Akhir-akhir ini nama Marzuki Alie menjadi bahan perbincangan di berbagai media dan jejaring sosial. Hal yang membuat dia menjadi bulan-bulanan adalah pernyataannya di media yang tidak simpatik tentang kurban tsunami di Mentawai. Menurut Kompas, dia menyatakan "Kalau tinggal di pulau itu sudah tahu berisiko, pindah sajalah. Namanya kita negara di jalur gempa dan tsunami luar biasa. Kalau tinggal di pulau seperti itu, peringatan satu hari juga tidak bisa apa-apa," (27 Oktober). Sedangkan Detik.com mengutipnya "Kalau tahu berisiko pindah sajalah," imbuhnya. "Kalau rentan dengan tsunami dicarikanlah tempat. Banyak kok di daratan," sambungnya” (28 Oktober). Pernyataan yang tidak menunjukkan rasa empati dan kapasitasnya sebagai ketua DPR.
Pernyataan dia memang benar bahwa orang yang tinggal di pantai mempunyai resiko terkena tsunami sedang orang tinggal di gunung terkena resiko gunung meletus. Tapi orang memilih tinggal di pantai sebab dia seorang nelayan. Kalau semua orang tinggal di gunung siapa yang akan menjadi nelayan? Padahal negara kita adalah negara kepulauan. Disinilah tampak kedangkalan penalaran Marzuki, yang seharusnya sebagai ketua wakil rakyat dapat berpikir lebih baik lagi. Bukan seperti orang tanpa pendidikan yang suka ngobrol di tepi jalan. Meski Anas Urbaningrum menyatakan pada Detik.com “Saya tahu Pak Marzuki punya empati yang sangat mendalam. Jiwa sosialnya sangat tinggi. Mudah tergerak untuk meringankan beban orang lain yang kesulitan. Saya tahu persis karakternya yang baik dan peduli," (29 Oktober) Tapi dari lidah Marzuki sendiri dapat dinilai apakah pernyataan Anas itu benar atau salah.
Orang dikatakan mempunyai empati bukan sekedar orang memberi pada orang miskin. Menjelang pemilu atau pemilihan caleg banyak para calon yang tiba-tiba menjadi orang dermawan yang membantu orang-orang miskin. Hal ini bukan menunjukkan bahwa dia mempunyai empati tapi dia sedang mencari muka agar dipilih oleh rakyat. Sedangkan orang yang mempunyai empati itu tidak terbatas pada saat-saat tertentu. Rasa terlibat dalam penderitaan orang lain akan muncul secara otomatis bila melihat ada orang yang menderita. Rasa ini diwujudkan dalam perkataan, perbuatan dan sikapnya. Bila orang seperti Marzuki yang membuat pernyataan tidak simpatik sama sekali apalagi dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat, maka dapat dikatakan bahwa dia bukan orang yang memiliki rasa empati kepada sesama yang sedang menderita.
Lidah memang bagian tubuh yang sangat berbahaya, sebab lidah menyatakan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan seseorang. Maka penulis surat Yakobus memuji orang yang mampu mengendalikan perkataannya, “barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya” (Yak 3:2). Apalagi sebagai seorang pejabat yang seharusnya melindungi rakyatnya maka setiap perkataan harus dijaga, sebab setiap perkataan mencerminkan pemerintahan dan dapat menjadi pegangan masyarakat. Perkataan Marzuki akan tidak berdampak luas bila dia seorang yang tidak berpendidikan atau bukan sebagai pejabat. Seandainya dia orang bodoh maka orang akan maklum dengan pernyataannya.
“Lidah orang bijak mengeluarkan pengetahuan, tetapi mulut orang bebal mencurahkan kebodohan.” (Ams 15:2). Jelas sekali apa yang dikatakan oleh penulis Amsal bahwa lidah seseorang dapat menjadi ukuran diri orang itu. Apakah orang itu bijak atau tidak, bodoh atau pandai semua dapat diukur dari pernyataan-pernyataannya yang keluar dari mulutnya. Maka pembelaan Anas Urbaningrum tampaknya sia-sia, bahkan akan lebih tampak sebagai sebuah perlindungan terhadap anggotanya daripada sebuah sharing pengalaman tentang sosok Marzuki. Apalagi bila ditambahkan dengan perkataan sebaiknya pernyataan itu tidak dipolitisir. Hal ini semakin mempertegas bahwa apa yang dikatakan oleh Anas bukan menunjukkan kebenaran pribadi Marzuki tapi hanya sebagai perlindungan agar orang tidak menilai jelek partai yang dipimpinnya. Apa yang dialami oleh Marzuki dapat menimpa setiap orang yang sembrono terhadap lidahnya. Maka sebaiknya kita pun dapat mengendalikan lidah kita agar tidak dinilai bebal.
Pernyataan dia memang benar bahwa orang yang tinggal di pantai mempunyai resiko terkena tsunami sedang orang tinggal di gunung terkena resiko gunung meletus. Tapi orang memilih tinggal di pantai sebab dia seorang nelayan. Kalau semua orang tinggal di gunung siapa yang akan menjadi nelayan? Padahal negara kita adalah negara kepulauan. Disinilah tampak kedangkalan penalaran Marzuki, yang seharusnya sebagai ketua wakil rakyat dapat berpikir lebih baik lagi. Bukan seperti orang tanpa pendidikan yang suka ngobrol di tepi jalan. Meski Anas Urbaningrum menyatakan pada Detik.com “Saya tahu Pak Marzuki punya empati yang sangat mendalam. Jiwa sosialnya sangat tinggi. Mudah tergerak untuk meringankan beban orang lain yang kesulitan. Saya tahu persis karakternya yang baik dan peduli," (29 Oktober) Tapi dari lidah Marzuki sendiri dapat dinilai apakah pernyataan Anas itu benar atau salah.
Orang dikatakan mempunyai empati bukan sekedar orang memberi pada orang miskin. Menjelang pemilu atau pemilihan caleg banyak para calon yang tiba-tiba menjadi orang dermawan yang membantu orang-orang miskin. Hal ini bukan menunjukkan bahwa dia mempunyai empati tapi dia sedang mencari muka agar dipilih oleh rakyat. Sedangkan orang yang mempunyai empati itu tidak terbatas pada saat-saat tertentu. Rasa terlibat dalam penderitaan orang lain akan muncul secara otomatis bila melihat ada orang yang menderita. Rasa ini diwujudkan dalam perkataan, perbuatan dan sikapnya. Bila orang seperti Marzuki yang membuat pernyataan tidak simpatik sama sekali apalagi dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat, maka dapat dikatakan bahwa dia bukan orang yang memiliki rasa empati kepada sesama yang sedang menderita.
Lidah memang bagian tubuh yang sangat berbahaya, sebab lidah menyatakan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan seseorang. Maka penulis surat Yakobus memuji orang yang mampu mengendalikan perkataannya, “barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya” (Yak 3:2). Apalagi sebagai seorang pejabat yang seharusnya melindungi rakyatnya maka setiap perkataan harus dijaga, sebab setiap perkataan mencerminkan pemerintahan dan dapat menjadi pegangan masyarakat. Perkataan Marzuki akan tidak berdampak luas bila dia seorang yang tidak berpendidikan atau bukan sebagai pejabat. Seandainya dia orang bodoh maka orang akan maklum dengan pernyataannya.
“Lidah orang bijak mengeluarkan pengetahuan, tetapi mulut orang bebal mencurahkan kebodohan.” (Ams 15:2). Jelas sekali apa yang dikatakan oleh penulis Amsal bahwa lidah seseorang dapat menjadi ukuran diri orang itu. Apakah orang itu bijak atau tidak, bodoh atau pandai semua dapat diukur dari pernyataan-pernyataannya yang keluar dari mulutnya. Maka pembelaan Anas Urbaningrum tampaknya sia-sia, bahkan akan lebih tampak sebagai sebuah perlindungan terhadap anggotanya daripada sebuah sharing pengalaman tentang sosok Marzuki. Apalagi bila ditambahkan dengan perkataan sebaiknya pernyataan itu tidak dipolitisir. Hal ini semakin mempertegas bahwa apa yang dikatakan oleh Anas bukan menunjukkan kebenaran pribadi Marzuki tapi hanya sebagai perlindungan agar orang tidak menilai jelek partai yang dipimpinnya. Apa yang dialami oleh Marzuki dapat menimpa setiap orang yang sembrono terhadap lidahnya. Maka sebaiknya kita pun dapat mengendalikan lidah kita agar tidak dinilai bebal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar