Yesus adalah Anak Domba Allah yang menawarkan keselamatan, tapi Dia juga Anak Domba yang akan dikurbankan sebagai silih atas dosa manusia. Yesus bagaikan anak domba yang menjadi kurban Abraham sebagai pengganti Ishak. Ketika Ishak melihat bahwa Abraham membawa kayu dan api tapi tidak membawa anak domba sebagai kurban bakaran maka dia bertanya “Di sini sudah ada api dan kayu, tetapi di manakah anak domba untuk korban bakaran itu?" Sahut Abraham: "Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.” (Kej 22:7-8). Abraham yakin bahwa Allah akan menyediakan anak domba sebagai kurban bakaran.
Allah yang pada jaman Abraham menyediakan anak domba untuk menjadi pengganti Ishak, kini Allah menyediakan PutraNya sebagai anak domba yang akan dikurbankan. Anak domba merupakan hewan yang penting dalam upacara keagamaan Yahudi. Anak domba dikurbankan sebagai nazar setelah sembuh dari kusta (Im 14:10-32), tebusan anak sulung (Kel 34:20), silih dosa (Im 4:32-35) dan sebagainya. Pendek kata anak domba adalah kurban silih untuk memulihkan hubungan antara manusia dengan Allah dan sesamanya. Yesus sebagai Anak Domba Allah pun dikurbankan untuk menjadi silih atas dosa kita sehingga hubungan kita dengan Allah yang rusak oleh dosa dipulihkan. Maka keselamatan yang kita peroleh sangat mahal harganya sebab keselamatan itu menggunakan darah Putra Allah. “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya.” (Ef 1:7).
Kita yang sudah menikmati keselamatan dari pengurbanan Anak Domba Allah sering tidak menyadari akan mahalnya harga keselamatan itu. Bahkan sering meremehkan arti penebusan itu misalnya tidak serius dalam mengikuti misa, tidak persiapan cukup ketika akan menerima hosti dan sebagainya. Atau kita mensyukuri keselamatan yang telah kita terima, sehingga segala dosa dihapuskan, tapi tidak berusaha mempertahankan kesucian yang telah kita terima. Kita mensyukuri sebab diangkat sebagai anak Allah tapi tidak mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa kali aku mengikuti pertemuan doa. Orang yang datang memuji dan bersyukur atas pengurbanan yang mahal yang telah mereka terima. Tapi apakah cukup hanya bersyukur tanpa mewujudkan pada kehidupan sehari-hari? Bila Yesus sudah menjadi silih atas dosa kita apakah kita juga siap menjadi silih bagi dosa orang lain? Jika Yesus sudah berkurban bagi kita agar mendapat keselamatan apakah kita juga berani berkurban bagi sesama agar mereka selamat? Dunia saat ini menjadi egois, dimana orang hanya berpikir akan kepentingan dirinya. Orang enggan terlibat dalam masalah sesama. Apalagi bila keterlibatan itu dapat mengancam kenyamanan, posisi, jabatan apalagi jiwa kita, maka sering kita menghindarinya dan seolah tidak mengetahui ada saudara kita yang sedang mengalami masalah. Sikap yang enggan menjadi kurban bagi sesama maka tugas Gereja mengenai kemartiran diperhalus menjadi kesaksian. Padahal kemartiran adalah jelas memberikan nyawanya demi sesama dan imannya.
Pernah beberapa orang menegurku sebab aku terlibat dalam masalah sosial yang dapat membahayakan diriku. Mereka berpendapat bahwa tempatku bukan ditengah orang yang sedang berjuang untuk memperoleh hak-haknya. Alasan mereka adalah bahwa aku dapat membahayakan Gereja Katolik. Tapi bagiku pengurbanan Yesus harus terus dilakukan dalam banyak bidang. Orang tidak boleh puas hanya menerima sebaliknya harus pula mampu memberi. Apa arti pengurbananku dibandingkan dengan darah Yesus yang telah menyelamatkan bukan hanya badan tapi terlebih jiwa. Menghapus segala dosa dan memberikan kehidupan kekal. Keberanian berkurban dimulai dari rasa syukur atas keselamatan yang telah diperoleh dari pengurbanan Yesus. Inilah dasar dari segala aktifitas tindak keselamatan bagi sesama. Aku bersyukur bahwa aku menjadi pengikut Yesus sehingga mendapatkan berkah yang sedemikian besarnya. Tidak ada nabi atau pemimpin agama yang menjadi silih bagi dosa manusia. Maka sangatlah egois bila rasa syukur itu hanya dinikmati sendiri.
Allah yang pada jaman Abraham menyediakan anak domba untuk menjadi pengganti Ishak, kini Allah menyediakan PutraNya sebagai anak domba yang akan dikurbankan. Anak domba merupakan hewan yang penting dalam upacara keagamaan Yahudi. Anak domba dikurbankan sebagai nazar setelah sembuh dari kusta (Im 14:10-32), tebusan anak sulung (Kel 34:20), silih dosa (Im 4:32-35) dan sebagainya. Pendek kata anak domba adalah kurban silih untuk memulihkan hubungan antara manusia dengan Allah dan sesamanya. Yesus sebagai Anak Domba Allah pun dikurbankan untuk menjadi silih atas dosa kita sehingga hubungan kita dengan Allah yang rusak oleh dosa dipulihkan. Maka keselamatan yang kita peroleh sangat mahal harganya sebab keselamatan itu menggunakan darah Putra Allah. “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya.” (Ef 1:7).
Kita yang sudah menikmati keselamatan dari pengurbanan Anak Domba Allah sering tidak menyadari akan mahalnya harga keselamatan itu. Bahkan sering meremehkan arti penebusan itu misalnya tidak serius dalam mengikuti misa, tidak persiapan cukup ketika akan menerima hosti dan sebagainya. Atau kita mensyukuri keselamatan yang telah kita terima, sehingga segala dosa dihapuskan, tapi tidak berusaha mempertahankan kesucian yang telah kita terima. Kita mensyukuri sebab diangkat sebagai anak Allah tapi tidak mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa kali aku mengikuti pertemuan doa. Orang yang datang memuji dan bersyukur atas pengurbanan yang mahal yang telah mereka terima. Tapi apakah cukup hanya bersyukur tanpa mewujudkan pada kehidupan sehari-hari? Bila Yesus sudah menjadi silih atas dosa kita apakah kita juga siap menjadi silih bagi dosa orang lain? Jika Yesus sudah berkurban bagi kita agar mendapat keselamatan apakah kita juga berani berkurban bagi sesama agar mereka selamat? Dunia saat ini menjadi egois, dimana orang hanya berpikir akan kepentingan dirinya. Orang enggan terlibat dalam masalah sesama. Apalagi bila keterlibatan itu dapat mengancam kenyamanan, posisi, jabatan apalagi jiwa kita, maka sering kita menghindarinya dan seolah tidak mengetahui ada saudara kita yang sedang mengalami masalah. Sikap yang enggan menjadi kurban bagi sesama maka tugas Gereja mengenai kemartiran diperhalus menjadi kesaksian. Padahal kemartiran adalah jelas memberikan nyawanya demi sesama dan imannya.
Pernah beberapa orang menegurku sebab aku terlibat dalam masalah sosial yang dapat membahayakan diriku. Mereka berpendapat bahwa tempatku bukan ditengah orang yang sedang berjuang untuk memperoleh hak-haknya. Alasan mereka adalah bahwa aku dapat membahayakan Gereja Katolik. Tapi bagiku pengurbanan Yesus harus terus dilakukan dalam banyak bidang. Orang tidak boleh puas hanya menerima sebaliknya harus pula mampu memberi. Apa arti pengurbananku dibandingkan dengan darah Yesus yang telah menyelamatkan bukan hanya badan tapi terlebih jiwa. Menghapus segala dosa dan memberikan kehidupan kekal. Keberanian berkurban dimulai dari rasa syukur atas keselamatan yang telah diperoleh dari pengurbanan Yesus. Inilah dasar dari segala aktifitas tindak keselamatan bagi sesama. Aku bersyukur bahwa aku menjadi pengikut Yesus sehingga mendapatkan berkah yang sedemikian besarnya. Tidak ada nabi atau pemimpin agama yang menjadi silih bagi dosa manusia. Maka sangatlah egois bila rasa syukur itu hanya dinikmati sendiri.
I read this.
BalasHapusLivitha.
terima kasih...
BalasHapus