Sebuah stasiun TV swasta dalam berita siang menayangkan seorang pencuri jemuran yang tertangkap warga sebuah kampung. Pencuri itu seorang lelaki kurus yang usianya mungkin sudah hampir 50 tahun bila melihat raut wajahnya dan rambutnya yang penuh uban. Dia tampak tidak berdaya ketika beberapa orang muda yang bertubuh segar melayangkan pukulan ke wajah dan tubuhnya. Tampak darah mengalir di wajahnya. Meski sudah diamankan oleh pihak polisi tapi warga tampaknya masih menyimpan marah sehingga satu dua orang tetap memukulinya. Aku yakin bila jemuran yang dicuri itu dijual mungkin hanya dapat beberapa ribu saja. Mungkin tidak cukup untuk makan dua hari. Dapat dipastikan bahwa orang tua itu mencuri sebab tidak punya uang untuk makan. Seandainya dia mempunyai beberapa ribu saja pasti tidak mau mengambil resiko mencuri milik warga yang bila tertangkap pasti akan babak belur.
Pencuri itu dibawa ke kantor polisi dan akan masuk ke sel tahanan. Dia mengalami dua kali hukuman. Pertama siksaan dari warga masyarakat lalu masuk penjara. Inilah ironi hukum di negara kita. Pencuri kecil biasanya nasibnya jauh lebih buruk daripada pencuri besar. Gayus yang korupsi 100 milyard lebih dapat bebas berkeliaran bahkan sampai rekreasi ke Bali untuk menonton pertandingan tenis. Oleh karena hukuman bagi para koruptor itu sangat ringan maka banyak sekali koruptor di negara kita ini. Menurut laporan ICW yang dirilis 4 Agustus 2010 kasus korupsi periode 2009-2010 meningkat tajam. Presiden SBY yang sering mengkampanyekan berantas korupsi ternyata pada periode kedua pemerintahannya kasus korupsi meningkat 50% dengan kerugian negara mencapai 2,102 trilyun. Suatu jumlah yang sangat besar dan tak terbayangkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Begitu ringannya hukuman bagi para koruptor maka setelah menjalani masa hukuman yang sering mendapat keringanan dia tetap kaya raya. Memang selama tahun 2009 pihak kepolisian dapat menyelamatkan uang negara sebanyak 426,3 milyard meski yang disetorkan ke negara baru 191,7 milyard sehingga masih ada sekitar 234,6 milyard yang belum berhasil diselamatkan. Sedangkan KPK menyelamatkan 4,4 trilyun. Membaca data jumlah uang yang dapat diselamatkan oleh aparat negara membuat banyak orang hanya mampu mengelus dada dan menarik nafas panjang. Entah berapa trilyun yang dapat diserahkan pada negara kembali untuk periode tahun 2010. Ide yang menarik muncul dari ketua MA bahwa sebaiknya para koruptor itu dimiskinkan. Semua harta bendanya dirampas dan uang di bank dijadikan milik negara. Jika demikian mungkin para koruptor akan menjadi jera.
Aku membayangkan lebih enak menjadi koruptor sebab hanya menerima satu hukuman yaitu penjara. Dia tidak pernah menerima hukuman dari masyarakat secara langsung seperti maling jemuran. Padahal koruptor besar biasanya bukan orang miskin. Dia mencuri bukan terpaksa tapi menjadi sebuah pilihannya secara bebas. Gayus gajinya sudah 12 juta per bulan. Usianya masih muda. Bila dia hidup dari gajinya saja sudah cukup baginya. Tapi dia memilih korupsi milyardan rupiah. Sebaliknya pencuri jemuran dia terpaksa mencuri sebab dia tidak mempunyai uang sama sekali untuk menyambung hidupnya. Jemuran yang dicuri pun tidak akan cukup untuk makan dua hari. Tapi dia mengalami penyiksaan dan hukuman di penjara. Inilah ironi hukum di Indonesia.
