Senin, 21 September 2009

PERCAKAPAN SEORANG ANAK DENGAN EMAKNYA


“Mak,” suara seorang anak lelaki memecah kesenyapan deretan rumah kos yang mirip kadang burung merpati. Sebuah kotak-kotak kecil dengan sebuah pintu tanpa jendela.
“Hem..” timpal suara seorang perempuan.
“Sebentar lagi lebaran.”
“Ya,” kembali kesenyapan menggantung. Sayup-sayup terdengar suara seorang penyanyi pria yang mendendangkan lagu dhang dhut menyeruak disela-sela dinding tripelks. Batas antara satu rumah dengan rumah yang lain.
“Dua hari lagi lebaran mak,” suara anak kecil itu terdengar lagi. Lirih seolah pada diri sendiri. Tidak jelas antara pertanyaan atau pernyataan. Sebuah raungan sepeda motor yang melaju di jalan terdengar sangat jelas.
“Ya mak sudah tahu,” suara perempuan itu kembali terdengar setelah sepi sesaat. Keheningan kembali menguasai lorong. Suara penyanyi pria sudah hilang. Terdengar suara penyanyi perempuan yang meliuk-liuk penuh kepedihan hati. Entah mengapa lagu dhang dhut sering mengungkapkan kesedihan sehingga lagunya seperti orang merintih. Mungkin merupakan jeritan rakyat kecil yang hidupnya berkumbang derita.
“Kamu tadi ikut tarawih?” suara perempuan itu terdengar kembali menembus pintu triplek yang sudah berlubang disana sini.
“Ya.” Jawab suara anak lelaki. “Teman-teman tadi sudah membicarakan lebaran.” Lanjutnya. Gurat-gurat kepedihan tergores dalam nada suaranya.
“Apa yang mereka bicarakan?”
“Mereka akan pergi unjung-unjung.”
“Kamu akan ikut bersama mereka?”
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Mereka semua akan memakai baju baru.” Kebisuan kembali berkuasa. Terdengar dengkur orang yang tertidur pulas dari bilik rumah yang lain mengiringi suara penyanyi dang dhut yang masih terus meliuk-liuk. Pedih.
“Doakan agar emak dapat rejeki sehingga bisa membelikan kamu baju baru.”
“Ya mak.” Suara putus asa menebar dalam ruang berukur 2 m X 2 m. “Sudah tiga lebaran ya mak.” Suara anak lelaki itu terdengar kembali.
“Apa?”
“Bapak nggak pulang,” terdengar helaan nafas berat. Keheningan mendekap.
“Sudah hampir jam 10 sebaiknya kau tidur.” Terdengar suara perempuan dengan nada sedih. “Besok kamu kan harus sahur.”
“Ya mak,”
“Di rantang masih ada sayur pemberian Bu dhe Tin.”
“Ya mak,”
“Nasinya tadi kamu habiskan?”
“Tidak mak. Aku sisakan untuk sahur besok.” Suara penyanyi dhang dut masih terus terdengar dari bilik di ujung lorong.
“Ya bagus,” terdengar suara perempuan lagi. “Malam kamu kan tidak perlu makan banyak sebab hanya untuk tidur.”
“Mak tadi sudah buka?” sebuah tanya yang tidak ada jawab. “Besok nasi itu kita makan berdua ya mak,”
“Tidak nak.” Jawab perempuan itu. “Untuk kamu saja.”
“Emak tidak sahur?” tiada jawab lagi. Kesenyapan menyelimuti. Di kejauhan terdengar suara penggorengan yang dipukul-pukul dengan irama yang tetap. Seorang penjual tahu tek-tek sedang berusaha menawarkan dagangannya ditengah kegelapan malam.
“Mak….” Suara anak lelaki terdengar kembali.
“Hem….”
“Kira-kira bapak dimana ya?”
“Tidak tahu.”
“Dia ingat kita apa tidak ya?”
“Tidak tahu.”
“Jika bapak ada apa aku akan mempunyai baju baru?”
“Tidak tahu.” Terdengar helaan nafas perempuan dewasa. “Sudahlah nak kamu tidur. Tidak usah berpikir soal bapakmu.”
“Kenapa mak?”
“Kamu harus sekolah yang pintar, sehingga bisa bekerja dan dapat membeli baju sendiri pada saat lebaran.” Sebuah jawab yang tidak menjawab.
“Aku juga akan membelikan emak baju baru.”
“He..he… “ terdengar suara parau. “Tidak usah nak. Emak sudah senang kalau kamu bisa hidup bahagia.” Terdengar derit pintu tripleks dibuka. Sosok perempuan keluar dari balik pintu. Lampu 10 watt yang tergantung di lubang angin-angin kamar mandi di ujung lorong sinarnya tidak cukup menerangi wajah perempuan itu. Perempuan itu berjalan gontai menyeret tubuhnya yang kurus. Dasternya yang lebar bergerak-gerak ditiup angin malam. Di ujung lorong yang berbatasan dengan jalan gang perempuan itu berhenti. Wajahnya menatap langit yang gelap. Bahunya bergerak-gerak tertahan. Satu dua air mata membasahi pipinya yang keriput dimakan penderitaan.

Sinar lampu neon yang tergantung di tiang kayu di rumah tetangga menampakkan wajah perempuan itu. Seraut wajah kusut. Tampak lebih tua dari usianya yang sesungguhnya. Dia menatap jauh ke langit. Mencari sesuatu yang tidak diketahuinya. Terdengar suara gelak tawa dari televisi tetangga yang menampilkan acara lucu. Mereka bersuka cita menyambut hari kemenangan. Kapankah aku akan menang, bisik perempuan itu. Sebuah hari yang dirayakan setelah sebulan berpuasa. Kapankah aku akan mengakhiri puasaku? Tanya perempuan itu kepada angin malam yang melintas dan meninggalkan kesejukan. Sebuah petasan meletus di udara meninggalkan pijar indah yang gemerlap sekejap. Dua hari lagi orang akan bersuka cita merayakan hari raya. Apakah aku termasuk orang yang bersuka cita merayakan hari raya itu? perempuan itu menghela nafas. Dia menghapus air mata yang tidak tertahankan lagi.

Minggu, 20 September 2009

JANJI

Kami duduk di bangku kecil dalam naungan kerindangan pohon trembesi. Kulihat wajah ketiga temanku sedang tampak bingung. Mereka menceritakan situasi yang membuat tidak nyaman. Beberapa waktu lalu ada orang yang mewakili sebuah perkumpulan datang kepada mereka. Dia mengatakan akan membagi sembako. Maka teman-teman diminta untuk mendata warga yang kekurangan. Teman-teman segera bergerak dan mencatat nama dan alamat warga yang sangat membutuhkan. Setelah data terkumpul, ternyata hal itu dianggap belum cukup. Data itu harus dilampiri oleh fotocopy KTP dan KSK. Padahal banyak kaum miskin di kota tidak mempunyai KTP dan KSK. Lalu orang itu mengadakan survey dengan datang dan melihat warga yang miskin. Setelah semua selesai ternyata pembagian sembako dibatalkan tanpa alasan yang jelas. Ketika hal itu dipertanyakan maka hasilnya hanya kemarahan dari orang yang semula akan memberi. Maka teman-teman menjadi kebingungan. Bagaimana menghadapi warga yang sangat membutuhkan menjelang lebaran seperti ini.

Kisah janji yang diingkari seperti ini sudah sering aku dengar baik dalam skala kecil seperti yang dialami teman-teman maupun dalam skala besar seperti para kurban lumpur Lapindo. Orang dengan mudah mengumbar janji tapi kenyataannya tidak ada realisasinya. Padahal sering kali janji itu sudah dipublikasikan besar-besaran. Di koran dan TV dikatakan bahwa para kurban lumpur Lapindo akan segera mendapat ganti rugi sebesar 20% lalu 80%. Tapi janji itu diingkari. Bahkan meski sudah ditulis dalam akta notaris yang mempunyai kekuatan hukum. Apalagi hanya sekedar omongan tanpa bukti tertulis dari notaris seperti kali ini. Rakyat miskin sering dipermainkan oleh janji.

Orang mudah sekali mengatakan janji. Yesus mengajarkan “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat 5:37). Bila orang konsekwen dengan apa yang dikatakan maka tidak perlu ada sumpah yaitu janji yang melibatkan Allah sebagai saksi. Tapi oleh karena orang mudah mengingkari janjinya, maka dalam hal penting orang melibatkan Allah dalam perjanjian yang dibuatnya. Namun pada jaman ini sumpahpun mudah tetap dilanggar. Sebelum menduduki jabatan orang bersumpah akan melindungi rakyat, tapi setelah menduduki jabatannya dia menindas rakyat. Bagi Yesus selebihnya itu berasal dari si jahat. Semua pengingkaran perkataan berasal dari si jahat yaitu keinginan dan ambisi pribadi yang tersembunyi di balik janji dan sumpahnya.

Orang mengingkari janji sebab tidak menghargai sesamanya. Orang janji datang jam 7 tapi karena dia kurang menghargai sesamanya maka dia dapat datang sesukanya. Dia merasa dibutuhkan atau penting sehingga dapat berlaku sesuka hatinya. Apapun yang terjadi dia yakin tetap akan dibutuhkan dan tidak ada orang yang berani menentangnya. Karena dia merasa penting maka dia mudah mengecilkan sebuah janji. Bagi orang yang mampu beras 5 kg bukanlah hal yang besar sebaliknya bagi masyarakat miskin hal itu sangat besar. Oleh karena merasa bahwa beras 5 kg adalah hal kecil, maka dia dengan mudah melupakan janjinya. Sebaliknya kaum miskin merasa dikecewakan.

Orang dapat dinilai dari perkataannya. “Juga orang bodoh akan disangka bijak kalau ia berdiam diri dan disangka berpengertian kalau ia mengatupkan bibirnya.” (Ams 17:28). Menurut penulis Amsal, lebih baik orang bodoh tidak berbicara agar tidak tampak kebodohannya. Janji terkait dengan kepercayaan. Bila orang mengingkari janjinya maka dia akan dinilai sebagai orang yang tidak dapat dipercaya. Dinilai rendah oleh orang lain. Oleh karena itu perlu hati-hati bila akan membuat janji. Orang harus mengukur kekuatan dirinya sendiri sebelum membuat janji agar dia tetap dihargai oleh sesamanya sebab mampu mewujudkan apa yang telah dijanjikan.

Teman-teman bertanya padaku apa yang harus dilakukan? Sambil menghela nafas prihatin kuhubungi beberapa orang apakah mereka dapat memberi beras. Bagiku besok pagi orang yang telah menerima janji harus menerima beras entah bagaimana caranya.

Kamis, 17 September 2009

ANDAI SETIAP HARI LEBARAN


Menjelang hari raya Idul Fitri atau lebaran diberbagai media diberitakan ada beberapa orang yang membagikan uangnya dalam jumlah besar. Seorang pengusaha, tidak jelas apa usahanya di dusun Lompangan kabupaten Probolinggo, berjuluk Dimas Kanjeng pada tgl 14 September kemarin, membagikan Rp 200 juta kepada kaum miskin. Dia berjanji akan membagi Rp 8 M dikemudian hari. Pada hari yang sama di Makasar seorang pengusaha bernama Ambo Rukka membagikan Rp 1,2 M kepada kaum miskin. Masih ada beberapa lagi yang membagi dana besar menjelang lebaran. Tahun lalu Syeh Puji di Semarang membagi Rp 1,3 M dan yang paling tragis adalah apa yang terjadi di Pasuruan ketika H. Syuikon membagi uang sehingga menyebabkan 21 orang meninggal dan 13 terluka akibat berebut. Membagi uang yang paling aneh dilakukan oleh Tung Desem Waringin yang menyebarkan uang sejumlah Rp 100 juta dalam pecahan Rp 1000, Rp 5000 dan Rp 10.000 diatas Jakarta dari pesawat cessna.

Menjelang hari raya kaum miskin memang dimanjakan. Mereka bukan hanya mendapat uang tapi juga diajak makan bersama, mendapat bingkisan barang, uang dan lain sebagianya. Kaum miskin yang pada hari-hari biasa tidak ada yang memperhatikan bahkan digaruk oleh satpol PP tiba-tiba mendapat perhatian. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang Katolik. Menjelang Natal dan Paskah di berbagai gereja diadakan acara bagi-bagi sembako dan sebagainya. Anak jalanan, pemulung, pengemis dan kaum miskin kota yang lain tiba-tiba diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat. Mereka dijamu dan diperlakukan sebagai tamu yang terhormat. Tidak jarang orang-orang yang berpakai necis dan memakai parfum yang harum duduk makan bersama mereka, mengelus anak jalanan dan mengajak berbicara seolah sahabat. Bahkan tidak jarang orang rela menyusuri jalanan kota di tengah malam untuk membagi-bagi nasi.

Sayang semua itu hanya menjelang hari raya keagamaan. Bagitu hari raya keagamaan selesai maka selesailah sudah acara belas kasih pada kaum miskin. Semua orang kembali kepada posisinya masing-masing. Kaum miskin kembali ke jalanan dan tidak diperhatikan sedangkan orang necis kembali ke aktifitasnya tanpa peduli pada kaum miskin yang beberapa waktu lalu dijamunya. Maka saya ingin setiap hari adalah hari Lebaran, Natal atau Paskah, sehingga setiap saat kaum miskin diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat. Orang kaya mau makan bersama kaum miskin tanpa foto, video atau pemberitaan lainnya. Semua menyatu karena ada kesadaran bahwa mereka adalah sesama yang semartabat. Ada belas kasih dari orang yang kuat terhadap yang lemah. Ada kesadaran bahwa apa yang ada pada mereka adalah milik Tuhan yang dipercayakan padanya dan harus dibagikan pada orang yang lemah.

Yesus mengajarkan belas kasih dilakukan setiap saat. Ketika Dia menyingkir bersama para murid dalam keadaan lelah, ternyata diikuti oleh ribuan orang. Mereka pun dalam kondisi yang lapar dan lelah. Hal ini membuat Yesus tergerak hatiNya oleh belas kasih. Dia meminta para murid untuk menyelesaikan masalah ini, tapi mereka enggan dengan mengajukan aneka alasan. Akhirnya Yesus melakukan pergandaan roti, sehingga orang-orang yang mengikutiNya mendapat makan. Kaum miskin ada setiap hari. Ketika membuka pintu pagar rumah dihadapan kita sudah ada orang miskin. Tapi sering kita mengabaikannya. Kita tidak mau terlibat dalam penderitaan mereka. Bahkan tidak jarang kita menjadi jijik dan merasa terganggu akan kehadirannya sehingga mereka kita usir bagaikan orang yang tidak bermartabat. Di depan rumah ibadah yang besar pada hari minggu atau jumat ada banyak pengemis yang duduk memelas. Tapi siapa yang mau bersahabat dengannya? Orang lalu lalang dan hanya sesekali melirik. Kalau ada uang receh maka mereka meletakkan di mangkuknya. Kalau tidak ada maka mereka akan berlalu begitu saja. Tapi hal ini akan berubah bila menjelang Natal, Paskah dan Lebaran. Kaum miskin itu akan diundang masuk dan makan bersama. Mengapa belas kasih harus dibatasi oleh hari raya? Apakah munculnya belas kasih dalam hati kita terbatas pada hari raya? Apakah pembagian pada hari raya akan diperhitungkan oleh Tuhan sehingga orang berusaha untuk melakukannya pada hari itu? Bingung!

Sabtu, 12 September 2009

MENGAPA AKU HARUS PUASA?


Seorang ibu tua duduk di sela tiang telpon dan pintu masuk sebuah lorong kecil. Tubuhnya yang kurus kering dibalut baju kumal disandarkan pada pojok bangunan yang tampak kotor. Guratan-guratan coklat tua meleleh di dinding. Entah sudah berapa orang yang kencing di sekitar situ meski ada tulisan besar “DILARANG KENCING DISINI!!” Sebuah keranjang bambu tergeletak di depan kaki ibu itu yang penuh keriput. Beberapa helai sayuran layu terkulai lemah di bibir keranjang. Ibu itu membuka sebuah bungkusan kertas. Dilihatnya beberapa saat isi bungkusan itu. Jemarinya yang kecil dan kotor mulai mengaduk-aduk isi kertas. Satu suap masuk mulutnya dan dikunyah perlahan untuk menikmati manisnya nasi dan sedikit lauk yang ada.

Sebuah tangan kaku meremas pundak ibu tua itu. Seorang tinggi besar dengan kumis yang sebesar egonya berdiri mengangkang di hadapan ibu itu. Wajahnya yang gelap penuh kemarahan. Matanya melotot tajam. Wajah ibu itu pucat pasi. Senyum dan kedamaian yang semula terpampang menjadi hilang disedot kekuatan tangan lelaki.

