Minggu, 26 Desember 2010

TAHUN BARU

Beberapa hari lagi kita akan merayakan tahun baru. Suasana semarak perayaan tahun baru sudah sangat terasa di kota-kota besar. Berbagai pusat perbelanjaan dihias dan ada tulisan “Selamat tahun baru” dalam berbagai bahasa. Beberapa tempat belanja mengadakan diskon besar-besaran untuk aneka barang yang dijual atau istilahnya cuci gudang. Di tepi jalan sudah bermunculan orang yang berjualan terompet yang akan ditiup pada saat pergantian tahun. Beberapa hotel di tempat wisata pada umumnya penuh. Tidak jarang sudah dipesan jauh-jauh hari. Tempat hiburan mempromosikan diri acara tutup tahun dengan mendatangkan artis-artis terkenal. Televisi juga tidak mau kalah mempromosikan acara tutup tahun dengan berbagai acara menarik. Bila dilihat acara tahun baru identik dengan segala acara hiburan dan kesenangan.

Bagi kaum miskin atau orang-orang yang tinggal jauh di pedesaan berbagai acara itu tidak akan terasa. Mereka mungkin hanya akan melihat semaraknya acara di televisi atau bahkan tidak peduli sama sekali perubahan tahun. Bagi mereka tanggal 1 Januari sama dengan hari-hari yang lain. Malam tahun baru pun tidak banyak artinya. Semua hari sama dan tidak ada yang istimewa. Tidak ada perayaan atau pesta. Mereka hanya akan mencopot kalender lama yang mungkin sudah berdebu dan kotor lalu mengganti dengan kalender baru. Perubahan tahun hanya ditandai oleh perubahan kalender.

Bagi kita yang sibuk dengan perayaan dan pesta sebetulnya juga dapat bertanya pada diri sendiri, apa artinya semua pesta, meniup terompet, berkeliling kota menghirup asap kendaraan yang penuh sesak, menyalakan kembang api dan sebagainya? Kita hanya merayakan tapi tidak tahu apa makna perayaan itu. Ada orang mengatakan bahwa dia merayakan tahun baru sebab untuk mensyukuri telah melewati satu tahun dengan baik. Apakah rasa syukur harus dikumpulkan selama setahun baru dirayakan? Bukankah setiap hari kita harus bersyukur atas segala karunia Allah dalam hidup? Apakah semua orang yang merayakan tahun baru adalah orang yang bersyukur atas segala berkah yang telah diterima sepanjang tahun? Bagaimana dengan orang-orang hidup dalam penderitaan akibat bencana alam atau aneka penderitaan yang lain? Orang-orang yang masih hidup dalam pengungsian atau meratapi musnahnya segala yang dimiliki?

Tahun Baru hanya selisih beberapa hari dari hari raya Natal, sehingga bagi umat kristiani mengucapkan Natal pada umumnya sekaligus dengan mengucapkan Tahun Baru. Pada saat Natal kita merayakan kelahiran Yesus yang dianggap titik tolak perubahan tahun dari sebelum masehi menjadi tahun masehi. Kelahiran Yesus dianggap tahun nol, meski diyakini bahwa ada kesalahan yang dilakukan oleh Dionisius tentang penetapan kelahiran Yesus. Menurut Injil Matius Yesus lahir ketika Herodes menjadi penguasa. Padahal Herodes berkuasa pada tahun 73 SM- 4 SM, maka sebetulnya tahun yang dibuat Dionisius dan digunakan oleh sebagian besar orang di dunia ada kesalahan sekitar 4 atau 5 tahun.

Lepas dari masalah kesalahan yang dibuat oleh Dionisius, tapi dengan penanggalan menurut Dionisius menunjukkan bahwa kelahiran Yesus dianggap sebagai saat yang penting sehingga menjadi titik tolak penanggalan. Sebelum kelahiran Yesus orang Romawi yang sangat berpengaruh di Eropa menggunakan penanggalan dengan titik tolak pembangunan kota Roma atau AUC (Ad Urbe Condita) tapi sejak kelahiran Yesus mereka menggantinya dengan AD (Anno Domini) atau kita menyebutnya Masehi. Kehadiran Yesus bukan hanya menjadi titik tolak penanggalan melainkan titik tolak sebuah kebudayaan baru yang bermula dari Israel. Yesus membawa pembaharuan relasi antara manusia dengan Allah dan sesamanya. Allah yang semula diyakini jauh kini menjadi dekat dan bisa disentuh. Bahkan Allah ada dalam manusia terutama yang miskin dan menderita. Dia membawa hukum baru yaitu kasih yang penuh kurban demi keselamatan sesama. Maka pergantian tahun harusnya menjadi titik tolak sebuah perubahan untuk menjadi lebih baik. Pada saat ini kita bertanya pada diri sendiri dan membangun komitmen ke-baru-an apa yang akan kita lakukan pada tahun mendatang. Kita melihat hidup kita dimasa lalu kemudian berusaha membaharuinya, sehingga tahun baru menjadi titik tolak pembaharuan diri. Bukan sekedar mengganti tanggalan melainkan mengubah sikap, perilaku atau pandangan kita menjadi baru.

Jumat, 24 Desember 2010

YESUS DAN PEREMPUAN SAMARIA: PEWARTA YANG RENDAH HATI


Perempuan Samaria adalah seorang yang rendah hati. Dia mau mengakui kelemahan dan dosanya. Dia sadar bahwa dihadapan Yesus tidak ada yang dapat disembunyikan, maka dia segera mengakui akan kelemahannya yang mungkin membuatnya dikucilkan. Ketika Yesus memerintahkan agar dia memanggil suaminya, maka dia menjawab dia tidak mempunyai suami. Maka Yesus membenarkan apa yang dikatakannya. "Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar.” (Yoh 4:17-18). Aib yang berusaha disembunyikan terhadap orang asing kini dibuka. Perempuan itu tidak membela diri melainkan memuji Yesus sebagai nabi.

Hampir semua orang berusaha menyembunyikan aib dirinya. Aib terkait erat dengan penilai orang terhadap harga diri. Semua orang ingin dihargai. Dinjunjung martabatnya. Maka orang berusaha menutup rapat aibnya agar harga dirinya tidak runtuh atau agar dia tidak direndahkan oleh orang. Kalau toh akhirnya ada orang yang membukanya, maka ada kecenderungan untuk membela diri dengan berbagai alasan yang tampaknya masuk akal. Bahkan tidak jarang orang mulai menyalahkan banyak orang sehingga dia harus menanggung aib. Tetapi perempuan Samaria tidak menyalahkan siapa-siapa. Hal ini membutuhkan kerendahan hati untuk menerima segala kesalahan dan dosa.

Dalam kelemahannya perempuan Samaria siap menerima perutusan Yesus untuk menjadi pewarta. Bahkan dia mengatakan kepada penduduk kota bahwa dia yakin Yesus adalah Mesias sebab Dia tahu tentang aibnya. Mungkin hampir semua penduduk kota telah mengetahui aibnya. Tetapi untuk mengatakan secara langsung kepada mereka tentang aibnya hal ini membutuhkan sebuah keberanian dan kerendahan hati yang besar. Tapi dari situlah maka penduduk kota datang pada Yesus.

Sering ada orang memberikan kesaksian di depan umum. Tidak jarang dia menyatakan kelemahan atau dosa yang pernah dibuatnya. Tapi pada umumnya mereka mengakhir sharingnya dengan menunjukkan pertobatan yang hebat. Orang menjadi kagum sebab dia yang berdosa akhirnya bisa bertobat dan menjadi orang yang saleh. Sedangkan perempuan Samaria ini tidak mengakhiri pewartaannya dengan akhir yang indah. Dia tetap seorang berdosa yang harus menanggung aib. Tidak ada tepuk tangan dan kekaguman padanya. Bahkan setelah orang bertemu Yesus dia pun tidak dipedulikan lagi bahkan ditinggalkan orang. "Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.” (Yoh 4:42)

Seorang pewarta sejati dia akan mewartakan Yesus dan dia siap untuk dilupakan, sebab dia menghantar orang pada Yesus bukan pada dirinya. Saat ini banyak orang yang menyatakan bahwa dirinya adalah pewarta Yesus. Tapi sungguhkah dia sudah membawa orang pada Yesus atau untuk mewartakan kehebatan dirinya? Kadang aku terheran-heran seorang yang menyatakan diri sebagai pewarta dia tidak banyak menyebut Yesus melainkan apa yang telah dialaminya dan segala kehebatan rohaninya yang telah dijalani selama ini. Ada pula orang ketika mewartakan Yesus mengisi sebagian besar pewartaannya dengan lawakan yang tidak ada kaitannya dengan iman bahkan main sulap untuk menarik perhatian. Orang akan mengingatnya sebagai pewarta yang lucu dan pandai main sulap. Tapi apakah orang-orang yang mendapat pewartaan itu semakin dekat dengan Yesus?

Kita bisa belajar dari perempuan Samaria, meski direndahkan semua orang tapi dia memberikan diri untuk menjadi pewarta. Seorang yang membawa banyak orang pada Yesus dan membiarkan Yesus sendiri yang mengajar mereka sedangkan dia dilupakan dan kembali tidak dihargai. Pewartaannya dimulai dengan pertemuannya dengan Yesus dan membuka diri dihadapan Yesus atas segala kelemahannya. Berusaha memahami siapa Yesus bagi dirinya sampai memahami bahwa Yesuslah sang Juruselamat.

Rabu, 22 Desember 2010

YESUS DAN PEREMPUAN SAMARIA: DALAM KELEMAHAN DIUTUS ALLAH


Setelah mengetahui bahwa Yesus adalah Mesias, maka perempuan itu segera pergi ke kotanya kembali untuk mewartakan tentang Mesias. Dialah orang pertama yang diutus oleh Yesus untuk mewartakan bahwa Yesus adalah Mesias. Dengan demikian menurut Injil Yohanes pewarta Yesus adalah Mesias yang pertama adalah seorang perempuan yang dipandang hina dan berdosa oleh masyarakat. Bukan para rasul. Para rasul hanya memanen apa yang telah ditaburkan oleh perempuan itu. “Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka.” (Yoh 4:38). Betapa berat tugas yang harus diemban oleh perempuan ini. Banyak warga kota yang tahu bahwa dia adalah perempuan yang berdosa dan kini tiba-tiba dia mewartakan bahwa dia bertemu Mesias. Siapa yang akan percaya bila ada orang berdosa berusaha meyakinkan mereka bahwa dia telah bertemu Mesias dan menjadi utusan Mesias?

Perempuan itu mungkin menceritakan tentang semua pembicaraannya dengan Yesus, tapi tidak ada satu pun orang yang percaya padanya. Akhirnya perempuan itu terpaksa membuka aibnya sendiri. Dia mengatakan bahwa Yesus tahu dengan segala yang telah diperbuatnya. “Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: "Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat.” (Yoh 4:39). Apa yang dilakukan oleh perempuan itu adalah sesuatu yang tidak pantas. Dia harus membongkar aibnya sendiri dihadapan banyak orang. Tidak mudah bagi kita untuk membongkar aib kita dihadapan umum. Kita lebih suka menyembunyikan aib secara rapat agar harga diri kita tidak runtuh. Tapi perempuan ini tidak peduli lagi dengan harga dirinya sehingga rela menelanjangi diri.

Orang-orang Samaria lalu pergi menemui Yesus. Mereka mungkin ingin bertemu Yesus sebab Dia mengaku Mesias dan mengetahui apa yang telah dilakukan oleh perempuan itu tapi Dia juga mengutusnya untuk mewartakan kabar kehadiran Mesias. Mungkin dalam pikiran mereka mulai timbul pertanyaan Mesias macam apakah Dia sebab bicara dengan perempuan Samaria dan seorang pendosa. Berbicara dengan perempuan seorang diri saja sudah tidak pantas, apalagi perempuan ini adalah perempuan berdosa dan seorang Samaria. Bagaimana mungkin seorang Yahudi yang mengaku Mesias dan sudah mengetahui apa yang terjadi dengan perempuan itu masih mengutusnya? Terdorong oleh rasa penasaran ini maka mereka datang pada Yesus.

Setelah bertemu Yesus dan mendengarkan ajaranNya maka mereka menjadi percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Mereka percaya kemesiasan Yesus bukan karena warta dari perempuan itu tapi setelah mendengarkan Yesus. "Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia.” (Yoh 4:42). Dengan demikian orang Samarialah yang pertama-tama mengakui bahwa Yesus adalah juruselamat dunia. Suatu hal yang sangat mengejutkan padahal orang Yahudi belum percaya akan hal itu. Mereka hanya mengharapkan Yesus mampu membuat mujijat bagi kepentingannya. Para rasulpun belum memahami siapa Yesus. Mesias dalam konsep mereka adalah pemulih kerajaan Daud bukan Juruselamat dunia.

Perempuan Samaria dipilih oleh Yesus untuk menjadi pewarta kabar gembira. Dalam kelemahan dan kedosaannya dia dipilih oleh Yesus. Sering kita membayangkan bahwa orang yang dipilih Allah untuk menjadi pewarta adalah orang yang hebat dan suci, sehingga kita sering menolak untuk menjadi pewarta dengan alasan masih mempunyai dosa, tidak pantas dan sebagainya. Allah menggunakan siapa saja untuk menjadi utusanNya. “Ingat saja, saudara-saudara, bagaimana keadaan kamu, ketika kamu dipanggil: menurut ukuran manusia tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak orang yang berpengaruh, tidak banyak orang yang terpandang.” (1Kor 1:26). Dengan demikian kita tidak perlu takut untuk menjadi pewarta kabar gembira kepada siapa saja meski kita adalah manusia yang lemah dan penuh dosa.

Selasa, 21 Desember 2010

YESUS DAN PEREMPUAN SAMARIA: PEREMPUAN YANG DIKALAHKAN


Perempuan Samaria itu datang mengambil air pada siang hari. Menurut beberapa ahli kitab, siang hari bukanlah saat biasa orang mengambil air. Biasanya orang mengambil air pada pagi atau sore hari. Ada kemungkinan perempuan ini adalah perempuan yang kurang baik atau perempuan yang ditolak oleh masyarakat, sehingga dia mengambil air pada saat dimana tidak ada orang yang mengambil air untuk menghindari bertemu dengan orang. Dari pembicaraan dengan Yesus diketahui bahwa perempuan itu hidup dengan lelaki tanpa ikatan perkawinan dan sebelumnya sudah mempunyai 4 suami. "Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar.” (Yoh 4:17-18) Apakah dia seorang pekerja seks? Atau seorang perempuan yang menjadi istri simpanan orang-orang kaya?

Dalam budaya Yahudi dan budaya Timur pada umumnya, perempuan dianggap tidak pantas bila hidup bersama lelaki lain tanpa ikatan pernikahan atau gonta-ganti suami. Tapi hal yang sama tidak berlaku bagi para pria. Seorang pria dianggap boleh dan sah saja memiliki beberapa istri atau hidup tanpa ikatan pernikahan dengan seorang perempuan. Beberapa waktu lalu banyak media yang meliput tentang penghargaan untuk orang yang berpoligami. Para pria yang berpoligami dianggap hebat sehingga perlu diberi penghargaan. Inilah bentuk ketidakadilan yang terjadi dan dipelihara selama berabad-abad dalam berbagai suku bangsa.

Timbulnya gerakan gender dan kelompok-kelompok kaum perempuan yang gencar mengajukan kesetaraan tampaknya belum berpengaruh banyak dalam mengubah konsep pandangan masyarakat tentang perempuan. Sampai saat ini perempuan masih dijadikan obyek dan komoditi. Negara kita banyak mengekspor tenaga kerja perempuan meski sudah banyak jatuh kurban akibat perlakuan yang sewenang-wenang dari para majikan di luar negeri. Siti Hajar, Nuraini, Sumiati dan masih banyak lagi perempuan yang mengalami siksaan mengerikan dari para majikan di tempat mereka bekerja. Belum lagi perempuan yang dijadikan obyek misalnya iklan yang lebih didominasi foto tubuh perempuan daripada barang yang diiklankan. Perempuan yang diperlakukan sebagai pembantu di rumah tangga, perempuan yang dipandang hina karena pekerjaan dan masih banyak lagi kasus dimana perempuan direndahkan.

Perempuan adalah ibu yang melahirkan manusia. Dia yang merawat sejak janin calon manusia yang ada di bumi. Dialah yang pertama mengajari seorang anak untuk belajar berbicara, membangun karakter manusia bahkan sejak dari janin. Pernah aku bertemu dengan seorang anak yang sangat nakal sekali. Semua pendamping belajar sudah angkat tangan. Ketika kutanya pada para pendamping bagaimana sikap orang tuanya, mereka mengatakan ibunya sangat memanjakan. Tapi aku penasaran mengapa anak yang mendapat kasih yang cukup dapat nakal seperti ini. Akhirnya aku bertemu dengan ibunya dan kutanya riwayat anak ini. Ibunya akhirnya mengaku bahwa pada waktu anak ini masih dalam kandungan pernah akan diaborsi. Tapi karena gagal maka ibu sadar bahwa mungkin dia harus merawat janin ini. Maka dia menyesal atas tindakan itu dan berubah menjadi sangat mencintai anaknya. Tapi sikap penolakan ibu pada waktu janin sudah membangun karakter seorang anak menjadi anak yang liar.

Peran perempuan sangat besar dalam dunia ini. Dia dapat menjadi sosok yang dapat menjatuhkan seseorang seperti Delilah maupun dapat menjadi sosok yang mengangkat seseorang menjadi orang hebat. Thomas Alva Edison dapat menjadi besar karena peran ibunya yang terus berjuang memberi pelajaran padanya yang dianggap sebagai anak berkekurangan. Perempuan juga dapat menjadi pejuang yang tangguh seperti Joan de Arc atau Yudit yang mampu memenggal kepala Holofernes, panglima besar Asyur dan masih banyak lagi. Tapi mengapa perempuan sering diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang? Mengapa masih banyak pandangan orang yang tidak mampu berubah dengan meletakkan perempuan pada posisi yang semartabat dengan lelaki?

Sabtu, 18 Desember 2010

KAMBING HITAM


Kambing hitam entah mengapa digunakan istilah itu untuk memposisikan orang sebagai tumpuan kesalahan meski mungkin dia tidak bersalah. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang belum terjamah oleh hukum positip yaitu hukum negara. Padahal dampak negatif orang yang dijadikan kambing hitam bisa sangat besar. Pada tahun 1965 banyak sekali orang dijadikan kambing hitam dan akhirnya menemui ajal atau dipenjara tanpa pengadilan yang jelas. Setelah keluar dari penjara pun mereka menjadi orang-orang buangan ditengah masyarakat, sebab mereka sangat dibatasi geraknya. Di tengah masyarakat bahkan keluarga menjadikan orang sebagai kambing hitam sering terjadi meski mungkin dampak negatifnya tidak begitu luas. Tapi hal ini membuat orang yang dijadikan kambing hitam menjadi tidak nyaman dalam hidupnya.

Orang menjadikan sesamanya sebagai kambing hitam sebab mereka sebenarnya tidak berani mengakui kesalahan yang telah dibuatnya. Ketika terjadi bencana lumpur yang menenggelamkan banyak desa di Porong akibat kesalahan Lapindo Inc, maka seorang pejabat yang tidak berani bertanggungjawab menjadikan gempa di Jogjakarta sebagai kambing hitam. Ketika terjadi bencana kereta api terguling tidak ada satu pun pejabat yang mau bertanggungjawab maka masinis kereta api itu yang dijadikan kambing hitam. Pada umumnya orang yang dijadikan kambing hitam adalah orang yang tidak berdaya, lemah, tidak mempunyai kekuasaan sehingga dia tidak mampu membela diri.

Mochtar Lubis menulis buku berjudul “Manusia Indonesia”. Dalam bukunya dia menulis beberapa ciri manusia Indonesia. Salah satu ciri manusia Indonesia adalah enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, keputusannya, pemikirannya, kelakuannya, dan sebagainya. Bila ada masalah maka begitu mudah mengatakan “bukan saya”. Tapi dalam setiap masalah harus ada orang yang bertanggungjawab, maka dicari kambing hitam untuk menumpahkan segala tanggungjawab kesalahan padanya. Maka orang yang suka mencari kambing hitam adalah orang yang tidak bertanggungjawab, kejam, pengecut dan licik. Dia hanya mencari keselamatan diri sendiri dan tega mengorbankan orang lain demi keselamatan dirinya sendiri.

Menurut Sindhunata dalam buku “Kambing Hitam” terjadinya kambing hitam, sebab orang menipu dirinya sendiri dan sesamanya. Sindhunata mengutip kecamanan Yesus pada kaum Farisi yang dianggap sebagai pembunuh nabi-nabi terdahulu tapi mereka mengatakan bahwa kalau mereka hidup pada jaman nabi itu maka mereka tidak akan turut terlibat pembunuhan itu. Mereka menjadikan nenek moyangnya sebagai kambing hitam, padahal mereka mengakui sebagai keturunan nenek moyangnya itu. Maka Yesus mengecam mereka sebagai keturunan iblis. “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.” (Yoh 8:44). Iblis disini bukan roh jahat atau setan seperti pemahanan kita. Iblis adalah cerminan dusta dan kekerasan yang ada dalam diri manusia. Sikap ini berlawanan dengan Yesus.

Bila kita mengakui diri sebagai pengikut Kristus maka seharusnya dalam hidup kita ada kekuatan yang berlawanan dengan kekuatan iblis dalam artian dusta dan kekerasan, sehingga kita tidak mudah mengurbankan orang dengan menjadikannya sebagai kambing hitam demi keselamatan diri sendiri. Kita berani mempertanggungjawabkan semua yang kita pikirkan, lakukan, tindakan dan lainnya. Yesus telah memberikan teladan bahwa Dia berani mengurbankan diri tanpa mencari kambing hitam. Dia mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukanNya seorang diri. Dia menanggung sendiri semua tuduhan palsu yang dituduhkan padaNya. Pada waktu penangkapan di taman Getsmani, Dia meminta supaya para prajurit melepaskan para murid, “Jawab Yesus: "Telah Kukatakan kepadamu, Akulah Dia. Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi.” (Yoh 18:8). Inilah bedanya antara Anak Allah dengan anak iblis.

KEKERASAN

Sejak jaman dahulu kala manusia suka melakukan kekerasan. Kitab Suci pun sejak awal sudah mengisahkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh manusia yaitu antara Kain dan Habel. Menurut Sindhunata dalam bukunya berjudul “Kambing Hitam” yang mengupas teori Rene Girard, menyatakan bahwa manusia pada dasarnya ingin melakukan kekerasan. Kekerasan itu perlu disalurkan dalam tindakan terhadap sesama manusia atau subyek lain. Kain dan Habel keduanya melakukan kekerasan. Habel melakukan kekerasan terhadap hewan yang dijadikan kurban. Kain juga melakukan kekerasan terhadap Habel tapi dia dianggap kriminal. Padahal keduanya sama-sama pelaku kekerasan. Sindhunata secara panjang lebar menguraikan bahwa pengurbanan hewan adalah salah satu wujud penyaluran kekerasan. Maka hewan kurban itu diambil dari hewan yang dekat dengan manusia atau memiliki karakter menyerupai manusia.

Dalam jaman ini dimana kekerasan dengan cara membunuh dapat menimbulkan resiko yang besar bagi pelaku, maka kekerasan diwujudkan dalam bentuk lain. Seandainya tidak ada hukuman bagi orang yang membunuh maka pasti akan banyak sekali terjadi pembunuhan. Tapi hukum dan penjara tidak mampu menghilangkan kekerasan yang ada dalam diri manusia. Kekerasan fisik terus muncul dalam berbagai bentuk misalnya pemukulan dan sebagainya. Hukum hanya mampu membatasi pembunuhan. Saat ini juga ada hukuman penjara bagi orang yang melakukan kekerasan meski tidak sampai membunuh, tapi itu pun tidak mengurangi kekerasan, sebab sering kali kekerasan yang belum sampai membunuh dianggap biasa oleh masyarakat. Pemukulan anak oleh orang tua, tawuran antar pelajar, perkelahian antar anggota dewan dan sebagainya hanya dibicarakan sejenak lalu tidak ada kelanjutannya.

Kekerasan yang masih belum banyak dipersoalkan adalah kekerasan yang disalurkan dalam perkataan. Selama ini belum pernah saya mendengar ada orang memaki sesamanya lalu dipenjara. Memang ada orang ribut mempersoalkan fitnah, perkataan yang mempermalukan orang dihadapan umum dan sebagainya. Tapi itu bagai sebuah pasir di pantai. Oleh karena hukuman belum menyentuh sampai ke arena ini, maka orang sangat leluasa memaki, memfitnah, gosip dan sebagainya. Bahkan beberapa stasiun televisi dengan bangga menayangkan acara yang isinya hanya membicarakan pribadi orang. Pembicaraan itu akan semakin gencar bila ada orang yang terkena masalah. Masalah pribadi dan keluarga pun dijadikan masalah milik publik. Padahal orang yang terkena masalah tidak senang jika masalahnya diobral apalagi bila anak-anak mereka pun dilibatkan dalam masalah orang tuanya. Hal ini biasanya dikatakan pembunuhan karakter. Tapi karena hukum belum menyentuhnya maka sering terjadi.

Ketika aku berteman dengan anak jalanan hampir setiap saat aku melihat kekerasan. Sampai seorang teman pendamping sering mengatakan mengapa rumah singgah sepi artinya tidak ada kekerasan bila seminggu saja tidak terjadi kekerasan. Anak jalanan mudah sekali melakukan kekerasan sebab dalam hidup mereka sering mengalami kekerasan. Banyak anak jalanan sejak kecil sudah mengalami kekerasan dari orang tua sehingga dalam diri mereka tertanam pandangan bahwa kekerasan adalah sah dan menunjukkan kekuatan diri agar disegani dan dihormati.

Sebetulnya manusia dianugerahi Allah akal budi untuk mengotrol keseluruhan diri. Semakin matang akal budi seseorang semakin mampu dia mengontrol diri sendiri. Pengalaman tidak nyaman akibat menjadi kurban kekerasan dapat dikontrol oleh akal budi, sehingga tidak diungkapkan begitu saja seperti anak jalanan di rumah singgah. Kematangan akal budi tidak terkait dengan pendidikan, sebab banyak orang yang memiliki gelar berderet tapi dia melakukan kekerasan. Kematangan akal budi juga tidak terkait dengan iman, sebab banyak juga orang yang mengaku beriman tapi melakukan kekerasan dengan dalih ketaatan pada agama. Kematangan akal budi adalah buah dari proses pembelajaran dan pendewasaan yang terus menerus, sehingga orang mampu mengendalikan benih kekerasan yang ada dalam dirinya.

Kamis, 16 Desember 2010

YESUS DAN PEREMPUAN SAMARIA: LETIH


Injil Yohanes sering menunjukkan kuasa Yesus dan beberapa ahli mengatakan bahwa Yohanes sering ingin menunjukkan keilahian Yesus. Tapi dalam kisah pertemuan dengan perempuaan Samaria, Yesus tampil sangat manusiawi sekali. Dia letih dan haus. Jarak antara Yudea dan Galilea sekitar 200 km dan itu ditempuh dengan jalan kaki yang membutuhkan waktu sekitar 3 hari perjalanan. Yesus dan para murid sudah menempuh separoh perjalanan. Yesus sampai di sumur Yakub sekitar pukul 12 siang. Saat dimana matahari bersinar sangat terik. Maka sangat wajar bila Yesus haus dan lapar. Yesus duduk di tepi sumur menunggu para murid yang pergi membeli makanan dalam keletihan dan kehausan.

Hidup adalah sebuah perjalanan panjang. Kita melewati waktu demi waktu, peristiwa demi peristiwa yang saling berkait satu dengan yang lain. Kadang kita tidak menyadari perjalanan hidup kita, sebab tenggelam dalam kesibukan yang tiada hentinya sampai akhirnya kita terhenyak tahun sudah berganti. Rasanya perayaan Natal tahun lalu baru saja berlalu ternyata kini sudah hampir Natal lagi. Ada orang mengatakan bahwa bumi sekarang berputar lebih cepat dibanding dulu, sebab waktu rasanya cepat bergerak. Padahal bumi berputarnya tetap sama. Satu hari tetap 24 jam. Kesibukan membuat orang tidak sadar akan terjadinya perubahan waktu.

Banyaknya kesibukan membuat orang letih. Keletihan ini bukan hanya menyerang fisik tapi juga psikis atau jiwa. Hidup pada jaman ini dimana persaingan semakin kuat membuat orang harus lebih berusaha untuk mendapatkan sesuatu. Seorang teman mengatakan bahwa dia hampir tidak pernah melihat matahari, sebab pergi dari rumah ketika matahari masih belum terbit dan keluar dari kantor ketika matahari sudah tenggelam. Dia terpaksa menjalani semua itu demi mempertahankan hidupnya. Jika tidak maka usahanya dapat direbut oleh para pesaingnya. Pulang dari kerja dia pun terjebak kemacetan yang membuatnya semakin letih. Sesampai di rumah masih ada aneka masalah yang harus diselesaikan. Tubuh dan jiwanya yang letih sepanjang hari masih harus menanggung aneka masalah yang ada di rumah.

Keletihan jiwa juga dapat terjadi ketika aneka harapan yang dimiliki tidak dapat terwujud meski dia sudah berusaha keras untuk mewujudkannya. Dia merasa tidak berdaya lagi. Apalagi beban hidup terus bertambah. Masalah datang silih berganti, seolah satu masalah belum selesai sudah muncul masalah baru. Ketika aku melihat jadwal seorang anak pelajar SD aku hanya mampu geleng-geleng kepala. Dulu ketika aku masih SD sepulang sekolah masih ada waktu untuk bermain bersama teman-teman sampai sore tiba. Tapi anak ini sepulang sekolah masih harus les bahasa, musik, pelajaran dan sebagainya. Dia tidak lagi mempunyai waktu untuk bermain bersama teman-temannya. Aku bertanya pada diri sendiri apakah anak ini tidak mengalami keletihan jiwa?

Keletihan dapat membuat orang kehilangan kontrol atas dirinya. Dia akan mudah marah, tidak mampu konsentrasi, bergerak hanya mengikuti arus, dan sebagainya. Maka perlu istirahat, tapi orang jaman ini sering melihat istirahat adalah perbuatan yang kurang berguna. Mereka lebih bangga bila tenggelam dalam kesibukan. Akibatnya banyak orang mengalami keletihan jiwa, sehingga saat ini banyak berita tentang orang yang berbuat “aneh-aneh”. Yesus beristirahat di dekat sumur, sumber air, yang dapat memberikan kesegaran jiwa. Dalam percakapan dengan perempuan Samaria Yesus menunjukkan bahwa Dialah sumber air hidup “barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.” (Yoh 4:14). Yesus adalah air kehidupan yang dapat menghilangkan keletihan. Untuk mendapatkan air kehidupan kita perlu datang padaNya. Hening dihadapanNya. Menyerahkan semua masalah dan beban hidup padaNya dan membiarkan Dia berkarya dalam hati kita. Tapi kita sering enggan untuk sejenak hening di hadapanNya dan membiarkan jiwa kita letih.

Rabu, 15 Desember 2010

YESUS DAN PEREMPUAN SAMARIA: PERDAMAIAN


Dalam Injil Yohanes diceritakan Yesus melakukan perjalanan dari Yudea ke Galilea. Dia meninggalkan Yudea sebab orang Farisi menduga bahwa Yesus sudah membaptis lebih banyak orang daripada Yohanes Pembaptis, padahal Yesus tidak membaptis tapi para muridNya. Anggapan orang-orang Farisi ini dapat menimbulkan masalah yaitu bisa memunculkan popularitas yang salah seperti ketika Yesus mampu menggandakan roti, maka Dia akan diangkat menjadi raja. “Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.” (Yoh 6:15). Sebaliknya popularitas Yesus juga dapat dianggap ancaman oleh orang Farisi sehingga mereka berusaha mencari jalan untuk menangkap Yesus. “Sesudah itu Yesus berjalan keliling Galilea, sebab Ia tidak mau tetap tinggal di Yudea, karena di sana orang-orang Yahudi berusaha untuk membunuh-Nya.” (Yoh 7:1).

Yudea yang merupakan daerah di sebelah selatan Palestina sedankan Galilea terletak di bagian utara. Diantara dua daerah itu adalah daerah Samaria. Orang Yahudi tidak mempunyai hubungan yang baik dengan orang Samaria. Orang Yahudi menganggap rendah orang Samaria. Hal ini dimulai dari pecahnya kerajaan Israel setelah Salomo wafat pada tahun 931 SM. Kerajaan Utara disebut kerajaan Israel dan kerajaan Selatan disebut kerajaan Yehuda. Pada tahun 722 SM kerajaan Israel dihancurkan oleh Asyur dan bangsa Israel dibuang ke Asyur. Raja Asyur memasukan bangsa-bangsa lain sehingga terjadi percampuran antara bangsa Yahudi dengan bangsa lain. Pada tahun 586 kerajaan Yehuda diserang Babel dan orang Yahudi dibuang ke Babel. Setelah pembuangan Babel pada tahun 538 sisa-sisa Yahudi yang kembali ke Israel membuat aturan ketat tentang banyak hal dan mereka menjaga kemurnian bangsa Yahudi. Mereka memandang rendah bangsa Samaria yang dianggap bukan murni bangsa Yahudi. Orang Samaria pun merendahkan orang Yahudi yang dianggap bangsa tidak benar. Mereka membuat Bait Suci sendiri gunung Gerizim dan tidak mau menyembah Suci di Yerusalem yang menjadi pusat keagamaan bangsa Yahudi. Permusuhan ini diperparah dengan penyerbuan bangsa Yahudi terhadap bangsa Samaria pada tahun 128 SM yang menghancurkan bait suci di gunung Gerizim.

Yesus berjalan bersama para murid memasuki daerah Samaria. Karena letih dan haus maka Yesus berhenti di sebuah sumur yang dipercaya sebagai sumur Yakub dekat tanah milik Yusuf dimana Yusuf dimakamkan. Sebagai orang Yahudi, Yesus sudah masuk ke daerah musuh. Para murid tampaknya disuruh membeli makanan di daerah orang Samaria, sehingga Yesus sendirian di tepi sumur. Kebetulan ada seorang perempuan Samaria datang untuk mengambil air. Yesus pun meminta pada perempuan itu minum. "Berilah Aku minum.” (Yoh 4:7). Yesus yang punya kuasa apapun Dia meminta minum pada seorang perempuan Samaria. Jelas hal ini membuat perempuan itu terkejut dan heran. Dia lalu mengingatkan Yesus bahwa Dia adalah orang Yahudi dan dia adalah orang Samaria. Tapi dari situ Yesus mewartakan siapa DiriNya.

Yesus datang ke dunia untuk membawa damai. Damai dapat tercipta bila orang mau rendah hati. Yesus yang penuh kuasa Dia merendahkan DiriNya untuk meminta minum pada musuh. Meminta membuat posisi Yesus menjadi rendah. Hal ini dianggap tidak pantas oleh perempuan Samaria. Tapi Yesus sadar siapa diriNya dan apa yang dapat dilakukanNya. Sering kali bila kita bermusuhan dengan orang maka kita berusaha untuk menunjukkan diri lebih hebat dan berkuasa dibanding musuh kita. Bahkan tidak jarang kita menghina dan merendahkan martabatnya. Kita tersenyum lebih dulu saja tidak mau apalagi meminta sesuatu padanya. Tersenyum pada musuh dianggap tidak pantas. Perdamaian dapat tercapai bila kita sadar akan siapa diri kita dan bangga akan diri kita tapi mau menghargai musuh dan memposisikannya sebagai orang yang kita butuhkan. Menghargai martabatnya. Bila kita tidak yakin akan diri, maka akan menimbulkan rasa kuatir yang berujung pada kecurigaan bahwa musuh akan menyerang kita. Perdamaian dapat terjadi bila kita sadar siapa diri kita dan mau merendahkan diri.

Sabtu, 11 Desember 2010

ANDAI RUANG INI DAPAT BERBICARA


Aku meneguk air putih dari gelas. Tenggorokanku terasa kering. Hampir 3 jam aku duduk mendengarkan dua orang yang bertengkar. Saling menyalahkan. Kata-kata pedas dan cenderung kasar terlontar begitu saja. Padahal beberapa tahun lalu mereka datang padaku. Di tempat ini pula. Mereka menyatakan bahwa mereka sudah merasa cocok satu dengan yang lain. Mereka bisa menerima kekurangan yang ada dalam pasangannya. Mereka mampu berkomunikasi dengan baik dan menyelesaiakan setiap masalah dengan baik. Mereka bisa mengampuni. Pendek kata mereka yakin bahwa mereka akan mampu membangun keluarga dengan baik. Tapi kini mereka seperti dua musuh yang berhadapan. Tidak ada lagi bekas cinta. Segala janji yang dulu pernah mereka katakan di ruangan ini seperti kabut yang lenyap tanpa bekas.

Dulu aku sudah memperingatkan mereka agar menunda perkawinannya untuk lebih saling mengenal pribadi masing-masing secara mendalam. Memang ketika mereka bertanya mengapa harus menunda, aku tidak mampu menjelaskan dengan tepat. Tapi instingku mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres atau tidak pada tempatnya. Tapi aku tidak tahu dengan pasti apa itu. Aku hanya merasa bahwa perkawinan mereka sangat rapuh dan rawan. Tapi aku tidak bisa membatalkan perkawinan berdasarkan naluriku saja. Itu pilihan dan hak mereka untuk menikah. Maka aku hanya membuat catatan dalam lembaran kanonik bahwa perkawinan rawan.

Saat ini kasus perceraian menjadi semakin banyak. Ada berbagai alasan yang menjadi penyebabnya. Mulai dari perselingkuhan, komunikasi, keterlibatan orang tua, sampai penghasilan dan jabatan istri yang lebih tinggi dibandingkan suaminya. Bila dicari akar masalahnya bagiku saat ini orang mengalami krisis pemahaman cinta. Cinta yang bertujuan untuk membahagiakan pasangan menjadi membahagiakan diri sendiri. Akibatnya tidak ada kurban. Semua ingin menangnya sendiri. Melihat masalah dari sudutku bukan sudutmu atau sudut kita. Bila ada masalah bukan mencari bagaimana jalan keluarnya tapi sibuk mencari siapa benar siapa salah. Parahnya bila semua merasa paling benar sehingga mulai menghakimi yang lain sebagai tertuduh.

Andai ruangan ini dapat berbicara maka dia mungkin akan mengatakan apa yang dulu pernah dikatakan oleh kedua orang itu. Mungkin meja ini akan mengatakan bagaimana mereka mengatakan saling mencintai. Mungkin kursi ini akan mengatakan kehangatan cinta mereka. Mungkin gambar di dinding ini akan mengatakan impian-impian yang mereka bangun. Mungkin lampu di dinding akan mengatakan janji mereka yang akan setia sehidup semati. Semua di ruang ini masih tetap tapi apa yang mereka dengar sudah tidak ada lagi. Kini semua benda itu mendengar hal yang sebaliknya. Kata dan tuduhan yang dulu tidak pernah mereka bayangkan.

Jaman ini egoisme semakin menguat. Orang memusatkan semua pada diri sendiri. Dalam Kitab Suci sudah jelas bahwa dalam perkawinan mereka bukan lagi dua tapi satu. “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:5-6). Dalam perkawinan Allah menjadikan suami istri menjadi satu daging. Mereka tak terpisahkan. Hal ini bukan berarti mereka kemana-mana harus berdua, melainkan suami hidup dalam istri dan istri hidup dalam suami. Bila kamu hidup dalam aku, maka aku bukan lagi sepenuhnya menjadi diriku. Kamu menjadi bagian dari aku dalam segala hal. Aku bersikap, mengambil keputusan, menentukan arah hidup dan lainnya bukan demi atau seturut keinginanku sendiri tapi juga keinginan dan seturut kehendakmu. Hal ini dapat terjadi bila satu dengan yang lain saling memahami secara penuh. Diantara mereka tidak ada lagi batas atau ruang atau sesuatu yang tersembunyi. Mereka mengenal satu dengan yang lain secara penuh. Tapi yang sering terjadi adalah orang mengenal hanya luarnya saja dan dia tetap mempertahankan kemandiriannya sehingga mengabaikan pasangannya.

Jumat, 10 Desember 2010

ADVENT: PENGHARAPAN


Salah satu seruan pada masa Advent adalah pengharapan. Kita diingatkan kembali akan harapan akan kedatangan Yesus yang kedua. Pada jaman para rasul atau Gereja perdana harapan akan kedatangan Yesus yang kedua atau akhir jaman dikira sudah dekat. Mereka mendasarkan kepercayaannya pada sabda Yesus, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Anak Manusia datang sebagai Raja dalam Kerajaan-Nya.” (Mat 16:28). Dari sini mereka percaya bahwa kehadiran Yesus yang kedua atau akhir jaman sudah sangat dekat. Maka mereka memusatkan pada menyambut kehadiran Yesus yang kedua ini. Mereka tidak bekerja dan hanya berdoa serta membagi-bagikan milik mereka kepada sesama. Akhirnya Paulus mengingatkan bahwa umat harus tetap bekerja dan menjalankan kehidupan seperti biasa sambil menanti saat itu.

Advent berasal dari kata Latin yaitu adventus yang akar katanya ad dan venire. Ad artinya menuju dan venire artinya datang atau kedatangan. Menurut Nico Syukur Dister OFM, seorang teolog yang mengajar di STFT Jayapura, advent berarti “kedatangan dengan semarak.” Hal ini untuk menggambarkan kehadiran Yesus yang kedua dalam kesemarakan. Hal yang sering dipahami oleh banyak orang Advent adalah hanya sebuah peringatan menunggu kelahiran Juru Selamat, sebab masa Advent berakhir pada hari raya Natal dimana kita memperingati kelahiran Yesus. Oleh karena perhatian terpusat pada pesta kelahiran Yesus, maka masa penantian kehadiran Yesus yang kedua kurang mendapatkan perhatian. Kita tidak menunggu kelahiran Yesus melainkan mengarahkan perhatian pada kehadiran Yesus yang kedua yaitu pada akhir jaman.

Pada saat menanti kita mempunyai harapan bahwa pada saat kehadiran Yesus yang kedua kita akan dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Kerajaan Surga memang sudah hadir sejak Yesus hadir tapi masih belum sempurna. Kesempurnaan akan terjadi pada akhir jaman, dimana orang-orang kudus akan hidup bersama. Yesus akan menentukan siapa saja yang layak untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga seperti gambaran tuan yang memisahkan antara kambing dan domba. Bila kita layak maka kita akan masuk ke dalam Kerajaan Surga sebaliknya bila kita tidak layak maka kita akan masuk dalam kegelapan dan kertak gigi. Memang dalam agama Katolik tidak dijelaskan secara detil situasi surga atau neraka. Semua masih gelap bagi kita. Yesus hanya mengatakan bahwa di surga kita akan bahagia sedangkan di neraka kita akan dibakar oleh api abadi. Pada masa Advent kita diajak untuk berharap datangnya saat penentuan itu.

Harapan untuk dapat masuk dalam Kerajaan Surga bukanlah sekedar duduk dan menanti melainkan menjaga diri kita. “Sebab itu, saudara-saudaraku yang kekasih, sambil menantikan semuanya ini, kamu harus berusaha, supaya kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya, dalam perdamaian dengan Dia.” (2Ptr 3:14). Selain menjaga diri kita pun perlu melakukan perbuatan kebaikan, sehingga ketika saatnya tiba kita ditemukan sedang melakukan apa yang seharusnya kita lakukan sebagai pengikut Kristus. “Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang.” (Mat 24:46).

Harapan membuat kita hidup terarah ke masa depan. Kita tidak terjebak pada masa lalu melainkan mengarahkan hati, pikiran dan perasaan ke arah masa depan. Ini yang membuat kita mempunyai semangat untuk menjalani hidup kita. Saat ini banyak orang yang mengalami masa gelap dalam hidupnya. Hal ini dapat disebabkan oleh kesadaran akan dosa di masa lalu atau situasi hidup saat ini yang sangat berat, sehingga Dia ingin mengakhiri hidupnya saat ini juga. Adanya harapan membuat orang mampu bangkit kembali. Dia memiliki masa depan yang ingin diraihnya. Harapan yang pasti adalah kedatangan Yesus untuk kedua kalinya, yang akan mengadili manusia sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Dalam masa Advent kita kembali memupuk harapan akan kebahagiaan yang dapat kita raih.

Minggu, 05 Desember 2010

ADVENT: PERTOBATAN


Salah satu nilai yang kuat diwartakan dalam masa Advent adalah pertobatan. Bacaan Injil mengkisahkan kehadiran Yohanes Pembaptis yang menyerukan pertobatan. Orang menerima pembaptisan sebagai tanda pertobatan. Yohanes Pembaptis mengajarkan hal praktis sebagai wujud pertobatan atau sebagai buah-buah pertobatan. “Orang banyak bertanya kepadanya: "Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?" Jawabnya: "Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian." (Luk 3:10-11). Selain itu Yohanes Pembaptis juga menyerukan kejujuran dalam menjalankan tugas sebagai pemungut cukai atau prajurit.

Pertobatan adalah kembali kepada Allah. Bagi Yohanes Pembaptis pertobatan bukan hanya sekedar menyesali dosa-dosa yang telah dibuat melainkan ada perubahan sikap dan tingkah laku. Kembali kepada Allah adalah menjadikan diri sebagai citra Allah atau kembali ke fitrahnya manusia. Pada awal penciptaan Allah menciptakan semua baik adanya. Tapi karena dosa maka yang baik itu rusak. Kehidupan bersama yang baik rusak oleh dosa iri hati, keserakahan, kemarahan, keinginan menjadi allah, dan keegoisan diri. Dengan melakukan dosa manusia telah kehilangan kemanusiaannya.

Manusia dianugerahi Allah akal budi yang cukup sehingga manusia berbeda dengan hewan dan mahluk lainnya. Manusia disebut manusia bila dia mampu menggunakan akal budi. Sebelum memutuskan untuk bertindak, berbicara, dan bersikap manusia dapat mempertimbangkan semuanya dengan menggunakan akal budi, sehingga dia dapat dimintai pertanggungjawaban atas semua yang dilakukan atau dikatakannya. Dia mengerti apa secara penuh apa yang dilakukannya. Bila manusia bertindak tidak menggunakan akal budi, maka dia kehilangan kemanusiaannya. Manusia yang marah secara membabi buta dia telah kehilangan kemanusiaannya sebab tindakannya dibutakan oleh kemarahan. Manusia yang menindas sesamanya secara keji seperti majikannya Sumiati, maka dia dapat dikatakan telah kehilangan kemanusiaannya. Segala dosa dilakukan tanpa menggunakan akal budi yang benar, sehingga manusia tidak lagi menampilkan diri sebagai manusia melainkan hewan.

Pertobatan adalah sarana manusia untuk menjadi manusia seperti pada saat dia diciptakan dulu. Manusia kembali menjadi citra atau gambaran diri Allah. Maka dalam masa pertobatan ini kita diajak untuk melihat diri sendiri apakah aku selama ini sudah berubah menjadi hewan yang mengerikan dan menjijikan atau masih pantas disebut sebagai citra atau gambaran diri Allah? Tapi orang sering menyempitkan dosa dalam hal yang terkait dengan Allah. Orang merasa berdosa sebab lupa berdoa, tapi dia tidak merasa berdosa ketika tetangganya meninggal karena kelaparan. Orang merasa berdosa sebab lupa membayar perpuluhan pada Gereja tapi dia tidak merasa berdosa ketika memberi gaji karyawannya jauh dibawah upah yang layak bagi seorang pekerja.

Maka Yohanes Pembaptis menyatakan bahwa perlu adanya buah pertobatan yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh pertobatan dan dapat dirasakan oleh orang lain. Buah pertobatan dapat dirasakan bila pertobatan itu aktif bukan pasif. Orang merasa sudah bertobat bila dia tidak melakukan ini atau itu. Seorang pencuri dianggap bertobat bila dia tidak mencuri. Hal ini memang membuat orang senang sebab dia tidak kuatir akan kehilangan barangnya lagi. Tapi sebetulnya hal ini tidak cukup. Pencuri bisa tidak mencuri tapi dia tidak peduli pada sesamanya. Pertobatan aktif ialah bila orang secara aktif melakukan hal-hal kebaikan sehingga orang di sekitarnya merasakan kebaikan yang dia lakukan. Orang lebih suka melakukan pertobatan pasif, maka sering kita dengar orang mengatakan bahwa yang terpenting adalah tidak merugikan sesama atau berbuat jahat pada sesama. Memang dengan tidak melakukan dosa, maka kita dapat mewujudnyatakan diri sebagai gambaran diri Allah. Tapi harus bertobat aktif. Gambaran diri Allah bukan hanya kalau kita tidak melakukan dosa tapi juga ketika kita berbuat kebaikan bagi sesama sehingga sesama menjadi bahagia. Inilah buah pertobatan.

ADVENT: PENANTIAN


Saat misa sekolah anak SMP menjelang UAS, aku bertanya pada mereka apakah mereka sudah siap mengerjakan UAS? Sebagian anak mengatakan siap dan sebagian lain mengatakan belum siap. Kepada anak yang menjawab sudah siap menghadapi UAS aku tanya apakah mereka yakin akan mendapat nilai yang bagus? Hanya sedikit anak yang yakin akan mendapatkan nilai bagus. Pada umumnya mereka tidak yakin akan nilai yang akan dicapai. Mereka mengeluhkan pelajaran sangat sulit. Banyak yang harus dipelajari dan dihafalkan. Masih banyak lagi alasan yang mereka kemukakan. Aku lalu bertanya apakah UAS itu mendadak atau sudah terjadwal? Mereka semua menjawab bahwa UAS sudah terjadwalkan. Akhirnya aku bertanya bila UAS sudah dijadwalkan mengapa masih belum siap? Mengapa tidak mampu meraih nilai bagus?

Semua anak ketika memasuki tahun pelajaran baru sudah tahu bahwa pada akhir tahun pelajaran mereka akan menjalani UAS. Tapi karena ada rentang waktu yang cukup lama antara tahun ajaran baru dan saat UAS, maka sering mereka tidak menggunakan waktu dengan baik. Mereka baru belajar dengan giat ketika UAS sudah sangat dekat. Atau dulu istilah para mahasiswa adalah SKS atau “sistem kebut semalam”. Oleh karena menggunakan SKS, maka pelajaran hanya dihafal tapi tidak diresapkan dalam diri, sehingga begitu lulus banyak anak yang lupa dengan apa yang pernah dipelajari. Maka tidak heran bila banyak anak setelah lulus tidak menguasai apa yang telah dipelajarinya. Semua seolah hilang bersama berakhirnya UAS atau ujian akhir.

Hidup manusia pun tidak beda dengan sekolah. Ketika lahir kita sudah tahu bahwa suatu saat akan mati. Memang saat masih bayi dan anak-anak hal itu tidak pernah terpikirkan. Tapi semakin berkembangnya diri, maka kesadaran akan akhir hidup seharusnya juga semakin dipahami dan perlu dipikirkan. Hanya sebagian besar orang enggan untuk memikirkan akhir hidup atau kematian. Kita lebih suka berpikir tentang bagaimana mengisi kehidupan daripada memikirkan saat kematian. Bahkan banyak orang tidak mau memikirkan kematiannya sebab hal itu dianggap tabu dan menakutkan meski kematian adalah sebuah kepastian yang akan dialami cepat atau lambat.

Dalam masa Advent kita diingatkan kembali oleh Gereja akan saat itu. Kita diajak oleh Gereja untuk menanti kedatangan Yesus yang kedua kali yaitu akhir jaman. Ini adalah saat ujian terakhir untuk menentukan apakah kita lulus atau tidak lulus. Bila kita lulus maka kita akan menikmati hidup kekal sebaliknya bila tidak lulus maka kita akan dibinasakan tubuh dan jiwa kita. Semua itu bergantung pada apa yang telah kita lakukan di dunia. Setiap tindakan kita di dunia mempunyai nilai yang menentukan apakah kita akan termasuk orang yang dapat kebahagiaan kekal atau tidak. Tapi kita tidak perlu risau apakah kita dapat masuk surga atau tidak sebab semua itu adalah hak Allah. “Yesus berkata kepada mereka: "Cawan-Ku memang akan kamu minum, tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa Bapa-Ku telah menyediakannya.” (Mat 20:23). Kita pun tidak perlu pusing meramalkan kapan akhir jaman itu terjadi, sebab saat itu hanya Allah yang tahu. “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa sendiri.” (Mat 24:36)

Advent atau penantian adalah saat kita diingatkan bahwa kita sedang menantikan akhir hidup kita sendiri. Kita disadarkan kembali akan perjalanan hidup kita yang akan berakhir. Hal ini penting agar kita tidak tenggelam dalam aneka kesibukan duniawi sehingga melupakan perjalanan hidup kita. Bacaan-bacaan dalam misa minggu mengajak kita untuk bertobat yaitu kita diajak untuk melihat kembali apa yang sudah kita lakukan sebagai persiapan dalam menghadapi akhir hidup kita. Seperti pelajar atau mahasiswa yang diingatkan akan ujian akhir yang sangat menentukan. Apakah kita akan melaluinya dengan persiapan ala kadarnya atau serius? Hasil akhir dari hidup kita semua itu tergantung pada pilihan-pilihan hidup kita saat ini.

Minggu, 28 November 2010

INDONESIAKU: HILANGNYA RASA TANGGUNGJAWAB


Drijakara SJ (13 Juni 1913-11 Februari 1967), seorang imam Serikat Jesus, dalam buku “Percikan Filsafat” merumuskan tanggungjawab adalah kewajiban yang menanggung bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang adalah sesuai dengan tututan kodrat manusia. Orang yang bertanggungjawab berarti dia berani menentukan apa yang akan dikerjakan. Untuk menentukan apa yang diperbuatnya maka dia harus orang menjadi orang merdeka, sebab bila tidak merdeka maka dia tidak dapat menentukan apa yang harus dikerjakannya. Orang diperkosa adalah orang yang tidak merdeka maka dia tidak dapat diminta untuk bertanggungjawab bila akhirnya dia hamil akibat perkosaan itu. Untuk bertanggungjawab juga orang harus mempunyai akal budi yang cukup. Orang gila tidak dapat dituntut untuk bertanggungjawab bila dia membakar rumah, sebab dia tahu bila api dapat membakar rumah.

Tanggungjawab terkait dengan kemerdekaan dan pilihan bebas. Orang dapat memilih untuk minum arak atau tidak. Bila dia memilih minum arak lalu mabuk dan pada saat mabuk dia merusak rumah, maka dia harus bertanggungjawab, sebab pada awal dia sudah tahu bahwa minum arak dapat membuatnya mabuk. Dia juga tahu bahwa bila mabuk dia dapat melakukan hal-hal yang diluar kontrol akal budi. Maka tindakan perusakan rumah akibat mabuk sebetulnya sudah dapat diketahui sejak awal. Maka sejauh orang itu bebas dan dapat menggunakan akal budinya maka dia harus dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatannya.

Memang ada perbuatan yang dilakukan karena kewajiban. Menurut Drijakara kewajiban adalah kebaikan yang dengan keharusan dibebankan kepada kita yang merdeka untuk dilaksanakan. Misalnya kewajiban menjalankan aturan agama. Dalam hal ini kita bukan menjadi orang tertindas, sebab kewajiban itu baik untuk perkembangan iman kita. Demikian pula kewajiban belajar dan sebagainya. Kebaikan ini merupakan tuntutan agar kita menjadi manusia yang lebih baik. Kewajiban juga membuat kita menghargai manusia lain, misalnya kewajiban antri. Ini bukan penindasan tapi kita menghargai sesama sebagai manusia yang juga mempunyai kepentingan yang sama dengan kita.

Apakah penguasa kita adalah orang yang bertanggungjawab? Para anggota dewan adalah orang yang dengan sadar dan bebas mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Dia tahu bahwa tugas anggota dewan perwakilan rakyat adalah mewakili rakyat yang memilihnya, membuat tata aturan agar masyarakat dapat hidup bersama lebih baik, menjadi kepanjangan lidah rakyat yang diwakilinya dan masih banyak lagi. Apakah para anggota dewan itu sudah melakukan kewajibannya sebagai anggota dewan? Sering kali hal yang diributkan hanya soal hak bukan kewajibannya. Hak untuk mendapatkan ruang kerja yang megah. Mobil dinas yang baru. Jaminan hidup yang lebih baik dan lain sebagainya. Akibat terlalu memikirkan hak apa yang akan diperolehnya maka dia mengabaikan kewajibannya dan tidak mampu mempertanggungjawabkan kepercayaan yang sudah didapatnya dari rakyat yang memilihnya.

Hal semacam ini tidak saja terjadi pada anggota dewan perwakilan rakyat. Banyak penguasa yang bertindak sama. Mereka sangat sulit bila dimintai pertanggungjawaban atas jabatan dan tugas yang disandangnya. Kasus Sumiati yang disiksa majikannya di Madinah menjadi kasus yang dilemparkan kian kemari tapi tidak ada satu pun orang yang berani mengatakan “Saya bertanggungjawab atas kasus ini.” Dalam diskusi kasus ini orang cenderung saling melemparkan tanggungjawab pada pihak lain. Demikian pula dalam kasus kecelakaan kereta api yang menelan banyak kurban, lumpur Lapindo dan masih banyak lagi dimana tidak ada satu pun orang yang berani mengatakan bahwa dialah yang bertanggungjawab. Kalau toh ada orang yang dinyatakan sebagai pihak yang bertanggungjawab biasanya adalah orang kecil dengan jabatan rendah. Padahal orang berjabatan rendah biasanya orang tidak bebas, sebab dia tidak mampu melawan apa kata atasan. Maka negeri ini akan terus kacau sejauh tanggungjawab masih menjadi sesuatu yang dihindari oleh orang yang seharusnya bertanggungjawab.

INDONESIAKU: HILANGNYA BUDAYA MALU


Dalam budaya Jepang pada jaman dulu ada budaya harakiri atau yang lebih formal disebut seppuku yaitu menyobek perut dengan samurai pendek. Harakiri adalah suatu tindakan bunuh diri disebabkan merasa malu atau menanggung aib akibat gagal menjalankan tugas yang dipercayakan padanya. Harakiri biasanya dilakukan oleh para pemimpin atau jendral perang yang kalah dalam menjalankan peperangan. Atau ada pula orang yang gagal menjalankan tugas penting yang diembannya. Kekalahan dan kegagalan ini dianggap sebagai aib maka mereka melakukan bunuh diri. Tapi sekarang budaya itu sudah jarang terdengar lagi di Jepang.

Indonesia memang tidak mempunyai budaya harakiri tapi sebagai bangsa Timur, kita punya budaya malu yang sangat kuat. Sejak kecil kita sudah diajari untuk merasa malu bila melakukan kesalahan atau gagal dalam suatu tugas atau pekerjaan. Bahkan ajaran malu ini sering begitu kuat dan berlebihan sehingga membuat orang merasa malu bila ingin melakukan sesuatu atau menunjukkan siapa dirinya. Rasa malu itu akan semakin kuat bila kesalahan disebabkan melanggar aturan moral atau susila. Pada jaman dulu satu keluarga akan sangat malu bila salah satu anggota keluarganya hamil di luar nikah. Bahkan tidak jarang anak yang hamil ini disingkirkan jauh dari rumah.

Rasa malu terkait dengan martabat seseorang. Bila melakukan kesalahan maka orang merasa martabat atau harga dirinya akan jatuh. Orang sangat menjunjung harga dirinya sehingga apa saja yang dapat merusak martabatnya sebagai manusia akan disingkiri atau disembunyikan. Seorang peneliti Portugis mengatakan bahwa orang Jawa yang saat itu banyak ditemui dan dianggap mewakili wajah Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai harga diri tinggi, sehingga tampak angkuh. Mereka tidak mudah meminta maaf dan sangat menjunjung martabatnya sehingga berusaha menutup kesalahannya agar terhindar dari rasa malu. Mereka lebih baik mati daripada menanggung malu.

Saat ini budaya malu sudah mengalami krisis. Orang seolah tidak merasa malu meski melakukan kesalahan besar dan deketahui secara publik. Orang tidak malu meski dia menipu sesamanya untuk memperkaya diri. Orang tidak malu meski semua orang tahu bahwa dia telah menindas sesamanya. Freidrich Nietzsche (15 Oktober 1844-25 Agustus 1900) berpendapat bahwa rasa bersalah secara moral dan dosa adalah perasaan anak kecil dan budak. Rasa bersalah ini adalah sebuah kebohongan, penyakit yang harus diberantas. Bagi Nietzsche orang tidak perlu merasa melanggar moral dan malu. Bila orang menindas, memeras, bahkan membinasakan sesamanya hal itu memang harus terjadi atau sudah sewajarnya dalam dunia ini. Maka bila melakukan hal itu kita tidak perlu merasa menyesal atau merasa malu.

Pendapat Nietzsche pasti akan ditolak oleh bangsa kita, sebab ini berlawanan dengan nilai-nilai yang dijunjung misalnya harmoni, kasih sayang dan malu. Tapi kenyataannya apa yang dikatakan Nietzsche diikuti oleh banyak orang. Seorang tokoh meski dikecam sebab mengabaikan kurban yang disebabkan oleh kesalahanan perusahaannya tetap mempertahankan diri menjadi ketua partai politik. Seorang yang sudah terbukti korupsi tapi tetap berkuasa dan tampil dalam berbagai acara. Menteri yang dianggap gagal menjalankan tugasnya dan dituntut mundur oleh masyarakat ternyata tidak bergeming. Seorang menteri yang melanggar omongannya sendiri sehingga dikecam ramai-ramai ternyata tetap mempertahankan kedudukannya dengan membuat aneka alasan yang konyol. Masih banyak lagi yang dapat diceritakan bahwa kita sudah kehilangan rasa malu dan sesungguhnya kita mengikuti ajaran Nietzsche.

Jepang mampu membangun negaranya menjadi negara yang sangat maju setelah PD II disebabkan mereka mempunyai budaya malu. Para pejabat negara menjunjung budaya malu. Sedangkan kita mengalami krisis budaya malu. Hal ini membuat orang dapat berbuat sesuka hatinya tanpa beban bahwa dia sudah melanggar hukum. Dia tetap dapat tersenyum di depan kamera meski aibnya diketahui secara umum.

Jumat, 26 November 2010

INDONESIAKU: IRONI HUKUM


Sebuah stasiun TV swasta dalam berita siang menayangkan seorang pencuri jemuran yang tertangkap warga sebuah kampung. Pencuri itu seorang lelaki kurus yang usianya mungkin sudah hampir 50 tahun bila melihat raut wajahnya dan rambutnya yang penuh uban. Dia tampak tidak berdaya ketika beberapa orang muda yang bertubuh segar melayangkan pukulan ke wajah dan tubuhnya. Tampak darah mengalir di wajahnya. Meski sudah diamankan oleh pihak polisi tapi warga tampaknya masih menyimpan marah sehingga satu dua orang tetap memukulinya. Aku yakin bila jemuran yang dicuri itu dijual mungkin hanya dapat beberapa ribu saja. Mungkin tidak cukup untuk makan dua hari. Dapat dipastikan bahwa orang tua itu mencuri sebab tidak punya uang untuk makan. Seandainya dia mempunyai beberapa ribu saja pasti tidak mau mengambil resiko mencuri milik warga yang bila tertangkap pasti akan babak belur.

Pencuri itu dibawa ke kantor polisi dan akan masuk ke sel tahanan. Dia mengalami dua kali hukuman. Pertama siksaan dari warga masyarakat lalu masuk penjara. Inilah ironi hukum di negara kita. Pencuri kecil biasanya nasibnya jauh lebih buruk daripada pencuri besar. Gayus yang korupsi 100 milyard lebih dapat bebas berkeliaran bahkan sampai rekreasi ke Bali untuk menonton pertandingan tenis. Oleh karena hukuman bagi para koruptor itu sangat ringan maka banyak sekali koruptor di negara kita ini. Menurut laporan ICW yang dirilis 4 Agustus 2010 kasus korupsi periode 2009-2010 meningkat tajam. Presiden SBY yang sering mengkampanyekan berantas korupsi ternyata pada periode kedua pemerintahannya kasus korupsi meningkat 50% dengan kerugian negara mencapai 2,102 trilyun. Suatu jumlah yang sangat besar dan tak terbayangkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.

Begitu ringannya hukuman bagi para koruptor maka setelah menjalani masa hukuman yang sering mendapat keringanan dia tetap kaya raya. Memang selama tahun 2009 pihak kepolisian dapat menyelamatkan uang negara sebanyak 426,3 milyard meski yang disetorkan ke negara baru 191,7 milyard sehingga masih ada sekitar 234,6 milyard yang belum berhasil diselamatkan. Sedangkan KPK menyelamatkan 4,4 trilyun. Membaca data jumlah uang yang dapat diselamatkan oleh aparat negara membuat banyak orang hanya mampu mengelus dada dan menarik nafas panjang. Entah berapa trilyun yang dapat diserahkan pada negara kembali untuk periode tahun 2010. Ide yang menarik muncul dari ketua MA bahwa sebaiknya para koruptor itu dimiskinkan. Semua harta bendanya dirampas dan uang di bank dijadikan milik negara. Jika demikian mungkin para koruptor akan menjadi jera.

Aku membayangkan lebih enak menjadi koruptor sebab hanya menerima satu hukuman yaitu penjara. Dia tidak pernah menerima hukuman dari masyarakat secara langsung seperti maling jemuran. Padahal koruptor besar biasanya bukan orang miskin. Dia mencuri bukan terpaksa tapi menjadi sebuah pilihannya secara bebas. Gayus gajinya sudah 12 juta per bulan. Usianya masih muda. Bila dia hidup dari gajinya saja sudah cukup baginya. Tapi dia memilih korupsi milyardan rupiah. Sebaliknya pencuri jemuran dia terpaksa mencuri sebab dia tidak mempunyai uang sama sekali untuk menyambung hidupnya. Jemuran yang dicuri pun tidak akan cukup untuk makan dua hari. Tapi dia mengalami penyiksaan dan hukuman di penjara. Inilah ironi hukum di Indonesia.

Negara kita menyatakan sebagai negara hukum. Ada banyak hukum dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Tapi kejahatan terus terjadi seolah tidak ada hukum. Mungkin di negara kita ini hukumnya adalah tanpa hukum seperti yang dikatakan oleh penyelenggara pertandingan dalam film “Blood Sport” bahwa “the rule is no rule”. Siapa yang kuat bisa menguasai, membeli dan mengatur hukum. Bila melihat lambang hukum adalah seorang perempuan membawa timbangan dan pedang dengan mata tertutup bila di negara kita matanya terbuka, sehingga dapat melihat berapa jumlah uang yang berada dalam timbangan itu. Aku bayangkan seandainya para koruptor itu diadili seperti maling jemuran mungkin negara ini akan bebas dari korupsi.

INDONESIAKU: PETANI DIKALAHKAN


Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan seorang petani di sebuah desa di pesisir pulau Jawa. Dia mengeluh akan cuaca yang tidak bersahabat pada tahun ini, sehingga mengakibatkan gagal panen. Memang tahun ini dapat dikatakan tidak ada musim kemarau. Hujan turun sepanjang tahun. Petani yang terbiasa menanam tembakau pada musim kemarau sekitar bulan Juni akhirnya gagal panen tembakau, sebab tembakau bila terkena air hujan akan rusak. Dia mau menanam padi tapi air hujan tidak cukup banyak untuk pengairan, sebab sawahnya masih menggunakan sistem tadah hujan. Dia mengandaikan bila pengairan sawahnya berjalan baik maka dia dapat menanam padi tanpa peduli apakah hujan akan turun sepanjang tahun atau tidak.


Petani itu mengeluh mengapa pemerintah kebupaten lebih mementingkan membangun stadion sepak bola daripada membangun dan memperbaiki pengairan untuk sawah, padahal di kabupaten ini masih banyak petani yang hidupnya bergantung pada sawah tadah hujan. Menurut dia anggaran untuk memperbaiki stadion membutuhkan dana 8 milyard. Seandainya dana itu untuk membuat saluran irigasi tentu jauh lebih berguna bagi banyak orang. Bila petani sudah dapat hidup makmur maka dia akan menonton sepak bola dengan membeli karcis. Kalau sekarang mereka tidak dapat menonton pertandingan sepak bola sebab tidak punya uang untuk membeli tiket masuk. Kalau toh anak mereka ingin menonton maka akan menggunakan segala cara untuk dapat masuk stadion. Beberapa hari lalu pun terjadi kerusuhan suporter sepak bola melawan polisi sebab mereka tidak punya uang untuk menonton pertandingan. Akibatnya mereka merusak mobil polisi dan melempari polisi dengan batu.

Menurut Gus Ipul, wakil gubernur Jawa Timur, beberapa kabupaten menganggarkan 15 milyard pada tahun 2009 untuk klub sepak bola kabupaten. Padahal sudah ada surat Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Juga Surat Mendagri Nomor 903/187/SJ tentang larangan penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola. (Tempo Interaktif 21 November 2010). Memang kita harus memajukan olah raga. Sepak bola adalah olah raga paling banyak peminatnya di Indonesia meski kesebelasan Indonesia masih belum mampu berprestasi dibandingkan negara Asia tenggara lainnya. Tapi harusnya ada skala prioritas mana yang lebih penting antara pendanaan sebuah klub dan pembangun stadion daripada perbaikan saluran irigasi untuk petani yang dapat meningkatkan kehidupan petani.

Negara Indonesia adalah negara pertanian tapi sayangnya pertanian kurang mendapat prioritas utama oleh pemerintah. Saluran irigasi banyak yang sudah harus diperbaiki dan dibuatkan baru. Harga pupuk sering kali sangat mahal sehingga ongkos produksi lebih tinggi dibandingkan hasil produksi. Kehidupan petani yang berat membuat banyak kaum muda lebih memilih menjadi buruh atau pekerja informal di kota besar daripada menjadi petani. Apalagi status petani dianggap sebagai status yang rendah. Ketika kaum muda meninggalkan desa maka yang tersisa di desa adalah kaum tua dan kaum muda yang terpaksa hidup di desa, sehingga tidak mampu mengelola tanah dengan maksimal untuk menghasilkan panen yang lebih baik. Sangat ironis ketika Indonesia yang membanggakan diri sebagai negara agraris harus import beras dari Vietnam. Bagaimana mungkin Vietnam yang sampai tahun 1972 masih tercabik-cabik perang suadara yang sangat mengerikan kini dapat ekspor beras ke Indonesia.

Nasib petani memang masih buruk. Padahal bila petani dapat hidup makmur maka dapat menarik semua sektor usaha untuk bisa berkembang. Penghasilan petani didapat dari bumi yang tidak membutuhkan modal awal seperti pabrik. Dia hanya membutuhkan modal kerja dan produksi. Hal ini berbeda dengan pabrik yang membutuhkan modal awal. Bila petani makmur maka dia dapat membeli barang yang dihasilkan pabrik atau menonton sepak bola. Tapi sayang petani yang bisa membuat negara ini makmur telah ditinggalkan, sehingga petani tetap miskin dan Indonesia juga tetap miskin.

Kamis, 25 November 2010

INDONESIAKU: MELUPAKAN SEJARAH

Suatu malam aku bersama anak-anak SMU dan mahasiswa makan mie di seberang kantor gubernur. Sambil duduk di rerumputan aku bertanya pada mereka apakah mereka mengenal patung setinggi dua meteran yang berdiri tegak di dekat situ. Sebagian dari mereka tahu bahwa itu patung gubernur Suryo, sebab nama itu sesuai dengan nama jalan yang membentang di hadapan kami. Tapi ketika kutanya siapakah gubernur Suryo itu? Tak satu anakpun yang dapat menerangkan dengan tepat. Mereka menjawab dengan asal-asalan saja. Padahal gubernur Suryo adalah gubernur Jawa Timur yang pertama setelah kemerdekaan dan dialah salah satu tokoh dalam pertempuran 10 November sehingga Surabaya dikenal sebagai kota Pahlawan.

Banyak anak muda tidak menyukai pelajaran sejarah. Bahkan ada pandangan bahwa pelajaran sejarah adalah pelajaran kelas dua sedang pelajaran kelas utama adalah matematika, fisika, kimia dan biologi. Ketika di SMA pun aku merasa bangga bahwa aku masuk di IPA sebab IPS dianggap tempat anak kurang pandai. Akibat terlalu bangga pada ilmu pasti maka ilmu sosial seperti sejarah, budaya atau sastra dan sebagainya seolah disepelekan. Maka tidak heran bila banyak kaum muda yang tidak mengenal sejarah bangsanya. Jangankan sejarah kerajaan Singosari, Mataram dan lain sebagainya sedangkan Budi Utomo saja mereka tidak tahu. Padahal dengan belajar sejarah kita dapat mengetahui perjalanan bangsa ini dan dapat menjadi bangga akan bangsa ini sebab memahami kebesaran para leluhur bangsa ini.

Maraknya budaya asing dan tokoh asing yang dibawa oleh media informasi seperti TV dan internet semakin menjauhkan anak muda pada sejarah bangsanya. Anak muda jauh lebih mengenal Rambo daripada Syahrir atau Airlangga. Anak lebik suka baca komik dari Jepang daripada membaca tentang dongen yang ada di tanah air. Orang lebih bangga mempelajari sejarah bangsa dan negara asing yang jauh daripada belajar sejarah bangsanya sendiri, sehingga beberapa kaum muda dengan sangat semangat berbicara soal sejarah bangsa Palestina tapi tidak tahu kerajaan Bone. Melupakan sejarah bagaikan pohon yang kehilangan akarnya. Aku bukan manusia yang tiba-tiba muncul pada saat ini, tapi aku saat ini adalah hasil proses dari sejarah leluhurku selama ribuan tahun. Aku disini bukan hanya fisik tapi pandangan tentang hidup, budaya dan sebagainya yang sangat mempengaruhi segala sikap dan peri lakuku saat ini.

Dengan mengenal sejarah maka kita mengenal asal usul terbentuknya bangsa dan mengetahui jatuh bangunnya bangsa ini. Mengetahui bagaimana para tokoh dulu berjuang untuk membangun sebuah negara dan merebut serta mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraihnya. Belajar sejarah berarti belajar asal usul diri sendiri. Presiden Soekarno mengingatkan agar kita jangan melupakan sejarah atau jas merah. Dari sejarah itu kita bisa merefleksi dan belajar semangat para tokoh dan keteladanan yang dia lakukan. Misalnya keteladanan gubernur Suryo yang meninggalkan Surabaya paling akhir pada saat Surabaya digempur bala tentara Inggris. Dia ingin semua warga selamat terlebih dahulu baru dia menyelamatkan diri. Ini adalah keteladanan tanggung jawab yang besar terhadap rakyatnya. Pangeran Kornel dari Sumedang yang marah karena banyak rakyatnya mati dalam kerja paksa membangun jalan raya pos, maka ketika bertemu dengan Deandles dia bersalaman menggunakan tangan kiri sedang tangan kanan memegang keris yang terselip di pinggangnya.

Bagaimana dengan pemimpin kita saat ini? Banyaknya pemimpin yang korupsi, waktu rapat tidur, membagi jabatan dengan keluarga dan sebagainya membuat kita bertanya apakah mereka tidak pernah belajar dari para pendahulunya bagaimana memimpin rakyat? Seorang teman menyatakan malu mengaku sebagai orang Indonesia, sebab Indonesia dikenal sebagai negara paling korup, rawan kekerasan, dan sebagainya. Jika mereka belajar sejarah dan para tokohnya mungkin mereka akan malu dan rela berjuang membela rakyat. Mereka tidak mengulang kesalahan yang terjadi pada masa lalu dan tahu bagaimana seharusnya memimpin bangsa ini.

Selasa, 23 November 2010

INDONESIAKU: KRISIS NASIONALISME


Saat ini banyak orang membicarakan kasus Sumiati seorang perempuan berumur 23 tahun asal Dompu Nusa Tenggara Barat yang disiksa majikannya seorang warga Madinah, Arab Saudi. Penyiksaan itu begitu mengerikan dan sangat tidak pantas dilakukan oleh orang bermatabat bahkan lebih mengerikan dibandingkan dengan siksaan tawanan perang Irak di penjara Abu Ghraib yang sangat terkenal dan menjadi bahan kecaman banyak penduduk dunia. Ketua fraksi PKB Marwan Ja’afar menulis dalam pesan singkatnya, “aksi penyiksaan yang dilakukan majikan Sumiati adalah cermin perilaku jahiliyah warga Arab Saudi. Bahkan kaum kafir Quraish tidak pernah bertindak sekeji yang dilakukan terhadap Sumiati.” (Republika 17/11).

Sumiati bukanlah kasus pertama dan yang dibuka dalam forum publik. Ada banyak penyiksaan TKI di negara Kuwait, Arab, Malaysia dan negara lainnya yang sangat mengerikan. Kasus Siti Hajar di Malaysia yang wajahnya sampai rusak akibat siksaan, Siti Nur Janah yang disiksa dan digunduli di Arab, Ici binti Asmar yang disiksa di Suriah dan masih banyak lagi para TKW yang disiksa sehingga mengalami cacat fisik yang permanen. Belum lagi yang dihukum mati misalnya Yanti yang dihukum pancung di Arab pada 12 Januari 2008 dengan tuduhan membunuh atau para TKW yang hamil akibat diperkosa oleh majikan bahkan anak majikannya. Semua itu menggambarkan betapa kelam nasib TKI di negara asing.

Bila ada kasus semua lalu berbicara dan seolah akan menyelesaikan. Tapi kasus terus terjadi. Hal ini mungkin pemerintah tidak mengambil tindakan tegas terhadap negara yang bertanggungjawab. Dalam kasus Sumiati ini ada usulan untuk menarik duta besar Indonesia di Arab sebagai bentuk protes. Ada pula yang mengusulkan membawa pada mahkamah hukum internasional. Tapi rakyat masih harus menunggu apakah semua itu akan terwujud atau hanya sebuah letupan emosional sesaat saja. Dalam diskusi yang diadakan oleh sebuah stasiun TV swasta seorang tokoh dari PJTKI mengatakan bahwa kasus seperti yang dialami Sumiati hanya sebagian kecil saja dan jauh lebih banyak lagi orang yang dianggap berhasil memperbaiki ekonomi keluarganya. Hal ini menyiratkan bahwa kasus Sumiati adalah kasus kecil yang tidak perlu dipersoalkan. Toh pemerintah tidak mampu memberi lapangan pekerjaan dengan hasil yang cukup.

Aku melihat bahwa bangsa kita bermental inlander, sebuah mentalitas yang berhasil ditanamkan oleh bangsa Belanda ketika menjajah dulu. Mentalitas ini membuat kita tidak mempunyai kebanggaan diri. Kita minder bila berhadapan dengan bangsa lain. Tapi kita bisa bertindak keji terhadap bangsa sendiri. Ketika Malaysia mengumumkan beberapa budaya asli Indonesia sebagai budaya asli mereka, hal itu hanya ditanggapi dengan kemarahan di dalam negeri saja. Tidak ada usaha untuk memperjuangkan dalam tataran tingkat negara. Akibatnya Malaysia semakin arogan sehingga berani merebut pulau dan menahan petugas Indonesia yang berusaha menggagalkan pencurian ikan oleh pihak Malaysia di perairan Indonesia. Meski dihina seperti ini pemerintah tetap santun dan lemah lembut. Hal ini mungkin tidak akan terjadi pada jaman Soekarno yang mempunyai harga diri sehingga berani berhadapan dengan bangsa yang dianggap merendahkan martabat bangsa Indonesia.

Kasus Sumiati menunjukkan bahwa bangsa kita masih hidup dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Pemerintah gagal memberikan pendidikan kebangsaan, yang membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia. Kita adalah bangsa yang besar dari jumlah penduduk. Negara yang luas dan kaya. Tapi semua itu tidak ditanamkan sejak dini. Kita lebih bangga berbicara bahasa Inggris dari pada berbicara bahasa Indonesia. Nelson Mandela bangga memakai batik, tapi para pejabat kita lebih bangga memakai jas dan dasi atau pakaian dari budaya asing lainnya. Bangsa kita mengalami krisis kebangsaan yang menumbuhkan rasa bangga akan bangsa dan negara sehingga kita tetap menjadi bangsa terjajah yang dapat dihina oleh bangsa asing dengan sesuka hati. Kita mengalami krisis nasionalisme. Tidak bangga sebagai bangsa Indonesia.

Senin, 22 November 2010

INDONESIAKU: SIKAP "EMOH NEGARA"


Dalam buku karangan I Wibowo yang berjudul “Negara Centeng” dilukiskan tentang sikap “emoh negara” sebuah sikap masyarakat yang menentang negara atau tidak suka dengan segala sesuatu yang terkait dengan pemerintah. I Wibowo mencontohkan sikap ini dengan adanya perusakan fasilitas negara, maraknya tawuran, perlawanan terhadap aparat keamanan baik polisi maupun tentara, usaha untuk memisahkan diri dari negara kesatuan dan sebagainya. Sikap “emoh negara” disebabkan rakyat merasa ditindas dan bosan atau muak melihat para pejabat negara yang bertindak sewenang-wenang. DPR sebagai badan pembuat UU ternyata melanggar UU yang dibuatnya. Hakim dan jaksa yang harusnya menegakkan keadilan ternyata dapat dibeli sehingga dapat memutar balik hukum. Aparat kepolisian yang tugasnya menjaga ketentraman rakyat ternyata mudah disuap. Pejabat negara korupsi milyardan rupiah. TKI yang disiksa dinegara asing tidak ditanggapi serius. Masih banyak lagi sikap dan perilaku pejabat negara yang melukai hati rakyat sehingga muncul sikap “emoh negara”. Sikap “emoh negara” ini akan menjadi semakin kuat bila para pejabat tidak berusaha mengubah perilakunya.

Menunggu perubahan sikap pejabat negara menjadi seperti yang diharapkan rakyat banyak sama saja menunggu hujan di musim kemarau. Memang ada beberapa pejabat negara yang berusaha hidup jujur dan sungguh membaktikan dirinya bagi rakyat tapi dia seperti seorang nabi yang berteriak-teriak di padang gurun. Dia dianggap sebagai orang gila ditengah masyarakat yang menganggap dirinya waras bila melakukan kejahatan. Seorang teman yang menjadi pejabat dan berusaha terus konsisten dengan perjuangan rakyat yang dulu memilihnya akhirnya mengatakan menyerah. Dia masuk dalam sebuah sistem yang korup maka agar bertahan di posisinya dia pun akhirnya melakukan pengkhianatan hati nuraninya.

Negara kita menyatakan diri sebagai negara yang mendasarkan diri pada agama meski bukan negara teokrasi. Semua orang harus mempunyai agama dan mencantumkan dalam kartu indentitas dirinya. Tapi agama ternyata hanya sekedar ritus, gedung ibadah dan hari raya. Nilai-nilai ajaran agama hanya sekedar menjadi wacana yang diajarkan atau dikotbahkan dalam perayaan hari keagamaan sedangkan perwujudan dalam hidup sehari-hari masih terlalu jauh. Bila semua orang melakukan nilai-nilai ajaran agamanya maka pasti sikap “emoh negara” tidak akan pernah ada. Semua agama mengajarkan kejujuran, pembelaan kaum miskin, keadilan dan nilai bagus lainnya. Tapi semua nilai itu sulit dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Seorang yang ingin jujur dalam mengurus KTP ternyata dia harus menahan kejengkelan sebab urusan mudah menjadi berbelit-belit dan lama. Maka akhirnya dia memutuskan untuk membayar. Kejujuran yang ingin diwujudkan akhirnya terkalahkan oleh perilaku tidak jujur di sekitarnya.

Gus Dur pernah dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa bangsa kita memang bangsa yang percaya pada Allah tapi bukan bangsa beriman. Beriman berarti bila dia mampu mewujudkan kepercayaannya kepada Allah dalam sikap hidup dan perilaku sehari-hari. Maka bangsa ini perlu pertobatan. Bertobat bukan hanya sekedar menjalankan perintah agamanya tapi mengubah hati atau memurnikan hati sehingga suara hati nurani yang mengajarkan kebenaran dapat terdengar jelas dalam dirinya. Pertobatan berarti mengubah hidup seturut kehendak Allah, sehingga dapat memberi buah-buah pertobatan yang dapat dirasakan oleh orang lain.

Pertobatan membutuhkan pengorbanan diri. Menjunjung kejujuran atau kebenaran bukan suatu yang mudah ditengah para koruptor. Misalnya bila kena tilang maka tidak perlu membayar polisi di tepi jalan tapi berkurban untuk mengikuti sidang meski harus membuang waktu dan tenaga. Kita berani menyerukan dan berjuang mempertahankan keadilan bila ada keadilan yang ditindas dan sebagainya. Mungkin apa yang kita lakukan tidak akan mengubah para pejabat saat ini, tapi pertobatan itu menjadi benih yang akan berbuah dikemudian hari, sehingga sikap “emoh negara” tidak lagi dilakukan oleh anak-anak kita atau generasi mendatang.

Minggu, 21 November 2010

YESUS RAJA SEMESTA ALAM


Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam bacaan misa diambil dari peristiwa penyaliban. Suatu yang sangat kontras. Mengapa Yesus disebut sebagai raja? Padahal para prajurit mengolokNya sebagai raja “Juga prajurit-prajurit mengolok-olokkan Dia; mereka mengunjukkan anggur asam kepada-Nya dan berkata: "Jika Engkau adalah raja orang Yahudi, selamatkanlah diri-Mu!” (Luk 23:36-37). Pilatus menempelkan tulisan INRI atau Iesus Nazarenus, Rex Iudaeorum atau dalam bahasa Yunani Iesous ho Nazoraios ho Basileus ton Ioudaion, di atas kayu salib tampaknya juga bukan sebagai pengakuannya kepada Yesus sebagai raja. Pengakuan yang tulus hanya datang dari seorang penjahat yang turut disalibkan. Apakah pengakuan penjahat itu menjadi dasar pilihan bacaan dalam misa? Bukankah lebih baik diambil dari Yohanes 6 dimana orang-orang ingin mengangkatNya menjadi raja setelah mereka melihat mujijat yang dilakukanNya?

Di salib Yesus kehilangan kuasaNya sama sekali. Dia yang mampu melakukan hal hebat ternyata disalib Dia jadi tidak berdaya padahal orang sangat mengharapkan Dia mampu melakukan sesuatu yang dapat menjadi bukti kemesiasanNya. Seandainya saat itu Dia mau turun dari salib atau melakukan hal hebat tentu Dia akan langsung diangkat sebagai Mesias yaitu raja yang mengembalikan kekuasaan Daud bapa leluhur mereka. Beberapa ahli tafsir berpendapat bahwa Yudas adalah salah satu dari orang Yahudi yang ingin memaksa Yesus untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Mesias atau bukan. Bangsa Yahudi percaya bahwa mesias akan muncul pada saat Paskah Yahudi di Yerusalem. Maka kehadiran Yesus di Yerusalem disambut dengan gegap gempita oleh rakyat sebab dianggap sebagai awal dari penegasanNya sebagai mesias. Yudas ingin mempercepat hal itu dengan membenturkan Yesus dengan kekuasaan. Maka ketika Yesus diperlakukan dengan keji dan diam saja, Yudas menjadi kecewa dan merasa bersalah sehingga dia gantung diri. Tapi para prajurit dan banyak orang masih ingin membuktikan kemesiasan sampai Yesus disalibkan. Mereka sengaja mengolok agar Yesus membuktikan kemesiasanNya.

Hakekat ke-raja-an Yesus, bukan kerajaan dalam arti teritori, ternyata tampak dalam kelemahanNya. Bukan dari apa kata prajurit yang mengolok atau tulisan INRI. Di salib kekuasaan Yesus tidak habis. Dia masih mempunyai kuasa surgawi sehingga Dia mengatakan pada penjahat di sisinya, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” Ini bukan janji kosong tapi sabda yang penuh kuasa bahwa Yesus berhak menentukan orang untuk masuk surga atau tidak. Dia menunjukkan kekuasaanNya atas surga. Lalu bagaimana dengan kekuasaanNya di bumi? Apakah masih tampak kekuasaanNya pada saat Dia sampai pada titik terendah kelemahan manusiaNya. Sejak awal Yesus mengatakan bahwa kekuasaan yang dimilikiNya berbeda dengan kekuasaan raja duniawi. Raja duniawi berkuasa dengan tangan besi sedangkan Dia adalah raja yang lemah lembut.

Kekuasan di bumi yang dimiliki Yesus bukan untuk menguasai manusia seperti para penguasa duniawi. Kekuasaan Yesus adalah untuk menjadikan manusia kembali memiliki martabatnya yang rusak oleh dosa atau telah dirusak oleh sesamanya dengan berbagai cara pemiskinan. Kekuasaan Yesus adalah kekuasaan membebaskan bukan menindas. Penindasan yang paling mengerikan bagi manusia bukan dari luar dirinya tapi berasal dari dalam diri manusia yaitu dalam bentuk dosa yang mengeram dalam hati. Dosa menekan manusia sehingga membuat hidupnya menjadi tidak bahagia. Manusia dapat menekan rasa berdosa dalam hatinya yang paling dalam, tapi bayangan dosa itu akan terus menghantuinya dimana saja dan kapan saja. Hal ini membuatnya menderita. Penderitaan ini dapat diwujudkan dalam sikap hidup yang juga membuat orang lain menderita. Semakin orang menumpuk dosa, semakin mudah dia bersikap yang sangat meresahkan masyarakat. Maka bila ingin membangun masyarakat yang bahagia satu-satunya jalan adalah dengan pembebasan manusia dari dosa. Salib adalah kurban untuk membebaskan dosa manusia di dunia. Dengan demikian di salib Yesus memiliki kuasa surgawi dan duniawi. Dia memang raja semesta alam

Selasa, 16 November 2010

DAUD DAN BATSYEBA: CERMIN


Kematian Uria membuat Daud merasa aman, sehingga dia dapat mengambil Batsyeba sebagai istrinya tanpa ada orang yang mengusiknya lagi. Ternyata sekali lagi apa yang diperhitungkannya salah. Masih ada nabi Natan yang mengetahui semua masalah itu. Mungkin selama ini nabi Natan diam saja melihat segala tingkah polah Daud yang melanggar keadilan, sebab dia adalah raja. Tapi setelah kematian Uria maka nabi Natan tidak bisa tinggal diam. Dia menunjukkan dirinya sebagai nabi yaitu orang yang membawa suara Allah demi kebaikan manusia. Nabi Natan seorang yang cerdik. Dia tidak langsung menegur Daud sebab teguran dapat membuat Daud membangun benteng pertahanan diri dan mencari-cari pembelaan diri serta kambing hitam lagi.

Nabi Natan bercerita mengenai orang yang memiliki domba. Daud yang mempunyai latar belakang gembala sangat memahami perasaan yang tumbuh antara gembala dan domba peliharaannya. Maka mendengar cerita nabi Natan itu Daud langsung bereaksi dengan sangat keras. “Lalu Daud menjadi sangat marah karena orang itu dan ia berkata kepada Natan: "Demi TUHAN yang hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan." (2 Sam 12:5-6). Mendengar ini langsung nabi Natan menunjukkan bahwa orang yang dimaksud itu adalah dirinya sendiri. Dapat dibayangkan betapa terkejutnya Daud saat itu. Inilah kehebatan nabi Natan. Dia menghormati Daud sebagai raja dan tidak ingin membuka aibnya. Bila dia mengungkapkan dosa Daud di muka umum, maka akan timbul gejolak dalam kerajaan Israel. Maka dia bercerita yang menyentuh sisi hidup Daud sebagai gembala, sehingga Daud bereaksi dan memutuskan hukuman bagi dirinya sendiri.

Manusia berusaha menyimpan dosanya serapat mungkin dalam hatinya yang terdalam. Tapi bayangan dosa itu menghantuinya sehingga membuatnya gelisah, marah dan malu pada diri sendiri. Kemarahan akan kelemahan diri ini tampak dari reaksi yang cepat dan keras bila melihat orang lain melakukan dosa yang sama. Yesus tidak menyembunyikan dosa, sehingga Dia tidak bereaksi cepat dan keras terhadap para pendosa yang datang padaNya. Pengadilan yang mengerikan adalah pengadilan yang dilakukan kaum pendosa yang tidak mau mengakui dosanya. Mereka mengungkapkan kebencian pada diri kepada orang lain yang dianggap mengingatkan akan dosanya. Seorang teman yang suka mencuri dengan memanfaatkan jabatan dan status yang disandangnya menjadi orang yang kejam bila menghakimi pencuri yang tertangkap. Sebetulnya dia malu pada dirinya dan ingin mengadili dirinya sendiri.

Baru-baru ini banyak dibicarakan kasus salaman antara antara Tifatul Sembiring dengan Michelle Obama. Tifatul terkenal sebagai orang yang tidak mau bersalaman dengan perempuan yang bukan mukhrimnya. Ketika tertangkap kamera dia bersalaman dengan Michelle Obama maka beberapa orang mempertanyakan hal itu. Reaksi yang terjadi adalah Tifatul berusaha melakukan pembelaan diri dan mencari kambing hitam yang memperkeruh masalah, sebab yang dijadikan kambing hitam adalah seorang ibu negara adikuasa. Seandainya dia mau mengakui kesalahannya dan tidak mencari kambing hitam serta pembelaan diri maka masalah tidak akan melebar sampai dibahas oleh media asing. Maka pentingnya sikap berani untuk bertanggungjawab dan mengakui kelemahan diri dan tidak berusaha mencari kesalahan orang lain.

Orang yang mudah sekali menyalahkan orang lain adalah orang yang tidak berani bercermin. Dengan bercermin maka orang akan mampu melihat dirinya sendiri apa adanya. Hal ini pun tidak akan menyelesaikan masalah bila dia tidak mau menerima diri dan segala kelemahan yang ada pada dirinya. Banyak orang yang mudah menyalahkan sesama sebab dia ingin lari dari beban kelemahan yang ada pada dirinya. Dengan menunjukkan kesalahan orang lain dia berharap bahwa pandangan orang akan tertuju pada orang lain bukan pada dirinya. Daud setelah bercermin dia bertobat dan mengakui kesalahannya. Dia menyadari segala kesalahannya dan mohon ampun pada Allah.

Powered By Blogger