Negara kita menyatakan sebagai negara hukum. Ada banyak hukum dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Tapi kejahatan terus terjadi seolah tidak ada hukum. Mungkin di negara kita ini hukumnya adalah tanpa hukum seperti yang dikatakan oleh penyelenggara pertandingan dalam film “Blood Sport” bahwa “the rule is no rule”. Siapa yang kuat bisa menguasai, membeli dan mengatur hukum. Bila melihat lambang hukum adalah seorang perempuan membawa timbangan dan pedang dengan mata tertutup bila di negara kita matanya terbuka, sehingga dapat melihat berapa jumlah uang yang berada dalam timbangan itu. Aku bayangkan seandainya para koruptor itu diadili seperti maling jemuran mungkin negara ini akan bebas dari korupsi.
Pencuri itu dibawa ke kantor polisi dan akan masuk ke sel tahanan. Dia mengalami dua kali hukuman. Pertama siksaan dari warga masyarakat lalu masuk penjara. Inilah ironi hukum di negara kita. Pencuri kecil biasanya nasibnya jauh lebih buruk daripada pencuri besar. Gayus yang korupsi 100 milyard lebih dapat bebas berkeliaran bahkan sampai rekreasi ke Bali untuk menonton pertandingan tenis. Oleh karena hukuman bagi para koruptor itu sangat ringan maka banyak sekali koruptor di negara kita ini. Menurut laporan ICW yang dirilis 4 Agustus 2010 kasus korupsi periode 2009-2010 meningkat tajam. Presiden SBY yang sering mengkampanyekan berantas korupsi ternyata pada periode kedua pemerintahannya kasus korupsi meningkat 50% dengan kerugian negara mencapai 2,102 trilyun. Suatu jumlah yang sangat besar dan tak terbayangkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
Begitu ringannya hukuman bagi para koruptor maka setelah menjalani masa hukuman yang sering mendapat keringanan dia tetap kaya raya. Memang selama tahun 2009 pihak kepolisian dapat menyelamatkan uang negara sebanyak 426,3 milyard meski yang disetorkan ke negara baru 191,7 milyard sehingga masih ada sekitar 234,6 milyard yang belum berhasil diselamatkan. Sedangkan KPK menyelamatkan 4,4 trilyun. Membaca data jumlah uang yang dapat diselamatkan oleh aparat negara membuat banyak orang hanya mampu mengelus dada dan menarik nafas panjang. Entah berapa trilyun yang dapat diserahkan pada negara kembali untuk periode tahun 2010. Ide yang menarik muncul dari ketua MA bahwa sebaiknya para koruptor itu dimiskinkan. Semua harta bendanya dirampas dan uang di bank dijadikan milik negara. Jika demikian mungkin para koruptor akan menjadi jera.
Aku membayangkan lebih enak menjadi koruptor sebab hanya menerima satu hukuman yaitu penjara. Dia tidak pernah menerima hukuman dari masyarakat secara langsung seperti maling jemuran. Padahal koruptor besar biasanya bukan orang miskin. Dia mencuri bukan terpaksa tapi menjadi sebuah pilihannya secara bebas. Gayus gajinya sudah 12 juta per bulan. Usianya masih muda. Bila dia hidup dari gajinya saja sudah cukup baginya. Tapi dia memilih korupsi milyardan rupiah. Sebaliknya pencuri jemuran dia terpaksa mencuri sebab dia tidak mempunyai uang sama sekali untuk menyambung hidupnya. Jemuran yang dicuri pun tidak akan cukup untuk makan dua hari. Tapi dia mengalami penyiksaan dan hukuman di penjara. Inilah ironi hukum di Indonesia.
Negara kita menyatakan sebagai negara hukum. Ada banyak hukum dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Tapi kejahatan terus terjadi seolah tidak ada hukum. Mungkin di negara kita ini hukumnya adalah tanpa hukum seperti yang dikatakan oleh penyelenggara pertandingan dalam film “Blood Sport” bahwa “the rule is no rule”. Siapa yang kuat bisa menguasai, membeli dan mengatur hukum. Bila melihat lambang hukum adalah seorang perempuan membawa timbangan dan pedang dengan mata tertutup bila di negara kita matanya terbuka, sehingga dapat melihat berapa jumlah uang yang berada dalam timbangan itu. Aku bayangkan seandainya para koruptor itu diadili seperti maling jemuran mungkin negara ini akan bebas dari korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar