Minggu, 26 Desember 2010

TAHUN BARU

Beberapa hari lagi kita akan merayakan tahun baru. Suasana semarak perayaan tahun baru sudah sangat terasa di kota-kota besar. Berbagai pusat perbelanjaan dihias dan ada tulisan “Selamat tahun baru” dalam berbagai bahasa. Beberapa tempat belanja mengadakan diskon besar-besaran untuk aneka barang yang dijual atau istilahnya cuci gudang. Di tepi jalan sudah bermunculan orang yang berjualan terompet yang akan ditiup pada saat pergantian tahun. Beberapa hotel di tempat wisata pada umumnya penuh. Tidak jarang sudah dipesan jauh-jauh hari. Tempat hiburan mempromosikan diri acara tutup tahun dengan mendatangkan artis-artis terkenal. Televisi juga tidak mau kalah mempromosikan acara tutup tahun dengan berbagai acara menarik. Bila dilihat acara tahun baru identik dengan segala acara hiburan dan kesenangan.

Bagi kaum miskin atau orang-orang yang tinggal jauh di pedesaan berbagai acara itu tidak akan terasa. Mereka mungkin hanya akan melihat semaraknya acara di televisi atau bahkan tidak peduli sama sekali perubahan tahun. Bagi mereka tanggal 1 Januari sama dengan hari-hari yang lain. Malam tahun baru pun tidak banyak artinya. Semua hari sama dan tidak ada yang istimewa. Tidak ada perayaan atau pesta. Mereka hanya akan mencopot kalender lama yang mungkin sudah berdebu dan kotor lalu mengganti dengan kalender baru. Perubahan tahun hanya ditandai oleh perubahan kalender.

Bagi kita yang sibuk dengan perayaan dan pesta sebetulnya juga dapat bertanya pada diri sendiri, apa artinya semua pesta, meniup terompet, berkeliling kota menghirup asap kendaraan yang penuh sesak, menyalakan kembang api dan sebagainya? Kita hanya merayakan tapi tidak tahu apa makna perayaan itu. Ada orang mengatakan bahwa dia merayakan tahun baru sebab untuk mensyukuri telah melewati satu tahun dengan baik. Apakah rasa syukur harus dikumpulkan selama setahun baru dirayakan? Bukankah setiap hari kita harus bersyukur atas segala karunia Allah dalam hidup? Apakah semua orang yang merayakan tahun baru adalah orang yang bersyukur atas segala berkah yang telah diterima sepanjang tahun? Bagaimana dengan orang-orang hidup dalam penderitaan akibat bencana alam atau aneka penderitaan yang lain? Orang-orang yang masih hidup dalam pengungsian atau meratapi musnahnya segala yang dimiliki?

Tahun Baru hanya selisih beberapa hari dari hari raya Natal, sehingga bagi umat kristiani mengucapkan Natal pada umumnya sekaligus dengan mengucapkan Tahun Baru. Pada saat Natal kita merayakan kelahiran Yesus yang dianggap titik tolak perubahan tahun dari sebelum masehi menjadi tahun masehi. Kelahiran Yesus dianggap tahun nol, meski diyakini bahwa ada kesalahan yang dilakukan oleh Dionisius tentang penetapan kelahiran Yesus. Menurut Injil Matius Yesus lahir ketika Herodes menjadi penguasa. Padahal Herodes berkuasa pada tahun 73 SM- 4 SM, maka sebetulnya tahun yang dibuat Dionisius dan digunakan oleh sebagian besar orang di dunia ada kesalahan sekitar 4 atau 5 tahun.

Lepas dari masalah kesalahan yang dibuat oleh Dionisius, tapi dengan penanggalan menurut Dionisius menunjukkan bahwa kelahiran Yesus dianggap sebagai saat yang penting sehingga menjadi titik tolak penanggalan. Sebelum kelahiran Yesus orang Romawi yang sangat berpengaruh di Eropa menggunakan penanggalan dengan titik tolak pembangunan kota Roma atau AUC (Ad Urbe Condita) tapi sejak kelahiran Yesus mereka menggantinya dengan AD (Anno Domini) atau kita menyebutnya Masehi. Kehadiran Yesus bukan hanya menjadi titik tolak penanggalan melainkan titik tolak sebuah kebudayaan baru yang bermula dari Israel. Yesus membawa pembaharuan relasi antara manusia dengan Allah dan sesamanya. Allah yang semula diyakini jauh kini menjadi dekat dan bisa disentuh. Bahkan Allah ada dalam manusia terutama yang miskin dan menderita. Dia membawa hukum baru yaitu kasih yang penuh kurban demi keselamatan sesama. Maka pergantian tahun harusnya menjadi titik tolak sebuah perubahan untuk menjadi lebih baik. Pada saat ini kita bertanya pada diri sendiri dan membangun komitmen ke-baru-an apa yang akan kita lakukan pada tahun mendatang. Kita melihat hidup kita dimasa lalu kemudian berusaha membaharuinya, sehingga tahun baru menjadi titik tolak pembaharuan diri. Bukan sekedar mengganti tanggalan melainkan mengubah sikap, perilaku atau pandangan kita menjadi baru.

Jumat, 24 Desember 2010

YESUS DAN PEREMPUAN SAMARIA: PEWARTA YANG RENDAH HATI


Perempuan Samaria adalah seorang yang rendah hati. Dia mau mengakui kelemahan dan dosanya. Dia sadar bahwa dihadapan Yesus tidak ada yang dapat disembunyikan, maka dia segera mengakui akan kelemahannya yang mungkin membuatnya dikucilkan. Ketika Yesus memerintahkan agar dia memanggil suaminya, maka dia menjawab dia tidak mempunyai suami. Maka Yesus membenarkan apa yang dikatakannya. "Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar.” (Yoh 4:17-18). Aib yang berusaha disembunyikan terhadap orang asing kini dibuka. Perempuan itu tidak membela diri melainkan memuji Yesus sebagai nabi.

Hampir semua orang berusaha menyembunyikan aib dirinya. Aib terkait erat dengan penilai orang terhadap harga diri. Semua orang ingin dihargai. Dinjunjung martabatnya. Maka orang berusaha menutup rapat aibnya agar harga dirinya tidak runtuh atau agar dia tidak direndahkan oleh orang. Kalau toh akhirnya ada orang yang membukanya, maka ada kecenderungan untuk membela diri dengan berbagai alasan yang tampaknya masuk akal. Bahkan tidak jarang orang mulai menyalahkan banyak orang sehingga dia harus menanggung aib. Tetapi perempuan Samaria tidak menyalahkan siapa-siapa. Hal ini membutuhkan kerendahan hati untuk menerima segala kesalahan dan dosa.

Dalam kelemahannya perempuan Samaria siap menerima perutusan Yesus untuk menjadi pewarta. Bahkan dia mengatakan kepada penduduk kota bahwa dia yakin Yesus adalah Mesias sebab Dia tahu tentang aibnya. Mungkin hampir semua penduduk kota telah mengetahui aibnya. Tetapi untuk mengatakan secara langsung kepada mereka tentang aibnya hal ini membutuhkan sebuah keberanian dan kerendahan hati yang besar. Tapi dari situlah maka penduduk kota datang pada Yesus.

Sering ada orang memberikan kesaksian di depan umum. Tidak jarang dia menyatakan kelemahan atau dosa yang pernah dibuatnya. Tapi pada umumnya mereka mengakhir sharingnya dengan menunjukkan pertobatan yang hebat. Orang menjadi kagum sebab dia yang berdosa akhirnya bisa bertobat dan menjadi orang yang saleh. Sedangkan perempuan Samaria ini tidak mengakhiri pewartaannya dengan akhir yang indah. Dia tetap seorang berdosa yang harus menanggung aib. Tidak ada tepuk tangan dan kekaguman padanya. Bahkan setelah orang bertemu Yesus dia pun tidak dipedulikan lagi bahkan ditinggalkan orang. "Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.” (Yoh 4:42)

Seorang pewarta sejati dia akan mewartakan Yesus dan dia siap untuk dilupakan, sebab dia menghantar orang pada Yesus bukan pada dirinya. Saat ini banyak orang yang menyatakan bahwa dirinya adalah pewarta Yesus. Tapi sungguhkah dia sudah membawa orang pada Yesus atau untuk mewartakan kehebatan dirinya? Kadang aku terheran-heran seorang yang menyatakan diri sebagai pewarta dia tidak banyak menyebut Yesus melainkan apa yang telah dialaminya dan segala kehebatan rohaninya yang telah dijalani selama ini. Ada pula orang ketika mewartakan Yesus mengisi sebagian besar pewartaannya dengan lawakan yang tidak ada kaitannya dengan iman bahkan main sulap untuk menarik perhatian. Orang akan mengingatnya sebagai pewarta yang lucu dan pandai main sulap. Tapi apakah orang-orang yang mendapat pewartaan itu semakin dekat dengan Yesus?

Kita bisa belajar dari perempuan Samaria, meski direndahkan semua orang tapi dia memberikan diri untuk menjadi pewarta. Seorang yang membawa banyak orang pada Yesus dan membiarkan Yesus sendiri yang mengajar mereka sedangkan dia dilupakan dan kembali tidak dihargai. Pewartaannya dimulai dengan pertemuannya dengan Yesus dan membuka diri dihadapan Yesus atas segala kelemahannya. Berusaha memahami siapa Yesus bagi dirinya sampai memahami bahwa Yesuslah sang Juruselamat.

Rabu, 22 Desember 2010

YESUS DAN PEREMPUAN SAMARIA: DALAM KELEMAHAN DIUTUS ALLAH


Setelah mengetahui bahwa Yesus adalah Mesias, maka perempuan itu segera pergi ke kotanya kembali untuk mewartakan tentang Mesias. Dialah orang pertama yang diutus oleh Yesus untuk mewartakan bahwa Yesus adalah Mesias. Dengan demikian menurut Injil Yohanes pewarta Yesus adalah Mesias yang pertama adalah seorang perempuan yang dipandang hina dan berdosa oleh masyarakat. Bukan para rasul. Para rasul hanya memanen apa yang telah ditaburkan oleh perempuan itu. “Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka.” (Yoh 4:38). Betapa berat tugas yang harus diemban oleh perempuan ini. Banyak warga kota yang tahu bahwa dia adalah perempuan yang berdosa dan kini tiba-tiba dia mewartakan bahwa dia bertemu Mesias. Siapa yang akan percaya bila ada orang berdosa berusaha meyakinkan mereka bahwa dia telah bertemu Mesias dan menjadi utusan Mesias?

Perempuan itu mungkin menceritakan tentang semua pembicaraannya dengan Yesus, tapi tidak ada satu pun orang yang percaya padanya. Akhirnya perempuan itu terpaksa membuka aibnya sendiri. Dia mengatakan bahwa Yesus tahu dengan segala yang telah diperbuatnya. “Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: "Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat.” (Yoh 4:39). Apa yang dilakukan oleh perempuan itu adalah sesuatu yang tidak pantas. Dia harus membongkar aibnya sendiri dihadapan banyak orang. Tidak mudah bagi kita untuk membongkar aib kita dihadapan umum. Kita lebih suka menyembunyikan aib secara rapat agar harga diri kita tidak runtuh. Tapi perempuan ini tidak peduli lagi dengan harga dirinya sehingga rela menelanjangi diri.

Orang-orang Samaria lalu pergi menemui Yesus. Mereka mungkin ingin bertemu Yesus sebab Dia mengaku Mesias dan mengetahui apa yang telah dilakukan oleh perempuan itu tapi Dia juga mengutusnya untuk mewartakan kabar kehadiran Mesias. Mungkin dalam pikiran mereka mulai timbul pertanyaan Mesias macam apakah Dia sebab bicara dengan perempuan Samaria dan seorang pendosa. Berbicara dengan perempuan seorang diri saja sudah tidak pantas, apalagi perempuan ini adalah perempuan berdosa dan seorang Samaria. Bagaimana mungkin seorang Yahudi yang mengaku Mesias dan sudah mengetahui apa yang terjadi dengan perempuan itu masih mengutusnya? Terdorong oleh rasa penasaran ini maka mereka datang pada Yesus.

Setelah bertemu Yesus dan mendengarkan ajaranNya maka mereka menjadi percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Mereka percaya kemesiasan Yesus bukan karena warta dari perempuan itu tapi setelah mendengarkan Yesus. "Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.” (Yoh 4:42). Dengan demikian orang Samarialah yang pertama-tama mengakui bahwa Yesus adalah juruselamat dunia. Suatu hal yang sangat mengejutkan padahal orang Yahudi belum percaya akan hal itu. Mereka hanya mengharapkan Yesus mampu membuat mujijat bagi kepentingannya. Para rasulpun belum memahami siapa Yesus. Mesias dalam konsep mereka adalah pemulih kerajaan Daud bukan Juruselamat dunia.

Perempuan Samaria dipilih oleh Yesus untuk menjadi pewarta kabar gembira. Dalam kelemahan dan kedosaannya dia dipilih oleh Yesus. Sering kita membayangkan bahwa orang yang dipilih Allah untuk menjadi pewarta adalah orang yang hebat dan suci, sehingga kita sering menolak untuk menjadi pewarta dengan alasan masih mempunyai dosa, tidak pantas dan sebagainya. Allah menggunakan siapa saja untuk menjadi utusanNya. “Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang.” (1Kor 1:26). Dengan demikian kita tidak perlu takut untuk menjadi pewarta kabar gembira kepada siapa saja meski kita adalah manusia yang lemah dan penuh dosa.

Selasa, 21 Desember 2010

YESUS DAN PEREMPUAN SAMARIA: PEREMPUAN YANG DIKALAHKAN


Perempuan Samaria itu datang mengambil air pada siang hari. Menurut beberapa ahli kitab, siang hari bukanlah saat biasa orang mengambil air. Biasanya orang mengambil air pada pagi atau sore hari. Ada kemungkinan perempuan ini adalah perempuan yang kurang baik atau perempuan yang ditolak oleh masyarakat, sehingga dia mengambil air pada saat dimana tidak ada orang yang mengambil air untuk menghindari bertemu dengan orang. Dari pembicaraan dengan Yesus diketahui bahwa perempuan itu hidup dengan lelaki tanpa ikatan perkawinan dan sebelumnya sudah mempunyai 4 suami. "Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar.” (Yoh 4:17-18) Apakah dia seorang pekerja seks? Atau seorang perempuan yang menjadi istri simpanan orang-orang kaya?

Dalam budaya Yahudi dan budaya Timur pada umumnya, perempuan dianggap tidak pantas bila hidup bersama lelaki lain tanpa ikatan pernikahan atau gonta-ganti suami. Tapi hal yang sama tidak berlaku bagi para pria. Seorang pria dianggap boleh dan sah saja memiliki beberapa istri atau hidup tanpa ikatan pernikahan dengan seorang perempuan. Beberapa waktu lalu banyak media yang meliput tentang penghargaan untuk orang yang berpoligami. Para pria yang berpoligami dianggap hebat sehingga perlu diberi penghargaan. Inilah bentuk ketidakadilan yang terjadi dan dipelihara selama berabad-abad dalam berbagai suku bangsa.

Timbulnya gerakan gender dan kelompok-kelompok kaum perempuan yang gencar mengajukan kesetaraan tampaknya belum berpengaruh banyak dalam mengubah konsep pandangan masyarakat tentang perempuan. Sampai saat ini perempuan masih dijadikan obyek dan komoditi. Negara kita banyak mengekspor tenaga kerja perempuan meski sudah banyak jatuh kurban akibat perlakuan yang sewenang-wenang dari para majikan di luar negeri. Siti Hajar, Nuraini, Sumiati dan masih banyak lagi perempuan yang mengalami siksaan mengerikan dari para majikan di tempat mereka bekerja. Belum lagi perempuan yang dijadikan obyek misalnya iklan yang lebih didominasi foto tubuh perempuan daripada barang yang diiklankan. Perempuan yang diperlakukan sebagai pembantu di rumah tangga, perempuan yang dipandang hina karena pekerjaan dan masih banyak lagi kasus dimana perempuan direndahkan.

Perempuan adalah ibu yang melahirkan manusia. Dia yang merawat sejak janin calon manusia yang ada di bumi. Dialah yang pertama mengajari seorang anak untuk belajar berbicara, membangun karakter manusia bahkan sejak dari janin. Pernah aku bertemu dengan seorang anak yang sangat nakal sekali. Semua pendamping belajar sudah angkat tangan. Ketika kutanya pada para pendamping bagaimana sikap orang tuanya, mereka mengatakan ibunya sangat memanjakan. Tapi aku penasaran mengapa anak yang mendapat kasih yang cukup dapat nakal seperti ini. Akhirnya aku bertemu dengan ibunya dan kutanya riwayat anak ini. Ibunya akhirnya mengaku bahwa pada waktu anak ini masih dalam kandungan pernah akan diaborsi. Tapi karena gagal maka ibu sadar bahwa mungkin dia harus merawat janin ini. Maka dia menyesal atas tindakan itu dan berubah menjadi sangat mencintai anaknya. Tapi sikap penolakan ibu pada waktu janin sudah membangun karakter seorang anak menjadi anak yang liar.

Peran perempuan sangat besar dalam dunia ini. Dia dapat menjadi sosok yang dapat menjatuhkan seseorang seperti Delilah maupun dapat menjadi sosok yang mengangkat seseorang menjadi orang hebat. Thomas Alva Edison dapat menjadi besar karena peran ibunya yang terus berjuang memberi pelajaran padanya yang dianggap sebagai anak berkekurangan. Perempuan juga dapat menjadi pejuang yang tangguh seperti Joan de Arc atau Yudit yang mampu memenggal kepala Holofernes, panglima besar Asyur dan masih banyak lagi. Tapi mengapa perempuan sering diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang? Mengapa masih banyak pandangan orang yang tidak mampu berubah dengan meletakkan perempuan pada posisi yang semartabat dengan lelaki?

Sabtu, 18 Desember 2010

KAMBING HITAM


Kambing hitam entah mengapa digunakan istilah itu untuk memposisikan orang sebagai tumpuan kesalahan meski mungkin dia tidak bersalah. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang belum terjamah oleh hukum positip yaitu hukum negara. Padahal dampak negatif orang yang dijadikan kambing hitam bisa sangat besar. Pada tahun 1965 banyak sekali orang dijadikan kambing hitam dan akhirnya menemui ajal atau dipenjara tanpa pengadilan yang jelas. Setelah keluar dari penjara pun mereka menjadi orang-orang buangan ditengah masyarakat, sebab mereka sangat dibatasi geraknya. Di tengah masyarakat bahkan keluarga menjadikan orang sebagai kambing hitam sering terjadi meski mungkin dampak negatifnya tidak begitu luas. Tapi hal ini membuat orang yang dijadikan kambing hitam menjadi tidak nyaman dalam hidupnya.

Orang menjadikan sesamanya sebagai kambing hitam sebab mereka sebenarnya tidak berani mengakui kesalahan yang telah dibuatnya. Ketika terjadi bencana lumpur yang menenggelamkan banyak desa di Porong akibat kesalahan Lapindo Inc, maka seorang pejabat yang tidak berani bertanggungjawab menjadikan gempa di Jogjakarta sebagai kambing hitam. Ketika terjadi bencana kereta api terguling tidak ada satu pun pejabat yang mau bertanggungjawab maka masinis kereta api itu yang dijadikan kambing hitam. Pada umumnya orang yang dijadikan kambing hitam adalah orang yang tidak berdaya, lemah, tidak mempunyai kekuasaan sehingga dia tidak mampu membela diri.

Mochtar Lubis menulis buku berjudul “Manusia Indonesia”. Dalam bukunya dia menulis beberapa ciri manusia Indonesia. Salah satu ciri manusia Indonesia adalah enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, keputusannya, pemikirannya, kelakuannya, dan sebagainya. Bila ada masalah maka begitu mudah mengatakan “bukan saya”. Tapi dalam setiap masalah harus ada orang yang bertanggungjawab, maka dicari kambing hitam untuk menumpahkan segala tanggungjawab kesalahan padanya. Maka orang yang suka mencari kambing hitam adalah orang yang tidak bertanggungjawab, kejam, pengecut dan licik. Dia hanya mencari keselamatan diri sendiri dan tega mengorbankan orang lain demi keselamatan dirinya sendiri.

Menurut Sindhunata dalam buku “Kambing Hitam” terjadinya kambing hitam, sebab orang menipu dirinya sendiri dan sesamanya. Sindhunata mengutip kecamanan Yesus pada kaum Farisi yang dianggap sebagai pembunuh nabi-nabi terdahulu tapi mereka mengatakan bahwa kalau mereka hidup pada jaman nabi itu maka mereka tidak akan turut terlibat pembunuhan itu. Mereka menjadikan nenek moyangnya sebagai kambing hitam, padahal mereka mengakui sebagai keturunan nenek moyangnya itu. Maka Yesus mengecam mereka sebagai keturunan iblis. “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.” (Yoh 8:44). Iblis disini bukan roh jahat atau setan seperti pemahanan kita. Iblis adalah cerminan dusta dan kekerasan yang ada dalam diri manusia. Sikap ini berlawanan dengan Yesus.

Bila kita mengakui diri sebagai pengikut Kristus maka seharusnya dalam hidup kita ada kekuatan yang berlawanan dengan kekuatan iblis dalam artian dusta dan kekerasan, sehingga kita tidak mudah mengurbankan orang dengan menjadikannya sebagai kambing hitam demi keselamatan diri sendiri. Kita berani mempertanggungjawabkan semua yang kita pikirkan, lakukan, tindakan dan lainnya. Yesus telah memberikan teladan bahwa Dia berani mengurbankan diri tanpa mencari kambing hitam. Dia mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukanNya seorang diri. Dia menanggung sendiri semua tuduhan palsu yang dituduhkan padaNya. Pada waktu penangkapan di taman Getsmani, Dia meminta supaya para prajurit melepaskan para murid, “Jawab Yesus: "Telah Kukatakan kepadamu, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi.” (Yoh 18:8). Inilah bedanya antara Anak Allah dengan anak iblis.

KEKERASAN

Sejak jaman dahulu kala manusia suka melakukan kekerasan. Kitab Suci pun sejak awal sudah mengisahkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh manusia yaitu antara Kain dan Habel. Menurut Sindhunata dalam bukunya berjudul “Kambing Hitam” yang mengupas teori Rene Girard, menyatakan bahwa manusia pada dasarnya ingin melakukan kekerasan. Kekerasan itu perlu disalurkan dalam tindakan terhadap sesama manusia atau subyek lain. Kain dan Habel keduanya melakukan kekerasan. Habel melakukan kekerasan terhadap hewan yang dijadikan kurban. Kain juga melakukan kekerasan terhadap Habel tapi dia dianggap kriminal. Padahal keduanya sama-sama pelaku kekerasan. Sindhunata secara panjang lebar menguraikan bahwa pengurbanan hewan adalah salah satu wujud penyaluran kekerasan. Maka hewan kurban itu diambil dari hewan yang dekat dengan manusia atau memiliki karakter menyerupai manusia.

Dalam jaman ini dimana kekerasan dengan cara membunuh dapat menimbulkan resiko yang besar bagi pelaku, maka kekerasan diwujudkan dalam bentuk lain. Seandainya tidak ada hukuman bagi orang yang membunuh maka pasti akan banyak sekali terjadi pembunuhan. Tapi hukum dan penjara tidak mampu menghilangkan kekerasan yang ada dalam diri manusia. Kekerasan fisik terus muncul dalam berbagai bentuk misalnya pemukulan dan sebagainya. Hukum hanya mampu membatasi pembunuhan. Saat ini juga ada hukuman penjara bagi orang yang melakukan kekerasan meski tidak sampai membunuh, tapi itu pun tidak mengurangi kekerasan, sebab sering kali kekerasan yang belum sampai membunuh dianggap biasa oleh masyarakat. Pemukulan anak oleh orang tua, tawuran antar pelajar, perkelahian antar anggota dewan dan sebagainya hanya dibicarakan sejenak lalu tidak ada kelanjutannya.

Kekerasan yang masih belum banyak dipersoalkan adalah kekerasan yang disalurkan dalam perkataan. Selama ini belum pernah saya mendengar ada orang memaki sesamanya lalu dipenjara. Memang ada orang ribut mempersoalkan fitnah, perkataan yang mempermalukan orang dihadapan umum dan sebagainya. Tapi itu bagai sebuah pasir di pantai. Oleh karena hukuman belum menyentuh sampai ke arena ini, maka orang sangat leluasa memaki, memfitnah, gosip dan sebagainya. Bahkan beberapa stasiun televisi dengan bangga menayangkan acara yang isinya hanya membicarakan pribadi orang. Pembicaraan itu akan semakin gencar bila ada orang yang terkena masalah. Masalah pribadi dan keluarga pun dijadikan masalah milik publik. Padahal orang yang terkena masalah tidak senang jika masalahnya diobral apalagi bila anak-anak mereka pun dilibatkan dalam masalah orang tuanya. Hal ini biasanya dikatakan pembunuhan karakter. Tapi karena hukum belum menyentuhnya maka sering terjadi.

Ketika aku berteman dengan anak jalanan hampir setiap saat aku melihat kekerasan. Sampai seorang teman pendamping sering mengatakan mengapa rumah singgah sepi artinya tidak ada kekerasan bila seminggu saja tidak terjadi kekerasan. Anak jalanan mudah sekali melakukan kekerasan sebab dalam hidup mereka sering mengalami kekerasan. Banyak anak jalanan sejak kecil sudah mengalami kekerasan dari orang tua sehingga dalam diri mereka tertanam pandangan bahwa kekerasan adalah sah dan menunjukkan kekuatan diri agar disegani dan dihormati.

Sebetulnya manusia dianugerahi Allah akal budi untuk mengotrol keseluruhan diri. Semakin matang akal budi seseorang semakin mampu dia mengontrol diri sendiri. Pengalaman tidak nyaman akibat menjadi kurban kekerasan dapat dikontrol oleh akal budi, sehingga tidak diungkapkan begitu saja seperti anak jalanan di rumah singgah. Kematangan akal budi tidak terkait dengan pendidikan, sebab banyak orang yang memiliki gelar berderet tapi dia melakukan kekerasan. Kematangan akal budi juga tidak terkait dengan iman, sebab banyak juga orang yang mengaku beriman tapi melakukan kekerasan dengan dalih ketaatan pada agama. Kematangan akal budi adalah buah dari proses pembelajaran dan pendewasaan yang terus menerus, sehingga orang mampu mengendalikan benih kekerasan yang ada dalam dirinya.

Kamis, 16 Desember 2010

YESUS DAN PEREMPUAN SAMARIA: LETIH


Injil Yohanes sering menunjukkan kuasa Yesus dan beberapa ahli mengatakan bahwa Yohanes sering ingin menunjukkan keilahian Yesus. Tapi dalam kisah pertemuan dengan perempuaan Samaria, Yesus tampil sangat manusiawi sekali. Dia letih dan haus. Jarak antara Yudea dan Galilea sekitar 200 km dan itu ditempuh dengan jalan kaki yang membutuhkan waktu sekitar 3 hari perjalanan. Yesus dan para murid sudah menempuh separoh perjalanan. Yesus sampai di sumur Yakub sekitar pukul 12 siang. Saat dimana matahari bersinar sangat terik. Maka sangat wajar bila Yesus haus dan lapar. Yesus duduk di tepi sumur menunggu para murid yang pergi membeli makanan dalam keletihan dan kehausan.

Hidup adalah sebuah perjalanan panjang. Kita melewati waktu demi waktu, peristiwa demi peristiwa yang saling berkait satu dengan yang lain. Kadang kita tidak menyadari perjalanan hidup kita, sebab tenggelam dalam kesibukan yang tiada hentinya sampai akhirnya kita terhenyak tahun sudah berganti. Rasanya perayaan Natal tahun lalu baru saja berlalu ternyata kini sudah hampir Natal lagi. Ada orang mengatakan bahwa bumi sekarang berputar lebih cepat dibanding dulu, sebab waktu rasanya cepat bergerak. Padahal bumi berputarnya tetap sama. Satu hari tetap 24 jam. Kesibukan membuat orang tidak sadar akan terjadinya perubahan waktu.

Banyaknya kesibukan membuat orang letih. Keletihan ini bukan hanya menyerang fisik tapi juga psikis atau jiwa. Hidup pada jaman ini dimana persaingan semakin kuat membuat orang harus lebih berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Seorang teman mengatakan bahwa dia hampir tidak pernah melihat matahari, sebab pergi dari rumah ketika matahari masih belum terbit dan keluar dari kantor ketika matahari sudah tenggelam. Dia terpaksa menjalani semua itu demi mempertahankan hidupnya. Jika tidak maka usahanya dapat direbut oleh para pesaingnya. Pulang dari kerja dia pun terjebak kemacetan yang membuatnya semakin letih. Sesampai di rumah masih ada aneka masalah yang harus diselesaikan. Tubuh dan jiwanya yang letih sepanjang hari masih harus menanggung aneka masalah yang ada di rumah.

Keletihan jiwa juga dapat terjadi ketika aneka harapan yang dimiliki tidak dapat terwujud meski dia sudah berusaha keras untuk mewujudkannya. Dia merasa tidak berdaya lagi. Apalagi beban hidup terus bertambah. Masalah datang silih berganti, seolah satu masalah belum selesai sudah muncul masalah baru. Ketika aku melihat jadwal seorang anak pelajar SD aku hanya mampu geleng-geleng kepala. Dulu ketika aku masih SD sepulang sekolah masih ada waktu untuk bermain bersama teman-teman sampai sore tiba. Tapi anak ini sepulang sekolah masih harus les bahasa, musik, pelajaran dan sebagainya. Dia tidak lagi mempunyai waktu untuk bermain bersama teman-temannya. Aku bertanya pada diri sendiri apakah anak ini tidak mengalami keletihan jiwa?

Keletihan dapat membuat orang kehilangan kontrol atas dirinya. Dia akan mudah marah, tidak mampu konsentrasi, bergerak hanya mengikuti arus, dan sebagainya. Maka perlu istirahat, tapi orang jaman ini sering melihat istirahat adalah perbuatan yang kurang berguna. Mereka lebih bangga bila tenggelam dalam kesibukan. Akibatnya banyak orang mengalami keletihan jiwa, sehingga saat ini banyak berita tentang orang yang berbuat “aneh-aneh”. Yesus beristirahat di dekat sumur, sumber air, yang dapat memberikan kesegaran jiwa. Dalam percakapan dengan perempuan Samaria Yesus menunjukkan bahwa Dialah sumber air hidup “barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” (Yoh 4:14). Yesus adalah air kehidupan yang dapat menghilangkan keletihan. Untuk mendapatkan air kehidupan kita perlu datang padaNya. Hening dihadapanNya. Menyerahkan semua masalah dan beban hidup padaNya dan membiarkan Dia berkarya dalam hati kita. Tapi kita sering enggan untuk sejenak hening di hadapanNya dan membiarkan jiwa kita letih.

Rabu, 15 Desember 2010

YESUS DAN PEREMPUAN SAMARIA: PERDAMAIAN


Dalam Injil Yohanes diceritakan Yesus melakukan perjalanan dari Yudea ke Galilea. Dia meninggalkan Yudea sebab orang Farisi menduga bahwa Yesus sudah membaptis lebih banyak orang daripada Yohanes Pembaptis, padahal Yesus tidak membaptis tapi para muridNya. Anggapan orang-orang Farisi ini dapat menimbulkan masalah yaitu bisa memunculkan popularitas yang salah seperti ketika Yesus mampu menggandakan roti, maka Dia akan diangkat menjadi raja. “Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.” (Yoh 6:15). Sebaliknya popularitas Yesus juga dapat dianggap ancaman oleh orang Farisi sehingga mereka berusaha mencari jalan untuk menangkap Yesus. “Sesudah itu Yesus berjalan keliling Galilea, sebab Ia tidak mau tetap tinggal di Yudea, karena di sana orang-orang Yahudi berusaha untuk membunuh-Nya.” (Yoh 7:1).

Yudea yang merupakan daerah di sebelah selatan Palestina sedankan Galilea terletak di bagian utara. Diantara dua daerah itu adalah daerah Samaria. Orang Yahudi tidak mempunyai hubungan yang baik dengan orang Samaria. Orang Yahudi menganggap rendah orang Samaria. Hal ini dimulai dari pecahnya kerajaan Israel setelah Salomo wafat pada tahun 931 SM. Kerajaan Utara disebut kerajaan Israel dan kerajaan Selatan disebut kerajaan Yehuda. Pada tahun 722 SM kerajaan Israel dihancurkan oleh Asyur dan bangsa Israel dibuang ke Asyur. Raja Asyur memasukan bangsa-bangsa lain sehingga terjadi percampuran antara bangsa Yahudi dengan bangsa lain. Pada tahun 586 kerajaan Yehuda diserang Babel dan orang Yahudi dibuang ke Babel. Setelah pembuangan Babel pada tahun 538 sisa-sisa Yahudi yang kembali ke Israel membuat aturan ketat tentang banyak hal dan mereka menjaga kemurnian bangsa Yahudi. Mereka memandang rendah bangsa Samaria yang dianggap bukan murni bangsa Yahudi. Orang Samaria pun merendahkan orang Yahudi yang dianggap bangsa tidak benar. Mereka membuat Bait Suci sendiri gunung Gerizim dan tidak mau menyembah Suci di Yerusalem yang menjadi pusat keagamaan bangsa Yahudi. Permusuhan ini diperparah dengan penyerbuan bangsa Yahudi terhadap bangsa Samaria pada tahun 128 SM yang menghancurkan bait suci di gunung Gerizim.

Yesus berjalan bersama para murid memasuki daerah Samaria. Karena letih dan haus maka Yesus berhenti di sebuah sumur yang dipercaya sebagai sumur Yakub dekat tanah milik Yusuf dimana Yusuf dimakamkan. Sebagai orang Yahudi, Yesus sudah masuk ke daerah musuh. Para murid tampaknya disuruh membeli makanan di daerah orang Samaria, sehingga Yesus sendirian di tepi sumur. Kebetulan ada seorang perempuan Samaria datang untuk mengambil air. Yesus pun meminta pada perempuan itu minum. "Berilah Aku minum.” (Yoh 4:7). Yesus yang punya kuasa apapun Dia meminta minum pada seorang perempuan Samaria. Jelas hal ini membuat perempuan itu terkejut dan heran. Dia lalu mengingatkan Yesus bahwa Dia adalah orang Yahudi dan dia adalah orang Samaria. Tapi dari situ Yesus mewartakan siapa DiriNya.

Yesus datang ke dunia untuk membawa damai. Damai dapat tercipta bila orang mau rendah hati. Yesus yang penuh kuasa Dia merendahkan DiriNya untuk meminta minum pada musuh. Meminta membuat posisi Yesus menjadi rendah. Hal ini dianggap tidak pantas oleh perempuan Samaria. Tapi Yesus sadar siapa diriNya dan apa yang dapat dilakukanNya. Sering kali bila kita bermusuhan dengan orang maka kita berusaha untuk menunjukkan diri lebih hebat dan berkuasa dibanding musuh kita. Bahkan tidak jarang kita menghina dan merendahkan martabatnya. Kita tersenyum lebih dulu saja tidak mau apalagi meminta sesuatu padanya. Tersenyum pada musuh dianggap tidak pantas. Perdamaian dapat tercapai bila kita sadar akan siapa diri kita dan bangga akan diri kita tapi mau menghargai musuh dan memposisikannya sebagai orang yang kita butuhkan. Menghargai martabatnya. Bila kita tidak yakin akan diri, maka akan menimbulkan rasa kuatir yang berujung pada kecurigaan bahwa musuh akan menyerang kita. Perdamaian dapat terjadi bila kita sadar siapa diri kita dan mau merendahkan diri.

Sabtu, 11 Desember 2010

ANDAI RUANG INI DAPAT BERBICARA


Aku meneguk air putih dari gelas. Tenggorokanku terasa kering. Hampir 3 jam aku duduk mendengarkan dua orang yang bertengkar. Saling menyalahkan. Kata-kata pedas dan cenderung kasar terlontar begitu saja. Padahal beberapa tahun lalu mereka datang padaku. Di tempat ini pula. Mereka menyatakan bahwa mereka sudah merasa cocok satu dengan yang lain. Mereka bisa menerima kekurangan yang ada dalam pasangannya. Mereka mampu berkomunikasi dengan baik dan menyelesaiakan setiap masalah dengan baik. Mereka bisa mengampuni. Pendek kata mereka yakin bahwa mereka akan mampu membangun keluarga dengan baik. Tapi kini mereka seperti dua musuh yang berhadapan. Tidak ada lagi bekas cinta. Segala janji yang dulu pernah mereka katakan di ruangan ini seperti kabut yang lenyap tanpa bekas.

Dulu aku sudah memperingatkan mereka agar menunda perkawinannya untuk lebih saling mengenal pribadi masing-masing secara mendalam. Memang ketika mereka bertanya mengapa harus menunda, aku tidak mampu menjelaskan dengan tepat. Tapi instingku mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres atau tidak pada tempatnya. Tapi aku tidak tahu dengan pasti apa itu. Aku hanya merasa bahwa perkawinan mereka sangat rapuh dan rawan. Tapi aku tidak bisa membatalkan perkawinan berdasarkan naluriku saja. Itu pilihan dan hak mereka untuk menikah. Maka aku hanya membuat catatan dalam lembaran kanonik bahwa perkawinan rawan.

Saat ini kasus perceraian menjadi semakin banyak. Ada berbagai alasan yang menjadi penyebabnya. Mulai dari perselingkuhan, komunikasi, keterlibatan orang tua, sampai penghasilan dan jabatan istri yang lebih tinggi dibandingkan suaminya. Bila dicari akar masalahnya bagiku saat ini orang mengalami krisis pemahaman cinta. Cinta yang bertujuan untuk membahagiakan pasangan menjadi membahagiakan diri sendiri. Akibatnya tidak ada kurban. Semua ingin menangnya sendiri. Melihat masalah dari sudutku bukan sudutmu atau sudut kita. Bila ada masalah bukan mencari bagaimana jalan keluarnya tapi sibuk mencari siapa benar siapa salah. Parahnya bila semua merasa paling benar sehingga mulai menghakimi yang lain sebagai tertuduh.

Andai ruangan ini dapat berbicara maka dia mungkin akan mengatakan apa yang dulu pernah dikatakan oleh kedua orang itu. Mungkin meja ini akan mengatakan bagaimana mereka mengatakan saling mencintai. Mungkin kursi ini akan mengatakan kehangatan cinta mereka. Mungkin gambar di dinding ini akan mengatakan impian-impian yang mereka bangun. Mungkin lampu di dinding akan mengatakan janji mereka yang akan setia sehidup semati. Semua di ruang ini masih tetap tapi apa yang mereka dengar sudah tidak ada lagi. Kini semua benda itu mendengar hal yang sebaliknya. Kata dan tuduhan yang dulu tidak pernah mereka bayangkan.

Jaman ini egoisme semakin menguat. Orang memusatkan semua pada diri sendiri. Dalam Kitab Suci sudah jelas bahwa dalam perkawinan mereka bukan lagi dua tapi satu. “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:5-6). Dalam perkawinan Allah menjadikan suami istri menjadi satu daging. Mereka tak terpisahkan. Hal ini bukan berarti mereka kemana-mana harus berdua, melainkan suami hidup dalam istri dan istri hidup dalam suami. Bila kamu hidup dalam aku, maka aku bukan lagi sepenuhnya menjadi diriku. Kamu menjadi bagian dari aku dalam segala hal. Aku bersikap, mengambil keputusan, menentukan arah hidup dan lainnya bukan demi atau seturut keinginanku sendiri tapi juga keinginan dan seturut kehendakmu. Hal ini dapat terjadi bila satu dengan yang lain saling memahami secara penuh. Diantara mereka tidak ada lagi batas atau ruang atau sesuatu yang tersembunyi. Mereka mengenal satu dengan yang lain secara penuh. Tapi yang sering terjadi adalah orang mengenal hanya luarnya saja dan dia tetap mempertahankan kemandiriannya sehingga mengabaikan pasangannya.