“Mengapa kamu makan disini?” bentak lelaki itu dengan suara melebihi kerasnya guruh di musim kemarau. Ibu itu hanya mampu menatap dengan gemetar. Bungkus nasi di tangannya bergetar seperti ada gempa berkekuatan 7.5 scala richter
“Mengapa kamu makan disini!” bentakannya berulang sambil mengguncang bahu ibu itu yang bagaikan seongok daging keriput terdorong ke depan dan belakang tanpa daya.
“Saya lapar Pak,” jawab ibu itu polos dengan sorot mata seperti mata kelinci dalam cengkeraman harimau. Nasi yang sudah ada dalam mulutnya berlarian bersembunyi di balik giginya yang tinggal beberapa berdiri tanpa teratur di gusinya.
“Apa kamu tidak tahu sekarang bulan puasa?” bentak lelaki itu lagi. Satu dua lelaki berseragam coklat daki mulai berdatangan. Wajah-wajah tanpa harapan mengelilingi ibu itu bagaikan sekumpulan serigala mengelilingi hewan yang tidak berdaya.
“Tangkap dan bawa saja ke kantor.” Sebuah suara terdengar dibalik lelaki itu.
“Ampun pak saya salah apa.”
“Ampun.. ampun.” Jawab orang itu sinis. “Apa kamu tidak tahu kalau ada perda bahwa pada bulan puasa tidak boleh ada orang makan di tempat umum?”
“Ampun pak saya tidak tahu apa perda itu.”
“Dasar goblok!” bentak orang satunya lagi. “Sudah tangkap saja biar jadi pelajaran bagi yang lain agar tidak seenaknya melanggar perda.”
“Jangan ditangkap pak,” rintih ibu itu. Air mata mengalir di pipi yang penuh garis penderitaan. Dia sudah beberapa kali mendengar dari sesama pedagang bahwa bila tertangkap petugas maka barang dagangan akan hilang. Padahal itulah satu-satunya kekayaan yang dimiliki untuk menyambung hidupnya yang kurang beberapa tarikan nafas lagi.
“Kamu ini harusnya menghormati orang berpuasa.”
“Ya pak,”
“Kalau menghormati mengapa kamu makan disini!”
“Saya lapar pak.”
“Apa kamu tidak bisa makan di rumah sehingga tidak menganggu orang berpuasa?”
“Rumah saya jauh pak.”
“Kalau begitu jangan makan.”
“Tapi saya lapar pak,”
“Kamu ini diberitahu malah membantah.” Jawab lelaki itu jengkel. “Apa kamu mau melawan petugas?” nada sombong dan penuh kuasa meluncur dari bibirnya yang tebal dan hitam terbakar asap rokok kretek.
“Tidak pak… tidak pak..” jawab ibu itu cepat.
“Lalu kenapa kamu makan di tempat umum.”
“Saya lapar pak.”
“Dasar orang tua tidak tahu diri.” Sahut orang yang lain. “Harusnya kamu memberi contoh bagi orang muda.”
“Contoh apa pak?” tanya ibu itu bodoh.
“Contoh puasa.” Bentak orang itu setengah histeris. Dia putus asa menghadapi orang tua yang sangat bodoh ini. Kalau dia masih muda mungkin sudah diringkus atau digampar mulutnya yang terus melontarkan kata-kata yang bodoh.
“Kamu ini sudah tua harus mampu mengendalikan diri dan menjalankan puasa.” Ibu itu menundukkan kepalanya. Nasi bungkus yang diperoleh dari pemberian seseorang masih terletak di telapak tangan kirinya. Dia tidak tahu mengapa makan di tempat ini harus dilarang? Padahal orang kencing di tempat ini dibiarkan saja meski sudah ada tulisan besar di tembok DILARANG KENCING DISINI. Aku tidak melanggar larangan yang tertulis disini mengapa sekarang mau ditangkap? Tanya ibu dalam hati gundah.

“Kamu tahu kan sekarang bulan puasa?”
“Ya pak”
“Kamu tahu kan kalau orang berpuasa maka dia tidak makan dan minum?”
“Ya pak.”
“Kamu tahu kan kalau kamu makan disini dan ada orang yang sedang berpuasa melihatmu makan maka dapat menganggu puasa mereka?” ibu itu terdiam. “Apa kamu tidak tahu bahwa kamu sudah menggoda orang yang sedang berpuasa?” bentak lelaki itu makin keras.
“Saya tidak menggoda pak.” Kata ibu itu lemah. “Saya makan karena saya lapar. Sejak kemarin saya belum makan.”
“Aku tidak minta pendapatmu!” bentak lelaki itu. Dia terbiasa dibentak oleh atasannya. Kini saat baginya untuk membentak orang lain. Seringai buas menghias wajah puas. Ibu itu membisu. Ketakutan dan kepedihan bercampur aduk membuka semakin lebar pintu air matanya.

Mengapa aku harus turut berpuasa ketika orang lain berpuasa? Mengapa mereka tidak berpuasa ketika aku berpuasa? Hampir setiap hari aku harus menahan lapar dan haus. Bila daganganku tidak laku maka aku selama seharian penuh tidak makan dan minum. Bila puasa hanya tidak makan dan minum bukankah aku setiap hari sudah berpuasa? Mengapa ketika aku puasa orang lain tidak peduli padaku. Mengapa tidak ada petugas yang menangkap orang yang makan di restoran atau warung ketika leherku tercekik rasa haus dan perutku dililit kelaparan? Kini aku mempunyai nasi untuk mengisi perutku yang sejak kemarin hanya kemasukan segelas air kenapa dilarang untuk kumakan dengan alasan ada orang yang sedang berpuasa?

Matahari yang menyengat kuat menjadi redup. Sebongkah awan hitam menutup sinarnya agar tidak menyentuh bumi seperti sebuah selendang hitam pekat untuk menutup mata Tuhan yang meneteskan air mata melihat sandiwara satu babak di tepi jalan.

Kamis, 10 September 2009

MARIA DALAM PANDANGAN KAUM KIRI


Selama ini yang saya dengar dan baca tentang Maria, ibu Yesus, adalah seorang sosok perempuan yang peduli, berserah pada Tuhan, penuh kasih, kontemplatif dan lain sebagainya. Maria digambarkan sebagai perempuan desa sederhana seperti layaknya perempuan desa pada jaman dahulu kala. Maria lebih dilihat sebagai sosok ibu dalam budaya Timur yang sangat kuat keibuannya.

Ketika membaca kidung Maria yang sangat terkenal dalam Lukas 1:46-55, tiba-tiba dalam pikiran saya muncul gambaran Maria yang lain. Padahal kidung ini sering saya daraskan baik ketika masih menjadi anggota Legio Maria, sebab merupakan doa wajib seorang legioner maupun dalam ibadat sore. Kali ini saya melihat Maria sebagai sosok yang ingin mengadakan perubahan dalam masyarakat. Memang kidung itu merupakan kumpul kutipan dari berbagai kitab dalam Perjanjian Lama meski tidak sama persis. Para ahli kitab percaya bahwa kutipan itu diletakkan oleh Lukas pada mulut Maria. Hal yang sama juga pada kidung Zakaria. Bagi saya isi kedua kidung itu sangat berbeda.

Saya membagi kidung Maria dalam 3 bagian yaitu kesadaran Maria akan belas kasih Allah (46-49) tindakan Allah dalam dunia (51-53) dan dasar tindakan Allah (54-55). Maria adalah kaum anawim atau kaum miskin Israel. Mereka adalah kaum yang tidak mempunyai jaminan sosial, yang harus bekerja keras untuk mendapatkan sesuap nasi yang hanya cukup dimakan hari itu, yang buta hukum sehingga ditindas oleh penguasa, yang sering disingkirkan dan tidak diperhitungkan. Mereka adalah buruh kasar, petani, nelayan dan kaum miskin lainnya. Mereka mengharap terciptanya dunia yang adil dan sejahtera. Harapan ini diletakkan pada Allah, sebab tidak mungkin berharap pada para penguasa yang lebih mementingkan dirinya sendiri dan menikmati kedudukannya.

Pewartaan malaekat bahwa Maria akan mengandung Yesus (dari kata Yehoshua yang berarti Allah penyelamat) yang akan menjadi raja selama-lamanya bagi keturunan Yakub membuatnya suka cita sebab harapan akan dunia yang adil dan sejahtera akan segera terwujud. Dalam dunia baru kaum anawim akan memperoleh kedudukan yang selama ini hanya dapat diimpikan. Tata dunia yang ada akan dijungkirbalikkan. Kidung Maria adalah seruan revolusi, tapi bukan seperti revolusi yang terjadi di Rusia, dimana kaum proletar berontak terhadap kaum borjuis dan membangun kekuasaan rakyat. Maria tidak berbicara soal kekuasaan tapi pemuliaan (exalted) kaum miskin. Kaum anawim yang selama ini tidak dihargai martabatnya sebagai manusia akan mendapat tempat yang mulia. Pemiskinan dan penindasan manusia disebabkan adanya orang yang congkak. Orang yang merasa dirinya diatas sesamanya bahkan hukum yang dibuatnya. Mereka akan dicerai beraikan, sebab bila mereka bersatu maka penindasan semkain kuat. Mereka akan membuat hukum yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Mereka mengatur hukum dan kebijakan bukan demi kebaikan bersama.

Kidung Maria tidak menyerukan agar kaum miskin merampas kekayaan orang kaya dan membagikannya seperti ide kaum sosialis tapi kaum miskin akan mendapatkan hal-hal yang baik, yaitu sesuatu yang menjadikan dirinya sebagai manusia yang bermartabat. Kelaparan dapat membuat manusia kehilangan martabatnya. Orang karena lapar maka dia rela mengkais sisa makanan di tong sampah. Karena lapar dia tega membunuh sesamanya. Dengan melakukan itu dia sudah merendahkan martabatnya sebagai manusia. Pemberantasan kelaparan harus diselesaikan dan menjadi prioritas utama.

Dalam kidungnya Maria menyatakan semua itu akan dilakukan oleh Allah. Kehadiran Yesus adalah bukti terwujudnya janji Allah. Kematian Yesus bukan akhir dari proses revolusi seperti yang diserukan Maria. Dengan bangkit Yesus terus berkarya melalui Gereja untuk mewujudkan janji Allah, sebab masyarakat adil dan sejahtera masih belum terwujud. Penindasan kaum miskin masih terjadi bahkan dalam lingkup Gereja sendiri. Sayangnya kidung Maria hanya dilihat sebagai suka cita Maria dihadapan Elisabet dan telah dihilangkan semangat revolusinya.

Kamis, 03 September 2009

MENGAMPUNI


Dalam kisah anak hilang Luk 15:11-32 sering kali yang menjadi pusat perhatian adalah sosok bapa yang begitu berbelas kasih. Dia sanggup menerima anaknya yang telah menghabiskan harta warisannya untuk berfoya-foya dengan tangan terbuka bahkan mengadakan pesta besar. Kisah ini merupakan rangkaian pengajaran Yesus tentang suka cita bila ada orang berdosa yang mau bertobat.

Menerima orang yang bertobat sebetulnya lebih mudah dibandingkan orang berdosa yang ingin bertobat. Orang yang tidak berdosa merasa tidak menanggung beban berat dalam hatinya. Mungkin seperti bapa dalam Lukas yang disakiti, maka dia akan teringat akan peristiwa yang menyakitkan itu. Tapi dimata masyarakat dia tidak dipandang buruk. Kesiapannya untuk menerima kembali anaknya akan menambah nilai dirinya. Masyarakat akan mengangguminya sebagai orang yang hebat.

Sebaliknya posisi anak adalah orang yang tidak berharga. Orang akan menyalahkan dan menghakiminya. Dosa menyebabkan manusia kehilangan martabatnya sebagai manusia. Lukas melukiskan dengan makan makanan babi. Bagaimana pandangan sesamanya ketika melihatnya melakukan hal itu? Bagaimana perasaan dirinya ketika harus memasukan makanan babi ke dalam mulutnya? Anak itu sadar bahwa dia berasal dari keluarga yang kaya dan terhormat, tapi saat ini dia tidak berbeda dengan seekor babi. Dosa menimbulkan konflik dalam dirinya Perbuatan dosa dinilai sebagai perbuatan hina yang merendahkan martabat manusia. Orang sadar bahwa dia adalah orang yang terhormat, tapi dosa telah membuatnya menjadi rendah, maka sejujurnya dalam hati orang berdosa timbul rasa malu baik pada dirinya maupun sesamanya.

Dapat dibayangkan betapa beratnya ketika anak itu memutuskan untuk pulang. Dia malu dan takut pada ayahnya yang dapat menyalahkan dan menilainya buruk. Pada kakaknya yang dapat mengadili dan memandang hina. Dia pulang sebagai orang yang kalah. Bertobat membutuhkan keteguhan hati serta keberanian untuk menerima kelemahan. Berani menerima penghinaan bahkan penolakan dari sesama. Maka anak itu tidak meminta diakui sebagai anak. Cukup baginya bila menjadi pegawai bapanya. Beratnya pertobatan membuat orang enggan bertobat. Bukan dia menikmati dosanya tapi dia tidak siap bila niatnya itu ditolak. Yesus bersabda “Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.”

Perjalanan pulang adalah perjalanan yang sangat berat bagi anak itu. Rasa malu dan takut berdesakan dalam dirinya. Dalam lagu “Tie a yellow ribbon round the old oak tree” orang yang bersalah itu tidak berani menampakkan diri. Dia meminta kekasihnya untuk memasang pita kuning di pohon oak sebagai tanda apakah dia diterima atau tidak. Bila tidak maka dia akan melanjutkan perjalanan dan tidak menyalahkannya. If I don't see a ribbon round the old oak tree, I'll stay on the bus, forget about us. Put the blame on me” Dia berbeda dengan anak bungsu yang berani menghadapi kenyataan.

Sikap bapak yang menyongsong, memeluk, dan menciumi lalu mengadakan pesta adalah sikap yang membebaskan anak bungsu dari belenggunya. Dapat dibayangkan betapa bahagia pertemuan itu. Anak itu merasa beban yang menghimpitnya diangkat. Dia menjadi manusia bebas dan bermartabat kembali. Banyak orang tidak mengalami kebahagiaan ini, sebab tidak diampuni dosanya. Dia tidak diterima kembali. Dia masih dibelenggu oleh rasa bersalah. Beranikah kita memberi menerima permintaan maaf sesama? Ataukah kita masih hidup dalam dendam dan kebencian? Dalam lagu “Tie a yellow ribbon round the old oak tree” kita dapat membebaskan manusia dengan tindakan sederhana. I'm really still in prison and my love she holds the key. A simple yellow ribbon's what I need to set me free. Sebuah senyum pada orang yang bersalah sebagai tanda bahwa kita sudah menerima dirinya apa adanya. Orang bersalah hanya butuh sebuah pita kuning di pohon oak tua untuk membebaskannya dari rasa salah.

Selasa, 01 September 2009

LIK JI


Pak Karto menghisap rokoknya dalam-dalam. Matanya yang sudah hampir rabun dimakan usia, menatap awan biru yang terbentang dari ujung bukit ke bukit yang lain. Tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan yang sudah lama dinanti. Tanah disekitar bukit kapur itu sudah seperti orang tua yang penuh dengan keriput. Pecah-pecah, berdebu. Semak-semak berwarna coklat berserakan disana sini. Pohon singkong sekurus tubuhnya berdiri terbungkuk-bungkuk terbeban daun yang hanya beberapa helai memenuhi sekeliling gubuk reyotnya. Daun itu habis akibat kekeringan atau diambil untuk lauk makan sehari-hari.

“Kapan hujan ini akan turun ya,” katanya seperti pada diri sendiri. Dikebulkan kembali asap dari tembakau yang dibalut kertas koran. “Musim kali ini memang aneh, baru bulan segini sudah kemarau.”
“Pasti tidak ada orang yang panen. Mana sekarang harga-harga naik terus. Jika seperti ini pasti kita semua akan puasa lagi.” Timpal istrinya yang duduk tidak jauh darinya. Mereka menatap langit kembali. Seolah mencari Tuhan yang bisa menurunkan hujan. Tapi di langit hanya ada warna biru dan matahari yang bersinar terik.

Sayup-sayup terdengar suara gemeresek. Srek… srek… srek… Suara yang sudah sangat dikenalnya selama bertahun-tahun. Suara yang ditimbulkan oleh tabung seng yang bergesekan dengan sekam.
“Wah tampaknya Lik Ji sudah sibuk membuat es puter.” Kata Pak Karto sambil menoleh ke arah gubuk tetangganya. Sebuah gubuk yang tidak beda kumuhnya seperti pada umumnya rumah para penduduk desa sini.

Lik Ji adalah seorang penjual es puter. Di desa yang sangat terpencil dan miskin seperti ini, minum es puter di tengah hawa panas menyengat merupakan sebuah kemewahan. Sudah bertahun-tahun Lik Ji berjualan es puter. Semua penduduk desa dan desa-desa tetangga telah mencicipi es yang sangat enak itu. Es yang terbuat dari santan ditambah gula dan es batu lalu dimasukan dalam sebuah tabung seng. Tabung itu dimasukan dalam sebuah tempat agak besar yang diisi oleh sekam dan garam. Lalu tabung yang berisi santan, gula dan es diputar-putar sampai es di dalamnya hancur dan lembut. Membayangkan minum es puter membuat tenggorokan Pak Karto terasa kering.

“Nanti sore setelah azhar akan ada doa mohon hujan di lapangan.” Kata Bu Karto. “Sekarang pasti Lik Ji membuat es sangat banyak dan dia akan mendapat untung besar.” Lanjut Bu Karto dengan senyum iri.
“Ya rejekinya orang berbeda-beda. Tuhan sudah mengatur semuanya.” Suara itu terdengar memecah kesepian desa yang semakin tintrim di tengah terik matahari. Tidak ada satu anak pun yang bermain atau berkeliaran. Semua anak lebih suka main di rumah daripada di jalan padas yang berdebu dan panas. Srek…. Srek… srek… suara itu menjadi satu-satunya pengisi kesunyian desa.
“Aku mau ke Lik Ji dulu,” kata Pak Karto sambil berjalan melintasi batang-batang singkong. Dia tidak perlu persetujuan istrinya. Inilah kebiasaannya.

“Wah semangat sekali Lik,” kata Pak Karto ketika sampai di depan pintu dapur Lik Ji. Sebuah dapur yang kusam. Gedhek yang menjadi dindingnya sudah berlubang disana sini seperti mulut gua di bukit kapur. Sebagian besar dinding sudah menghitam akibat asap dari tungku masak. Pak Karto lalu duduk di ambang pintu. Lik Ji menoleh sebentar sambil tersenyum. Dia seorang lelaki pekerja keras. Penderitaan hidup dan kerja keras membuat dia tampak lebih tua daripada usia sesungguhnya. Giginya sudah banyak yang hilang. Rambutnya sudah hampir putih semua. Tubuhnya tidak terawat. Tapi di desa ini siapa yang akan peduli dengan penampilan?

Lik Ji tidak menghentikan pekerjaannya. Peluh membasahi tubuhnya yang kurus dan hitam. Beberapa bulir air mengalir di tubuhnya yang bertelanjang dada. Di kampung ini jarang sekali orang laki-laki mengenakan baju di siang hari. Mereka semua bertelanjang dada. Biasanya tubuh mereka hanya dililit sarung atau celana kolor yang sudah kotor. Para ibu pun banyak yang hanya mengenakan jarik sebatas dada. Tidak ada malu atau rasa tidak sopan. Anak-anak kecil bisa kencing dimana-mana atau bermain dengan tubuh telanjang. Kesopanan dan rasa malu tidak berpakaian hanya milik orang kota kecamatan. Mereka harus memakai aneka penutup tubuh bila di ruang publik. Rasa malu dan kesopanan bagi penduduk desa ini hanya jika mereka berbuat salah atau tidak menghormati orang yang lebih tua.

Lik Ji sebentar-sebentar mengusap kening yang basah. Beberapa keringatnya menetes masuk ke dalam tabung. Mungkin bagi orang kota es buatan Lik Ji itu tidak higienis, tapi siapa yang peduli soal higienis di desa ini?

“Hari ini membuat banyak ya,”
“Ya… “ jawab Lik Ji dengan tetap memutar tabung-tabungnya.
“Untung sampean akan banyak Lik,” kata Pak Karto diiringi ketawa lepas.
“Ini berkah dari Tuhan, De,” sahut Lik Ji. Dia terbiasa memanggil Pak Karto dengan sebutan Pak De yang biasanya disingkat De. “Tuhan itu mahaadil dan mahawelas, ketika aku sangat membutuhkan uang ternyata akan diberi berkah.”
“Syukurlah Lik,” kata Pak Karto tidak bersemangat. Dia menatap ladangnya yang kering. Benarkan Tuhan mahawelas? Lalu mengapa tidak turun hujan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat desa? Mengapa panenan gagal? Dihembuskan asap rokok terakhir. Dilemparkan saja puntung rokok di halaman belakang.

“Dalam panas terik begini pasti orang akan berebut es mu Lik.” Pak Karto tertawa kecil sekering cuaca. Dia tidak tahu mengapa harus tertawa.

Lik Ji pun tertawa bangga. Dia sejak tadi pagi sudah membayangkan bahwa hari ini pasti akan mendapat keuntungan besar. Mengingat untung besar dia semakin bersemangat memutar tabung esnya. Sudah bertahun-tahun dia berjualan es puter. Inilah satu-satunya sumber penghidupan. Orang tuanya mati tidak meninggalkan warisan tanah secuil pun sebab dulu hanya buruh tani. Dia pun tidak mampu membeli tanah secuilpun kecuali tanah untuk gubuknya. Hasil penjualan es puter tidaklah besar. Hanya cukup untuk makan sehari bersama istri dan ketiga anaknya. Syukurlah sekarang dua anaknya sudah berhasil menyelesaikan sekolah sampai SMP dan kini sudah bekerja sebagai kuli bangunan di kota. Sedangkan yang ketiga masih duduk di kelas III SMP.

“Kalau ini untung banyak, maka bisa untuk membayar tunggakan uang sekolah dan ujian si Paimo.” Kata Lik Ji. Sudah beberapa hari Paimo, anaknya yang paling kecil, memintanya untuk melunasi uang sekolah yang sudah nunggak 3 bulan. Sebentar lagi dia akan ujian maka harus melunasi uang sekolah dan uang ujian. Jika tidak, maka dia tidak boleh ikut ujian. Lik Ji kebingungan. Untung ada kabar kalau pondok pesantren di ujung desa sebelah akan mengadakan doa mohon hujan siang hari ini. Berita ini seperti jawaban Tuhan atas doanya. Ini rejekinya Paimo, kata Lik Ji pada istrinya sesaat setelah mendengar berita itu.

Lik Ji sangat bangga dapat menyekolahkan anak-anaknya. Kalau anaknya sampai tidak boleh ikut ujian, maka dia merasa gagal. Dia akan menyesali hidupnya. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan rela berbuat apa saja asal Paimo bisa ikut ujian dan lulus. Baginya kemampuan menyekolahkan anak-anaknya merupakan sebuah prestise. Ini tidak mampu dilakukan oleh orang tuanya dulu. Maka dia senantiasa bangga bila datang ke sekolah anaknya untuk mengambil raport atau ketika para tetangga bertanya tentang anak-anaknya. Dia tidak begitu peduli akan nilai rapot anaknya, sebab angka 7 dan 9 baginya sama saja. Yang penting anaknya naik kelas atau lulus dari sekolahnya.

“Kapan Paimo ujian?”
“Katanya satu bulan lagi.”
“Ya semoga saja dia bisa lulus Lik…” kata Pak Karto gundah. Matanya kembali menatap langit yang biru. Kini ada satu dua awan yang mengambang disana. Dia tidak mempunyai anak lelaki yang bisa dibanggakan seperti Paimo. Dua anaknya semua perempuan. Sebetulnya mereka semua ingin sekolah sampai SMP tapi siapa yang akan membiayainya. Untuk makan saja sudah demikian sulit, bagaimana akan mampu membayar uang sekolah? Bersekolah tidak cukup hanya mempunyai kepandaian otak saja, tetapi harus mempunyai uang. Kalau toh mereka disekolahkan sampai SMP tidak ada gunanya juga. Mereka suatu saat akan menikah dan pasti ijasah mereka tidak akan berguna. Mereka hanya akan menjadi ibu rumah tangga. Kebaikan seorang ibu tidak bisa diukur dari jenjang pendidikan.

“Apakah Paimo akan melanjutkan sekolah di kecamatan?”
“Aku ingin begitu.”
“Usahakan saja Lik. Aku lihat Paimo itu pandai.” Lik Ji bangga mendengar anaknya dipuji. Ini lebih membanggakan daripada orang memuji es puternya.
“Aku memang bertekad seperti itu. Maka sekarang aku sedang mencari modal.” Terbayang kembali rencananya semalam. Hari ini akan ada doa mohon hujan. Pasti es puternya akan laku keras. Siapa orang yang tidak akan tertarik es puternya setelah mereka berdoa di tengah terik matahari? Mereka kehausan bukan hanya karena terik matahari tapi juga melantunkan doa-doa. Pasti banyak anak kecil yang ada disana. Maka pagi-pagi sekali Lik Ji sudah pergi ke toko si Mbun untuk hutang gula, garam kelapa, obat gula, panili dan sebagainya. Dia berjanji akan membayar semua hutangnya besok pagi. Lik Ji pun sudah menghitung keuntungan yang akan diperolehnya. Sebagian untuk membayar hutang pada si Mbun, sebagian lagi digunakan membayar tunggakan uang sekolah dan uang ujian Paimo. Sisanya mau dibelikan ayam dua ekor. Ayam ini akan diberikan pada Paimo agar dipelihara. Siapa tahu ayam itu akan bertambah banyak sehingga dapat menjadi modal Paimo belajar di SMA. Rencana ini sudah dibeberkan pada istri dan anaknya. Mendengar itu mereka semua gembira dan bersama membangun harapan hari esok yang baik.

Angin semilir berhembus melewati ladang-ladang kersang. Suara gesekan seng dengan jerami masih terdengar di dapur Lik Ji. Mengisi sudut-sudut kebisuan mereka. Pikiran mereka melayang-layang tidak searah. Pak Karto menatap melas pohon-pohon singkongnya yang kurus. Lik Ji membayangkan ayam dan Paimo yang lulus SMA. Sekali lagi Pak Karto menatap langit. Semakin banyak awan bergerombol. Angin bertiup semakin kencang. Udara menjadi segar. Dada Pak Karto berdegup. Dia celingukan menoleh kesana kesini. Sambil berdiri ditatapnya awan yang bergayut di atas bukit kapur. Cukup tebal. Selintas harapan muncul. Wajah Pak Karto yang keriput dimakan derita dan kerja keras menjadi sumringah. Nalurinya mengatakan bahwa hari ini akan turun hujan.

“Lik tampaknya orang desa tidak perlu mengadakan doa mohon hujan lagi.” Katanya lirih penuh kegembiraan yang tertahan. Lik Ji menghentikan tangannya. Dia berusaha melongok keluar. Dilihatnya awam tebal berarak dari ujung bukit. Wajahnya menjadi pucat.

DI SUATU MALAM

Angin malam menggeresekkan daun mangga di halaman. Seekor burung malam berteriak ngeri. Asbak di sebelahku sudah hampir penuh puntung. Kusedot kembali rokok filter. Asap bergulung membentuk awan putih. Berayun-ayun sekejap. Hilang! Seperti pikiranku. Bergulung dengan aneka alternatif. Sejenak lalu musnah. Tanpa jalan keluar. Mengapa aku harus bertemu dengannya? Bisik hatiku kesal.

Suara batuk ibu masih terdengar dari kamar tidur. Terbayang tubuh ibu yang kurus. Rambutnya sudah putih semua. Wajahnya keriput dimakan penderitaan hidup. Hampir sebagian besar hidupnya berteman akrab dengan penderitaan. Tiada lagi cadangan air mata dalam hatinya. Ibu seorang perempuan yang tidak mudah menyerah. Hidup penuh perjuangan dan mimpi. Dengan tubuh penuh luka dia tetap merangkak menentang keganasan badai hidup. Terdengar gemerisik sandal ibu menuju ke teras.

“Kau belum tidur?” tanya ibu dengan suara serak diambang pintu. Aku menoleh sebentar. Kumatikan rokok. “Kau terlalu banyak merokok.” Lanjutnya setelah melihat asbak. Ibu duduk di bangku panjang sebelahku. Sejenak kami terperangkap kesunyian malam.

“Ibu tidur dulu aja,” kataku. “Nanti batuk ibu tidak sembuh-sembuh.”
“Kamu kenapa?” tanyanya seolah tidak mendengar kataku.
“Tidak apa-apa,” jawabku sambil tersenyum menyembunyikan kegalauan hati. Ibu menatap dalam. Sorot mata yang membuatku sering menangis penuh sesal jika ketahuan berbuat salah. Meneguhkan saat aku membutuhkan tonggak pegangan. Sorot mata yang membuatku telanjang. Tatapan mata ibu berbicara melebihi seribu kata. Membuka hati tanpa paksa. Memahami apa yang tidak terungkap. Aku gelisah! Resah!

“Sudah jangan merokok.” Katanya. Dibetulkan selendang yang melilit lehernya, “Persoalan tidak selesai dengan rokok.” Matanya menatap jauh dalam kerimbunan daun mangga. Aku meletakkan kembali rokok yang sudah dijari. “Akhir-akhir ini kamu tampak bingung.”
“Ah hanya soal pekerjaan kok.” Jawabku singkat. Aku tahu ibu tidak puas. Dia pasti tahu aku bohong. Memang aku bohong! Aku tidak berani mengatakan apa adanya. Ceritaku pasti akan merobek luka hatinya. Aku tidak mau disaat mencicipi sedikit kebahagiaan ibu ditampar masa silam. Masa yang sangat hitam. Menjijikan!

Beberapa kali aku mendengar kisah masa lalu ibu yang segelap malam. Ibu adalah gadis desa. Parasnya yang cantik membuat dia disunting oleh seorang pejabat kota yang kebetulan datang ke desanya. Orang tua mana yang tidak bangga kalau anaknya disunting oleh orang kaya dari kota. Pejabat pemerintahan! Sebuah status yang tinggi. Di desa pegawai kelurahan meski hanya sekedar tukang ketik, sudah dianggap berstatus tinggi. Apalagi dia pegawai di kota. Pejabat! Sebuah kisah Cinderela terulang. Tanpa pikir panjang kakek menikahkan ibu. Tanpa perkenalan dan pengetahuan siapa lelaki itu.

Perkawinan berlangsung meriah. Kehidupan baru dijalani. Pernik-pernik pertengkaran mulai muncul. Tahun kedua perkawinan aku lahir. Badai perkawinan menghantam semakin kencang. Bapak mempunyai istri baru di beberapa kota. Perlakuan bapak sewenang-wenang. ibu lebih sebagai budak daripada istri. Pendidikan yang rendah. Latar belakang kemiskinan keluarga dan gadis desa menjadi alasan bapak memperlakukan ibu seperti itu. Tidak jarang bapak mencaci maki ibu di depan banyak tamu. Melempar gelas minuman ke wajahnya. Memukuli. Dan perlakuan kasar lain. Semua diterima dalam diam. Kakek selalu mengatakan perempuan harus mengabdi. Ini tradisi. Ibu ingin mematahkan belenggu tradisi. Perempuan bukan hanya sebagai pelampias seksual dan hiasan. Penyedia kopi di pagi hari dan menyetlika baju suami. Istri juga penentu arah bahtera rumah tangga. Tidak bisa diperlakukan sewenang-wenang. Tapi apa arti kekuatan ibu melawan tradisi yang sudah membelenggunya masyarakat selama ini?

Kesabaran ibu mencapai puncaknya ketika bapak membawa istri barunya ke rumah. Istri baru itu berubah status menjadi tuan rumah dan mengusir ibu. Saat itu juga ibu menuntut cerai. Pulang ke desa menjadi pilihan yang buruk. Semua keluarga menyalahkan. Perempuan harus taat pada suami. Ibu kurang mengabdi. Terlalu banyak menuntut. Tidak bisa menyesuaikan diri. Dan aneka hujatan mengucur deras dari keluarga yang kecewa. Sambil menggendongku yang masih berumur 3 tahun, ibu pergi ke kota lain. Berjuang menghidupi dirinya dan aku. Tidak ada lelaki yang berhasil menaklukkan hatinya. Kepedihan sekali cukup untuk selamanya. Nganga luka terlalu dalam untuk disembuhkan.

“Kamu mau ibu belikan tahu tek-tek?” tanyanya mengembalikan kesadaranku. Di depan rumah penjual tahu tek-tek langganan kami memukul penggorengan keras-keras. Aku menggelengkan kepala. Ibu menatapku sedih. Kesedihan yang tidak terungkap dalam keterlibatan penderitaan orang yang dikasihi. Dia diam menanti. Berusaha menyatukan hati. Memberikan peneguhan dalam keheningan.
“Sudahlah ibu tidur dulu aja.” Kataku mengusir kegelisahan hati. Ibu menarik nafas panjang. Aku memejamkan mata. Air mata menitik tipis. Kusembunyikan getar dibibir. Ibu semakin menatapku dalam. Keremangan lampu teras tidak cukup untuk melihat air mataku. Kami masuki kembali jurang kesunyian. Gelisah!

“Apakah ibu pernah mengenang bapak?” tanyaku hati-hati. Ibu tersentak! Tidak siap menerima pertanyaan yang tidak pernah aku ajukan. Selama ini memang aku tidak pernah bertanya soal bapak. Aku tahu pertanyaan itu akan membuka balutan luka. Menebar mendung di wajah yang teduh. Tatapan mata kosong. Bibir yang tergigit sampai berdarah. Ibu pernah mengatakan tidak akan menangis lagi bila teringat masa itu. Namun kenangan itu adalah bagian peristiwa hidupnya yang menyatu utuh.

Ibu terdiam. Keheningan menindih teras. Ketukan Pak To di penggorengan menggelegar. Perlahan Pak To meninggalkan depan rumah. Seorang lelaki tua mendorong gerobak di tengah malam buta.

“Bagaimana pelayananmu?” tanya ibu. Aku tahu ibu tidak ingin menjawab pertanyaanku. Aku hanya menghela nafas.
“Baik.” Jawabku singkat.
“Lola kok sudah lama tidak kesini?”
“Dia sibuk mau skripsi, sehingga mengurangi pelayanan.” Pembicaraan basa basi. Kami seperti dua musuh yang sedang menjajaki kekuatan. Berusaha mengalihkan persoalan. Berkelit. Menutup gejolak perasaan. Menunggu apa yang akan muncul kemudian. Suara penggoreng dipukul kembali terdengar keras.

“Kasihan pak To.” Kata ibu lirih. “Sudah tua masih harus bekerja pada malam hari.” Aku terdiam. Menunggu dan menenangkan diri. “Ibu bersyukur saat ini sudah enak.” Sebuah senyum mengembang. Bangga! Aku paling senang melihat ibu tersenyum seperti itu. Gurat kecantikan tampak jelas. Bibirnya yang tipis mengembang dibawa hidungnya yang mancung. Aku paling kagum dengan mata ibu yang tenang. Seperti sebuah danau yang luas dan dalam. Menatapnya bisa terseret dalam pusaran tanpa dasar.

“Kemarin dia cerita anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah.” Lanjutnya. “Katanya mau kerja saja. Kamu punya pekerjaan untuknya?”
“Akan aku usahakan.”
“Carikan kerja ya.” Ibu memohon.”Kalau anaknya kerja mungkin Pak To akan berhenti jualan. Kasihan sudah tua masih harus terus bekerja.” Suara pukulan penggorengan semakin jauh.

Ibu adalah perempuan pekerja. Dulu ketika semua orang masih menikmati rmimpi, ibu sudah berkeringat di dapur. Menggoreng kue yang akan dijajakannya di pasar dan kutitipkan ke beberapa warung. Bertahun-tahun ibu berjuang sendiri. Sakitpun ibu tetap berjualan. Ketika aku masih kecil, ibu menggendongku di belakang sedang kepalanya menyunggi tampah. Berkeliling kampung atau duduk di dekat pintu pasar. Sepulang dari pasar, ibu mencari sayuran yang tidak terpakai. Dibersihkan dan dimasak. Aku harus mempunyai gizi yang cukup. Katanya saat kutanya. Tidak jarang ibu membawaku bermimpi. Garam halus dibuatnya bulat. Aku diajak membayangkan itu telur asin. Irisan tipis tempe dibayangkan sebagai daging ayam. Tahu dibuat bulat dibayangkan sebagai bakso. ibu sering tertawa kalau aku meminta telur asin. Cita-cita ibu hanya satu. Aku harus sekolah setinggi-tingginya. Kemiskinan akan diakhiri kalau aku dapat sekolah tinggi dan bekerja. Sekarang semua sudah terjadi. Aku lulus sebagai arsitek dan bekerja di sebuah kontraktor. Dengan jerih payah aku bisa mendirikan sebuah perusahaan kecil. Hidup kami secara perlahan keluar dari kemiskinan. Apa yang dulu hanya bisa kami bayangankan sekarang sudah dapat kami wujudkan.

Suara daun bergeresek mengisi kebekuan teras. Aku pindah tempat. Duduk di sebelah ibu. Memeluknya. Ibu mengelus rambutku. Dulu banyak teman mengejekku anak mama. Masih sering dipeluk meski sudah kuliah. Aku tidak peduli. Pelukan memberikan aku keyakinan akan kasih ibu. Rasa yang tidak bisa dikatakan. Ketenangan terbentang luas. Damai yang tak terucapkan. Kami saling meneguhkan. Malam terus turun.

“Bagaimana Pak Man?” tanya ibu. Aku tersentak. Hatiku berdegup keras. Keringat dingin meluncur di telapak tangan.
“Baik!” jawabku singkat. Aku sering bercerita tentang aktifitasku melayani para pengemis dan gelandangan di stasiun. Pak Man adalah salah satu pengemis yang kami temui beberapa waktu lalu. Aku menceritakan Pak Man pada ibu.

Latar belakang kemiskinan dan penderitaan membuatku mudah terlibat dalam penderitaan orang lain. Ibu senantiasa mendorong dan mengajarkan agar aku tidak egois. Harus berani berbagi kepada siapa saja. Ibu bukan orang yang suka berteori. Dia melaksanakan tindakan kasih. Dalam kemiskinan ibu berani berbagi dengan sesama. Siapa saja yang datang ke rumah pasti ditawari makan. Tidak ada tetangga yang butuh bantuan pulang dengan tangan hampa. Pernah ibu menjual sehelai baju dan jariknya untuk pengobatan anak tetangga. Padahal baju ibu tidak lebih dari lima lembar. Ibu senantiasa mengucapkan syukur bahwa dia masih diberi aneka rahmat oleh Tuhan.

“Apa dia jadi kamu masukan panti asuhan?”
“Sudah, tapi keluar lagi.”
“Kenapa?”
“Katanya tidak kerasan.” Terbayang kembali seraut wajah lelaki tua. Ingin kuhapus dari mataku. Dia menempel seperti lintah. Semakin kuat keinginan untuk membuang, semakin kuat dia melekat dalam keseharianku.
“Kamu harus sabar dengan orang tua.” Aku terdiam. “Siapa tahu dia adalah Tuhan sendiri yang sedang menguji kesabaranmu.”

Terbayang kembali pertemuanku dengan Pak Man. Seperti biasa setiap minggu sore aku bersama kawan-kawan muda mengadakan kunjungan ke stasiun. Kami membuka pelayanan pengobatan dan tabungan bagi para gelandangan. Suatu hari muncul seorang bapak dengan luka kaki yang sangat besar. Baunya busuk. Kami rawat lukanya. Borok diatas mata kaki sudah parah. Menembus tulang. Kami berpikir kalau dia tetap di stasiun maka borok itu tidak akan pernah sembuh. Maka kami menyewa kamar untuknya. Kami bawa ke dokter. Hampir setiap hari ada yang mengunjungi. Namun orang ini sangat kasar. Dia tidak pernah bersyukur dan terima kasih atas apa yang kami kerjakan. Sebaliknya dia sering mencaci maki kami. Tidak peduli dimana dia berada. Ketika di rumah sakit dan boroknya dibersihkan, dia menuduh kami mau membunuhnya. Pegawai rumah sakit marah atas sikapnya. Maka dia diusir. Dianggap mengganggu pasien lain.

Lola seorang gadis yang sangat sabar dalam kelompok kami sudah menyerah. Dia berulang kali dikatai dengan kasar. Pak Man selalu tidak puas dengan apa yang ada. Sepulang dari rumah sakit dia kujemput. Kami naik mobil. Dia mengeluh panas. Padahal AC sudah kunyalakan. Sepanjang jalan dia memerintahku seperti pada pembantunya. Hatiku panas. Ingin kuturunkan di tepi jalan. Aku bisa saja tidak peduli. Tapi entah mengapa aku tertantang untuk lebih mengasihinya. Ada dorongan yang tidak kuketahui. Di rumah kontrakan Lola sudah membuatkan makanan. Pak Man mengeluh makanan tidak enak. Padahal kulihat makanan sudah cukup enak. Ada saja yang menjadi alasan bagi Pak Man untuk marah. Dia seolah menjadi tuan atas kami.

Beberapa kali aku mengunjunginya. Dia semakin tidak kerasan di rumah kontrakan. Tidak ada yang merawat. Kesabaran kami diuji. Kami putuskan memasukan dia ke panti asuhan agar ada yang merawat. Ternyata dia tidak kerasan. Segala bujukan kami hanya membuahkan caci maki. Latar belakang hidup Pak Man tertutup. Tidak ada yang tahu siapa dia sesungguhnya. Dari mana asalnya. Dimana keluarganya. Ini sebetulnya biasa bagi komunitas pengemis dan gelandangan di stasiun. Namun Pak Man lebih dari itu. Dia seolah ingin menutup hari kemarin.

Suatu hari aku mengobrol berdua dengannya. Dia mulai bercerita siapa dirinya. Dia dulu pernah kaya dan berkuasa. Istrinya banyak. Namun akibat korupsi yang berlebihan maka semua hartanya disita. Dia masuk penjara beberapa tahun. Sebuah tamparan telak. Di penjara dia menjadi orang yang tidak ada artinya. Aneka siksaan diterima. Di penjara semua istrinya pergi satu demi satu. Keluar dari penjara kehidupan jauh lebih kejam. Dia ditolak dimana-mana. Berbekal malu dan putus asa dia menggelandang di kota ini.

Pak Man merasa ini adalah karma yang harus dipikul. Karma dari istri pertama.
“Siapa nama istri pertamanya?” tanyaku saat itu
“Sri Wahyuningsih.” Katanya lirih. Hatiku berdesir.
“Darimana asalnya?” aku mendesak.
“Kedung Jati.”
“Kedung Jati mana?” desakku. Keringat dingin mulai mengalir.
“Dekat Semarang.” Katanya menatapku penuh tanya. Aku terhenyak. Ada berapa nama Sri Wahyuningsih disana? Ada berapa Sri Wahyuningsih yang menjadi istri pertama dari seorang kaya yang berkuasa? Aku menggigil ngeri.
“Apakah Pak Man punya anak dengan istri pertama?” tanyaku gamang
“Satu.” Katanya acuh. “laki-laki!” sejenak dia menatapku. “Ketika pisah anak itu berumur 2,5 tahun.” Sebuah palu besar menimpa kepalaku. Inikah lelaki yang telah memperlakukan ibu dengan keji? Wajah kosong yang sering muncul dalam mimpiku. Sering aku mencoba untuk mereka wajah itu. Inikah dia? Aku segera pulang.

“Kamu kedinginan tho?” tanya ibu mengagetkan.
“Bu, sejauh mana kita harus mengampuni?” tanyaku
“Dalam Kitab Suci kan sudah dijelaskan.”
“Kalau ada orang yang sangat menyakiti hati ibu, apakah ibu siap mengampuni?” tanyaku ragu. Ibu tersenyum teduh. Keremangan lampu teras menimbulkan bayang kelabu.
“Semua manusia pernah salah.” Dielusnya rambutku.”Kalau ada orang salah pada kita, ya kita ampuni.” Matanya menatap kedalam mataku. “Kita kan juga pernah bersalah pada orang bukan?”
“Kalau bapak kembali ke ibu apakah ibu mau mengampuni?” Suasana menjadi hening. Wajah ibu menatap lurus ke depan. Beku! Gurat kepedihan tergambar jelas diantara keriput wajahnya. “Mengapa kamu tanyakan itu?” suaranya bergetar menahan pedih.
“Aku hanya mengandaikan saja.” Kataku mencoba tersenyum. Aku tahu betapa berat hati ibu seandainya tahu Pak Man adalah suaminya. Masih berlakukah pengampunan yang diajarkan setarikan nafas tadi? Apakah aku siap menerima dia sebagai ayahku? Wajah yang selama ini hilang. Nama yang sayup-sayup aku dengar. Pribadi yang jauh berada di masa lalu. Sosok yang selama ini dianggap penyebab penderitaan kami? Kulihat wajah ibu menatap langit. Kosong. Gelap! Kupeluk dengan penuh kasih. Aku menelan semua pergulatanku. Sebuah keputusan kupegang.

SUATU SIANG DI PENGUNGSI PORONG


Udara panas menyengat. Aku berjalan di depan deretan rumah sederhana. Rumah darurat bagi para pengungsi lumpur Lapindo. Dari sela rumah muncul seraut wajah yang sudah aku kenali. Wajah yang kurus dan tampak berbinar melihatku.
“Wah sudah lama tidak kesini, saya sampai kangen,” katanya bahasa Jawa kromo.
“Maaf pak saya banyak acara sehingga tidak sempat kemari.” Jawabku. Bapak itu menyalami aku dengan penuh semangat.
“Tinggal pak romo lho yang masih setia kemari,” katanya basa basi
“Ah ada-ada saja. Kan masih banyak orang kemari,”
“Tidak.” jawabnya cepat. “Dulu pada awalnya memang masih banyak orang kemari. Ada artis, pejabat dan para ulama. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi yang mau membantu kami.”
“Ya mungkin mereka juga repot pak.”
“Saya bersyukur pak romo masih mau kemari. Pak romo satu-satunya orang yang masih setia mendampingi kami.”
“Bagaimana anak bapak,” kataku mengalihkan pembicaraan yang tidak ada gunanya.
“Baik. Dia naik kelas.” Jawabnya bangga. “Syukurlah dulu dibantu sama pak romo.” Kami berjalan menyusuri deretan rumah. Seorang ibu tua berdiri di depan pintu.
“Nak romo kok tumben datang.” Aku menyalami dan tersenyum. “Bagaimana ini nak kok ganti rugi belum turun. Kami ini harus makan apa kalau seperti ini?” keluhnya. Aku hanya menghela nafas panjang. Tidak tahu apa yang harus aku katakan. Sisa 80% ganti rugi kurban lumpur yang dijanjikan akan dibayar belum juga dibayar. Sudah banyak janji dan pendapat yang dilontarkan dalam media tapi realisasi masih dalam impian. Para kurban lumpur Lapindo masih berharap ada pemerintah yang peduli.

Beberapa orang muncul dan menyapaku. Sejak desember 2006 aku memang sudah sering muncul di pasar baru Porong. Kini mereka sudah pindah ke sebuah lahan baru yang merupakan hasil usaha mereka sendiri. Mereka menempati rumah-rumah darurat asal dapat untuk berlindung dari panas matahari dan embun di malam hari. Bila hujan nanti entah apa jadinya rumah mereka. Beberapa orang bersyukur meski aku beda agama dan rumahnya jauh tapi masih peduli pada mereka.

Ketika masih di pasar baru Porong dulu ada banyak orang berkunjung ke pasar baru dengan aneka alasan. Mulai dari artis, tokoh HAM, aktifis kemanusiaan, LSM, wartawan dalam dan luar negeri, politikus, pejabat dan aneka status lainnya. Tidak jarang mereka datang membawa spanduk sehingga banyak spanduk terbentang disana. Tapi dengan berjalannya waktu semakin jarang orang datang. Satu dua orang masih berusaha membangun relasi dengan para pengungsi dengan mengunjunginya, tapi semakin banyak orang lupa akan keberadaan dan masalah kurban lumpur Lapindo. Mereka seolah harus berjuang sendiri untuk menuntut hak mereka yang dirampas.

Pemerintahan berganti. Setiap ada pencalonan pemerintahan baru selalu ada janji yang dilontarkan ke berbagai media. Tapi setelah menjadi penguasa maka semua janji itu dilupakan bahkan muncul keputusan-keputusan yang merugikan para kurban. Setelah SP3 muncul lalu muncul pendapat bahwa kasus lumpur Lapindo adalah kasus bencana alam. Pemerintah akan menggunakan APBN untuk memberi ganti rugi. Bila hal ini dilaksanakan maka para kurban akan rugi besar. Bila dalam status bencana maka tidak akan ada ganti rugi akibat melainkan sumbangan pemerintah yang besarnya sudah diatur dalam kepres dan UU. Melihat ini kita bisa tahu keberpihakan pemerintah.

Kasus semburan lumpur akibat pengeboran Lapindo Inc bukanlah satu-satunya kasus di negara ini dimana perusahaan besar merugikan rakyat. Pemerintah yang seharusnya melindungi rakyat sering kali lebih berpihak pada pemilik modal. Memang pemerintah membutuhkan pengusaha tapi apakah pemerintah akan menutup mata bila mereka berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat jelata?

IMAGINE

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace

Syair di atas merupakan cuplikan dari lagu “Imagine” yang ditulis oleh John Lenon pada tahun 1971. Dalam lagu itu John Lenon membayangkan manusia bisa hidup dalam damai bila tidak ada beberapa hal termasuk agama. Memang kekerasan berdasarkan agama atau agama hanya dijadikan alasan untuk berbuat kekerasan sudah sering terjadi baik dalam skala kecil maupun besar. Sesungguhnya sangat memprihatinkan bila terjadi kekerasan berdasarkan agama atau menggunakan agama untuk melegalkan kekerasan, sebab agama adalah pandangan manusia untuk menghayati Tuhan atau BEING yang menciptakan semesta termasuk manusia. Semua agama percaya bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia. Semua agama juga mengajarkan perdamaian dan saling mencintai antar manusia.

DR Theo Huijbers, dosen universitas Parahiyangan, dalam bukunya yang berjudul Manusia Merenungkan Makna Hidupnya menulis, bahwa agama bisa dilihat dari segi etimologi dan ontologinya. Dari etimologi agama atau religio berasal dari religare yang artinya mengendalikan atau mengikat. Hal ini berarti agama merupakan norma hidup atau norma etika yang mengikat manusia. Dari segi ontologis secara sederhana diartikan bahwa agama membuat manusia sadar tempatnya sebagai mahluk dunia yang bertransendensi akan tetapi dibawah kekuasaan Allah. Transendental artinya bahwa kesadaran manusia jauh melebihi apa yang dilihatnya, sehingga dia mampu memahami adanya Tuhan yang menciptakan alam semesta. Kesadaran akan adanya sesuatu yang lebih besar membuat manusia sadar bahwa dia adalah kecil dan bagian dari keseluruhan alam semesta.

Jika dilihat dari segi etimologi maka percuma orang menghapus agama, sebab akan muncul agama baru. Sebuah pemahaman yang dijadikan norma untuk mengendalikan tingkah lakunya. Komunisme dan kapitalisme juga dapat menjadi agama baru, sebab semua itu berpengaruh terhadap moral, etika dan perilaku manusia. Impian John Lenon akan tetap sebagai impian. Bila melihat dari segi ontologis dimana manusia disebut sebagai mahluk transendental maka dalam diri manusia ada cita-cita untuk membangun sebuah dunia dimana diterapkan norma dan etika ideal sehingga terwujud masyarakat ideal. Hal ideal ini berdasarkan pada kondisi dan situasi nyata yang mereka hadapi atau alami pada saat ini yang mempunyai banyak kekurangan. Dunia dan masyarakat ideal yang diimpikan oleh manusia adalah bila manusia dapat hidup penuh kasih tanpa ada kekerasan. Semua agama mengimpikan kehidupan yang damai dan sejahtera.

Yesus datang ke dunia untuk mengajak orang menciptakan dunia ideal. Dia bukan hendak membuat agama baru dengan menghilangkan Taurat, sebagai dasar agama Yahudi “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” (Mat 5:17). Penggenapan yang dilakukan oleh Yesus adalah dengan mencari inti Taurat dan melakukan dalam kehidupan sehari-hari. Inti Taurat dan kitab para nabi adalah kasih kepada Allah dan manusia seperti diri sendiri. Dengan demikian dunia ideal dapat tercapai bila ada perubahan dalam diri manusia, bukan dengan menghilangkan segala sesuatu seperti bayangan John Lenon dalam lagu Imagine. Kesadaran akan kelemahan dan keterbatasan diri membuat manusia membutuhkan sesama. Hal ini menyebabkan dia akan mencintai sesama. Kekerasan terjadi karena orang merasa tidak membutuhkan sesama dan ingin hidup sendiri. dia menganggap sesama sebagai musuh dan neraka seperti kata para pendukung individualis.

Powered By Blogger