Rabu, 27 Januari 2010

ROH KUDUS ADALAH ROH PEMBEBAS

Pernahkah Anda hadir pada sebuah pertemuan yang sangat membosankan. Pembicara berbicara dalam nada datar, berbelit dan menggunakan bahasa sulit? Anda jenuh dan muak tapi Anda tidak mungkin meninggalkan pertemuan atau melakukan hal lain selain duduk dan mendengarkan. Tiba-tiba ada orang yang menyerukan pertemuan berakhir. Anda boleh melakukan apa saja yang Anda kehendaki. Anda tidak perlu lagi ada dalam situasi yang membosankan dan menekan. Hal ini tentu sangat membahagiakan. Anda akan bersorak sorai penuh suka cita. Apa yang Anda harapkan dan impikan sejak lama akhirnya terwujud. Anda bebas dari tekanan dan dapat menjadi diri sendiri.

Aku membayangkan kaum miskin Israel pada jaman sebelum Yesus seperti orang yang ada dalam pertemuan membosankan itu. Mereka sudah lama menantikan Tahun Rahmat Tuhan, yaitu tahun yang membebaskan dari segala belenggu perbudakan dan hutang. Janji yang sudah lama mereka nantikan. Maka mereka sangat bersuka cita saat Yesus mengatakan bahwa saat itu sudah tergenapi ketika Dia datang (bdk Luk 4:18-21). Kehadiran Yesus merupakan saat bahagia yang dinantikan. Saat penemenuhan janji Allah tentang pembebasan. Namun masalah besar ada dihadapan mereka. Suka cita mereka runtuh ketika menyadari bahwa Yesus adalah salah satu dari mereka. Bagiamana mungkin Dia akan mewujudkan pemenuhan janji Allah itu? Tapi Yesus dapat membuktikan apa yang telah dikatakanNya. Dia membebaskan manusia bukan hanya dari belenggu kemiskinan dan perbudakan tapi lebih dari itu. Dia membebaskan manusia dari belenggu dosa. Mengajarkan bagaimana menjadi orang bebas.

Ketika dibaptis kita menerima Roh Kudus. Roh yang sama yang diterima oleh Yesus ketika dibaptis, sebab Roh Kudus itu satu. Roh itu mendorong Yesus untuk melakukan pembebasan. Roh yang sama juga mendorong kita untuk melakukan pembebasan dan mewujudkan janji Allah kepada kaum miskin. Menumbuhkan semangat dan harapan baru pada orang yang putus asa. Membuat orang suka cita. Memang kita sama dengan mereka. Lemah dan tidak berdaya. Kita bagian dari mereka, sama seperti Yesus bagian dari orang Nazaret. Hal yang perlu adalah keberanian untuk konsisten melakukan tindakan pembebasan dengan penuh keberanian.

Memang banyak orang bangga bahwa dia menerima Roh Kudus. Mereka bersuka cita. Tidak jarang mereka sampai jatuh terjerembab ketika mendapat curahan Roh. Bahkan ada orang yang meminta baptisan Roh, sebab baptisan air dianggap masih kurang. Mereka belum merasakan curahan Roh. Mereka kurang merasakan kuasa Roh dalam dirinya. Orang bangga bila mampu berbahasa Roh dan tidak jarang menjadi masal. Semua orang yang hadir tiba-tiba berbahasa Roh. St. Paulus mengatakan “Demikianlah juga kamu yang berkata-kata dengan bahasa roh: jika kamu tidak mempergunakan kata-kata yang jelas, bagaimanakah orang dapat mengerti apa yang kamu katakan? Kata-katamu sia-sia saja kamu ucapkan di udara!” (1Kor 14:9). St. Paulus tidak menolak bahasa Roh tapi dia menekankan perlu ada yang menterjemahkan. Bila tidak ada maka sia-sialah bahasa Roh itu. Bagi St. Paulus Roh itu untuk membangun jemaat.

Kita yang telah menerima Roh Kudus didorong olehNya untuk menjadi pembebas atau kata St. Paulus untuk membangun jemaat. Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah menjadi seorang pembebas atau menjadi harapan bagi orang yang sedang menderita? Apakah kehadiran kita membuat orang memiliki kembali harapan dan semangatnya? Sering kali kita melupakan tugas perutusan itu. Kita hanya menikmati dan bangga akan kuasa Roh dalam diri tapi tidak mampu mewujudkan dorongan Roh itu dalam sikap dan perkataan kita yang membuat orang lain bersuka cita. Tidak jarang kelompok yang mengaku dirinya mendapat anugerah Roh menjadi kelompok ekslusif. Bagaimana dia akan mampu membangun jemaat bila merasa bahwa dia lebih dari orang yang lain sebab mendapat anugerah khusus Roh? Roh tidak membuat kita terjerembap dan berbicara bahasa Roh melainkan mendorong kita menjadi pembebas dan mewujudkan bahwa Tahun Rahmat Tuhan sudah datang, sehingga orang lain menjadi suka cita.

Jumat, 22 Januari 2010

JUALAN AIR DI TEPI SUNGAI


Anthony de Mello SJ (4 September 1931, Bombay - 2 June 1987, New York) dalam bukunya yang berjudul “Burung Berkicau” mengkisahkan ada seorang menjual air di tepi sungai. Setiap hari dia berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Banyak orang berbondong-bondong membeli air darinya, padahal dia mengambil air itu di sungai yang ada di belakangnya. Cerita ini tampak lucu, tapi sebetulnya Anthony de Mello sedang mengkritik kebanyakan dari kita. Kitalah orang “bodoh” yang membeli air dari pedagang meski kita bisa mengambil air itu dari sungai secara gratis.

Yesus adalah air hidup. “barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” (Yoh 4:14). Air yang diberikan kepada kita adalah firmanNya. Bila kita menerima Firman Yesus maka kita tidak pernah akan kehausan sehingga tidak sibuk mencari-cari firman yang lain. Firman itu tidak akan pernah habis. Firman itu akan terus memancar memberikan kehidupan kepada orang di sekitar kita.

Saat ini banyak umat yang menjadi kutu loncat. Dia berpindah-pindah Gereja dengan alasan dia tidak menemukan apa yang dicarinya. Bila ditanya apakah yang dicarinya? Pusat pencarian adalah kesenangan mendengarkan kotbah. Dia mencari pengkotbah yang dirasa mampu memberinya semangat. Pengkotbah adalah penjual air yang mampu menawarkan airnya sedemikian rupa. Maka tidak jarang pengkotbah pun berusaha mencari cara dan terobosan-terobosan baru agar dagangannya tetap laris. Menarik perhatian, sehingga banyak orang akan datang padanya. Pengkotbah yang bagus seharusnya mampu mengajak orang untuk berani mengambil air sendiri di sungai. Bukan bergantung padanya. Yesus adalah jalan. Dia tidak membuat kita berpusat padaNya tapi Dia mengajak kita untuk sampai kepada Bapa. “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga." (Mat 5:16). Pengkotbah seharusnya menjadi jalan bagi kita untuk menemukan Yesus bukan menjadi tempat perhentian.

Umat enggan untuk pergi ke sumber air, sebab saat ini kuatnya budaya instan. Budaya instan mengajar kita untuk tidak perlu repot-repot mempersiapkan segalanya melainkan tinggal langsung menikmati. Demikian pula dalam hal iman. Kita tidak ingin repot datang ke sumber air dan menggalinya. Kita ingin firman yang siap saji dan tinggal menikmati saja. Bila kita percaya pada Yesus maka Dia ada di dalam diri kita menjadi sumber air. “Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup.” (Yoh 7:38). Tapi kita tidak menyadarinya, sebab kagum pada penjual air yang mampu mengemasnya sedemikian rupa. Oleh karena kita tidak menggali sumber air yang ada dalam diri kita, maka kita tetap akan merasa haus.

Air yang ada dalam diri kita dapat memberi kehidupan bukan hanya bagi kita tapi juga bagi orang di sekitar kita. Sumber air itu akan memancar ke sekitar kita. Pancaran air itu adalah sikap, tindakan dan perkataan kita yang memberi hidup. Dalam keseharian tidak jarang kita membuat orang lain menjadi mati. Kata-kata kita kasar, sikap kita membuat orang lain menjadi malu dan direndahkan martabatnya. Orang menjadi takut dan kehadiran kita membuat suasana menjadi tegang dan sebagainya. Sebetulnya kita telah membunuh orang itu. Dia tidak mengalami suka cita, kreatif dan berani menjadi dirinya apa adanya. Dengan demikian kita tidak memancarkan air melainkan racun yang mematikan. Kita dapat memancarkan air hidup bila kita berani menggali air yang ada dalam diri kita sendiri. Bukan membeli dari para pedagang. Air yang mereka berikan akan membuat kita haus dan haus. Atau kita terpuaskan dapat mereguknya untuk dinikmati sendiri. Tidak memancar pada sesama kita. Maka Anthony de Mello mengajak kita untuk berani menggali air yang ada dalam diri kita sendiri agar kita terus memancarkan air hidup.

Rabu, 20 Januari 2010

KITA ORANG BERIMAN ATAU SETAN?

Surat Yakobus adalah salah satu surat pastoral artinya surat yang tidak banyak mengajarkan dogma atau teologi melainkan lebih merupakan ajaran praktis bagi kehidupan umat beriman sehari-hari. Ciri Yakobus adalah mempertentangkan antara baik dan buruk, kaitannya antara iman yang terwujud dalam perbuatan baik dan doa, serta ketekunan dan pertobatan yang terus menerus. Yakobus mendesak agar umat segera memilih dengan tegas ajaran keselamatan dan hidup sesuai nilai Injili. Inti nilai Injili adalah keseimbangan antara cinta pada Allah dan sesama.

“Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” (2:19). Perkataan ini sangat keras dan tegas. Yakobus membedakan antara percaya dan beriman. Orang dapat percaya akan Allah yang satu dan maha segalanya. Tapi dia belum tentu beriman. Setan juga percaya akan Allah yang Mahakuasa. Dalam Injilpun sebelum para murid percaya bahwa Yesus adalah Mesias dalam arti yang sesungguhnya setan sudah percaya akan hal itu. “Di dalam rumah ibadat itu ada seorang yang kerasukan setan dan ia berteriak dengan suara keras: "Hai Engkau, Yesus orang Nazaret, apa urusan-Mu dengan kami? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah.” (Luk 4:33-34).

Bagi Yakobus iman bukan hanya sekedar percaya melainkan mampu mewujudkan dalam perbuatan nyata. Bahkan dari perbuatanlah orang dapat menunjukkan imannya. "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.” (2:18). Perbuatan yang dimaksudkan oleh Yakobus adalah tindakan belas kasih pada sesama. Maka dia mengkritik orang yang tidak peduli pada sesamanya yang miskin dan berkekurangan. Apa yang ditulis oleh Yakobus merupakan bagian dari ajaran Yesus dalam kotbah di bukit, yaitu bahwa kasih pada Allah harus nyata dalam kasih pada sesama terutama yang miskin. Bila orang ingin memperoleh keselamatan maka dia melakukan tindakan kasih yang merupakan perwujudan dari ketaatan akan kehendakNya. “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21).

Bila keselamatan hanya dapat diperoleh dengan melakukan tindakan belas kasih pada sesama, maka apakah orang tidak perlu berdoa? Doa adalah komunikasi kita dengan Allah. Dalam doa kita bukan hanya bersyukur atas berkat dari Allah tapi juga mencari kehendak Allah dalam hidup kita. Kita berusaha memahami tugas perutusan yang diberikan Allah pada kita. Bila mendapat berkat atau malapetaka maka kita bertanya pada Allah apa maksud semua ini? Apa yang harus kita lakukan? Dengan mendengar suara Allah maka kita akan melakukan kehendakNya. Dalam doa kita merenungkan Yesus yang telah wafat demi kita. Kiat pun diajak untuk melihat diri sejauh mana kita telah berani berkurban untuk sesama. Maka doa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bila orang hanya melakukan belas kasih pada sesama tanpa berdoa, maka dia akan kehilangan dasar perbuatannya itu. Dia tidak mempunyai ukuran dari tindakan kasih itu. Sebaliknya bila dia hanya berdoa tanpa melakukan tindakan kasih maka dia tidak dapat dinilai sebagai orang beriman. Dia orang percaya.

Doa adalah ungkapan kasih kita pada Allah. Yohanes dalam suratnya mengingatkan “Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1Yoh 4:20). Kasih pada Allah harus nyata dalam kasih pada sesama. Inilah yang menjadi tantangan kita. Sering kita puas telah berdoa dan bermeditasi dihadapan tarbenakel selama berjam-jam, tapi lupa untuk melakukan belas kasih pada sesama. Bila demikian mari kita nilai diri kita sendiri, apakah kita orang beriman atau setan?

Selasa, 19 Januari 2010

REBONDING OH REBONDING

Akhir-akhir ada diskusi dalam beberapa komunitas mengenai munculnya usulan untuk fatwa pelarangan me-rebonding, menge-punk, mengecat merah dan kuning rambut dan melalukan foto praweding. Berbagai argumen diajukan baik yang berdasarkan Sabda Allah maupun rasional. Melihat sebentar dialog dalam tayangan sebuah stasiun televisi membuatku prihatin. Bukan soal dasar pelarangan yang diajukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan suatu agama atau ayat dan rujukan yang diajukan sebagai dasar pembenaran argumennya, melainkan aku prihatin mengapa agama terjebak dalam hal-hal kecil yang tidak esensial?

Seorang tokoh mengatakan bahwa alasan dasar pelarangan rebonding dan pengecatan rambut bagi perempuan yang masih single sebab dapat mengundang maksiat. Apakah dasar alasan itu sudah dikaji dengan sungguh dari penelitian di lapangan? Seorang penulis mengartikan kata maksiat sebagai lawan ketaatan baik itu meninggalkan perintah Allah atau melakukan larangan Allah. Apakah me-rebonding rambut atau mengecat rambut sudah melakukan larangan Allah? Ada penulis yang mengatakan bahwa maksiat adalah dosa besar seperti berzinah, mencuri, mabuk, memakan barang haram dan sebagainya. Apakah merebonding rambut termasuk salah satu dosa besar? Dalam pemahaman sehari-hari maksiat biasanya disempitkan pada hawa nafsu atau perzinahan. Apakah memang benar seorang lelaki akan bangkit hawa nafsu birahinya bila melihat rambut perempuan yang direbonding?

Dalam sebuah tulisan mengenai iman, seorang penulis mengatakan bahwa kekuatan seorang beragama ada dalam hatinya bukan dalam kekuatan fisiknya. Bila memang sungguh seorang pria akan bangkit nafsu birahinya bila melihat orang berambut merah atau lurus, maka dapat dipertanyakan apakah dia mempunyai hati yang kuat atau lemah? Maka bagi saya persoalan bukan pada rambut yang direbonding melainkan kelemahan hati orang. Disinilah perlunya pendidikan untuk menguatkan hati. Bila orang kuat hati, maka dia tidak akan jatuh dalam maksiat meski ada rambut dicat. Bila tidak maka semua orang di benua Eropa, Amerika Utara atau Australia yang ada banyak orang berambut merah akan menjadi masalah.

Agama adalah jalan menuju kesucian diri, sehingga pada saat meninggal nanti dia akan dapat menikmati kebahagiaan surga. Untuk mencapai kesucian itu perlu adanya aturan yang merupakan tuntunan agar orang dapat tetap berjalan mengarah pada tujuannya. Hal ini disebabkan manusia mempunyai kehendak bebas yang dapat melakukan apa yang ingin dilakukan. Padahal kehendak bebas manusia belum tentu sejalan dengan kehendak Allah. Maka perlu adanya tuntunan dari Allah sendiri agar manusia tidak selalu bertindak berdasarkan kehendak bebasnya. Tuntunan memang perlu, misalnya orang makan. Agar makanan itu dapat bermanfaat bagi tubuh maka perlu ada tuntunan untuk dikunyah sebanyak 37 kali, tidak boleh memakan makanan yang merusak kesehatan, dan sebagainya. Bila itu dilanggar maka tubuh akan menjadi sakit.

Namun pada jaman ini tuntunan berubah menjadi ancaman. Akibatnya orang melakukan bukan karena kesadaran untuk hidup suci tapi ketakutan akan hukuman. Banyaknya ancaman ini sebetulnya membuat orang menjadi infatil. Bila orang dewasa maka dia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dia tahu apa yang baik bagi dirinya. Seorang anak kecil harus diancam dan ditakut-takuti agar mau makan atau untuk tidak memilih makanan yang asal enak tapi tidak bergizi. Tetapi orang dewasa yang sudah tahu pentingnya makanan tidak perlu lagi diancam dan ditakut-takuti. Maka bagi saya timbul pertanyaan apakah orang beragama saat ini masih dalam taraf kekanak-kanakan sehingga dia tidak mampu menguasai diri dan memilih yang terbaik bagi dirinya? Selain itu bila agama ingin kuat maka yang perlu dilakukan adalah pembinaan untuk meneguhkan iman pemeluknya bukan meniadakan apa yang ada diluar dirinya. Bila semua orang mempunyai iman yang kuat dan teguh maka dia tidak akan mudah jatuh dalam kemaksiatan oleh karena ada rambut dicat merah.

Selasa, 12 Januari 2010

KOTBAH

Dalam Markus 1:21-22 dikisahkan bahwa suatu hari orang di Bait Allah mendengarkan Yesus mengajar. Kita tidak tahu apa yang diajarkan oleh Yesus, sebab Markus tidak menuliskan ajaranNya. Markus hanya melukiskan reaksi orang yang mendengarkan. Mereka takjub sebab Yesus mengajar berbeda dengan ahli Taurat. Apakah yang beda? Dalam Injil sedikit sekali diceritakan apa yang diajarkan oleh Yesus di Bait Allah. Pada umumnya yang ditulis adalah ajaran Yesus diluar Bait Allah. Markus menulis sekali apa yang diajarkan oleh Yesus di Bait Allah. Dia hanya mengucapkan beberapa kata yang berujung pada kecaman terhadap ahli Taurat (Mrk 12:35-40). Apakah ajaran seperti itu yang membuat pendengarnya menjadi takjub?

Dalam Matius pun hanya diceritakan inti ajaran Yesus ketika di Bait Allah yaitu tentang Kerajaan Allah. Tidak dijelaskan bagaimana cara dan isi ajaranNya. Lukas menuliskan cara Yesus mengajar di Bait Allah. Dia hanya mengucapkan satu kalimat. Tapi orang disana kagum akan kata-kata yang indah (Luk 4:22). Indahkah kalimat yang diucapkan Yesus? Dimana keindahannya? Bagiku jauh lebih indah kata-kata yang kuucapkan ketika berkotbah. Tapi belum pernah ada orang yang mengatakan bahwa aku berkata-kata dengan penuh kuasa sehingga membuat mereka takjub.

Apakah karena yang berkotbah adalah Yesus sehingga meski hanya satu kalimat saja sudah membuat orang takjub dan dianggap lebih baik dari pada ahli Taurat? Mereka kagum bukan apa yang dikatakan tapi siapa yang mengatakan. Hal ini memang umum. Seorang yang terkenal bila mengucapkan apa saja akan dipercaya oleh pendengarnya. Atau karena ajaran Yesus mengkritik orang-orang yang selama ini dianggap hebat maka Dia dianggap hebat? Apa yang diucapkan oleh Yesus sebetulnya ingin diucapkan oleh para pendengarnya tapi mereka tidak mempunyai keberanian. Maka ketika ada orang yang berani mengucapkan apa yang ingin mereka katakan membuat mereka menggaguminya. Apakah ajaran macam itu membuat orang melihat Yesus berkuasa?

Aku rasa ketakjuban para pendengar bukan karena yang mengajar adalah Yesus atau karena Yesus berani mengecam ahli-ahli Taurat. Dalam Luk 4:22 Yesus baru pertama kali muncul. Dalam Markus 1:21 pun Yesus masih relatif baru berkarya. Dia belum menjadi orang hebat dan populer. Dalam Luk 4:22 ajaran Yesus disebut indah sebab Dia menyatakan bahwa ramalan Yesaya itu tergenapi dalam diriNya. Bagiku inilah yang membuat orang kagum, takjub dan menyatakan indah. Di Bait Allah Yesus mengajak orang untuk mendengarkan Firmah Tuhan dan menyatakan bahwa Firman itu sudah terwujud dalam DiriNya. Dalam seluruh tindakanNya. Yesus menjalankan secara penuh apa yang diajarkan. Apa yang diajarkan itulah yang dilakukan. Hal ini berbeda dengan ahli Taurat. Mereka mengajar tapi tidak melakukannya (Mat 23:2-3).

Bila aku melihat di TV atau di berbagai tempat ada orang yang hanya mengutip satu ayat lalu dia mengajar sampai berpuluh-puluh menit. Dari satu ayat dijabarkan menjadi ratusan kalimat. Kadang ada tepuk tangan kekaguman dan seruan-seruan “Amin” yang artinya setuju. Apakah dengan demikian dia sudah mengajar penuh kuasa sehingga membuat orang takjub? Mungkin dalam sesaat orang kagum akan kata-kata yang hebat, mengguggah dan terkadang lucu. Tapi apakah pengajaran itu membuat orang bertobat? Terlebih apakah dia konsekwen dengan apa yang dikatakan? Ahli Taurat pun mampu mengajar dengan bagus, maka Yesus pun meminta orang untuk mentaati ajaran mereka tapi jangan mengikuti apa yang dilakukannya. Ada perbedaan antara ajaran dengan tindakan dan sikap hidupnya.

Di Bait Allah Yesus membaca Kitab Suci dan mengajak orang untuk mendengarkan Sabda Allah. Dia menegaskan bahwa Sabda Allah itu sudah terwujud dalam DiriNya. Pusat ajaran Yesus adalah Sabda Allah dan bagaimana mewujudkan dalam sikap dan tindakkanNya. Dia pelaku Sabda yang sempurna, sehingga orang yang melihat Yesus maka dia melihat Sabda Allah yang nyata. Inilah yang membuat mereka takjub.

Senin, 04 Januari 2010

KECEWA


Suatu hari dua teman dengan semangat mengajakku makan nasi pecel di suatu tempat. Mereka mengatakan bahwa tempat itu masuk dalam acara TV tentang makanan yang enak disuatu tempat. Konon si pembawa acara tampak begitu menikmati nasi pecel disana. Setelah makan dia mengatakan “mak nyus” yang merupakan trade marknya. Dalam perjalanan ke warung kami membayangkan enaknya nasi itu. Setelah sampai kami pesan 3 piring. Ketika aku mencicipi bumbu pecelnya ternyata sangat pedas sekali. Penjualnya mengatakan bahwa bumbunya hanya satu rasa saja. Akhirnya aku makan sayuran dicampur kecap saja. Kedua teman hanya mencicip sedikit saja, sebab mereka juga tidak tahan pedas. Kami kecewa dan tidak akan makan disana lagi.

Sering kita mempunyai angan atau bayangan indah mengenai hidup. Angan itu dapat kita ciptakan sendiri atau terpengaruh oleh perkataan orang. Semua orang yang akan menikah selalu membayangkan keindahan hidup perkawinan. Demikian pula seorang yang ingin mengikrarkan hidup imamat. Tapi angan yang mereka ciptakan ternyata tidak terwujud. Setelah hidup bersama mereka mulai melihat bahwa pasangannya atau situasi hidupnya jauh berbeda dengan impiannya. Bahkan mereka masuk dalam situasi yang tak pernah dibayangkan. Sedikit demi sedikit muncul rasa kecewa yang akhirnya berujung pada perceraian. Demikian pula dalam hidup imamat dan sebagainya.

Tiga orang Majus konon berasal dari Persia. Mereka berjalan jauh untuk menemukan Mesias yang sudah diramalkan bertahun-tahun. Tentu mereka membayangkan bahwa Mesias adalah bayi yang hebat. Maka mereka membawa persembahan yang mewah. Tapi mereka menemukan bayi di kandang. Jauh dari bayangannya. Inikah Mesias yang dinantikan oleh bangsa Israel yang akan membebaskan mereka dari penjajahan dan memulihkan kerajaan Israel seperti jaman Daud? Injil hanya menulis bahwa mereka mempersembahkan apa yang mereka bawa tanpa menyinggung perasaan mereka.

Para rasul pun kecewa pada Yesus. Mereka membayangkan bahwa Yesus akan menjadi raja hebat maka mereka berebut untuk menjadi yang terbesar. Bahkan tanpa malu ibu Yohanes dan Yakobus meminta pada Yesus kedudukan bagi anak-anaknya. Petrus pun mempertanyakan masa depannya “Lalu Petrus menjawab dan berkata kepada Yesus: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?" (Mat 19:27). Pertanyaan semacam ini dapat muncul bila kenyataan yang dihadapi tidak berjalan sesuai dengan apa yang diimpikan. Puncak kekecewaan mereka adalah ketika Yesus disalibkan. Bayangan mereka hancur.

Tiga orang Majus meski menemui bayi sederhana di tempat sederhana, tapi mereka tetap memberikan yang terbaik yang ada padanya. Para rasul meski kecewa akan kematian Yesus tapi mereka tetap meneruskan karya Yesus. Mereka memberikan yang terbaik dari yang mereka miliki yaitu nyawa mereka. Mereka pada awalnya memang goyah tapi dapat mengatasinya dan meneruskan misinya untuk mewartakan karya keselamatan. Mereka tidak tenggelam dalam kekecewaan tapi punya semangat untuk bangkit dan melakukan apa yang sudah dicanangkan sejak awal.

Kekecewaan membuat kita berusaha memberikan hal yang buruk atau meninggalkan apa yang sejak awal dicanangkan. Oleh karena kecewa maka 2 teman meninggalkan nasi pecelnya nyaris utuh. Pasangan suami istri memilih cerai. Umat pindah agama sebab kecewa pada imamnya. Kekecewaan bukan alasan untuk pergi atau melupakan impian yang dibangun pada awal. Tapi merupakan tantangan untuk tetap bertahan dalam impian dan memberikan yang terbaik seperti orang Majus. Mencari cara baru dalam memandang hidup seperti para rasul. Hal ini membutuhkan harapan yang kuat akan impian, konsistensi akan semangat awal, keberanian untuk tetap memberi yang terbaik dan semangat untuk mengubah diri terus menerus. Tanpa memiliki ini maka kita akan mudah untuk pergi dan mencari impian indah yang lainnya.

Powered By Blogger