Jumat, 10 Desember 2010

ADVENT: PENGHARAPAN


Salah satu seruan pada masa Advent adalah pengharapan. Kita diingatkan kembali akan harapan akan kedatangan Yesus yang kedua. Pada jaman para rasul atau Gereja perdana harapan akan kedatangan Yesus yang kedua atau akhir jaman dikira sudah dekat. Mereka mendasarkan kepercayaannya pada sabda Yesus, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Anak Manusia datang sebagai Raja dalam Kerajaan-Nya.” (Mat 16:28). Dari sini mereka percaya bahwa kehadiran Yesus yang kedua atau akhir jaman sudah sangat dekat. Maka mereka memusatkan pada menyambut kehadiran Yesus yang kedua ini. Mereka tidak bekerja dan hanya berdoa serta membagi-bagikan milik mereka kepada sesama. Akhirnya Paulus mengingatkan bahwa umat harus tetap bekerja dan menjalankan kehidupan seperti biasa sambil menanti saat itu.

Advent berasal dari kata Latin yaitu adventus yang akar katanya ad dan venire. Ad artinya menuju dan venire artinya datang atau kedatangan. Menurut Nico Syukur Dister OFM, seorang teolog yang mengajar di STFT Jayapura, advent berarti “kedatangan dengan semarak.” Hal ini untuk menggambarkan kehadiran Yesus yang kedua dalam kesemarakan. Hal yang sering dipahami oleh banyak orang Advent adalah hanya sebuah peringatan menunggu kelahiran Juru Selamat, sebab masa Advent berakhir pada hari raya Natal dimana kita memperingati kelahiran Yesus. Oleh karena perhatian terpusat pada pesta kelahiran Yesus, maka masa penantian kehadiran Yesus yang kedua kurang mendapatkan perhatian. Kita tidak menunggu kelahiran Yesus melainkan mengarahkan perhatian pada kehadiran Yesus yang kedua yaitu pada akhir jaman.

Pada saat menanti kita mempunyai harapan bahwa pada saat kehadiran Yesus yang kedua kita akan dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Kerajaan Surga memang sudah hadir sejak Yesus hadir tapi masih belum sempurna. Kesempurnaan akan terjadi pada akhir jaman, dimana orang-orang kudus akan hidup bersama. Yesus akan menentukan siapa saja yang layak untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga seperti gambaran tuan yang memisahkan antara kambing dan domba. Bila kita layak maka kita akan masuk ke dalam Kerajaan Surga sebaliknya bila kita tidak layak maka kita akan masuk dalam kegelapan dan kertak gigi. Memang dalam agama Katolik tidak dijelaskan secara detil situasi surga atau neraka. Semua masih gelap bagi kita. Yesus hanya mengatakan bahwa di surga kita akan bahagia sedangkan di neraka kita akan dibakar oleh api abadi. Pada masa Advent kita diajak untuk berharap datangnya saat penentuan itu.

Harapan untuk dapat masuk dalam Kerajaan Surga bukanlah sekedar duduk dan menanti melainkan menjaga diri kita. “Sebab itu, saudara-saudaraku yang kekasih, sambil menantikan semuanya ini, kamu harus berusaha, supaya kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya, dalam perdamaian dengan Dia.” (2Ptr 3:14). Selain menjaga diri kita pun perlu melakukan perbuatan kebaikan, sehingga ketika saatnya tiba kita ditemukan sedang melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sebagai pengikut Kristus. “Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang.” (Mat 24:46).

Harapan membuat kita hidup terarah ke masa depan. Kita tidak terjebak pada masa lalu melainkan mengarahkan hati, pikiran dan perasaan ke arah masa depan. Ini yang membuat kita mempunyai semangat untuk menjalani hidup kita. Saat ini banyak orang yang mengalami masa gelap dalam hidupnya. Hal ini dapat disebabkan oleh kesadaran akan dosa di masa lalu atau situasi hidup saat ini yang sangat berat, sehingga Dia ingin mengakhiri hidupnya saat ini juga. Adanya harapan membuat orang mampu bangkit kembali. Dia memiliki masa depan yang ingin diraihnya. Harapan yang pasti adalah kedatangan Yesus untuk kedua kalinya, yang akan mengadili manusia sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Dalam masa Advent kita kembali memupuk harapan akan kebahagiaan yang dapat kita raih.

Minggu, 05 Desember 2010

ADVENT: PERTOBATAN


Salah satu nilai yang kuat diwartakan dalam masa Advent adalah pertobatan. Bacaan Injil mengkisahkan kehadiran Yohanes Pembaptis yang menyerukan pertobatan. Orang menerima pembaptisan sebagai tanda pertobatan. Yohanes Pembaptis mengajarkan hal praktis sebagai wujud pertobatan atau sebagai buah-buah pertobatan. “Orang banyak bertanya kepadanya: "Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?" Jawabnya: "Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian." (Luk 3:10-11). Selain itu Yohanes Pembaptis juga menyerukan kejujuran dalam menjalankan tugas sebagai pemungut cukai atau prajurit.

Pertobatan adalah kembali kepada Allah. Bagi Yohanes Pembaptis pertobatan bukan hanya sekedar menyesali dosa-dosa yang telah dibuat melainkan ada perubahan sikap dan tingkah laku. Kembali kepada Allah adalah menjadikan diri sebagai citra Allah atau kembali ke fitrahnya manusia. Pada awal penciptaan Allah menciptakan semua baik adanya. Tapi karena dosa maka yang baik itu rusak. Kehidupan bersama yang baik rusak oleh dosa iri hati, keserakahan, kemarahan, keinginan menjadi allah, dan keegoisan diri. Dengan melakukan dosa manusia telah kehilangan kemanusiaannya.

Manusia dianugerahi Allah akal budi yang cukup sehingga manusia berbeda dengan hewan dan mahluk lainnya. Manusia disebut manusia bila dia mampu menggunakan akal budi. Sebelum memutuskan untuk bertindak, berbicara, dan bersikap manusia dapat mempertimbangkan semuanya dengan menggunakan akal budi, sehingga dia dapat dimintai pertanggungjawaban atas semua yang dilakukan atau dikatakannya. Dia mengerti apa secara penuh apa yang dilakukannya. Bila manusia bertindak tidak menggunakan akal budi, maka dia kehilangan kemanusiaannya. Manusia yang marah secara membabi buta dia telah kehilangan kemanusiaannya sebab tindakannya dibutakan oleh kemarahan. Manusia yang menindas sesamanya secara keji seperti majikannya Sumiati, maka dia dapat dikatakan telah kehilangan kemanusiaannya. Segala dosa dilakukan tanpa menggunakan akal budi yang benar, sehingga manusia tidak lagi menampilkan diri sebagai manusia melainkan hewan.

Pertobatan adalah sarana manusia untuk menjadi manusia seperti pada saat dia diciptakan dulu. Manusia kembali menjadi citra atau gambaran diri Allah. Maka dalam masa pertobatan ini kita diajak untuk melihat diri sendiri apakah aku selama ini sudah berubah menjadi hewan yang mengerikan dan menjijikan atau masih pantas disebut sebagai citra atau gambaran diri Allah? Tapi orang sering menyempitkan dosa dalam hal yang terkait dengan Allah. Orang merasa berdosa sebab lupa berdoa, tapi dia tidak merasa berdosa ketika tetangganya meninggal karena kelaparan. Orang merasa berdosa sebab lupa membayar perpuluhan pada Gereja tapi dia tidak merasa berdosa ketika memberi gaji karyawannya jauh dibawah upah yang layak bagi seorang pekerja.

Maka Yohanes Pembaptis menyatakan bahwa perlu adanya buah pertobatan yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh pertobatan dan dapat dirasakan oleh orang lain. Buah pertobatan dapat dirasakan bila pertobatan itu aktif bukan pasif. Orang merasa sudah bertobat bila dia tidak melakukan ini atau itu. Seorang pencuri dianggap bertobat bila dia tidak mencuri. Hal ini memang membuat orang senang sebab dia tidak kuatir akan kehilangan barangnya lagi. Tapi sebetulnya hal ini tidak cukup. Pencuri bisa tidak mencuri tapi dia tidak peduli pada sesamanya. Pertobatan aktif ialah bila orang secara aktif melakukan hal-hal kebaikan sehingga orang di sekitarnya merasakan kebaikan yang dia lakukan. Orang lebih suka melakukan pertobatan pasif, maka sering kita dengar orang mengatakan bahwa yang terpenting adalah tidak merugikan sesama atau berbuat jahat pada sesama. Memang dengan tidak melakukan dosa, maka kita dapat mewujudnyatakan diri sebagai gambaran diri Allah. Tapi harus bertobat aktif. Gambaran diri Allah bukan hanya kalau kita tidak melakukan dosa tapi juga ketika kita berbuat kebaikan bagi sesama sehingga sesama menjadi bahagia. Inilah buah pertobatan.

ADVENT: PENANTIAN


Saat misa sekolah anak SMP menjelang UAS, aku bertanya pada mereka apakah mereka sudah siap mengerjakan UAS? Sebagian anak mengatakan siap dan sebagian lain mengatakan belum siap. Kepada anak yang menjawab sudah siap menghadapi UAS aku tanya apakah mereka yakin akan mendapat nilai yang bagus? Hanya sedikit anak yang yakin akan mendapatkan nilai bagus. Pada umumnya mereka tidak yakin akan nilai yang akan dicapai. Mereka mengeluhkan pelajaran sangat sulit. Banyak yang harus dipelajari dan dihafalkan. Masih banyak lagi alasan yang mereka kemukakan. Aku lalu bertanya apakah UAS itu mendadak atau sudah terjadwal? Mereka semua menjawab bahwa UAS sudah terjadwalkan. Akhirnya aku bertanya bila UAS sudah dijadwalkan mengapa masih belum siap? Mengapa tidak mampu meraih nilai bagus?

Semua anak ketika memasuki tahun pelajaran baru sudah tahu bahwa pada akhir tahun pelajaran mereka akan menjalani UAS. Tapi karena ada rentang waktu yang cukup lama antara tahun ajaran baru dan saat UAS, maka sering mereka tidak menggunakan waktu dengan baik. Mereka baru belajar dengan giat ketika UAS sudah sangat dekat. Atau dulu istilah para mahasiswa adalah SKS atau “sistem kebut semalam”. Oleh karena menggunakan SKS, maka pelajaran hanya dihafal tapi tidak diresapkan dalam diri, sehingga begitu lulus banyak anak yang lupa dengan apa yang pernah dipelajari. Maka tidak heran bila banyak anak setelah lulus tidak menguasai apa yang telah dipelajarinya. Semua seolah hilang bersama berakhirnya UAS atau ujian akhir.

Hidup manusia pun tidak beda dengan sekolah. Ketika lahir kita sudah tahu bahwa suatu saat akan mati. Memang saat masih bayi dan anak-anak hal itu tidak pernah terpikirkan. Tapi semakin berkembangnya diri, maka kesadaran akan akhir hidup seharusnya juga semakin dipahami dan perlu dipikirkan. Hanya sebagian besar orang enggan untuk memikirkan akhir hidup atau kematian. Kita lebih suka berpikir tentang bagaimana mengisi kehidupan daripada memikirkan saat kematian. Bahkan banyak orang tidak mau memikirkan kematiannya sebab hal itu dianggap tabu dan menakutkan meski kematian adalah sebuah kepastian yang akan dialami cepat atau lambat.

Dalam masa Advent kita diingatkan kembali oleh Gereja akan saat itu. Kita diajak oleh Gereja untuk menanti kedatangan Yesus yang kedua kali yaitu akhir jaman. Ini adalah saat ujian terakhir untuk menentukan apakah kita lulus atau tidak lulus. Bila kita lulus maka kita akan menikmati hidup kekal sebaliknya bila tidak lulus maka kita akan dibinasakan tubuh dan jiwa kita. Semua itu bergantung pada apa yang telah kita lakukan di dunia. Setiap tindakan kita di dunia mempunyai nilai yang menentukan apakah kita akan termasuk orang yang dapat kebahagiaan kekal atau tidak. Tapi kita tidak perlu risau apakah kita dapat masuk surga atau tidak sebab semua itu adalah hak Allah. “Yesus berkata kepada mereka: "Cawan-Ku memang akan kamu minum, tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa Bapa-Ku telah menyediakannya.” (Mat 20:23). Kita pun tidak perlu pusing meramalkan kapan akhir jaman itu terjadi, sebab saat itu hanya Allah yang tahu. “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa sendiri.” (Mat 24:36)

Advent atau penantian adalah saat kita diingatkan bahwa kita sedang menantikan akhir hidup kita sendiri. Kita disadarkan kembali akan perjalanan hidup kita yang akan berakhir. Hal ini penting agar kita tidak tenggelam dalam aneka kesibukan duniawi sehingga melupakan perjalanan hidup kita. Bacaan-bacaan dalam misa minggu mengajak kita untuk bertobat yaitu kita diajak untuk melihat kembali apa yang sudah kita lakukan sebagai persiapan dalam menghadapi akhir hidup kita. Seperti pelajar atau mahasiswa yang diingatkan akan ujian akhir yang sangat menentukan. Apakah kita akan melaluinya dengan persiapan ala kadarnya atau serius? Hasil akhir dari hidup kita semua itu tergantung pada pilihan-pilihan hidup kita saat ini.

Powered By Blogger