukan milik satu kelompok saja.

Kerajaan Allah adalah situasi hidup yang nyata, menyejarah pada saat ini dan disini. Bukan sebuah utopia atau situasi setelah kematian saja. Pembebasan yang dilakukan oleh Yesus bukan melulu diakhir jaman, tapi dimulai ketika Dia ada di dunia. Orang buta dapat melihat, orang lumpuh dapat berjalan dan sebagainya. Yesus membangun Kerajaan Allah secara nyata dan kongkrit yang dapat dirasakan oleh manusia hidup. Yesus membangun Kerajaan Allah mulai dari komunitas kecil yang diharapkan akan bertumbuh dan berjuang untuk membangun sebuah tatanan baru dalam masyarakat.

Syarat untuk pembangunan Kerajaan Allah adalah pertobatan yang mampu mengubah situasi dan kondisi kehidupan. Maka dalam Kerajaan Allah keselamatan bukan menjadi urusan perorangan melainkan komunitas. Aku dapat masuk surga bila menyelamatkan sesama. Orang diselamatkan bila dia memberi makan orang yang lapar (Mat 25:31-46). Inilah pertobatan yaitu bukan sekedar mengakui dosanya, melainkan kembali kepada hukum kasih. Dosa adalah penyebab rusaknya hukum kasih. Maka orang bertobat bila dia mengembalikan apa yang sudah dirampasnya. Tidak mempunyai dendam dan kebencian, sehingga mampu mencintai musuh. Tidak terbelenggu SARA, seperti orang Samaria yang menolong orang Yahudi. Pemimpin adalah orang yang melayani bahkan rela memberikan nyawanya demi keselamatan pengikutnya. Maka Kerajaan Allah bergerak untuk mengubah masyarakat secara total menuju situasi hidup yang adil, bersatu dan damai sejahtera.

Namun Yesus menyadari bahwa Kerajaan Allah yang dibangunNya tidak luput dari para pengkhianat yang mencoba membelokkannya. “Sejak tampilnya Yohanes Pembaptis hingga sekarang, Kerajaan Sorga diserong dan orang yang menyerongnya mencoba menguasainya.” (Mat 11:12). Munculnya mesianis-mesianis yang mengatasnamakan Yesus memberikan janji kebahagiaan setelah meninggal. Mereka tidak peduli dengan penderitaan dunia, sebab hal yang penting adalah kebahagiaan di surga setelah mati. Orang miskin diajak untuk berdoa dan diberi janji kebahagiaan surga. Yesus tidak menyepelekan kehidupan doa. Dia berdoa secara khusus. Tapi Dia mengubah situasi kemiskinan yang menyebabkan manusia tidak dihargai martabatnya menjadi dihargai martabatnya. Mesianis palsu mengajak orang untuk tidak mempermasalahkan situasi dan kondisi hidupnya di dunia dan memberi janji kebahagiaan surga setelah mati.

Yesus bukan praktisi politik seperti para mesianis dunia. Para calon presiden ketika masa kampanye semua menjanjikan kehidupan yang lebih baik agar rakyat memilihnya. Rakyat hanya menjadi obyek bagi pencapaian kedudukan yang diinginkan. Seorang caleg DPRD di Surabaya memberi janji kepada warga pinggir kali kalau dia menjadi anggota dewan maka para penghuni pinggir kali tidak akan digusur. Tapi begitu terjadi penggusuran maka dia tidak muncul. Dia tidak berani merealisasikan janjinya. Yesus tidak membius rakyat dengan janji kehidupan yang adil sejahtera. Rakyat bukanlah obyek untuk mencapai kedudukan. Yesus mengajarkan agar semua orang bertobat. Berubah kembali ke hakekatnya sebagai citra Allah. Hidup bersatu dengan Allah yang adalah kasih, sehingga hidupnya merupakan pacaran kasih Allah bagi sesama.

Gereja adalah kelanjutan dari Kerajaan Allah yang dibangun oleh Yesus. Dengan demikian Gereja adalah agen perubahan masyarakat. Gereja menjadi garam yang mempengaruhi masyarakat agar bertobat sehingga dapat mencapai kehidupan yang damai sejahtera. Gereja adalah terang yang memberikan gambaran kehidupan adil sejahtera itu seperti apa. Gereja adalah komunitas orang yang terus menerus berjuang membangun perubahan dalam masyarakat sehingga tercapai kehidupan adil, bersatu dan damai sejahtera. Di negara kita masih banyak terjadi ketidakadilan dan kesewang-wenangan seperti kasus Lapindo. Bila Gereja masih merasa dirinya adalah penerus Kerajaan Allah yang dibangun oleh Yesus apakah yang akan dilakukan? Apakah diam saja dan memusatkan diri pada liturgi dan doa-doa atau mulai menyuarakan suara kenabian meski harus menderita? Apakah Gereja akan mengejar kemapanan sehingga melupakan tugas perutusannya di dunia yaitu membuat dunia yang lebih baik?

Rabu, 12 Agustus 2009

YESUS ADALAH ORANG KIRI

Anthony Giddens (1938 - ) sosiolog Inggris dalam bukunya yang berjudul “The Third Way” menyinggung buku berjudul “Left and Right” karangan Norberto Bobbio (1909-2004) seorang politikus Italia yang membahas soal kaum kiri dan kanan. Secara singkat Giddens menyimpulkan bahwa kaum kiri saat ini sudah mulai memudar sedangkan kaum kanan semakin menguat. Kaum kiri memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sosial. Tanpa persamaan derajat maka keadilan sosial tidak akan tercapai. Untuk itu rakyat harus terlibat dalam membangun dunia yang adil. Sebaliknya kaum kanan berusaha menekankan herarki dan melindungi ekonomi dan kultur mereka. Seperti Pat Buchanan yang menyerukan “America first” atau yang pertama adalah orang Amerika. Demikian pula Jean Marie Le Pen di Perancis yang diskriminatif. Kaum kanan berusaha mempertahankan kenikmatan dan kemampanan yang diperoleh dari neoliberalisme.

Meski dalam konteks situasi ekonomi dan politik yang berbeda, namun kita bisa belajar dari Yesus tentang nilai-nilai yang diperjuangkan. Sejak awal Yesus menyerukan bahwa Dia akan berjuang bersama rakyat miskin (Luk 4:18-19). Hal ini disebabkan kaum miskin banyak ditindas dan tidak dipedulikan oleh para pemimpin. Mereka tidak diperhatikan oleh para pemimpinnya yang terlalu sibuk mengurus soal adat istiadat seperti orang Farisi, yang membebani rakyat dengan aneka peraturan seperti para ahli kitab, dan membuat hukum yang tidak berpihak pada rakyat miskin seperti para ahli Taurat. Penjajah Romawi pun menindas rakyat dengan aneka pajak yang berat. Pilihan Yesus membuatNya berhadapan dengan para pemimpin agama dan penjajah Romawi.

Yesus memperjuangkan kesamaan. Dia menghapus herarki “Dan janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga.” (Mat 23:3). Herarki dapat membuat orang tidak menghargai sesamanya dan tidak bisa terlibat dalam diri sesama, sebab ada batasan yang menghalanginya. St Paulus lebih tegas lagi menghilangkan aneka perbedaan yang ada. “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Gal 3:8). Kesamaan bukan hanya mereka menghilangkan sekat yang ada tapi juga membuat mereka menjadikan miliknya adalah milik bersama “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.” (Kis 4:32). Tujuan semua ini adalah membangun komunitas surgawi atau Kerajaan Allah. Maka kehadiran Yesus adalah kehadiran Kerajaan Allah yang menjadi nyata bukan saja setelah kematian tapi juga saat di dunia.

Pergerakan Yesus dalam usaha membangun komunitas baru dengan budaya baru yang setara dan untuk keadilan sosial membuat gerah para pemimpin Yahudi. Herarki dan kemampanan yang sudah mereka bangun selama ini akan goyah. Yesus dengan keras mengkritik atau mengutuk kebejatan para pemimpin (Mat 23:1-36). Mereka berlindung dibalik hukum dan tata aturan yang dibuatnya sendiri untuk melindungi kemapanan dan sebaliknya menindas rakyat kecil. Mereka tidak mampu menjadi pengayom rakyat kecil sebab mereka lebih mencitai kekuasaan dan fasilitas yang dimilikinya. Maka melalui berbagai cara mereka berusaha untuk mengenyahkan Yesus.

Yesus tidak berusaha menguraikan kemiskinan tapi Dia mengajak pengikutNya untuk peduli dan terlibat dalam kehidupan kaum miskin. Bagi Yesus mencintai Allah harus terwujud pada mencintai orang miskin. Pribadi kaum miskin bukan kemiskinan. Maka ukuran untuk dapat masuk surga adalah kalau orang rela berbagi pada orang miskin (Mat 25:31-46), sebab Yesus ada dalam diri orang miskin. Inilah solidaritas yaitu keterlibatan dalam kehidupan manusia (Rm 12:15) dengan penuh rasa empati. Dengan demikian Yesus adalah orang kiri yang berusaha membangun sebuah kehidupan yang adil berdasarkan kesetaraan dan solidaritas. Lalu mengapa kita bangga menjadi orang kanan? Bukankah dengan demikian kita berhadapan dengan Yesus sendiri?

Selasa, 11 Agustus 2009

KIRI - KANAN

Sering orang menyebutku sebagai kaum kiri. Seorang tokoh Gereja pun menyebutku sebagai imam kiri. Sebutan ini dikaitkan dengan aktifitasku yang sering terlibat dalam pertemanan dengan kaum miskin. Bermula dari pendampingan kaum buruh yang mempertemukanku dengan para aktifis pro demokrasi sebelum reformasi. Kemudian aku terlibat dalam pertemanan dengan anak jalanan, pemulung, PKL dan kaum miskin lainnya. Beberapa kali aku terlibat aktif dalam perencanaan dan demonstrasi bersama kaum miskin. Kedekatanku dengan kaum miskin dan perjuangannya inilah yang memicu orang untuk menjulukiku kaum kiri yang diucapkan dengan nada sinis.

Beberapa orang berpendapat bahwa tempatku bukan disana. Aku harus berada di dalam areal Gereja. Semula aku ingin mengikuti pendapat itu. Tapi ketika aku ingin berhenti ada saja orang atau peristiwa yang membawaku kembali ke areal kaum miskin. Ketika aku menghentikan aktifitasku dalam pertemanan dengan anak jalanan, tiba-tiba ada teman mengajak untuk membantu kurban Lapindo. Setelah aku berhenti, ada teman yang memintaku untuk mendukung perjuangan warga stren kali yang akan digusur. Apakah memang kaum kiri itu merupakan sesuatu yang buruk?.

Istilah kiri sering merupakan ungkapan kesinisan. Banyak orang melihat kiri itu buruk. Di negara kita kiri dikaitkan dengan komunis atau PKI. Banyak orang masih alergi dengan paham komunis, meski banyak orang tidak paham mengenai komunisme. Mereka hanya yakin bahwa komunis itu jahat sebab mengkaitkan dengan PKI. Bila kita mau jujur sebenarnya PKI menjadi kurban setelah peristiwa G30S. Jutaan pengikut PKI dan yang dituduh PKI dibantai oleh orang yang mengaku agamawan dan nasionalis. Belum lagi mereka yang dipenjara dan mengalami siksaan yang mengerikan.

Istilah kiri muncul pada tahun 1878 setelah revolusi Perancis. Dalam parlemen Perancis tempat duduk dibagi sebelah kiri dan kanan raja serta yang ditengah. Para penentang raja duduk di sebelah kiri sedangkan pendukung kerajaan duduk di sebelah kanan. Orang yang duduk di tengah adalah kaum moderat. Dari situ mulai muncul istilah kiri bagi siapa saja yang menentang penguasa. Istilah kiri semakin berkembang setelah munculnya Karl Marx dengan sosialismenya. Karl Marx membela kaum miskin dan menentang para pemilik modal, maka istilah kiri dikaitkan dengan perjuangan rakyat miskin dalam melawan kaum pemilik modal. Di negara kita kiri dikaitkan dengan komunisme dan komunisme dicap sebagai ateis dan amoral. Hal ini ditanamkan terus menerus dalam masyarakat. Pada tahun 1984 Arifin C Noer membuat film berjudul “Pengkhianatan G30S” yang wajib ditonton oleh semua anak sekolah dan ditayangkan di TV selama bertahun-tahun setiap 30 September. Film itu melukiskan kekejaman PKI. Inilah keberhasilan ORBA dalam membangun kebencian masyarakat terhadap PKI.

Oleh karena selama bertahun-tahun bangsa ini dijejali pemahaman yang keliru tentang istilah kaum kiri, maka sampai sekarang istilah kiri tetap dianggap buruk. Orang bangga bila disebut istilah kaum kanan, sebab dianggap sebagai orang beragama dan baik. Padahal kaum yang menyebut diri kanan belum tentu baik. Mantan presiden Bush yang banyak menebar perang adalah kaum kanan. Margareth Teacher yang menggagas neoliberlisme juga dari partai kanan. Pinochet, presiden Chili yang membantai banyak orang juga dari partai kanan. Para pemimpin agama di Iran yang kejam juga orang kanan. Le Pen, calon presiden Perancis pada pemilu tahun 2002 adalah orang ultra kanan yang memboyong ide membenci para imigran. Jadi kaum kanan juga bisa kejam.

C. Wright Mills (1916-1962) seorang sosiolog dari Amerika menulis, bahwa istilah kiri merujuk kepada sekelompok orang memiliki kecenderungan utopia, memiliki khayalan akan masa depan dan tatanan sosial yang lebih baik, hal itu tidak selalu berkonotasi buruk. Kata tersebut justru mengacu pada sesuatu yang positif, semacam semangat yang menggerakkan diri manusia untuk melakukan perubahan sejarah. Lalu mengapa orang sering memandang kiri dengan sinis?

Senin, 10 Agustus 2009

SATYAGRAHA

Dalam tulisan tentang “Kekerasan” aku mengatakan bahwa kekerasan tidak terkait dengan keberanian. Bahkan tindakan semacam bom bunuh diri adalah suatu tindakan pengecut dari orang yang sakit jiwa. Bagiku seorang pemberani adalah orang yang mendasarkan hidupnya pada hukum yang paling tinggi di dunia yaitu hukum kasih. Hal ini memang dapat dilihat agak aneh. Tidak masuk akal, sebab kasih dianggap sebagai kelemahan atau cara untuk menghindari konflik. Orang yang hidupnya penuh kasih, dia akan menghindari kemarahan dan kekerasan. Dia berusaha mencari jalan dalam setiap masalah dengan mengutamakan kasih dan perdamaian.

Mahatma Gandhi (1869-1948) bapa bangsa India mewariskan dua ajaran besar yaitu ahimsa dan satyagraha. Secara sederhana ahimsa diartikan sebagai semangat untuk menahan diri agar tidak melakukan tindakan kekerasan demi tercapai kesejahteraan umum dan perdamaian. Secara positip ahimsa adalah kasih besar yang memberikan pengampunan, menunjukkan kesabaran, kebesaran jiwa dan kemurahhatian. Sedang satyagraha diartikan sebagai pencarian kebenaran atau hidup berpegang teguh pada Allah dan mengabdikan diri sepenuhnya pada Allah untuk mencapai kebenaran.

Dasar satyagraha ada 3 yaitu kemurnian, kemiskinan dan ketidaktakutan. Kemurnian adalah kemurnian intensi dalam melakukan tindakan. Dalam melakukan segala sesuatu dia tidak mempunyai maksud-maksud tersembunyi. Dia jujur seperti dalam Injil, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jaha” (Mat 5:37). Kemiskinan bukan berarti tidak punya uang melainkan tidak serakah, ingin menguasai banyak hal. Kemiskinan berarti juga pengosongan diri sampai titik nol seperti dalam Flp 2:5-8. Keberanian adalah kekuatan untuk melepaskan segala yang dimiliki bahkan nyawanya sendiri. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Ketiganya merupakan semangat ahimsa. Dengan demikian untuk menjadi seorang satyagrahi (pelaku satyagraha) dia mendasarkan diri pada semangat ahimsa, semangat kasih yang mengampuni, rela berkurban bukan hanya fisik tapi juga dikecewakan dan disakiti hatinya dan semangat untuk mengampuni.

Ajaran Gandhi mengenai satyagraha diikuti oleh para pejuang anti kekerasan seperti Martin Luther King dan Nelson Mandela. Sebetulnya ajaran ini bukan hanya ditujukan untuk perjuangan tanpa kekerasan melainkan sebagai dasar kehidupan sehari-hari. Seorang satyagrahi bersenjatakan cinta maka dia menolak kekerasan yang dapat mengakibatkan perpecahan. Bila ada orang yang bersalah, maka dia tidak menghukum melainkan memberikan penyadaran agar orang itu mau bertobat. St Paulus menulis, “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan.” (Rm 12:21). Hal ini bukan berarti membiarkan orang berdosa. Bila ada orang berbuat salah maka kita harus menegur meski mungkin kita akan dipukuli sampai mati. Tetapi bukan berarti kita boleh memaksakan kehendak kita kepada setiap orang, sebab hal itu dapat menyebabkan perpecahan. Dengan demikian seorang satyagrahi adalah orang yang menolak kejahatan tanpa kekerasan melainkan mempertobatkan.

Gandhi dipengaruhi ajaran Yesus terutama “Kotbah di Bukit”. Dia mengagumi Yesus tapi menolak orang Kristen, sebab mereka tidak mampu menjalankan apa yang diajarkan oleh Yesus. Yesus adalah seorang satyagrahi. Dia berani menderita demi membela dan menyelamatkan manusia yang ditindas oleh penguasa dengan bersenjatakan kasih dan pengorbanan. Bagaimana Gereja saat ini disini? Apakah para penguasa Gereja sudah menjadi satyagrahi? Penguasa yang berani mengosongkan diri dan tidak membuat perpecahan. Penguasa yang berani menyerukan kebenaran meski harus mati? Saat ini banyak kasus rakyat ditindas oleh penguasa. Kasus Lapindo, penggusuran, perburuhan, anak jalanan dan sebagainya. Apakah yang telah dilakukan oleh Gereja? Apakah cukup memberi bingkisan atau akan mulai menyerukan dan melakukan pergerakan?

Sabtu, 08 Agustus 2009

MARAH

Seorang mengkritisi tulisanku yang berjudul “Kekerasan”. Dia bertanya apakah bila kita dilarang melakukan kekerasan maka kita tidak boleh marah? Apakah bila kita melihat hal yang kurang tepat maka didiamkan saja? Bagiku marah dan kekerasan bisa dilihat secara berbeda. Kekerasan itu tidak sama dengan kemarahan meski kemarahan dapat menimbulkan kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Setiap orang boleh saja marah sebagai ungkapan emosi atas ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh suatu situasi atau perbuatan sesamanya.

Dalam budaya Timur orang cenderung mencari harmoni, sehingga bila ada hal yang membuatnya tidak nyaman maka dia lebih memilih untuk menyingkir daripada menghadapinya yang dapat menimbulkan konflik dan kemarahan. Selain itu juga orang yang menekankan toleransi sehingga berusaha untuk menerima saja sesuatu yang sebetulnya membuat dirinya tidak nyaman. Di bulan Ramadhan dengan menekankan toleransi pada orang yang sedang berpuasa, maka semua warung ditutup. Padahal bagi yang tidak berpuasa hal itu merugikan. Harmoni dan toleransi dalam hal ini kurang tepat penerapannya. Kita boleh saja mempertanyakan sesuatu yang mengangganggu meski dapat menimbulkan konflik dan kemarahan. Edmund Burke (1729-1797) seorang filsuf Inggris mengatakan “The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing”. Maka diam atau tidak marah belum tentu baik.

Dalam Injil Markus dua kali diceritakan Yesus marah (3:5 dan 8:33) sedang dalam Injil lain dikatakan lebih halus yaitu dengan kata “menegur”. Dia marah sebab orang degil hatinya. Kemarahan memang diperlukan untuk mengungkapkan rasa ketidakpuasan hati. Yesus tidak puas dengan orang-orang disekitarNya dan Petrus. Tapi kemarahan itu terpusat pada pokok masalah dan bertujuan untuk memperbaiki kesalahan. Hal yang sering terjadi adalah kemarahan melebar dari pokok masalah dan berdasarkan kebencian sehingga cenderung menyerang pribadi yang mengakibatkan luka dan kebencian baru tapi tidak memperbaiki keadaan. Orang marah pada penguasa maka meledakkan bom. Apakah setelah bom meledak maka pemerintah menjadi baik seperti yang diinginkannya? Seorang ayah mencaci maki anaknya yang mendapat nilai jelek di sekolah. Apakah setelah dicaci maki maka anaknya akan lebih pandai?

Dalam kemarahan orang mendapat tambahan energi yang luar biasa. Ketika terjadi demonstrasi di sebuah pabrik, para buruh perempuan yang sedang marah mampu menggulingkan truk kontainer yang bermuatan penuh. Energi kemarahan disalurkan untuk mendorong truk sehingga terguling. Bila orang berpikir positip maka kemarahan dapat disalurkan dalam aktifitas tubuh yang lebih bermanfaat misalnya mencangkul, dan sebagainya. Hal ini dapat menyalurkan energi tanpa menyakiti orang lain.

Kalau toh orang harus marah, maka dia harus tetap fokus pada masalah dan bertujuan untuk memperbaiki situasi. Mahatma Gandhi seorang pejuang India yang sangat cinta damai dan penuh kasih sehingga gerakannya disebut gerakan anti kekerasan, namun dia pernah marah. Dia marah karena martabatnya dan martabat bangsanya dilecehkan oleh bangsa Inggris. Demikian pula Martin Luther King yang berjuang untuk persamaan warga kulit hitam di AS. Akibat kemarahannya terjadi perubahan yang besar di Amerika. Perjuangan Gandhi pun menghasilkan kemerdekaan India. Mereka marah sebab tidak mentolerir perlakuan suatu bangsa atau warga yang merugikan dan merendahkan bangsa atau warga lain. Mereka marah dengan tujuan ada perubahan.

Kemarahan mereka diungkapkan dalam tindakan-tindakan yang santun dan terhormat namun penuh keberanian. Gandhi dan Martin Luther mengajak boikot dengan segala resiko yang harus ditanggungnya. Mereka tidak melakukan kekerasan dan melukai orang. Mereka hanya mengajak orang berusaha berubah. Memperbaiki dirinya dan pandangan hidupnya. Maka marah dapat dilakukan asal ada tujuannya yaitu perubahan cara pandang yang salah dan memberikan penyadaran akan kesalahan.

Jumat, 07 Agustus 2009

PERBUATAN BAIK

Seorang datang padaku dan menceritakan bahwa dia telah lama memberi makan pada orang miskin. Menurutnya setiap dua minggu sekali dia membuat nasi bungkus dan dibagikan pada orang miskin. Dia bangga menceritakan pengalamannya berbelas kasih pada kaum miskin. Aku tanya sudah berapa lama dia melakukan itu. Dia menjawab sudah hampir dua tahun secara rutin. Semua itu dia lakukan sendiri, sebab menurutnya sulit sekali mengajak teman untuk melakukan hal itu. Dia pun merasa bahwa hal itu tidak perlu dikatakan pada banyak orang, sebab bila tangan kanan memberi jangan sampai tangan kiri mengetahuinya.

Sebetulnya banyak orang melakukan seperti orang itu. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai rasa belas kasihan pada sesamanya yang menderita dan rendah hati sehingga memberi secara tersembunyi. Mereka tidak ingin popularitas dan dikenal oleh orang lain. Satu alasan ketersembunyian adalah takut dicap sebagai kristenisasi. Apakah Yesus menghendaki agar kita melakukan perbuatan baik secara tersembunyi? Ternyata tidak. Dia bersabda, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Mat 5:16). Yesus menghendaki agar orang melihat perbuatan baik kita agar mereka memuliakan Allah di surga.

Dalam hal ini Yesus tidak mengajarkan kesombongan. Memang bila ayat itu dipotong dan berhenti sampai “melihat perbuatan baik”, saja maka berarti itu kesombongan. Tetapi melanjutkan dengan tujuan dari perbuatan baik itu yaitu agar manusia memuji Tuhan. Setiap perbuatan baik yang kita lakukan bertujuan agar manusia merasakan belas kasih Allah secara nyata. Kita adalah alat Tuhan untuk menunjukkan belas kasihNya pada manusia seperti Yesus dipakai oleh Tuhan untuk menunjukkan belas kasihNya. Hal yang kurang baik ialah bila tujuan itu berhenti kepada diri kita sendiri, sehingga orang akan memuji kita sebagai orang baik. Beberapa kali Yesus menyingkir agar orang tidak memusatkan perhatian pada DiriNya setelah melihat perbuatan baikNya. “Waktu menemukan Dia mereka berkata: "Semua orang mencari Engkau." Jawab-Nya: "Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang” (Mrk 1:37-38) Demikian pula ketika orang ingin mengangkatNya menjadi raja setelah Yesus menggandakan roti (Yoh 6:15).

Ibu Teresa dari Kalkuta mengatakan bahwa kita adalah cerminan kasih Allah. Bagaikan sebuah cermin yang dapat memantulkan bayangan kita, maka perbuatan baik membuat orang melihat dirinya sendiri. Sejauh mana dia juga telah berbuat baik pada sesamanya Bukan hanya ingin menerima kebaikan orang saja. Memang banyak orang hanya ingin menerima kebaikan dan enggan berbuat baik bagi sesamanya. Maka dalam berbuat baik kita pun mengajarkan agar orang mau melakukan hal yang sama. Perbuatan baik kita membantu orang untuk merefleksi dirinya agar sadar bahwa dia pun sesungguhnya mempunyai sesuatu yang dapat diberikan pada sesamanya. Seperti Yesus mencuci kaki para murid maka Dia pun mengharap muridNya melakukan hal yang sama. “sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasih.” (Yoh 13:34). Hal inilah yang sering kali kurang diperhatikan, sebab orang cenderung senang bila telah melakukan hal yang baik namun lupa mendidik orang lain untuk berbuat baik.

Penderitaan tidak pernah akan ada habisnya dan menimpa banyak orang. Kita tidak bisa tinggal diam. Kita harus terlibat sesuai dengan batas kemampuan kita. Tapi kita juga harus mengajak dan menjadi teladan bagi sesama. Setiap orang pasti mempunyai kekuatan. Seorang yang tidak punya uang dia masih mempunyai tenaga yang dapat diberikan kepada sesama. Orang tidak punya tenaga dia pun dapat memberikan doa-doanya bagi orang sesamanya. Semakin banyak orang terlibat dalam penderitaan sesama semakin banyak orang yang dapat dibantu. Sebuah perubahan dimulai dari diri kita terlebih dahulu baru kemudian mengajak orang lain.

Selasa, 04 Agustus 2009

KEKERASAN DAN KEBERANIAN

Ketika mengobrol sama teman-teman di tempat ngopi akhirnya kami berbicara sampai pengebomam yang baru saja terjadi. Seorang teman melontarkan tantangan diantara kami apakah ada yang berani melakukan bom bunuh diri bila dibayar 10 juta? Tidak satu pun dari kami yang berani dengan aneka alasan. Pembicaraan kami terpusat pada keberanian orang itu sehingga melakukan bom bunuh diri. Beberapa teman salut akan keberanian itu. Aku tidak setuju dengan pendapat mereka. Bagiku pelaku pengeboman adalah seorang penakut dan pengecut.

Banyak orang menilai bahwa keberanian seseorang terkait dengan kekerasan. Seorang anak yang naik motor dalam kecepatan tinggi di tengah keramaian jalan disebut anak pemberani. Ketika masih remaja dulu aku dikatakan penakut sebab tidak mau terlibat dalam tawuran antar kelas. Dikalangan anak jalanan, seorang anak dianggap berani bila dia berani menerima tantangan berkelahi atau bahkan membunuh. Masih banyak contoh lain keterkaitan antara kekerasan dan keberanian.

Aku bukan ahli psikologi yang menguraikan teori aneka macam. Apa yang kukatakan ini merupakan kesimpulan dari pengamatanku selama 10 tahun lebih berteman dengan anak-anak jalanan yang sangat rentan akan kekerasan. Bagiku kekerasan adalah letusan rasa takut yang ditekan. Banyak orang menilai bahwa rasa takut itu adalah sebuah kelemahan. Maka orang berusaha menyembunyikannya. Untuk menutupi rasa takut itu maka dia melakukan kekerasan, yang sering diidentikan dengan keberanian.

Anak jalanan adalah anak yang mempunyai pengalaman masa kecil yang buruk. Hidup mereka penuh dengan rasa benci, dendam dan kemarahan terhadap keluarganya yang berlaku tidak adil dan sewenang-wenang. Hampir semua anak jalanan berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Mereka lari dari rumah sebab tidak tahan dengan situasi hidupnya yang penuh kekerasan dan ketidakadilan. Rasa marah, benci dan dendam ini bagai magma gunung berapi yang siap meletus kapanpun juga. Kekerasan adalah letusan segala kemarahan, kebencian dan dendam masa lalu.

Kemarahan dan kebencian yang paling berbahaya adalah bila orang marah dan benci pada diri sendiri karena situasi dan pengalaman hidupnya. Keluarga yang berantakan membuat anak membenci dirinya mengapa dia lahir dalam keluarga seperti itu. Atau kekurangan yang ada padanya sehingga dia dikucilkan membuat dia membenci dirinya mengapa dia mempunyai kelemahan itu. Mereka tidak mungkin marah pada dirinya sendiri, maka kemarahan dilampiaskan pada orang lain. Seorang anak yang benci pada dirinya sendiri disebabkan dia lahir dalam keluarga yang miskin maka mudah sekali bertindak kasar bila melihat orang lain hidupnya lebih baik.

Kekerasan juga dilakukan oleh mereka yang terluka harga dirinya sebab kerap mengalami pelecehan atau direndahkan. Banyak anak jalanan mempunyai pengalaman direndahkan. Tidak dihargai jati dirinya. Maka untuk memaksa orang menghargai jati dirinya dia melakukan kekerasan. Kasus semacam ini juga banyak terjadi dalam rumah tangga. Seorang suami yang penghasilan atau kedudukannya lebih rendah dari istrinya dapat melakukan kekerasan melalui berbagai cara. Sebagai suami dia merasa harus mampu menghidupi istrinya agar diakui kekuasaannya, tapi kenyataannya dia dihidupi oleh istrinya. Dia merasa kekuasaannya diambil oleh istrinya. Untuk menunjukkan harga diri dan kekuasaan yang dimilikinya maka dia melakukan kekerasan.

Dengan demikian bagiku kekerasan dilakukan oleh orang yang sakit jiwanya. Orang yang tidak mampu mengampuni diri dan masa lalunya. Orang yang tidak mampu menerima kenyataan hidupnya. Orang yang tidak mampu menata dan mengendalikan magma luka dalam dirinya. Orang yang minim pengalaman kasih sejak dia dilahirkan. Mengapa bangga bila melakukan kekerasan meski itu atas nama agama atau tujuan yang dianggap mulia lainnya?

HARI ANAK NASIONAL

Bangsa kita baru saja memperingati hari anak yang jatuh pada tgl 23 Juli. Penggagas penyelenggaraan hari anak nasional adalah presiden Soeharto dan menuangkan dalam Keppres no 44/1984. Sebetulnya keputusan ini agak terlambat, sebab Unicef, salah satu badan PBB pada sudah menyelenggarakan hari anak dunia pada 20 November 1954. Tanggal itu disahkan oleh Mejelis Umum PBB dalam sidang pada 14 Desember 1954. PBB juga mengusulkan pada semua anggotanya bahwa hendaknya ada satu hari dimana dirayakan hari anak nasional.

Peringatan hari anak muncul disebabkan ada jutaan anak di seluruh dunia yang hidup tidak layak, mengalami kekerasan, pelecehan seksual, tidak mendapatkan pendidikan yang cukup dan dimanipulasi oleh orang dewasa. Di beberapa negara Afrika dan Amerika Selatan ada anak yang dijadikan tentara. Menurut laporan ada 30 juta anak menjadi kurban peperangan. Unicef pada tahun 2004 melaporkan ada 166 juta buruh anak. Dari jumlah itu ada 74.4 juta anak melakukan pekerjaan sangat berbahaya seperti pengedar narkoba dan prostitusi. Pada tahun 2009 jumlah pekerja anak meningkat menjadi 245 juta. Selain itu diperkirakan ada 300 juta anak yang mengalami kelaparan akibat kemiskinan orang tuanya. Ada 130 juta anak yang tidak mampu sekolah bahkan Unicef mengatakan bahwa 1 dari 4 anak adalah anak miskin. Di negara berkembang seperti Indonesia angka itu perbandingan lebih meningkat menjadi 1 dari 3 anak.

Negara kita belum mampu sepenuhnya melindungi anak-anak. Menurut data pada tahun 2004 ada 1,4 juta buruh anak. Dari jumlah itu ada 700 ribu anak bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan 90% adalah anak perempuan. Sedangkan anak yang masuk dalam dunia prostitusi terus meningkat. Menurut Depsos pada tahun 1994 ada 65.094 PSK anak-anak sedangkan pada tahun 2004 menjadi 87.536 anak meningkat 34% selama 10 tahun. Menurut riset aktifis Hak Anak pada tahun 2006 jumlah PSK anak mencapai 30% dari jumlah keseluruhan PSK. Selain itu di 21 propinsi di negara kita ada 46.800 anak jalanan. Mereka sangat rentan akan kekerasan, prostitusi dan penggunaan atau pengedar narkoba. Hasil riset ILO pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 133 dari 255 anak jalanan adalah pengguna narkoba atau meminum minuman keras. Sedang dari riset Atmajaya, Jakarta menunjukkan bahwa 464 anak dari 500 anak jalanan adalah pengguna narkoba. Anak yang mengalami kekerasan pun terus meningkat. Menurut riset World Vision Indonesia pada tahun 2008 terdapat 1626 kasus kekerasan terhadap anak. Pada tahun 2009 sudah menjadi 1891 kasus. Dari semua kasus kekerasan itu 891 kasus terjadi di sekolah.

Data-data diatas, meski tidak akurat 100%, tapi dapat memberikan gambaran tentang kehidupan anak-anak di dunia dan negara kita. Saat ini di dunia ada 2,1 milyard anak. Bila dari jumlah itu terdapat jutaan anak menderita akibat kemiskinan, peperangan, kekerasan dan kurang berpendidikan, maka dapat dibayangkan pada 10 atau 20 tahun lagi dunia akan menjadi suram. Anak adalah generasi di masa mendatang. Bila mereka sudah sangat rapuh atau dirapuhkan maka dunia ke depan akan menjadi rapuh. Dorothy Law Nolte (12 Januari 1924-6 November 2005) seorang konselor keluarga menulis puisi yang indah tentang anak-anak. Salah satu baitnya berbunyi
Bila seorang anak hidup dengan kritik,
Ia belajar untuk menyalahkan.
Bila seorang anak hidup dengan rasa benci,
Ia belajar bagaimana berkelahi.
Bila seorang anak hidup dengan ejekan,
Ia belajar menjadi pemalu…

Dorothy hendak menjelaskan bahwa sikap manusia dewasa ditentukan oleh masa kanak-kanaknya. Bila melihat ada jutaan anak yang mengalami kekerasan, maka ada jutaan calon manusia dewasa yang mudah sekali melakukan kekerasan. Menurut laporan Unicef kekerasan terhadap anak paling banyak terjadi dalam lingkup rumah tangga dan sekolah dengan alasan menegakkan kedisiplinan. Seorang ayah mencaci maki bahkan memukul anaknya dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Seorang ibu mengkritik keras anaknya dihadapan umum dianggap sebagai biasa. Seorang guru menghukum murid dengan kekerasan dianggap wajar. Hal ini sering tidak dilaporkan atau ditindak lanjuti sebab dinilai wajar oleh masyarakat. Bila mengacu pada puisi Dorothy Law Nolte maka ada jutaan anak sudah mendapat pembelajaran kekerasan yang akan menjadi bekalnya dikemudian hari.

Dalam budaya Jawa, anak dianggap sebagai titipan Tuhan kepada sebuah keluarga. Kita bayangkan seandainya seorang presiden menitipkan sesuatu kepada kita, maka kita akan bersyukur sebab sudah dipercaya olehnya. Kita berusaha sekuat tenaga untuk merawat dan menjaganya dengan sepenuh hati agar tidak membuatnya kecewa. Kini Tuhan sendiri yang menitipkan seorang pribadi manusia kepada kita. Mengapa kita memperlakukannya dengan semena-mena? Dalam konteks ini maka merawat anak bukan hanya sebagai kewajiban melainkan sebuah pertanggungjawaban kepada Tuhan yang telah menitipkannya pada kita. Merawat bukan hanya ketika anak itu sudah lahir melainkan sejak dia masih dalam kandungan dan apapun titipan Tuhan yang terwujud dalam pribadi anak harus dicintai dan dirawat sepenuh hati. Tidak ada pembedaan apakah dia normal atau cacat. Pandai atau bodoh, dan sebagainya. Apapaun kondisi seorang anak, dia tetap merupakan titipan Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan.

Hari anak adalah moment untuk mengingatkan kita bahwa masih ada jutaan anak yang menderita. Mungkin juga kita disadarkan akan sikap kita terhadap anak-anak kita. Kita diingatkan akan tanggungjawab kita sebagai orang yang lebih tua daripada anak-anak agar melindungi dan mencintainya. Bila kita mencintai anak sehingga mereka pun belajar untuk mencinta, maka kita sebetulnya telah membangun sebuah dasar yang kokoh bagi bangsa ini di masa mendatang.

Minggu, 02 Agustus 2009

KEKERASAN

Sejak tahun 2000 di negara kita sudah terjadi 21 kali ledakan bom di berbagai tempat dan menelan banyak kurban. Bom pertama meledak di kedutaan Philipina di Jakarta pada 1 Agutus 2000 dan yang masih segar diingatan kita terjadi pada 17 Juli 2009 di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriott. Bom yang meledak di Bali pada 12 Oktober 2002 menelan paling banyak kurban yaitu 202 orang meninggal dan sekitar 300 orang terluka baik turis asing maupun warga negara Indonesia. Banyak pendapat mengenai rentetan ledakan bom yang merugikan negara maupun masyarakat umum.

Saya membayangkan bahwa orang yang melakukan pengeboman adalah orang yang sedang berjuang. Mereka bukan anak-anak yang iseng-iseng bermain bom. Saya yakin bahwa mereka melakukan dengan sadar dan penuh perhitungan. Tapi mengapa perjuangan dilakukan dengan melakukan pengeboman? Apakah tidak ada jalan lain? Apakah bila telah berhasil membunuh sekian banyak orang dan membuat orang lain ketakutan maka mereka dinilai telah menang?

Kekerasan melekat dalam perjalanan sejarah dan sama tuanya dengan kehidupan manusia. Dalam Kitab Suci diceritakan bahwa sejak Kain dan Habel yang merupakan anak-anak dari Adam dan Hawa, sudah terjadi kekerasan. Hal itu terus terulang dalam berbagai bentuk dan alasan. Tidak jarang kekerasan meluas menjadi perang terbuka antar negara atau dalam negara. Orang saling membunuh dan menyiksa sesamanya. Menurut Wikipedia selama perang Dunia II ada 63.537.400 orang yang meninggal, baik tentara maupun warga sipil terutama Yahudi yang dibantai oleh Jerman. Saya yakin masih banyak lagi kurban yang tidak tercatat akibat kelemahan pendataan.

Bila melihat jumlah kurban sebesar itu mengapa masih terus terjadi perang dan tindak kekerasan? Saat ini memang tidak ada perang terbuka dan luas seperti PD II tapi tetap saja terjadi kekerasan dalam skala kecil dan besar yang menyebar dimana-mana dengan kurban yang tidak sedikit. Kekerasan juga terjadi dalam rumah tangga dan komunitas bahkan dalam lingkup pendidikan. Kita pernah dibuat terheran-heran dengan kekerasan yang terjadi di IPDN dan masih banyak terjadi di sekolah yang lain.

Kekerasan terjadi disebabkan oleh kecurigaan, keberpihakan pada salah satu kelas atau kelompok dan pengejaran pemenuhan kepentingan pribadi atau kelompok. Kain curiga pada Habel maka dia membunuhnya. Kecurigaan dipicu oleh rasa iri, benci, dan dendam. Orang iri melihat sesamanya berhasil, maka dia curiga bahwa sesamanya telah berbuat curang sehingga dia melakukan kekerasan. Sekelompok orang yang mengejar kepentingan kelompok untuk mendirikan negara yang sesuai dengan keinginannya maka mereka melakukan bom. Orang berpihak pada satu kelompok maka dia melakukan kekerasan terhadap kelompok lain.

Jaman dulu ada semboyan si vis pacem para bellum atau damai hanya dapat terjadi melalui perang. Tapi sejarah mencatat bahwa perang tidak menghasilkan apa-apa selain dendam, kebencian dan kerusakan yang menyeluruh. Keinginan menjunjung martabatnya melalui kekerasan sebetulnya sudah merusak martabat itu sendiri. Dengan melakukan kekerasan sebetulnya orang telah merendahkan martabatnya sebagai manusia. Dia memposisikan dirinya sebagai hewan yang bergerak tidak berdasarkan pertimbangan akal budi melainkan dorongan perasaan atau rangsangan belaka.

Tuhan menganugerahi manusia akal budi sehingga berbeda dengan hewan. Semakin dewasa seseorang maka dia semakin banyak menggunakan akal budinya untuk mempertimbangkan setiap keputusan yang dipilihnya. Tapi pertimbangan akal budi akan melemah ketika orang sudah digelapkan oleh kecurigaan, keberpihakan atau keinginan, sehingga dia tega melakukan kekerasan. Untuk itu perlu kita hati-hati dan melatih diri untuk senantiasa menggunakan akal budi sebelum memutuskan sebuah tindakan yang dapat berbuah kekerasan dan merugikan sesama. Marilah hidup damai.

Powered By Blogger