Minggu, 04 Desember 2011

MISI

Hpku bergetar. Ada SMS yang masuk. Kubaca pesan singkat dari seroang teman. “Akhirnya pergi juga ke tanah misi. Selamat bermisi.”
“Thanks, maksudnya apa nih?” tanyaku
“Kamu kan selalu di kota besar dan sekarang pergi misi. Sekali lagi selamat.”
“Thanks lagi,” aku mengakhiri SMS

Setelah membaca SMS itu aku bertanya pada diri sendiri. Apakah aku sedang di tanah misi? Apakah aku sedang bermisi? Bila misi masih dipahami pergi untuk mewartakan Kristus agar semakin banyak orang yang mengenal Kristus, bagiku saat ini aku tidak bermisi. Dapat dikatakan disini Katolik adalah mayoritas. Di hampir semua kampung dapat dikatakan 95% adalah umat Katolik. Lalu kepada siapa lagi aku harus mewartakan Kristus? Disini aku hanya hidup dalam situasi masyarakat yang masih dapat dikategorikan miskin dan terbelakang.

Bila misi dipahami sebagai pewartaan Kristus pada orang yang belum mengenalnya, maka aku lebih merasa bermisi ketika di kota besar di pulau Jawa, dimana sebagian besar penduduknya bukan umat Katolik. Bahkan orang yang mempunyai keyakinan yang salah mengenai kekristenan, sehingga dapat menumbuhkan kebencian dalam hati yang siap untuk diwujudkan dalam tindakan anarkis. Selama di kota besar aku berusaha datang dalam komunitas-komunitas bukan Katolik. Pada masyarakat yang tidak mengenal kekristenan kecuali mengetahui Yesus Kristus adalah orang Yahudi.

Caraku bermisi tidak melalui dialog-dialog keagamaan dalam forum resmi melainkan melalui membangun persahabatan dan dialog karya. Bagiku dialog dalam forum resmi dengan mengundang para pakar hanyalah sebuah basa basi belaka. Pada umumnya hanya saling memujia dan seolah saling memahami. Selain itu peserta dialog adalah kaum intelektual yang mengutamakan intelektual daripada emosi. Sedangkan yang sering melakukan tindakan anarkis adalah masyarakat akar rumput yang lebih sering mengedepankan emosi daripada intelektual dan juga mudah dihasut.

Selama di kota besar aku mengadakan pertemanan dengan masyarakat akar rumput. Dalam pertemanan terbuka ruang dialog sebagai sehabat. Pada saat bertemu sambil minum kopi aku memasukan dan menjabarkan ajaran-ajaran Katolik, sehingga mereka dapat memahami kekatolikan itu seperti apa. Tidak jarang mereka pun melakukan nilai-nilai yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Ketika aku mendampingi anak jalanan dan kaum miskin lainnya, dalam pembicaraan aku mengajarkan tentang kekatolikan. Bagiku cukup bila mereka memahami dan mau menjalankan nilai-nilai Katolik seperti kasih, pengampunan, solidaritas dan sebagainya, meski mereka tidak dibaptis. Demikian pula ketika mendampingi kurban lumpur Lapindo, aku berteman dengan beberapa kyai yang mengasuh pondok pesantren. Ketika berbicara soal masalah lumpur pun aku tidak jarang memasukan ajaran Katolik dengan menyebut Yesus dan Injil. Dari situ aku tahu bahwa mereka kurang memahami Yesus dan kekatolikan. Bila kyai yang mempunyai ratusan santri kurang memahami Yesus bagaimana dengan para santrinya?

Selama di kota besar aku pun beberapa kali membangun persahabatan melalui budaya dengan orang bukan Katolik. Membuat karya bagi orang bukan Katolik. Mereka kupersilahkan masuk dalam areal gereja yang semula dianggap tidak pantas mereka masuki. Oleh karena mereka bersahabat maka mereka mau masuk dan melakukan aktifitas di areal gereja. Bagiku bermisi bila dipahami untuk mewartakan Kristus peluang yang terbesar ada di daerah yang belum mengenal Kristus yaitu di Jawa, entah di kota besarnya atau di daerah.

Oleh karena kesalahan konsep misi yang dipahami sebagai pergi ke daerah terpencil, maka imam yang ada di kota besar merasa bahwa dia tidak perlu bermisi lagi. Dia sibuk dengan acara liturgi dan mengurus umat atau acara lain yang disukainya, sehingga tidak mau meluangkan waktu untuk membangun persahabatan dengan orang bukan Katolik untuk mewartakan kekatolikan. Temanku pun salah dalam konsep misi.

Kamis, 10 November 2011

AKU ANAK KOPRAL ANUMERTA (mengenang para prajurit yang gugur di Timor Timur dalam operasi Seroja1975-1978)


Saya adalah anak seorang kopral anumerta. Ya! Benar! Bapak adalah seorang anggota ABRI yang berpangkat kopral. Dia sudah tewas tertembak dalam suatu pertempuran maka dibelakangnya diberi tambahan anumerta.

Bapak bagi saya adalah sosok pribadi yang menyenangkan. Disetiap kesempatan luang, dia mengajak ibu, dua adik dan saya jalan jalan. Kami hanya jalan jalan menikmati keindahan kota. Sebelum jalan jalan bapak atau ibu senantiasa berpesan agar kami tidak meminta apa-apa. Kalau bapak atau ibu punya uang, maka kami akan dibelikan sesuatu, entah mainan yang dijual di emper toko atau kue kue di pedagang kaki lima. Kata ibu gaji bapak sangat kecil, sehingga tidak mungkin beli mainan di toko atau makan di restoran. Bapak hanyalah seorang prajurit. Tapi meski hidup susah, saya bangga pada bapak. Apalagi kalau melihat bapak dengan seragam lengkap. Dia tampak gagah dan tampan.

Kedekatan saya dengan bapak tidaklah lama. Saya masih kelas tiga SD ketika bapak mendapat tugas ke Timor Timur. Saya sendiri tidak tahu dimana tempat itu. Ibu hanya bilang bahwa Timor Timur itu jauh di timur negara Indonesia. Malam sebelum berangkat bapak mengambil peta Indonesia dan menunjukan dimana tempat yang namanya Timor Timur. Suatu daerah kecil yang diberi warna lain, sebab tidak termasuk negara Indonesia. Bapak menjelaskan bahwa dia bersama teman temanya harus naik kapal laut selama beberapa hari baru bisa mencapai tempat tersebut.

Kata ibu bapak kesana akan berjuang. Ini sudah menjadi tugas seorang prajurit yaitu siap diperintah kemana saja dan berjuang melawan musuh. Saya sendiri tidak tahu apa yang diperjuangkan bapak disana. Saya juga tidak tahu pasti siapa musuh bapak di sana. Apakah berjuang melawan penjajah seperti cerita kakek yang berjuang melawan Belanda dan Jepang. Atau berjuang melawan pemberontak seperti cerita kakek tentang pemberontakan Kahar Muzakar, RMS, DI/TII atau yang lain. Saya tidak tahu, ibu pun tidak tahu. Maklum ibu bukan orang yang berpendidikan tinggi. Kami juga kekurangan informasi, sebab tidak berlangganan surat kabar. Beberapa kali saya melihat bapak membaca surat kabar yang dibeli eceran atau hasil dari pinjam ke tetangga. Kami juga tidak mempunyai TV. Ini suatu barang yang sangat mewah. Yang kami punya hanya radio kecil dan hanya bisa menangkap siaran radio amatir. Atasan bapak juga tidak menjelaskan dengan rinci untuk apa dia harus mengirim bapak kesana. Bapak hanya mengatakan bahwa sebagai prajurit yang menjalankan sapta marga, maka dia harus siap untuk diutus kemana saja.

Bapak hanya mengatakan bahwa negara kita hendak mengintegrasi Timor Timur. Sampai bapak berangkat saya tidak tahu apa maksud integrasi. Apa yang menyebabkan kerusuhan. Siapa yang dianggap perusuh. Yang saya tahu pasti ialah bahwa bapak mendapat tugas untuk pergi ke Timor Timur bersama teman temannya. Kedua, hal itu berarti bahwa saya akan lama untuk tidak bertemu dengan bapak. Saya hanya akan memandang foto bapak yang gagah dalam seragam prajurit.

Sebulan bapak tidak terdengar kabar beritanya. Bagi ibu ini hal biasa. Ibu sudah tahu konsekwensi sebagai istri prajurit. Dia akan sering ditinggal pergi oleh suaminya. Tapi saya tidak senang bapak pergi terlalu lama. Saya kangen dengan bapak. Saya kangen belaian tangannya yang kasar. Saya kangen digendong belakang. Saya kangen diajak jalan jalan. Saya kangen untuk menunjukan pada teman teman bahwa bapak saya adalah seorang ABRI yang sangat gagah dalam pakaian seragamnya. Saya yakin ibu juga kangen, tapi tidak ditunjukan pada kami. Saya juga yakin bahwa adik adik kangen pada bapak, tapi mereka tidak bisa mengungkapkan, sebab mereka masih umur 3 th dan 4 bulan. Saya yang sudah besar, sudah klas 3 SD, dapat merasakan rasa kangen itu dan mengungkapkannya.

Hampir menginjak bulan keenam bapak belum juga pulang. Beberapa kali saya tanya ibu, kapan bapak kembali. Ibu selalu mengatakan tidak tahu atau kalau keadaan sudah aman. Kata ibu situasi di Timor Timur sangat berat dan gawat. Beberapa teman bapak tewas di sana. Ada yang pulang tapi mengalami gangguan jiwa. Dia sering teriak teriak pada malam hari dan sangat ketakutan dalam gelap. Padahal dulu dia pemberani. Kalau tidak pasti dia tidak akan jadi prajurit. Tapi kini dia menjadi penakut dan sikapnya aneh. Pernah dia menangkap cicak di rumah kami, langsung dimakan. Tentu saja saya jadi jijik. Kata ibu teman bapak itu mengira bahwa dia masih berada di Timor Timur. Ada juga teman bapak yang pulang dengan menyandang cacat tubuh. Ada yang kakinya hilang satu ada yang tangannya hilang. Melihat teman bapak itu, saya jadi takut. Jangan jangan bapak pulang nanti menjadi seperti itu. Tapi bapak belum pulang, maka saya hanya bisa berdoa semoga bapak bisa cepat pulang dan tidak berubah. Masih seperti bapak yang dulu.

24 September 2976 seorang tentara datang ke rumah kami. Saya tidak tahu apa yang dia ceritakan. Yang saya tahu tiba tiba ibu menjerit dan menangis histeris, sampai beberapa tetangga berusaha menenangkannya. Melihat ibu menangis semua adik juga ikut menangis. Tapi saya tidak, sebab tidak tahu mengapa ibu menangis. Banyak tetangga yang berkumpul di rumah kami sampai tentara itu pergi. Saya melihat ibu beberapa kali pingsan. Jika sadar dia berteriak teriak memanggil nama bapak. Saya mengira ibu bertengkar dengan tetantara itu dan memanggil bapak untuk membelanya. Akhirnya saya bertanya pada ibu apa yang terjadi. Dengan sedih tetangga sebelah menceritakan bahwa bapak tewas dalam pertempuran di Baucau. Ya bapak saya tewas dalam berjuang, meski saya sendiri tidak tahu apa yang diperjuangkan. Bapak juga tidak menjelaskan apa yang diperjuangkan.

Bapak tewas. Saya tidak berani mengatakan bapak gugur. Kata itu hanya untuk para pahlawan dan para tentara yang mempunyai pangkat. Bapak bukan pahlawan. Dia juga bukan perwira. Dia hanya seorang prajurit yang mati ditembak. Saya kehilangan bapak. Padahal saya masih membutuhkan bapak. Apalagi adik adik. Tentu si bungsu tidak akan pernah tahu siapa bapaknya. Dia hanya akan tahu dari sebuah foto di ruang tamu. Saya sedih sekali. Bapak telah ditembak. Saya tidak tahu siapa yang menembak bapak. Saya tidak tahu apakah yang menembak bapak bisa disebut musuh atau bapaklah yang dianggap sebagai musuh. Saya tidak tahu siapa yang benar, siapa yang dibela, siapa yang diperjuangkan. Yang saya tahu dengan pasti ialah bahwa bapak diperintahkan untuk pergi ke Timor Timur dan mati ditembak orang di sana.

Beberapa minggu kemudian peti mati bapak datang. Ibu histeris di depan peti mati. Tapi bapak tetap mati. Sebetulnya saya ingin sekali melihat wajah bapak yang gagah untuk terakhir kalinya. Tapi ada larangan untuk membuka peti mati. Saya tidak kuasa dengan perintah itu. Ibu pun tidak kuasa menolak perintah atasan bapak. Ibu harus percaya bahwa yang ada dalam peti mati itu adalah jenasah bapak. Betapa sedihnya hati saya. Untuk melihat wajah bapak yang terakhir saja tidak bisa. Dengan berderai air mata, saya mengatar bapak ke pemakaman. Dalam pemakaman ada beberapa sambutan yang saya sendiri tidak tahu apa yang dikatakan oleh atasan bapak. Hanya yang saya tahu dia menyerahkan sebuah amplop berisi uang dan sebuah tanda penghargaan. Ganti nyawa bapak adalah uang yang ada dalam amplop dan selembar kertas yang katanya berisi tanda penghargaan atas keberanian bapak dalam membela negara. Saya nangis saat itu. Saya tidak mau nyawa bapak diganti oleh lembaran itu. Saya lebih memilih bapak tidak mendapat tanda jasa dan kenaikan pangkat, dari pada harus kehilangan bapak yang saya cintai.

Ternyata bapak bukanlah satu satunya dan yang terakhir. Masih banyak teman teman bapak yang tewas atau pulang dengan cacat. Mereka pada umumnya adalah prajurit dengan pankat rendah. Saya belum mendengar seorang jendral yang tewas atau pulang dengan cacat tubuh. Tapi hal ini semakin membanggakan saya bahwa bapak jauh lebih berani berjuang dari pada para jendral, sebab buktinya bapak berani tewas ditembak, sedangkan para jendral pulang dengan selamat. Tapi merekalah yang terkenal, sedangkan bapak tetap sebagai kopral anumerta, yang tidak pernah disebutkan dalam sejarah. Bapak hanyalah seorang prajurit yang harus taat pada perintah atasan bahkan siap mati demi membela bangsa dan negara.

Sampai kini kesedihan terus berlanjut. Kehilangan bapak dan kemiskinan akibat pensiun bapak yang kecil tidak mampu memenuhi semua kebutuhan hidup. Ibu dan saya harus berjuang untuk bisa bertahan hidup. Tapi saat ini saya sedih sekali. Timor Timur yang dulu diperjuangkan bapak dan teman-temannya sampai memberikan nyawanya kini merdeka. Menjadi negara baru yang bernama Timor Leste. Lebih sedih lagi adalah hujatan dari banyak orang pada bapak dan teman-temannya yang terlibat dalam operasi Seroja. Mereka dicaci maki sebagai pelanggar HAM. Mereka dianggap sebagai biang kerusuhan. Bapak menjadi tentara bukan untuk menindas, tapi punya tujuan mulia yaitu mempertahankan negara dan bangsa dari serangan musuh, seperti kakek dulu mempertahankan negara dari serangan Belanda. Saya yakin kalau boleh memilih bapak pasti menolak untuk pergi ke Timor Timur. Dia berangkat kesana karena taat pada perintah atasan. Disana dia pasti pernah menembak dan dia mati terkena tembakan. Oleh siapa? Musuh bangsa? Pejuang bangsa?

Bapak dan teman-teman dituduh telah melakukan kekerasan di Timor Timur. Bapak bukan orang yang suka kekerasan. Dia pasti menembak supaya tidak mati ditembak. Tapi toh akhirnya dia ditembak. Pengurbanan nyawa bapak tidak ada gunanya, bahkan saya saat ini malu jika ingin mengatakan bahwa bapak adalah salah satu personil ABRI dalam operasi Seroja untuk pengintegrasian Timor Timur pada tahun 1975. Seolah apa yang dilakukan bapak adalah kesalahan besar, padahal bapak hanya seorang prajurit yang harus taat pada pimpinan.

Di depan kuburan bapak saya hanya bisa mengeluh pada sebuah batu nisan. Saya ingin protes mengapa bapak dulu memilih sebagai tentara, mengapa bukan sebagai pekerja pabrik, kantor, bahkan tukang becak atau pemulung sekalipun. Mengapa bapak memilih menjadi tentara? Mengapa bapak mau dikirim ke Timor Timur? Apakah itu dosa bapak, sehingga banyak orang sekarang sinis pada saya? Pernah ibu meneguhkan saya, ketika saya digelisahkan oleh persoalan ini. Ibu mengutip dari Injil Yohanes, "Barang siapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah dia yang melemparkan batu yang pertama pada perempuan itu." Saya hanya berdoa semoga bapak hanyalah sebagai perempuan yang tertangkap berbuat zinah. Bapak dan teman teman harus diadili sedangkan yang berkepentingan tidak diadili. Dan yang mengadili bapak adalah masa yang sebenarnya juga penuh dengan dosa, sering berbuat kekerasan, tidak adil, penindas. Ini meneguhkan saya agar saya tidak melihat nyawa bapak sebagai sebuah kesia siaan.

Tapi bagaimanapun juga salib masih harus kami pikul. Kemiskinan, status kami sebagai anak piatu, kerinduan kami pada bapak yang tidak mungkin dipenuhi dan terlebih nama jelek bapak karena dia adalah tentara yang tergabung dalam operasi Seroja. Ya, saya hanyalah anak seorang kopral anumerta. Seorang kopral yang katanya membela nusa dan bangsa sehingga harus menyerahkannya nyawanya.

Rabu, 09 November 2011

PERJALANAN

Suatu hari Saul disuruh oleh ayahnya untuk mencari keledai-keledai mereka yang hilang. Ditemani seorang bujang, maka pergilah Saul mencari keledai-keledai itu. Namun mereka tidak mampu menemukannya. Dalam keputusaasaan Saul memutuskan untuk kembali, tapi bujangnya mengajak untuk menemui penglihat. Mereka berangkat kesana dan itulah awal perubahan hidup Saul. Dia bertemu dengan Samuel yang kelak akan menahbiskannya sebagai raja Yahudi (1Sam 9:3-..).

Perjalanan hidup seseorang tidak bisa diduga sebelumnya. Sebuah kejadian yang tidak terduga bisa mengubah jalan hidup seseorang. Menurut buku The Celentin's Phropecy, bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang kebetulan. Semua sudah masuk dalam suatu kerangka besar hidup. Saul tidak pernah menduga sebelumnya bahwa perutusan ayahnya untuk mencari keledai dan kegagalan usaha dalam pencarian itu ternyata suatu berkah yang mampu mengubah hidupnya bahkan lebih besar lagi perubahan sejarah bangsa Israel. Saul tidak pernah menduga bahwa dia akan menjadi raja, sebab dia hanyalah seorang pemuda yang berasal dari suku Benyamin, suku yang terkecil. Saul bahkan berasal dari kaum yang paling hina dari suku Benyamin (1Sam 9:21).

Dalam Perjanjian Baru kisah perubahan hidup yang senada ada dalam diri Paulus. Dia tidak pernah mengira bahwa dia akan menjadi seorang pewarta agama Kristen. Dia yang semula pergi ke Damsyik dengan penuh kebencian untuk menghancurkan umat Kristen, ternyata dalam perjalanan dia berubah total. Perjalanan ke Damsyik tidak hanya mengubah cara pandang Saulus terhadap kekristenan, namun lebih dari itu dia mengubah sejarah Kekristenan. Banyak orang mengakui bahwa Paulus merupakan tokoh kunci perkembangan agama Kristen. Jika tidak ada Paulus, mungkin agama Kristen masih merupakan agama kecil di Yahudi.

Sidharta Budha Gautama semula hanyalah seorang pangeran di sebuah kerajaan kecil. Suatu hari dia memutuskan untuk keluar dari istana dan mengadakan suatu perjalanan yang mampu mengubah hidupnya. Pertemuannya dengan orang miskin dan orang mati mampu mengubah pandangan hidupnya, bahkan keseluruhan pribadinya. Perjalanannya itu merupakan satu titik tolak atau titik balik yang mengubahnya.

Perjalanan dapat menjadi suatu perubahan dalam diri manusia. Suatu peristiwa entah suka atau duka, yang ditemukan dalam perjalanan dapat menjadi cahaya dalam hidup dan mengubah pola pikir manusia. Perubahan bisa frontal seperti Paulus atau Sidharta maupun seperti Saul. Perjalanan Saul mengubahnya dari seorang gembala menjadi seorang pemimpin Israel. Saulus yang semula orang musuh agama Kristen berubah menjadi tokoh kekristenan. Sidharta yang semula pangeran yang sangat terjamin hidupnya, berubah total menjadi pertapa yang hidup dalam kemiskinan. Perubahan bukan hanya soal yang menyangkut hal-hal lahiriah, melainkan keseluruhan cara hidup, pandangan, visi dan seluruh kepribadiannya.

Contoh di atas menunjukan bahwa perubahan hidup dimulai dengan sebuah perjalanan. Perubahan hidupku juga dimulai oleh suatu perjalanan. Semula keluargaku tinggal di Bogor yang merupakan daerah muslim yang taat. Suatu saat orang tuaku mendapat tugas di Surabaya, maka mulailah aku memasuki kota Surabaya. Disinilah aku berubah menjadi seorang Katolik dan lebih lanjut menjadi imam. Jika direnungkan, pilihan hidupku ini tidak masuk akal. Aneh. Aku yang dibesarkan dalam agama Islam yang bercampur kejawen memutuskan untuk menjadi Katolik. Aku yang tidak pernah memiliki cita-cita menjadi imam kemudian memutuskan menjadi imam. Kekatolikanku yang hanya terbatas pada misa di hari Natal saja, ternyata berani memutuskan diri untuk menjadi imam.

Aktifitasku terlibat dalam pertemanan dengan anak-anak jalanan dan kaum miskin lainnya juga dimulai dari suatu perjalanan. Aku bersama seorang teman berjalan ke terminal Joyoboyo untuk mencari seseorang. Di terminal aku mulai ngobrol dengan beberapa orang miskin dan perhatianku tertuju pada anak-anak miskin. Mulailah aku sedikit demi sedikit melakukan pertemanan dengan mereka hingga mengumpulkan mereka dan memiliki rumah singgah.

Memang keputusanku untuk menjadi Katolik dan menjadi imam dan terlibat dalam pertemanan dengan kaum miskin, tidak mutlak akibat perpindahan atau kepergianku itu. Saul bisa menjadi raja Israel dan Paulus bisa menjadi rasul juga bukan disebabkan hanya kepergian saja. Banyak hal-hal yang mengubah hidup dalam perjalanan itu. Seandainya Saul menemukan keledainya secepat mungkin, dia pasti akan kembali ke rumah orang tuanya dan mungkin dia akan tetap sebagai warga biasa. Demikian pula dengan Paulus, jika dia tidak mendapatkan penampakan di jalan, kemungkinan dia masih dikenang sebagai salah satu tokoh pembunuh umat Kristen. Maka perjalanan tidak bisa dijadikan tolok ukur suatu perubahan manusia. Pertemuan dengan orang lain dan aneka peristiwa yang direfleksi inilah yang menentukan sebuah perubahan. Seandainya Saul tidak bertemu dengan Samuel, mungkin dia hanya tetap akan menjadi penggembala. Seandainya Saulus tidak bertemu dengan Yesus mungkin dia akan melanjutkan perjuangannya membunuh orang Kristen. Pertemuan tidak langsung mengubah, melainkan perlu waktu untuk merenung. Saulus membutuhkan beberapa tahun untuk merenung sebelum keluar sebagai pewarta. Aneka peritiswa akan berlalu begitu saja jika tanpa sebuah permenungan yang sungguh-sungguh. Dalam buku Sang Alkemis karangan Paulo Coelho, dikatakan bahwa semua peristiwa itu biasa saja. Peristiwa akan menjadi baru dan mengubah jika direfleksikan.

Yesus mengajak orang untuk mengikuti Dia melakukan suatu perjalanan dari Galilea menuju ke Yerusalem. Untuk mengikuti Yesus hanya ada satu syarat yaitu keberanian untuk meninggalkan segala sesuatu, menyangkal diri sendiri dan memikul salib. Suatu syarat yang tidak mudah. Hal ini memang sengaja dilakukan Yesus sebab perjalanan yang dilakukanNya bukan suatu wisata melainkan pewartaan Kerajaan Allah. Perjalanan pertobatan dan pengampunan. Perjalanan belas kasih dan keberpihakan pada kaum miskin dan tertindas. Perjalanan menuju bukit Golgota. Maka sebagai langkah awal untuk menguji keberanian para murid adalah membunuh keegoisan dan keindividualisan untuk mampu dibunuh demi orang-orang yang dilayani.

Kekatolikan adalah suatu perjalanan. Kita telah memutuskan untuk bersama Yesus berjalan menuju bukit Golgota. Suatu perjalanan yang penuh tantangan dan penderitaan. Perjalanan yang telah dimulai dengan pembunuhan diri sendiri dan kesiapan untuk memikul salib. Perjalanan ini sering sangat membosankan, memasuki kegelapan, kesepian, pergulatan dengan diri sendiri, membuat putusa asa dan sebagainya. Beranikah kita terus untuk melakukan perjalanan bersama Yesus? Kita tidak perlu membayangkan untuk menjadi seperti Saul ataupun Saulus, melainkan cukuplah menjadi diri kita, namun ada perubahan pandangan hidup, visi dan sikap hidup yang merupakan hasil sebuah refleksi.

Selasa, 08 November 2011

YIN YANG


Buku I-Ching menuliskan dua prinsip yang menjadi sumber segala eksistensi dan transformasi di alam semesta yaitu Yin-Yang. Yin artinya yang tertutup, yang pasif, mewakili bumi, malam, kegelapan, bulan, betina, air dan sebagainya. Sedangkan Yang yang terbuka, aktif, terang, dan mewakili matahari, langit, jantan, api, aksi, kuat, gembira dan sebagainya. Yin-Yang membentuk sebuah lingkaran yang berarti sempurna dan dibatasi oleh garis lengkung, bukan garis lurus tegas, sebab hendak menggambarkan bahwa keduanya saling mendukung. Menyatu. Bahkan keduanya saling memuat. Dalam Yin ada Yang demikian pula sebaliknya. Hal ini disebabkan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Tidak ada ketotalan. Dalam kebaikan ada kejahatan demikian pula sebaliknya.

Pemahan diatas adalah pemahaman orang yang berusaha masuk dalam dunia filsafat Cina. Bagiku yang awam filsafat, aku hanya berusaha menarik hal sederhana saja. Hal yang bisa dikaitkan dengan hidup kongkrit. Pemahaman Yin-Yang menunjukan bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Kebaikan apapun masih ada hitamnya, sebaliknya kejahatan apapun masih ada kebaikannya. Bahkan perpaduan antara putih dan gelap membentuk sebuah lingkaran yang sempurna. Apakah penulis buku I Ching hendak mengatakan bahwa kesempurnaan dunia itu tersusun dari sisi gelap dan putih? Jika demikian maka manusia pun tersusun dari gelap dan putih.

Awal bulan ini TV di rumah singgah dicuri oleh anak yang dipercaya untuk menjaga barang-barang milik bersama. Minggu lalu ada dua anak lagi yang wajahnya masuk dalam koran Memorandum akibat membacok seorang bapak penjual rokok di tepi jalan. Usia bapak ini sudah sekitar 60 th. Kini 3 anak masuk tahanan polsek dan satu anak menjadi buron. Seorang bertanya mengapa aku masih bertahan mendampingi anak-anak yang penuh kejahatan seperti itu? Dia mengusulkan agar aku menutup rumah singgah, sebab mereka semua dalam kuasa kegelapan. Tapi begitu ada niat menutup, maka muncul wajah-wajah yang masih membutuhkan. Wajah yang ketakutan akan tidur di jalanan lagi.

Aku yakin dalam diri anak jalanan yang dianggap jahat masih ada titik-titik baiknya juga. Mereka pasti mempunyai benih kebaikan, hanya tertimbun oleh kejahatan yang diakibatkan situasi dan sejarah buruk hidup mereka. Bagaikan Yin yang memuat Yang. Aku teringat suatu hari ada anak yang bertengkar sampai salah satu sudah hendak mengeluarkan pisau untuk membacok temannya. Setelah kami pisah, salah satu dari mereka pergi. Tidak beberapa lama kemudian dia datang lagi dengan membawa nasi bungkus. Ternyata teman yang hampir dibacok itupun diberi nasi bungkus. Ketika kutanya kok memberi nasi pada anak itu? Dia menjawab bahwa dia kasihan melihat anak itu kelaparan. Dari sini aku terheran-heran, baru saja dia hampir membacoknya akibat kejengkelan hati dan sekarang dia sudah melupakan kejengkelan hatinya dan memberikan sebagian miliknya untuk anak yang telah membuatnya marah. Bukankah ini sebuah aplikasi ajaran Yesus soal pengampunan? Kadang aku sendiri pun tidak mampu begitu mudah melupakan kesalahan orang, ternyata teman ini dapat melakukannya. Bukankah ini sebuah benih kebaikan?

Dalam komunitas anak jalanan ternyata tidak semua anak jalanan mempunyai gambaran mengerikan seperti yang sering dikatakan oleh orang. Tidak semua anak jalanan suka mabuk, mencuri, berkelahi dan sebagainya. Ada anak-anak yang menjadi anak jalanan sebab terpaksa. Mereka tidak mempunyai pilihan hidup yang lain. Memang orang akan mengatakan bahwa itu tidak mungkin. Tapi jika sudah berdekatan dengan mereka dan mendengar kisah hidup mereka sampai menjadi anak jalanan, baru orang akan memahaminya. Ada anak-anak jalanan yang baik, namun karena cerita soal mereka sudah hitam, sehingga semua anak jalanan dianggap hitam. Pengadilan semacam ini yang membuat anak jalanan tidak bisa keluar dari situasi hidupnya saat ini, sebab banyak orang sudah menutup jalan keluar.

Menurut Yin Yang setiap kebaikan pasti masih ada keburukannya. Sebab dalam Yang mengandung Yin. Sekarang tergantung kita mau melihat kemana. Persoalanya banyak orang mudah tertarik melihat warna hitam daripada wahana yang lebih luas. Dalam Yang yang putih itu, banyak orang yang tertarik dengan bulatan Yin di tempat yang paling terang. Tapi sebaliknya banyak orang mengalami kesulitan untuk melihat bulatan Yang yang ada dalam gambaran Yin. Kegelapan atau warna hitam mungkin lebih menarik indra seseorang, sehingga orang lebih mudah melihat hitam di atas putih daripada putih diatas hitam.

Melihat Yin-Yang kita bisa belajar dalam menghadapi dunia. Dalam kejahatan anak jalanan pasti ada kebaikannya. Di dalam kebaikan teman kita pasti ada titik celah yang bisa dikritik. Orang yang berpikir positif akan berusaha mencari kebaikan dalam kejahatan. Atau memaklumi noda hitam yang ada dalam kebaikan, sehingga dia mampu bersyukur atas kebaikan yang ada. Pandangan ini akan memberinya harapan untuk tetap berjuang. Tidak mudah putus asa dan menyerah.

Memaklumi kejahatan anak jalanan bukan berarti aku menyetujui aneka kejahatan yang dilakukan oleh mereka. Aku harus berani menegur dan mengajak mereka berproses untuk menyadari diri dan hidup mereka agar siap keluar dari lingkaran kejahatan. Pemakluman adalah keberanianku untuk tidak memusatkan perhatian pada hal negatif melainkan berusaha mencari titik-titik positif meski sekecil apapun. Dari satu titik itulah aku berusaha menunjukan pada mereka bahwa masih ada sisi diri mereka yang positif dan bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya. Dengan demikian bagiku Yin Yang adalah sebuah bentuk cara pandang untuk senantiasa percaya bahwa di dalam kehidapan anak jalanan yang kelam masih ada sisi baiknya. Bahwa mereka masih mempunyai harapan untuk berubah. Harapan bahwa masih ada hari esok yang lebih baik. Hal ini memberiku semangat untuk terus berteman dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka.

Yesus adalah orang yang berpikir sangat positif. Dia tetap melihat kebaikan dalam diri para murid meski sering kali mereka menunjukan noda-noda hitam. Dia sudah mengetahui Petrus akan berkhianat dan itu sungguh terjadi, namun Dia tetap memberikan kepercayaan. Dia tetap melihat sisi positif dalam diri Petrus. Namun bukan berarti Dia mendiamkan kejahatan. Dia dengan tegas menegur para murid, bahkan Dia juga tidak segan-segan mengkritik para ahli Taurat dan kaum Farisi di depan publik, sebab mereka memiliki sisi gelap dalam hidupnya. Ini bukan bentuk ungkapan kebencian melainkan gebrakanNya terhadap para tokoh masyarakat yang tidak bisa dijadikan teladan agar mereka menyadari akan kekeliruan hidupnya.

Tapi sebaliknya ada orang yang berpikiran negatif, dia akan selalu melihat bagian hitam dalam hidup. Akibatnya dia tidak akan puas dengan banyak hal. Memprotes apa saja yang terjadi. Bahkan mungkin dia tidak puas dengan apa yang ada dalam dirinya. Banyak orang yang menyesali mengapa dia dilahirkan. Mengapa dia tidak mempunyai talenta seperti yang lain dan sebagainya. Orang ini tidak akan mampu bersyukur. Kalau toh dia berdoa, isi doanya hanya akan berisi keluhan dan protes tidak puas pada Tuhan. Hidupnya tidak akan tenang sebab senantiasa melihat hal-hal negatif dalam diri, sesama dan lingkungan.

Aku punya seorang teman yang jika bertemu selalu mengeluh. Ada saja hal yang dijadikan sebagai bahan untuk dikeluhkan. Aku kadang jengkel juga dengannya, sebab bagiku hal yang tidak perlu dipersoalkan, baginya sudah menjadi sebuah persoalan. Akibat memusatkan diri pada pandangan negatif, maka dia tidak bisa menikmati hidup. Dia tidak puas dengan apa yang dimiliki, apa yang terjadi dan apa yang dihadapi. Dia sulit untuk bersyukur dan bergembira. Jika dikritik dia marah, sebaliknya jika dipuji juga tidak senang sebab dia curiga bahwa orang memuji pasti ada maksudnya. Hidupnya penuh dengan kecurigaan dan keluhan. Bagaimana dia bisa bersyukur pada Tuhan jika selalu mengkritik Tuhan yang menganugerahkan hujan dan panas?

Dalam diri anak jalanan memang memuat unsur Yin yang sangat besar. Namun semua itu bukan akhir, sebab mereka juga mempunyai unsur Yang, maka yang terpenting adalah bagaimana kita mulai mencari unsur Yang dalam diri anak jalanan dan memperluasnya. Keberanian untuk melihat unsur Yang akan sangat besar artinya bagi usaha membangun pertemanan dengan anak jalanan. Hal ini pun akan membantu kita untuk berproses melihat unsur Yang dalam aneka peristiwa hidup dan diri kita sendiri. Aku yakin jika kita mampu melihat unsur Yang dalam bagian Yin maka hidup akan menjadi semakin hidup.

Minggu, 06 November 2011

LAMPU YANG RUSAK

Kami duduk melingkar mendengarkan seorang romo yang sedang memberikan renungan. Namun hampir semua dari kami yang berada disitu tidak bisa mendengarkan dengan baik. Hati kami digelisahkan oleh lampu neon. Ada satu lampu neon di tengah ruangan yang berkedi-kedip dan menimbulkan suara mendengung yang cukup keras. Penjaga rumah sudah kami beri tahu tapi dia tidak mempunyai cadangan lampu, maka kami terpaksa mengikuti pertemuan diterangi lampu yang rusak. Aku sama seperti yang lain menjadi merasa tidak nyaman. Sambil berbisik-bisik pada teman disebelah aku mulai mengkritik tempat ini.

Tampaknya romo pembimbing menyadari akan situasi yang tidak mengenakan ini. Maka dia mengatakan agar kami jangan memperhatikan lampu melainkan mulai berusaha menyimak apa yang diuraikannya. Dia mengatakan semakin kami memperhatikan lampu maka kami akan semakin jengkel. Jik kami semakin jengkel maka kami semakin tidak bisa memahami apa yang dikatakan olehnya. Perkataan romo mendorongku untuk berusaha konsentrasi pada materi yang sedang dibahas. Aku berusaha melupakan lampu dan memperhatikan setiap kata yang diucapkan oleh romo pembimbing. Tidak terasa waktu konfrensi sudah selesai.

Di tengah dinginnya udara Pacet aku berusaha merenungkan apa yang baru aku alami tadi. Dalam hidup tidak ada yang sempurna. Hal yang sudah direncanakan matang pun kadang kala masih menimbulkan sesuatu yang tidak sesuai dengan rencana. Beberapa kali aku mengalami kegagalan. Padahal aku sudah mempersiapkan dengan serius. Kegagalan ini membuatku merasa gagal dalam aneka hal. Aku selama beberapa hari bisa tenggelam dalam rasa kecewa, gelisah, ingin berontak dan sebagainya. Jika sudah demikian maka aku enggan melakukan segala sesuatu, sebab seluruh diriku terpusat dalam rasa gagal itu.

Dalam komunitas pun ada saja orang yang kuanggap kurang sesuai dengan yang kuharapkan. Aku ingin menyingkirkannya. Namun aku tidak mampu, sebab dia pun berhak tinggal dalam komunitas. Aku pun tidak bisa melarikan diri dari realita komunitas seperti ini. Aku dipaksa menerima teman-teman sekomunitas apa adanya.

Dalam hal ini hanya dibutuhkan kesiapan untuk menerima apa adanya. Ini butuh kebesaran hati, sebab tidak mudah menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang aku kehendaki. Sering kali aku memimpikan semuanya orang bisa hidup sesuai dengan apa yang kukehendaki. Namun ini mustahil. Setiap orang mempunya gaya hidup sendiri-sendiri. Mereka mempunyai penampilan yang berbeda. Mereka mempunyai karakter dan kepribadian yang unik, sehingga tidak sama dengan kepribadian dan karakterku. Bahkan mungkin bertentangan.

Sebetulnya jika aku tidak suka dengan orang, belum tentu aku tidak suka keseluruhan dirinya. Aku bisa tidak suka akan kepribadiannya atau sikapnya atau gaya hidupnya atau yang lain. Hanya sebagian dari dirinya saja yang tidak kusukai, tapi akibatnya aku tidak menyukai dirinya secara keseluruhan. Sama seperti kejadian tadi. Gara-gara hanya sebuah lampu aku menjadi jengkel. Padahal masih ada 3 lampu lain yang menyala dengan bagus. Aku menjadi tidak suka pada semua pegawai dan pengurus rumah retret ini yang kuanggap tidak tanggap. Aku mengkritik pegawai yang malas, managemen yang tidak profesional sampai pemilik rumah yang pelit dan sebagainya. Dari persoalan lampu yang kecil menjadi melebar kemana-mana. Seolah-olah dalam rumah ini tidak ada yang baik.

Untung romo pembimbing memberikan pencerahan, bahwa jangan memusatkan diri pada sesuatu yang menjengkelkan, melainkan alihkan pandangan ke hal lain. Memang memusatkan diri pada hal negatif jauh lebih mudah. Pernah aku juga menguji sekelompok anak muda. Aku mengambil selembar kertas putih dan memberikan titik hitam. Ketika kutanya apa yang mereka lihat, hampir semua mengatakan sebuah titik hitam dalam sebidang kertas putih. Mengapa jawaban tidak dibalik yaitu sebidang kertas putih yang mempunyai titik hitam? Sebab memang titik hitam itu menarik perhatian. Semua orang memusatkan pada titik itu. Hal hitam dan negatif sangat mudah dilihat dan diingat oleh orang.

Demikian pula dalam hidup. Titik hitam seseorang sering kali diingat dan menjadi pusat perhatian. Akibatnya semua lembaran hidup putih lain yang dimilikinya seolah tidak pernah ada, kalau toh ada dianggap sebagai sebuah hal yang biasa atau bahkan dilupakan. Seorang teman pernah tertangkap mencuri barang. Dia harus menjalani hidup selama beberapa bulan didalam penjara. Ketika keluar dari penjara sedikit sekali orang yang berani memberikan kepercayaan padanya. Semua orang melihatnya sebagai bekas pencuri. Padahal sebelum mencuri banyak orang percaya padanya. Dia mencuri pun akibat terdesak tuntutan keluarga sebab orang tuanya sakit dan membutuhkan banyak biaya. Barang yang dicuri pun bukanlah barang mahal, hanya beberapa peralatan dapur dan makan. Dia menjualnya hanya laku Rp 150.000. tapi akibat semua itu dia sudah dianggap sebagai orang yang penuh dengan dosa. Seluruh hidupnya hitam kelam.

Kupandang langit yang hitam. Seandainya tidak hitam pasti bintang tidak akan tampak indah seperti malam ini. Gelap pun dibutuhkan dalam dunia. Gelap pun bisa menambah keindahan alam. Mengapa aku selalu ingin semuanya putih dan terang? Hidupku pun tersusun dari hitam dan putih. Gelap dan terang. Keberhasilan dan kegagalan. Sikap buruk dan baikku. Semua membentukku menjadi diriku saat ini. Aku tidak akan berkembang bila hanya memusatkan diri pada hal buruk atau kegagalan dalam hidupku. Aku tidak bisa bersyukur pada Allah bila hanya memusatkan pandangan pada hal negatif dan menjengkelkan yang melekat pada diriku.

Syukur romo tadi menyadarkan aku akan hal itu. Keberanian untuk tidak lari dari kekurangan yang ada namun tidak memusatkan diri padanya. Tidak berusaha berontak akan kekurangan yang ada, melainkan menerimanya. Sebab semakin berontak akan semakin menjengkelkan dan membuatku tidak berkembang.

Jumat, 04 November 2011

SEBOTOL MINYAK GORENG

Suatu hari ibu menyuruhku untuk membeli minyak goreng. Aku mengajak kedua adikku untuk pergi ke warung yang tidak seberapa jauh dari rumah. Dalam perjalanan pulang kami berkejaran di pematang sawah. Namun sial, aku terjatuh dan terperosok masuk ke sawah. Botol minyak yang kubawa pecah. Minyak tumpah di sawah. Sejenak kami termangu. Kami sudah membayangkan wajah ibu yang akan marah dan mengomel lama sekali. Minyak ini akan digunakan untuk menggoreng lauk untuk makan siang ini. Rasa sedih dan bersalah merasuk dalam dadaku.

Kami duduk di pematang sawah tanpa bicara. Ada perasaan takut, sedih, menyesal dalam hati. Aku hampir menangis, bukan karena hanya takut dimarahi oleh ibu, namun menyesal telah memecahkan botol minyak. Aku menyesali kecerobohanku. Tidak melakukan tugas dengan baik. Aku sedih mengingat bahwa ibu harus mengeluarkan uang lagi untuk membeli minyak, padahal aku tahu bahwa ibu tidak mempunyai banyak uang. Kami sangat miskin. Bila aku punya uang mungkin rasa sesal itu tidak sebegitu besar sebab aku akan menggantikannya. Namun aku tidak punya uang satu rupiah pun. Sesaat kami hanya duduk menatap minyak yang mulai terserap oleh tanah. Ingin aku mengulangi perjalanan dan tidak berkejaran sehingga tidak jatuh dan memecahkan botol minyak. Aku menyesal mengapa tadi bergurau dan berlarian. Namun semua sudah terjadi. Kami harus pulang apapun akibatnya.

Dengan langkah berat kami menyusuri jalan pulang. Kami tidak bicara sesuatu pun. Semakin mendekati rumah, hatiku semakin takut dan galau. Aku melihat ibu duduk di teras rumah dengan seorang tamu. Semakin dekat dengan teras, kakiku semakin berat. Ingin rasanya menangis. Di teras kulihat ibu tersenyum. Dengan lembut dia tanya mana minyak yang harus kami beli? Sejenak aku hanya bisa tertunduk takut menatap wajah ibu. Dengan suara bergetar aku katakan bahwa minyaknya tumpah di sawah. Aku sempat melirik wajah ibu. Dia tetap tersenyum. Lalu dengan lembut dia menyodorkan uang dan menyuruhku untuk membeli minyak lagi dengan peringatan agar aku tidak lari-lari lagi di sawah.

Perkataan ibu itu bagiku sebagai suatu berkat. Aku sangat bahagia sekali. Sepertinya ada beban besar yang terlepas dari diriku. Ingin rasanya aku melonjak kegirangan dan memeluk ibu saat itu juga. Aku merasakan kebahagiaan yang tidak terkirakan. Aku yang bersalah dan ketakutan akibat kesalahanku, ternyata tidak dipersoalkan oleh ibu. Meski sedih ibu memberiku uang lagi. Ibu mempercayaiku lagi tanpa kemarahan yang aku bayangkan selama perjalanan ke rumah. Tanpa komando untuk kedua kali aku langsung berlari ke warung lagi dengan penuh suka cita.

Pengalaman ini membuatku bisa merasakan betapa bahagianya si anak bungsu yang diterima lagi oleh bapanya (Luk 15:11-32). Dia tidak hanya diterima bahkan dibuat spesial dengan perhiasan dan pesta. Dia yang telah berdosa dan takut akan bapanya, ternyata ketakutannya itu tidak terjadi bahkan sebaliknya menjadi suka cita. Aku yakin meski tanpa pesta pun anak itu sudah menjadi bahagia, sebab bapanya menerima dia kembali. Dia pun sudah menetapkan sejak mau berangkat pulang bahwa dia akan menjadi pegawai bapaknya. Dia sadar akan ketidakpantasannya akibat tindakannya selama ini. Dia sadar bahwa akibat perbuatannya dia sepantasnya mendapatkan hukuman. Namun bapanya memberikan jauh lebih besar dari apa yang dia harapkan. Bapanya tidak saja mengampuni, namun memperlakukannya secara istimewa. Kebahagiaan anak bungsu ini menjadi berlipat dan tidak terkatakan.

Salah satu amanat Yesus yang harus diwartakan oleh para murid adalah berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa (Luk 24:46-53). Kamu adalah saksi akan semua itu. Yesus datang ke dunia untuk mencari dan mengampuni orang yang berdosa. Dosa-dosaku yang tidak terhitung diampuniNya. Allah selalu berusaha mengampuni manusia “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.” (Yes 1:18). Sebenarnya ada perbedaan mendasar dalam Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, Allah akan menghukum orang yang berdosa atau orang yang berani melawan Allah (bdk Yes 1:19). Sedangkan dalam Perjanjian Baru Yesus menunjukkan kasih Allah yang sangat besar. Dia akan memberikan hujan dan matahari yang sama baik untuk orang jahat maupun orang baik (Mat 5:45). Yesus pun diutus untuk mencari domba yang hilang. Dia datang ke dunia untuk memanggil orang berdosa agar mereka bertobat, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat” (Luk 5:32). Perutusan ini pula yang diberikan oleh Yesus kepada para murid setelah Dia bangkit.

Belas kasih Allah yang mengampuni dosa kita bukan berarti bahwa kita dipersilahkan untuk berbuat dosa, sebab toh Allah siap mengampuninya. Bagiku hal ini kurang tepat. Allah memang mengampuni dosaku. Dia menerimaku kembali tanpa memberikan hukuman, bahkan aku diangkatNya sebagai anak bukan budak atau hamba dan Allah menjanjikan akan kebahagiaan surgawi. Namun belas kasih ini diberikan padaku agar aku bertobat. Pengampunan diberikan agar aku tidak melakukan dosa lagi. Pada Perjanjian Lama Allah menghukum orang berdosa, ternyata hukuman tidak membuat jera. Manusia masih berbuat dosa. Maka Yesus datang dengan memberikan cara baru. Dia mengampuni orang berdosa agar mereka bertobat. Kesadaran akan pengampunan ini membuat orang merasakan suka cita. Aku merasakan suka cita sebab ibu tidak marah. Ketidakmarahan ibu membuatku melihat belas kasih yang besar. Hal ini bukan berarti aku boleh berlarian lagi sehingga menumpahkan minyak, melainkan membuatku semakin hati-hati agar tidak berbuat kesalahan yang sama.

Aku bayangkan seandainya ibu marah dan mengomel atau sampai memukul, mungkin rasa sesalku akan berubah menjadi rasa marah baik pada diri sendiri maupun pada adikku yang tadi mengajakku berlarian. Hukuman membuat orang cenderung membuat pertahanan diri. Entah dengan memberikan alasan yang tepat agar tidak disalahkan atau mulai mencari kambing hitam agar kesalahannya tidak tampak. Pengampunan dan belas kasih membuat orang sadar akan dosanya dan menyesalinya. Dia tidak akan marah dan mencari kambing hitam.

Suka cita yang tidak terperikan adalah suka cita yang ditimbulkan oleh kesadaran akan belas kasih Allah yang besar meski aku orang berdosa. Suka cita bukan karena Tuhan memberikan kelimpahan harta, namun suka cita pengampunan dosa. Aku yang pendosa senantiasa diberi kesempatan untuk bertobat. Ditunggu untuk kembali ke rumahNya kapan saja aku mau. Suka cita ini membuatku bertobat.

Rasa suka cita pengampunan bukan hanya aku simpan dan menjadi milikku pribadi, namun harus dibagikan pada sesama. Namun hal itu tidak mudah, sebab aku masih sering sulit mengampuni sesama. Aku tidak ubahnya seperti hamba yang memohon belas kasih pada Allah untuk melepaskan hutang-hutangku, namun aku tidak mau melepaskan hutang orang yang berhutang padaku (Mat 18:21-35). Aku memohon agar Allah mengampuni dosaku, namun aku tidak mau mengampuni dosa sesamaku. Aku ingin mendapatkan suka cita pengampunan, namun aku tidak mau memberikan suka cita itu pada sesama. Aku merasa Allah wajib mengampuniku, namun aku tidak wajib mengampuni sesamaku. Aku bebas menyakiti hati Allah, namun hatiku tidak boleh disakiti.

Kesadaran suka cita pengampunan seharusnya bukan hanya membuatku bertobat. Tidak melakukan dosa yang sama, melainkan juga menumbuhkan dalam diriku keberanian untuk mengampuni dosa sesamaku. “dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat 6:12). Jelas dalam doa yang diajarkan oleh Yesus, bahwa pengampunan yang aku terima dari Allah merupakan buah dari pengampunan yang aku berikan pada sesama. Bila aku sulit mengampuni sesama maka aku juga sulit diampuni oleh Allah. Hal ini juga dapat dilihat secara lain, bahwa pengampunan itu tidak mudah. Aku sudah sering sulit mengampuni sesama, maka dapat aku bayangkan sendiri betapa berat Allah mengampuniku yang senantiasa berbuat dosa. Kesadaran ini membuatku hati-hati agar aku tidak mudah berbuat dosa, meski Allah siap mengampuni.

Namun pengampunan pada sesama baru dapat kulakukan bila aku sudah pernah merasakan suka cita pengampunan dari Allah atau dari sesama. Bila aku tidak pernah merasakan diampuni, maka sulit rasanya untuk mampu mengampuni sesama. Seandainya aku tidak pernah memiliki pengalaman diampuni ibuku sebab memecahkan botol minyak, maka aku juga tidak pernah merasakan betapa bahagianya pengampunan itu. Anak-anak yang di rumah singgah hidup penuh dengan dendam. Mereka sulit untuk memberikan pengampunan. Bagi mereka hukum sudah jelas yaitu mata ganti mata, gigi ganti gigi. Mereka bersikap seperti itu sebab mereka belum pernah merasakan indahnya diampuni. Bila mereka berbuat kesalahan maka mereka dihukum baik dengan kata maupun siksaan tubuh. Pengalaman hukuman bagi orang berdosa membuat merekapun akan melakukan hukuman bagi sesamanya yang dianggap salah oleh mereka. Maka aku bayangkan seandainya semua orang pernah merasakan indahnya pengampunan mungkin dunia ini akan lebih baik. Tidak ada lagi aneka tindak kekerasan yang dapat merugikan banyak manusia. Seandainya banyak orang berbagi keindahan pengampunan maka akan semakin banyak orang akan berusaha mengampuni. Ya aku hanya bermimpi dan berandai-andai.

Kamis, 03 November 2011

CHIKO


Sore itu kami sedang duduk di ruang tamu. Diluar hujan turun dengan derasnya. Tiba-tiba adikku masuk. Tubuhnya basah kuyup. Dia menggendong Chiko sambil mengomel panjang lebar. Tidak lama kemudian sudah terdengar dengkingan Chiko dari kamar mandi. Chiko adalah seekor anjing kecil. Aku tidak tahu jenis apa. Tinggi tubuhnya tidak lebih dari 25 cm. Bulunya putih dan panjang. Sangat lucu. Chiko suka main air hujan. Maka ketika hujan turun langsung adikku mencarinya. Ketika tidak diketemukan di rumah, dia segera keluar rumah mencarinya di tengah guyuran hujan.

Tidak berapa lama kemudian adikku sudah keluar dari kamar mandi dan mulai mengeringkan tubuh Chiko dengan handuk. Dia lalu menyuruh Chiko duduk dekat kami berkumpul. Tidak sampai 5 menit Chiko sudah lari keluar dan berguling-guling di teras. Padahal lantai teras masih berupa tanah, akibatnya tubuh Chiko kotor kembali. Penuh dengan tanah. Melihat hal itu adikku langsung berteriak-teriak memarahi Chiko. Aku hanya tertawa dan menggodanya. Percuma memarahi anjing yang tidak mampu memahami bahasa manusia.

Hujan sudah reda. Aku segera pulang ke Surabaya. Dalam perjalanan pulang dari rumah ibu, aku membayangkan kembali peristiwa adikku dengan Chiko. Aku bisa memahami kejengkelannya. Dia sudah susah-susah mencari sampai basah kuyup lalu ketika menemukan dia menggendongnya. Dia memandikan dengan sampho yang dia biasa gunakan. Setelah itu dia mengeringkan dengan handuk, tapi tidak lama kemudian Chiko sudah berguling-guling di tanah yang kotor lagi. Jelas hal ini membuat jengkel saja. Maka ketika jengkel adikku mengambil rantai dan merantai Chiko. Katanya sebagai pelajaran. Apakah Chiko akan faham akan hukuman yang diberikan oleh adikku? Apakah besok kalau setelah dimandikan dia tidak akan berguling kembali di tanah? Apakah kalau hujan dia tidak akan main-main di luar lagi? Aku tidak yakin sebab Chiko bukanlah adikku. Dia hanya seekor anjing yang menuruti keinginannya saja.

Lamunanku membawa pada hubunganku dengan Tuhan. Chiko adalah gambaran diriku. Aku tidak jarang masuk dalam sebuah bahaya dosa. Aku menikmati bermain-main dalam dosa seperti Chiko menikmati main-main air hujan. Aku tidak menyadari bahaya akan tindakanku. Aku yakin Allah mengetahui dan kuatir akan keselamatan jiwaku, namun aku tidak. Aku tetap bermain dan menikmati apa yang aku anggap menyenangkan.

Dosa pada umumnya sangat menyenangkan meski akibat dari dosa seringkali menimbulkan sakit dan luka yang dalam. Bahkan tidak jarang dosa menghantui seumur hidupku. Menimbulkan penyesalan yang panjang. Namun meski aku tahu akibatnya pun aku tetap melakukan dosa. Aku tidak pernah berhenti melakukan dosa dalam aneka bentuk tindakan. Chiko lebih baik, sebab dia main air hujan tanpa tahu akibatnya. Dia hanya ingin bermain. Sedangkan aku tahu akibat dosa. Tuhan telah memberiku akal budi yang cukup sehingga membuatku bisa mempertimbangkan sebuah tindakan. Aku bisa memilih sebuah tindakan dosa atau bukan. Namun aku tetap memutuskan untuk melakukan. Ini lebih parah dari Chiko.

Seringkali aku membuat aneka alasan untuk berbuat dosa. Melakukan pembenaran diri atau memaafkan diri dengan alasan banyak orang yang melakukan atau itu hal biasa dalam hidup. Sebuah warna lain dari hidup dan aneka alasan yang lain. Namun jika jujur aku tahu bahwa aku salah dalam mengambil keputusan. Tidak ada dosa yang terjadi secara tidak sengaja. Semua sudah aku pertimbangkan dan dengan kesadaran penuh. Chiko lari ke jalanan yang hujan aku yakin tidak didasari oleh pertimbangan kesadaran yang penuh dan akal budi yang cukup. Chiko tidak mempunyai kesadaran seperti yang aku miliki.

Namun dosa-dosaku tidak menyurutkan Allah untuk menyelamatkan. Dia mengutus PutraNya untuk datang ke dunia dan menyelamatkan aku. Dia masuk dalam lingkungan yang penuh dengan dosa dan mencariku. Ketika ditemukan aku digendongnya, seperti adikku menggendong Chiko. Namun bedanya Yesus tidak semarah adikku. Dia tidak pernah mengomel ketika menggendongku. Bahkan Dia mengatakan bersukacita seperti seorang janda yang menemukan satu keping dinarnya yang hilang. Allah bersuka cita ketika menemukan aku yang berdosa.

Aku disucikan oleh Allah dengan baptisan. Seperti adikku membersihkan Chiko dari segala lumpur dengan shampo yang digunakannya. Yesus menyelamatkan aku dengan tetesan darahNya. Ini lebih dari shampo. Dia mengurbankan diriNya demi membersihkan diriku sehingga aku layak dan pantas untuk duduk dan bersamanya di dalam kerajaanNya. Namun aku sering tidak menyadari hal ini. Maka seperti Chiko setelah baptis pun aku lalu lari kembali pada kesenanganku. Berguling-guling dalam dosa. Aku tidak mampu mempertahankan kebersihan diri dan jiwaku. Gereja menyediakan sakramen tobat, dimana aku memohon ampun atas segala dosa dan membangun niat ingin kembali kepada Allah. Namun buah sakramen tobat tidak berlangsung lama. Aku masuk kembali dalam dosa. Seolah denda belum aku laksanakan sudah ada dosa lagi yang aku lakukan.

Allah tidak seperti adikku yang langsung marah ketika melihat Chiko berlari kembali ke teras yang kotor. Allah memberikan aku kebebasan. Dia membiarkan aku memilih sebuah pilihan hidup. Dia tidak merantaiku sehingga aku tidak bisa bergerak. Alalh memberiku kebebasan untuk memilih apa yang hendak aku lakukan. Allah adalah bapa yang baik. Dia menungguku dan menyosongku ketika aku pulang kembali padaNya setelah mengecewakanNya. Gereja senantiasa terbuka bagi orang berdosa yang ingin kembali. Namun sayang ada orang yang arogan sehingga menutup pintu Gereja bagi orang berdosa yang ingin bergabung kembali. Banyak orang yang merasa berdosa tidak mau masuk kembali dalam Gereja sebab dia merasa ditolak oleh sesamanya. Padahal Allah tidak pernah menolak, bahkan Dia sangat bersuka cita dan berharap orang berdosa akan kembali lagi dalam pangkuanNya.

Aku tidak ubahnya seperti Chiko yang lebih suka menuruti kesenanganku sendiri daripada taat pada kehendak Allah. Padahal Allah sudah berbicara dengan bahasa yang aku mengerti. Bertindak yang bisa aku lihat. Allah sudah menjadi bagian dari manusia. Ini berbeda antara adikku dengan Chiko. Adikku berbicara dalam bahasa manusia yang tidak dimengerti seekor anjing. Dia tidak menjadi anjing agar Chiko melihat keteladanannya. Jika Chiko tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh adikku hal ini wajar, sebab ada perbedaan besar antara keduanya. Sedangkan aku dengan Yesus tidak ada bedanya. Dia juga manusia yang berbicara dalam bahasa manusia. Aku faham apa yang dikehendakiNya. Aku bisa melihat keteladananNya. Namun aku masih tidak taat.

Melihat Chiko mengotori tubuhnya kembali, adikku kecewa. Dia merasa apa yang sudah dilakukannya menjadi sia-sia. Jika aku berguling dalam dosa, aku yakin Yesus kecewa melihat keputusanku. Namun Dia tidak mengomel. Dia mungkin hanya menatapku dengan sedih sama seperti ketika Dia menatap Petrus yang mengkhianatiNya. Sama dengan ketika Dia mempersilakan Yudas menjalankan segala rencananya. Aku bayangkan ada nada getir ketika Yesus mempersilahkan Yudas.

Allah sudah sering kecewa dengan pilihan tindakanku. Aku pun sadar akan hal itu, namun aku lemah dan sering jatuh. Apakah keyakinan kasih Allah yang tidak menghukumku ini membuatku tidak takut berbuat dosa? Apakah Allah sengaja membiarkan aku berbuat dosa? Aku yakin tidak. Sama seperti ketika Yesus berhadapan dengan kaum Farisi yang mempersoalkan perceraian. Dia mengatakan bahwa akibat kekerasan hati merekalah maka Musa memberikan surat cerai. Ya ketegaran hatilah yang membuatku berulang kali jatuh dalam dosa. Ketegartengkukkanlah yang membuatku masuk dalam dosa. Tanggung jawab ini tidak bisa dilemparkan pada Allah, melainkan aku harusnya bersyukur bahwa Allah masih memberiku kesempatan untuk bertobat dan tetap memberiku kebebasan untuk memilih apa yang hendak aku lakukan. Allah tidak seperti adikku yang membawa rantai dan memberikan hukuman atas segala tindakanku. Aku hanya harus menanggung konsekwensi atau akibat dari apa yang aku lakukan. Aku harus memetik buah dari dosa.

Pengalaman sore ini menyadarkan aku bahwa aku tidak lebih baik dari Chiko, seekor anjing kecil yang suka main air hujan.

Kamis, 20 Oktober 2011

HP DAN SUARA TUHAN


Kami sedang duduk melingkar dalam sebuah pertemuan. Semua serius mendengarkan seorang pembicara yang sedang menguraikan masalah-masalah sosial yang terjadi. Tiba-tiba terdengar suara dering HP. Suaranya sangat lemah. Mungkin pemiliknya sengaja mengecilkan volume suara. Meski sudah sangat lemah, namun bisa terdengar oleh hampir semua peserta yang datang. Suara itu seperti sebuah komando kepada semua orang. Mereka serentak memegang saku atau dompet kecil atau HPnya. Semua mengira HP miliknyalah yang berbunyi.

Suara HP yang sangat lemah di tengah kerasnya suara sang pembicara bisa terdengar dan menggerakan semua orang. Betapa hebatnya pengaruh suara ini. Hal ini mungkin disebabkan semua orang tidak lagi berkonsentrasi pada sang pembicara. Atau pikiran mereka terarah pada HPnya, sehingga begitu ada suara HP mereka mengira itu adalah miliknya. Atau mereka sedang menunggu dering HP sehingga begitu berdering semua tersentak seolah yang dinanti-nantikan akhirnya datang juga. Atau memang mereka sudah terbiasa mendengarkan suara HP, bahkan hidupnya sudah dikuasai oleh suara-suara HP, sehingga meski suara itu lemah bisa ditangkap oleh pendengaran mereka.

Pengaruh HP sudah sedemikian kuat dalam hidup seseorang, sehingga kemanapun dia pergi HP tidak akan ditinggalkan. Seorang teman pernah gelisah sepanjang perjalanan sebab HP miliknya tertinggal di rumah. Seolah-olah dia kelupaan membawa sesuatu yang sangat berharga. Seorang teman lain bisa tahan berjam-jam untuk saling berkirim sms, suatu bentuk komunikasi yang baru. Dia bisa tenggelam dalam dunianya sendiri. Bahkan di dalam gereja pun orang membawa HP, sehingga sekarang di beberapa gereja ada papan pengumuman di depan pintu agar HP tidak diaktifkan. HP adalah pernemuan yang masih tergolong baru namun sudah mempunyai pengaruh yang kuat dalam kehidupan orang sehari-hari.

Pikiranku meloncat dari HP ke sabda Allah, sebab saat itu kami sedang membahas sabda Allah di dunia jaman ini. Salah satu hal yang dikemukakan oleh pembicara adalah bahwa Allah bersabda sepanjang masa. Sabda Allah bisa ditemukan dalam Kitab Suci, pengalaman pribadi dan aneka peristiwa. Persoalannya manusia kurang peka akan sabda ini. Pikiranku membayangkan seandainya sabda Allah adalah dering HP sehingga meski hanya lirih pun semua orang terkejut dan bereaksi. Dia terkejut sebab mengira bahwa dering itu ditujukan padanya. Semua orang menanti dering itu. Mungkin ini yang dikatakan dalam Kitab Suci sebagai berjaga-jaga. Atau seperti yang digambarkan dalam mazmur bagai seorang hamba yang menatap jari tuannya (bdk Mzm 123:1-2). Dia menanti pernyataan tuannya.

Dering HP sudah sangat dikenal oleh pemiliknya. Dia menjadi peka dengan suara itu, sebab sudah sering mendengarkannya. Banyak orang tidak peka akan sabda Allah mungkin dia tidak mengenalnya. Hal ini bisa dilihat betapa sedikitnya umat Katolik yang membaca dan mempelajari Kitab Suci dengan serius. Menjadikan Kitab Suci sebagai bagian dari hidupnya. Bagaimana dia akan peka akan sabda Allah jika jarang membaca Kitab Suci?

Dering HP membuat orang terlonjak sebab dia merasa dipanggil atau dibutuhkan oleh seseorang. Dia disapa oleh seseorang. Apakah Allah tidak pernah menyapa manusia? Dia pasti setiap hari menyapa manusia dalam aneka bentuk. Dia membutuhkan manusia. Dia ingin berkomunikasi dengan manusia. Namun persoalanya manusia tidak menangkap signal dari Allah. Kurang peka akan tanda-tanda sabda Allah. Akibatnya meski Allah berulang kali menyapa, manusia merasa tidak memahaminya. Aneka peristiwa hidup yang dialami setiap hari dianggap sebagai hal biasa. Tidak ada kaitannya dengan Allah. Anugerah yang diterima dilepaskan dari Allah. Sapaan Allah melalui Kitab Suci hanya diingat. Tidak direaksi.

Jika kita sekarang dikuasai HP dan setiap saat menanti deringnya, mengapa kita tidak dikuasai oleh sabda Allah dan menantikannya? Jika kita peka dengan suara dering HP mengapa tidak peka dengan suara Allah? Jika kita kemana-mana membawa HP mengapa tidak membawa Kitab Suci? Jika kita bisa menghabiskan waktu berlama-lama untuk mengirim sms mengapa tidak tahan berlama-lama untuk berkomunikasi dengan Tuhan? Tampaknya HP lebih penting daripada sabda Allah.

Selasa, 18 Oktober 2011

TERLAMBAT

Aku sedang mempersiapkan kursi di kapel untuk misa nanti malam. Tiba-tiba HPku berdering. Kulihat nomor telpon rumah singgah. Terdengar suara teman yang mengatakan bahwa ibu tetangga depan rumah sudah meninggal. Aku terkejut. Setelah memberi tahu beberapa hal yang perlu dia kerjakan terutama menjaga teman-teman di rumah singgah agar tidak ribut dan besar bantuan yang perlu dia berikan, telpon kututup. Pikiranku berkecamuk. Penuh penyesalan dan pengandaian.

Siang tadi setelah mengurus sebuah keluarga yang akan pulang ke Atambua aku ke rumah singgah. Disni sebetulnya aku hanya menunggu waktu keberangkatan ke Prigen untuk memberi retret pada sebuah kelompok. Ketika sedang mengobrol dengan teman-teman soal latihan musik, seorang anak datang padaku dan mengatakan agar aku melihat ibu dari tetangga depan rumah yang sedang sakit. Aku datang ke sebuah rumah kontrakan yang agak kecil. Rumah itu terdiri dari dua ruang. Ruang pertama kamar tidur sekaligus merangkap ruang tamu, sedang kamar belakang menjadi dapur sekaligus tempat ibu itu berbaring. Seorang bapak menceritakan bahwa ibunya sudah dua hari ini sakit. Dia tidak mau makan dan berak darah. Katanya beberapa hari yang lalu dia makan sambal tempe. Bapak ini tidak mampu membawa ke dokter sebab tidak punya uang sama sekali. Maka ibunya tidak diberi obat apa-apa.

Aku minta seorang teman di rumah singgah untuk mengantar ke UGD nanti sore, sebab aku tidak membawa uang yang cukup. Aku menelpon bendahara rumah singgah agar dia nanti sore datang ke rumah singgah dengan membawa uang untuk berobat. Kulihat jam di dinding sudah hampir pukul 14.00. Aku pamit sebab sudah membuat janji dengan beberapa orang untuk berangkat retret bersama-sama. Ternyata pukul 16 lebih ibu ini meninggal dunia. Jadi teman di rumah singgah belum sempat membawa ke UGD sebab bendahara rumah singgah baru pulang dari kantor pukul 17.00. Terlambat!

Mendengar bahwa ibu ini meninggal aku jadi sedih. Kenapa tadi aku tidak menelpon teman-teman yang mau retret agar menunggu sejenak, sebab aku sedang mengantar ibu ini ke rumah sakit. Pasti teman-teman juga maklum. Selain itu untuk sampai Prigen aku hanya membutuhkan waktu satu jam saja. Jadi masih ada cukup waktu untuk persiapan disana. Seandainya ibu ini dibawa ke rumah sakit mungkin dia akan tertolong. Anak ibu itu mengatakan, sebetulnya dua hari yang lalu seorang yang bekerja di puskesmas sudah menyarankan agar ibu ini opname tapi tidak ada biaya. Harusnya aku segera membawanya ke UGD. Aku memang tidak membawa uang, tapi bukankah aku mempunyai ATM dan di rumah sakit ada mesin ATM? Mengapa aku tidak peka akan situasi seperti ini? Mengapa aku meremehkan keselamatan seseorang?

Di depan tabernakel aku termenung seorang diri. Terbayang perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati. Aku sering membuat renungan dari perikop ini, namun ketika berhadapan dengan kenyataan, aku tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang mengabaikan kurban dengan alasan mereka mempunyai kesibukan masing-masing. Agar tetap dapat menjalankan tugas yang harus dikerjakannya. Namun mereka telah menyepelekan nyawa seseorang. Dihadapkan dengan kenyataan ini aku jadi malu melihat diriku sendiri. Aku telah menyepelekan nyawa seseorang demi sebuah retret. Seandainya aku telat datang di rumah retret pun aku yakin semua peserta bisa maklum sebab nyawa seseorang lebih penting dari sebuah acara perkenalan. Tapi mengapa tidak aku lakukan? Mengapa aku lebih mementingkan acara persiapan dibandingkan nyawa seseorang. Mengapa aku tidak sadar bahwa dua hari tidak makan adalah sesuatu yang parah? Aneka pertanyaan muncul. Aneka penyesalan pun datang.

Tidak tahan duduk di depan tabernakel aku berjalan ke lantai dua dimana teman-teman sedang mempersiapkan ruangan. Aku ceritakan ini pada mereka. Sebetulnya dalam perjalanan tadi pun aku sudah bercerita bahwa ada seorang ibu yang sakit. Tapi hanya sepintas saja. Mereka mencoba menghibur dengan mengatakan mungkin Yesus memang belum memberi kesempatan padaku untuk berbuat baik. Sambil berjalan kembali ke kapel aku tersenyum kecut. Bagiku Yesus sudah datang dan memberi kesempatan tapi aku membutakan diri. Aku menutup pintu hatiku dengan berbagai macam alasan yang masuk akal. Aku telah menumpulkan hati. Ternyata tidak mudah untuk menjadi orang yang seperti diharapkan oleh Yesus, yaitu peka terhadap penderitaan sesama.

Yesus bersabda bahwa Dia akan datang seperti pencuri di tengah malam. Aku dituntut untuk berjaga-jaga. Aku harus siap menunggu kedatanganNya kapan saja Dia mau. Tidak peduli siang atau malam. Aku sedang sibuk atau menganggur. Dia datang sesuka hatiNya. Aku hanya diminta untuk berjaga. Dia sudah datang padaku tapi aku tidak siap. Aku terlelap oleh kepentinganku, sehingga Dia berlalu. Aku tidak berjaga-jaga. Hiburan teman-temanku semakin membuatku gundah. Apakah ini teguran Yesus agar aku senantiasa siap menanti kedatanganNya?

Saat ini aku sedang mempersiapkan retret dengan tema yang membuatku bergidik yaitu “Mencari wajah Yesus dalam wajah orang miskin”. Aku dan teman-teman telah mempersiapkan retret kali ini dengan serius. Aku membaca beberapa buku sebagai referensi. Mendiskusikan bersama. Kami ingin agar pada akhir retret semua peserta akan mampu menemukan wajah Yesus di dalam kaum miskin yang dilayaninya. Ternyata Yesus ingin mengajarku terlebih dahulu. Dia ingin aku retret terlebih dahulu sebelum memberikan retret. Dia ingin agar aku bergulat terlebih dahulu sebelum mengajak umat untuk bergulat. Dia telah mematahkan kesombonganku yang seolah-olah telah menemukan wajahNya di tengah kaum miskin. Dia ingin agar aku menemukanNya bukan hanya dari buku dan refleksi, melainkan dari realita hidup yang nyata.

Kematian tetangga depan rumah memang sangat menyakitkan hatiku, namun aku yakin bahwa Yesus berniat mengajarku. Dia ingin agar aku tidak hanya sekedar sharing dari buku melainkan dari realita hidup. Aku harap pengalaman ini semakin membuatku senantiasa berjaga. Peka akan kehadiranNya yang nyata bukan hanya berteori.

Senin, 17 Oktober 2011

PESTA UNTUK KAUM MISKIN

Seorang teman mengatakan dia diminta oleh seseorang untuk menjualkan undangan dalam rangka mencari dana untuk kaum miskin. Katanya ada sekelompok orang Katolik yang kaya ingin mencari dana untuk kaum miskin dengan mengadakan makan malam bersama dan mengundang artis. Bagi yang ingin datang harus membeli undangan yang harganya bervariasi. Aku bertanya padanya apakah dia membeli undangan itu? Dia mengatakan membeli 10 dan dibagikan pada teman-temannya sebab dia sendiri sibuk.

Dia membeli sebab melihat tujuannya acara itu sangat bagus yaitu untuk menggalang dana bagi orang miskin. Aku lalu bertanya mengapa untuk membantu orang miskin harus memakai cara makan malam di rumah makan mewah? Dia menjawab bahwa untuk mendapatkan ikan besar harus dengan umpan yang besar. Untuk mengajak orang kaya mau menolong orang miskin harus dengan acara seperti itu. Mendengar penjelasan seperti itu aku menjadi prihatin. Aku tanya dia seandainya Yesus masih hidup dan Dia ditawari undangan itu apakah Dia akan membeli? Apakah Dia mau menjadi panitia acara seperti itu? Apakah dia mau mengadakan acara seperti itu?

Jujur saja aku sebetulnya prihatin dengan acara semacam itu. Mengapa untuk menolong orang miskin harus melalui pesta? Ibu Teresa dari Kalkuta, seorang perempuan yang menjadi santa karena kepeduliannya pada kaum miskin, pernah mengkritik orang-orang yang sibuk membicarakan kaum miskin di hotel-hotel mewah. Kini terjadi disini. Orang ingin membantu orang miskin dan membicarakannya di rumah makan mewah. Aku tanya pada temanku apakah itu tidak berarti menjual orang miskin? Mengapa mereka yang sudah miskin masih tega untuk dijual? Mengapa kemiskinan digunakan untuk mencari dana? Temanku mengatakan hal itu perlu agar mendapatkan dana yang lebih besar sehingga semakin banyak orang dapat dibantu. Bagiku apapun yang dikatakan temanku, tetap sama saja. Ini menjual kemiskinan.

Aku pernah merasakan betapa tidak enaknya mengalami hal seperti itu. Suatu hari ada sekelompok orang yang kaya dari sebuah organisasi kemasyarakatan datang ke tempat dampingan kami di tepi sungai. Setelah membagi bingkisan mereka meminta aku mencari sebuah karton. Kebetulan ada karton bekas kotak mie instant. Ternyata karton itu disobeknya sehingga menjadi sebuah bentangan karton besar. Dengan spidol hitam dia menuliskan kata-kata bahwa kelompoknya membantu kami. Sebetulnya mereka sudah menyiapkan spanduk tapi lupa membawa. Katanya untuk dokumentasi. Aku diminta membawa karton itu dan berdiri bersama teman-teman untuk difoto. Rasanya saat itu aku sungguh merasa malu. Bagiku lebih baik tidak usah diberi daripada disuruh foto seperti itu. Masih ada beberapa pengalaman lagi yang membuatku prihatin bagaimana orang miskin sudah tidak memiliki apa-apa tapi masih tega dijual. Digunakan untuk mencari keuntungan. Bagiku hal ini memanfaatkan kemiskinan untuk mencari keuntungan.

Aku bayangkan saat ini ada sebagian orang makan makanan yang sangat enak sambil menikmati kemewahan sebuah restoran besar. Sambil menikmati hidangan yang mewah mereka asyik membicarakan sesamanya yang membayangkan makanan seperti itu saja tidak berani. Bahkan mungkin mereka tidak mampu membayangkan sebab mereka tidak pernah melihat makanan seperti yang dimakan oleh orang yang membicarakan mereka saat ini. Bagiku kegiatan ini adalah sebuah ejekan bagi kaum miskin. Mereka yang kelaparan dibicarakan oleh orang yang kenyang dan masih mempunyai banyak makanan berlimpah. Dalam pesta pasti ada banyak makanan tersisa yang akan dibuang begitu saja. Entah kalau restoran itu mengijinkan makanan sisa untuk dibawa pulang oleh karyawannya atau dibagikan pada kaum miskin. Namun pada umumnya kebijakan restoran tidak mengijinkan hal itu. Bagaimana membicarakan orang lapar sambil membuang makanan ke dalam tong sampah?

Aku senang bila ada orang yang kaya sudi memikirkan nasib sesamanya yang miskin. Bagiku kepedulian kepada sesama yang menderita bukan muncul dari malam dana, namun dari rasa syukur. Orang yang mendapatkan kekayaan berlimpah menyadari bahwa apa yang mereka miliki berasal dari Allah. Kesadaran ini membuatnya bersyukur. Rasa syukur itulah yang diwujudkan dengan mengembalikan apa yang dari Allah kepada Allah lagi yang ada dalam diri orang miskin. Jadi pemberian kepada orang miskin adalah perwujudan rasa syukur seseorang atas anugerah Allah yang diterimanya.

Memang ada orang mengadakan malam dana dengan alasan untuk membuka mata orang kaya akan kemiskinan yang ada. Bagaimana mereka akan terbuka hatinya bila tidak ada yang memberi tahu? Bagiku ini alasan yang dicari-cari. Di negara ini begitu kita membuka pintu rumah akan mudah melihat orang miskin. Begitu kita keluar rumah di jalan sudah banyak orang miskin. Di perempatan sudah banyak anak pengamen dan pengemis. Di tepi-tepi jalan banyak pedagang kaki lima. Di depan rumah mereka ada penjual-penjual sayur dan makanan keliling. Di tepi-tepi jalan berderet rumah kumuh dan kaum gelandangan yang berjalan tanpa tujuan. Bagaimana mungkin mereka tidak tahu kalau ada orang miskin yang membutuhkan pertolongan? Namun oleh karena hal itu hanya dilihat oleh mata bukan mata hati atau kepekaan hati maka semua dianggap biasa saja bahkan mulai tumbuh pengadilan-pengadilan tentang kaum miskin.

Untuk mampu melihat kaum miskin dibutuhkan kepekaan mata hati. Apakah setelah ada malam dana maka akan tumbuh kepekaan hati? Bagiku kalau toh disana tiba-tiba ada orang yang mau menyumbang, apakah sumbangan itu muncul karena kepekaan hati atau karena banyak mata yang memandang dia memberikan sumbangan? Yesus mengatakan “Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Mat 6:4) Kalau memang mau memberi apakah perlu harus melalaui sebuah pesta yang dihadiri oleh banyak orang? disinilah tampak bahwa banyak orang tampaknya mencintai sesamanya padahal sebetulnya dia mencintai dirinya sendiri.

Pemberian adalah perwujudan cinta seseorang pada sesamanya. Dia memberi atau menolong sesama sebab dia merasa bahwa dia mencintai mereka. Bila seorang mencintai sesama berarti dia berani berkurban demi sesama. Pemberian atau pertolongan adalah bentuk kurban bagi sesama. Kurban berarti tidak mengambil keuntungan bagi diri sendiri. Paulus mengajarkan bahwa kita bila memberi tanpa mencari keuntungan, “Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita” (Rm 12:8). Keuntungan bukan hanya materi melainkan juga popularitas, penghargaan dan sebagainya. Bila orang berkurban tapi masih mencari keuntungan bagi diri sendiri apakah dia sudah berkurban? Bukankah dia sama saja dengan berdagang?

Yesus dalam pelayananNya melibatkan orang kaya. Namun Dia tidak pernah mengadakan malam dana. Dia memberikan keteladanan bagaimana mengasihi orang yang menderita. Dia menyerukan melalui kata dan tindakan agar orang peduli pada sesama. Dengan demikian sebetulnya yang dibutuhkan bukanlah sebuah pesta yang menghabiskan banyak dana melainkan keteladanan. Bagaimana orang mau peduli bila tidak ada yang memberi contoh? Sebetulnya contoh itu sudah jelas yaitu Yesus. Namun orang akan berdalih bahwa Yesus tentu saja dapat melakukan hal itu sebab Dia adalah Putra Allah, sedangkan mereka hanyalah manusia biasa. Hal ini sebetulnya salah, sebab sudah menghilangkan kemanusiaan Yesus yang juga dapat sedih dan takut. Selain itu kita dapat melihat kembali panggilan kita. Bukankah Yesus menuntut bagi orang yang mengikutiNya keterlibatan secara total? “Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” (Luk 18:22)

Kamis, 13 Oktober 2011

PAK TOMO DAN RUMAH BATUNYA

Pak Tomo hanyalah seorang lelaki tua dengan tubuh yang kurus. Badannya hitam terbakar matahari. Rambutnya sudah putih semua. Kalau bicara sudah susah dan pendengarannya sudah mulai agak berkurang. Tapi aku sangat kagum dengannya.Pak Tomo tinggal di desa Ngroto. Suatu desa kecil di lereng gunung Lawu, sekitar 38 km dari kota Ngawi. Desa yang sangat terpencil. Untuk mencapai desa Ngroto, kita harus berjalan mendaki melalui jalan berbatu sambil menikmati suara air yang gemericik, bajang keret yang bernyanyi, desir angin di sela daun bambu dan kesejukan udara pegunungan. Sejauh mata memandang hanya hamparan sawah yang semakin lama semakin kabur dan membaur dengan awan biru.

Desa Ngroto hanyalah desa biasa. Kelebihan desa ini karena di situ tinggal Pak Tomo. Lelaki tua ini mempersilahkan aku untuk masuk dalam rumahnya. Sebuah rumah batu dengan banyak ruang. Sebagian ruangan masih belum diberi atap. Sebagian lagi masih separo jadi. Namun yang membuatku kagum adalah rumah itu dibangun hanya dari balok balok batu. Mirip candi pada jaman dulu. Tidak ada kayu dan semen. Pak Tomo hanya menyusun balok balok batu saja.

Pak Tomo dengan bangga mengajakku memasuki ruang demi ruang. Dia bercerita bahwa rumah ini dia bangun sendiri selama 40 tahun. Gila pikirku. Membangun rumah batu sendirian tanpa alat-alat yang berarti. Dulu disini banyak sekali batu hitam yang besar-besar. Kisah Pak Tomo sambil menunjukan halamannya yang penuh dengan pepohonan. Lalu dia mulai memotong motong batu itu menjadi balok-balok dan mulailah pembangunan rumah dimulai. Bekas galian batu dia tanami dengan cengkeh, kopi, jambu, apokat, durian, dan berbagai macam pohon lain. Lama lama kebunnya yang semula penuh dengan batu menjadi kebun buah-buahan dan batu itu dia susun menjadi rumah yang sangat besar dan unik.

Aku hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala melihat hasil karyanya. Bayangkan selama 40 tahun dia sendirian membangun rumah itu. Dia mengatakan bahwa kenekadannya membangun rumah batu ini telah meminta kurban. Istrinya meninggalkan dia, sebab istrinya tidak memahami ide gilanya. Banyak orang juga mencemooh karyanya yang dianggap gila. Tapi Pak Tomo tetap nekat. Dia terus memotong batu-batu dan menyusunnya. Kapan bapak akan mengakhiri pembangunan ini? tanyaku. Dia mengatakan jika dia sudah mati, maka pembangunan rumah itu juga akan berhenti. Apakah bapak tidak takut rumah ini roboh? tanyaku lagi. Pak Tomo hanya tertawa dan mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini akan musnah, termasuk rumahnya ini. Tapi telah terjadi beberapa kali gempa bumi dan rumah ini tidak roboh, katanya dengan bangga.

Dalam diri Pak Tomo aku melihat sebuah semangat yang menyala-nyala yang tidak terpadamkan. Suatu perjuangan panjang. Selama 40 tahun dia sendirian mengubah lahannya yang semula tidak bisa ditanami menjadi sebuah kebun buah. Dia mampu sendirian membangun rumah dari batu. Perjuangan panjang yang disertai hujatan. Dia hanya bersandar pada alam dan Tuhannya.

Sambil mengendarai mobil sendirian pulang ke Surabaya, pikiranku penuh dengan kekaguman pada Pak Tomo. Ya, aku mengagumi keteguhannya. Pada pilihan hidupnya. Pada keputusannya yang berusaha untuk terus membangun sampai kematian yang akan menghentikannya. Saat ini aku sedang bimbang dengan aktifitasku di komunitas kaum marginal. Beberapa persoalan yang tidak terpecahkan membuatku berpikir untuk membubarkan apa yang telah dimulai bersama teman-teman. Dalam sharing terakhir bersama teman-teman, aku mengatakan pada mereka bahwa aku membangun komunitas ini seperti membangun rumah di atas pasir. Aku ternyata belum siap untuk lebih serius dalam aktifitas pendampingan anak jalanan. Aku gamang dengan keputusanku, bahkan menyesal mengapa aku dulu tergesa gesa mengumpulkan teman-teman anak jalanan untuk bergabung dalam aktifitas ini. Mengapa aku tidak membangun dasar lebih kuat baru mengajak teman teman?

Perkataan Pak Tomo seolah perkataan guru yang membuka mataku untuk tetap berjalan dalam keputusanku, meski banyak orang tidak memahami dan mencaci maki. Meski yang dibuat tidak pernah akan selesai sampai kematian mendatang. Meski rumah itu tetap kosong dan kebun buahnya tidak mampu menghidupinya dengan layak. Apakah sikap Pak Tomo suatu kebodohan? Apakah yang dilakukannya bukan suatu kesia-siaan belaka? Apakah Pak Tomo seorang yang gila? Atau dia orang frustasi? Tidak. Bagiku dia orang yang patut dihargai. Dia bukan orang yang bodoh, sebab mampu mendesain rumah sedemikian unik. Meski tidak berpendidikan formal, dia mampu menyusun batu sedemikian tinggi dan tidak roboh karena gempa bumi. Dia adalah orang yang setia dengan apa yang telah dimulai. Dia adalah orang yang berjalan tanpa henti. Dia adalah pekerja yang bekerja bukan untuk kesombongan dan pujian. Dia membangun rumah besar untuk masa depan jika ada orang yang membutuhkannya.

Permenunganku lebih jauh membawaku pada Sang Guru sejati. Yesus juga seorang yang nekat. Dia beberapa kali jengkel dengan murid muridNya yang tetap tidak mampu memahami karya keselamatan yang dibawaNya. Dia senantiasa diintip oleh para musuh-musuhNya untuk dihabisi. Dia dianggap gila oleh keluarganya. Dia dikhianati oleh muridNya. Dia ditinggalkan oleh orang orang terdekatNya. Namun Dia tetap berjalan menyeleseikan tugasNya. Apakah segala belenggu hilang dengan kehadiranNya? Tidak. Masih banyak orang yang terbelenggu oleh dosa. Dia sendiri bersabda bahwa orang miskin akan masih tetap ada. Lalu buat apa Dia datang? Akankah karyaNya sia-sia? Mungkin beberapa muridNya dulu juga merasakan bahwa karya Sang Guru akan sia-sia. Berakhir! Tapi ternyata sampai 2000 tahun karya Yesus masih terus berlangsung. Aku yakin bahwa rumah Pak Tomo tidak akan pernah selesai. Apakah akan sia-sia? Aku yakin suatu saat pasti akan ada orang yang meneruskannya dan rumahnya akan menjadi bahan pembicaraan orang.

Pak Tomo bukan seorang Kristen. Dia juga mungkin tidak mengenal siapa Yesus itu. Namun sikap hidupnya tidak jauh dari Yesus, yang pantang menyerah. Sikap yang terus berusaha dan bekerja dalam kesendirian dan kesepian. Kerja yang tidak membutuhkan penghargaan dari orang lain, hanya cukup untuk kerja itu sendiri. Dia ingin meninggalkan rumah ini untuk banyak orang, bahkan dia menawarkan agar aku menggunakan ruang atas rumahnya untuk gereja. 40 tahun Pak Tomo bekerja keras memotong batu, menyusunnya, mengangkatnya sehingga terbentuk rumah di tengah kebun buah yang subur. Ah seandainya aku bisa nekad seperti dia.

Rabu, 12 Oktober 2011

GOSIP

Seorang teman duduk di depanku. Dia bercerita tentang berita yang didengarnya. Menurutnya selama ini aku sudah digosipkan. Aku tertegun. Begitu mengerikan cerita yang beredar tentang diriku selama ini. Teman itu meminta penjelasan apakah benar semua berita itu? Aku tersenyum. Aku serahkan padanya untuk menilai sendiri. Dia sudah mengenalku selama ini, maka apakah dia percaya atau tidak tentang berita itu silakan dia sendiri menilai. Bagiku setiap kata pelurusan hanya akan merupakan pembelaan diri belaka. Orang sudah terlanjur memakai kaca mata hitam sehingga semua akan tampak gelap.

Dalam budaya Jawa, entah budaya lain aku tidak tahu, menggunjing orang sudah merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan. Setiap hari dapat ditemui dimana-mana bila ada dua atau tiga orang berkumpul dapat muncul aktifitas mengunjing sesama. Entah berita baik atau buruk itu tergantung siapa yang menjadi bahan pembicaraan. Pada umumnya yang menjadi topik pembicaraan adalah hal buruk. Orang bisa tahan berjam-jam membicarakan keburukan sesama dengan sangat bersemangat.

Memang setiap orang berhak mempunyai pendapat mengenai orang lain. Dia bisa memuji orang lain setinggi langit atau menjelekkan sedalam lautan. Semua itu hak dan kebebasan orang dalam melihat sesamanya. Namun apakah kebebasan itu bisa diberitakan pada orang lain yang mungkin mempunyai pendapat yang berbeda? Apakah bijaksana bila orang menyatakan pendapatnya tentang orang lain tanpa meminta penjelasan? Bukankah ini sebuah pengadilan tidak adil? Dimana orang yang diadili tidak diberi kesempatan untuk membela diri, sebab semua tuduhan diungkapkan tanpa diketahui oleh si tertuduh?

Ada teman yang berusaha melihat hal positif kalau dia digunjingkan. Menurutnya hanya orang terkenal yang dijadikan bahan gosip. Misalnya saja seorang tokoh hanya membeli baju baru saja sudah menjadi bahan berita yang luas. Coba kalau dia orang biasa saja, pasti tidak akan ada orang peduli. Maka kalau digunjingkan orang jangan takut tapi harus bangga. Pendapat ini memang tampak konyol, tapi aku pikir bagus juga agar tidak terlalu tertekan bila gosip sedang menimpanya.

Dalam Kitab Suci beberapa penulis Kitab Suci sudah memperingatkan akan bahayanya perkataan yang muncul dari lidah. Yakobus mengatakan bahwa lidah itu seperti api, meski kecil dapat membakar seluruh hutan. Demikian pula gosip meski mulanya hanya kecil namun bila sudah sampai ketelinga satu dua orang pasti akan berkembang besar dan membinasakan orang itu. Ada sebuah cerita dari Antony de Mello tentang seorang ibu yang membuat gosip seorang pastor. Ketika ibu ini mengaku dosa pada pastor itu dan menyesal bahwa dia sudah menyebarkan gosip, maka pastor itu mengajaknya naik ke loteng tertinggi di gereja. Pastor itu membawa bantal lalu menyobek bantal itu sehingga bulu isi bantal berterbangan kemana-mana. Dia menyuruh ibu itu untuk mengumpulkan semua bulu dan memasukan kembali. Ketika ibu itu terheran-heran, maka pastor itu mengatakan demikian pula gosip. Dia akan menyebar kemana-mana dan tidak bisa dibersihkan semua.

Tuhan menciptakan mulut agar manusia bisa memujiNya. Namun sering kali yang keluar lain sama sekali. Yesus mengatakan kalau ada dua atau tiga orang berkumpul dalam namaNya maka Dia hadir. Namun sungguhkan bila ada dua atau tiga orang Kristen berkumpul Yesus hadir bila yang keluar adalah gosip? Yakobus mengatakan “jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya (Yak 1:26)”. Apa yang ditulis Yakobus sangat tegas dan keras, namun sebetulnya Yesus lebih keras lagi, Dia mengatakan barang siapa mengatakan saudaranya kafir, maka harus dihukum. Gosip tidak hanya mengatakan saudaranya kafir melainkan jauh lebih dari itu.

Kita memang tidak bisa menghindar dari gosip, sebab hal itu sangat menyenangkan. Bahkan hampir semua televisi menyediakan waktu khusus untuk membicarakan orang. Belum lagi majalah dan koran. Tidak jarang apa yang menjadi bahan berita adalah keburukan orang. Bahkan semakin buruk semakin sering ditayangkan, misalnya perceraian seseorang ditayangkan berulang-ulang. Mengapa kalau ada orang yang hidup perkawinannya bahagia tidak ditayangkan segencar kalau dia cerai? Dalam hal ini Yakobus mengatakan bahwa hendaknya orang cepat mendengar namun lambat mengatakan. Biarkan semua informasi masuk tapi orang tidak perlu menanggapi. Perlu dipertimbangkan baik buruknya. Apa gunanya bagi orang itu dan diri sendiri. Bila tidak ada gunanya bahkan menjatuhkan orang lain mengapa harus dikatakan dan disebarluaskan dengan penuh semangat?

Mungkin orang sangat senang mendengar atau mengetahui kejelekan orang lain. Dengan melihat keburukan orang lain dia bisa menutupi keburukannya sendiri. Dia bersembunyi dibalik keburukan orang lain. Semakin banyak keburukan orang lain yang diceritakan, maka lawan bicaranya bahkan dirinya sendiri tidak sempat untuk melihat keburukan yang ada dalam dirinya. Mungkin orang itu takut untuk melihat sisi negatif yang ada dalam dirinya maka dia lebih suka menutupi dengan menunjukkan sisi negatif orang. Beberapa teman yang tidak bisa menerima diri kulihat memang mempunyai kecenderungan yang kuat untuk menyebarkan atau membuat gosip.

Setiap orang mempunyai sisi negatif dan positif. Setiap orang dapat berbuat salah. Mengapa orang lebih suka melihat sisi negatif? Yesus sudah mengajarkan bila ada saudara yang bersalah maka ditegur empat mata, kalau tetap tidak mau berubah maka dibawa beberapa saksi. Kalau masih tidak bisa maka dibawa ke sidang. Bukan digosipkan. Anehnya ada orang yang menyebarkan gosip dengan alasan dia sangat mencintainya.

Temanku masih bersemangat cerita. Aku katakan padanya ya sudah. Aku ingat cerita A. de Mello tentang seorang pendeta yang dituduh menghamili seorang gadis desa. Ketika semua orang mencaci maki dan memaksanya untuk bertanggung jawab, maka dia mengatakan “ya sudah”. Namun akhirnya anak perempuan itu sadar bahwa dia sudah berbohong soal orang yang menghamili lalu mengatakan pada semua penduduk akan kebohongannya. Penduduk pun berbondong-bondong meminta maaf pada pendeta itu. Pendeta itu tetap mengatakan “ya sudah”. Nah aku ingin seperti pendeta itu yang berusaha mengatakan “ya sudah”.

Sabtu, 01 Oktober 2011

SEBUAH BALLPOINT BEKAS

Bapak itu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku mencoba tersenyum padanya. Kami duduk berhadapan dalam kebisuan. Sebuah ballpoint tergeletak di meja yang membatasi kami. Kami menatap ballpoint itu. Mosok hanya ini tanya bapak itu berulang-ulang seolah pada dirinya sendiri. Aku hanya diam. Memahami perasaan yang bergolak dalam hatinya. Lima tahun aku berjuang bersama dia membangkitkan sebuah lembaga yang sudah hancur total. Sebuah lembaga sosial yang disingkiri oleh banyak orang sebab setiap tahun terus merugi. Semua karyawan digaji jauh dibawah standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Mereka masih bertahan bekerja ditempat ini sebab sudah tidak mempunyai pilihan lagi mengingat usia mereka sudah tua.

Lembaga ini dulu pernah berjaya. Banyak sekali uang yang berputar dari bantuan-bantuan asing. Tapi beberapa pengurusnya melakukan korupsi besar-besaran. Setelah tidak ada lagi yang dapat diambil mereka satu demi satu keluar dengan meninggalkan teman-teman mereka yang miskin dan tidak memiliki masa depan. Sedangkan mereka sudah kaya raya. Ada yang mempunyai bis, ada yang mempunyai sawah berhektar-hektar, ada yang mendirikan lembaga baru yang lebih kuat dan sebagainya. Mereka tidak peduli lagi pada lembaga sosial ini yang telah menjadi lembaga miskin.

Aku ditugaskan untuk memimpin lembaga yang sudah hancur ini. Selama 4 tahun aku berjuang bagaimana memperkuat lembaga ini. Sedikit demi sedikit lembaga ini mulai bangkit kembali. Gaji pegawai naik untuk mengejar ketinggalan dari standari gaji yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pelayanan baru dibuka. Beberapa ruang yang menjadi lahan korupsi ditutup. Karyawan mendapatkan tunjangan-tunjangan yang selama ini tidak pernah mereka peroleh. Setelah lembaga ini dianggap menguntungkan kembali tiba-tiba aku diberhentikan. Hal ini disebabkan aku bersuara keras untuk menaikkan kesejahteraan karyawan. Bagiku tidak masuk akal bagaimana mungkin karyawan dipaksa untuk melayani dan peduli pada kaum miskin sedangkan hidup mereka masih dibawah garis kemiskinan. Sebetulnya masalah ini banyak terjadi dalam lembaga-lembaga sosial dibawah gereja. Gereja bangga bisa melayani dan peduli pada kaum miskin tapi tidak peduli pada karyawan yang bekerja di lembaga itu. Inilah salah satu bentuk ketidakadilan yang terjadi dalam tubuh Gereja.

Pemberhentianku yang mendadak membuat para karyawan protes. Tapi usaha mereka sia-sia. Mereka menghadapi tembok tebal yang berdiri kokoh. Posisiku terjepit diantara dua sisi. Disatu sisi aku termasuk dalam herarki Gereja disisi lain aku juga termasuk karyawan. Usaha para karyawan untuk berdialog ditanggapan dengan ancaman pemberhentian. Siapa yang tidak setuju dengan keputusan ini silakan berhenti. Mereka pun menjadi terdiam. Tidak mungkin mereka berhenti bekerja dari lembaga ini, sebab mereka pasti tidak akan dapat bekerja lagi di tempat lain mengingat usia yang sudah tua. Jika mereka tidak bekerja lalu keluarga mereka akan diberi makan apa. Kaum miskin sering dikalahkan dan dipaksa untuk menerima situasi yang tidak mereka inginkan oleh para penguasa yang menjadi tempat gantungan hidup mereka. Ancaman ini adalah bentuk kesewenang-wenangan penguasa yang membuatku menjadi keras melawan penguasa. Sikap kerasku ini semakin mempercepat pemberhentianku.

Acara pelepasanku dilakukan secara sederhana. Seorang pejabat Gereja dihadapan para karyawan memberiku sebuah hadiah. Setelah acara usia hadiah kubuka di depan bapak ini. Ternyata sebuah ballpoint murah dan bekas. Karton tempat ballpoint ini tampak lusuh. Beberapa karyawan senior yang melihatnya hanya mampu meneteskan air mata. Mereka sangat kecewa. Sebetulnya aku tidak peduli dengan hadiah ini, sebab hidupku sudah berkecukupan. Tapi bagi bapak ini masalahnya adalah arogansi dan ketiadaan penghargaan terhadap sesama. Bila terhadap pemimpin lembaga saja sudah demikian apalagi terhadap karyawan kecil dan kaum miskin yang dilayani. Bapak ini hanya mampu menangis pedih melihat betapa dalam jurang antara teori yang sering dikotbahkan untuk peduli dan menghargai kaum miskin dengan realita yang terjadi.

Kamis, 01 September 2011

APA YANG KAMU CARI?

Banyak orang Katolik bila ditanya mengapa dia menjadi Katolik maka jawabannya adalah karena orang Katolik bisa menampakkan kasih dan kedamaian. Tidak heran bila orang Katolik adalah salah satu komunitas yang paling mudah untuk berbagi. Pada saat puasa orang Katolik dapat mengumpulkan milyaran rupiah untuk disalurkan kembali kepada saudara-saudara yang berkekurangan. Bila ada bencana atau musibah dapat dipastikan orang Katolik langsung bergerak untuk mengumpulkan dana dan apa saja yang dapat menolong para korban. Mereka tidak peduli apakah kurban adalah orang Katolik atau bukan. Bagi mereka hanya ingin menolong meski ada juga yang menolak dengan alasan bahwa agama mereka tidak sama.

Tapi sebetulnya mengikuti Yesus bukan bertujuan untuk memberi dan melayani orang yang menderita. Sabda Yesus yang pertama kali dalam Injil Yohanes adalah sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada dua orang murid Yohanes Pembaptis yang mengikutiNya, “Apakah yang kamu cari?” (Yoh 1:38). Pertanyaan ini bukan hanya ditujukan pada para murid Yohanes tapi juga pada kita semua. Pertama kali mengikuti Yesus yang perlu kita pertanyakan pada diri kita adalah apa yang kita cari? Demikian pula dalam setiap pelayanan dan aktifitas kita pun perlu bertanya pada diri sendiri apa sebenarnya yang kita cari dengan melakukan semua ini?

Pada awal pendampingan di anak jalanan dan kaum miskin aku sering ditanya orang apa yang aku cari di tempat-tempat kumuh seperti itu? Aku sering diam, sebab memang tidak tahu apa yang aku cari dengan membangun persahabatan dengan mereka. Aku hanya ingin berteman dan merasa kasihan pada mereka sebagai orang yang dimarginalkan oleh sesamanya. Orang yang diberi stigmata oleh masyarakat. Pertanyaan itu juga sering muncul bila sedang menghadapi masalah. Tidak jarang aku ingin meninggalkan semua aktifitas persahabatan itu. Aku bertanya pada diri sendiri apa sebenarnya yang aku peroleh dari semua aktifitas ini?

Setelah bertahun tahun baru aku sadar bahwa sebetulnya aku datang dan membangun persahabatan dengan mereka bukan hendak memberi atau melayani melainkan aku sedang mencari. Mencari sosok Yesus bagiku sendiri. Kesalahanku pada awal adalah aku merasa memiliki sesuatu dan ingin memberi atau menolong mereka yang menderita. Padahal sebenarnya aku sedang mencari siapa Yesus bagiku. Memang dalam kuliah Kristologi, Kitab Suci, Spiritualitas dan sebagainya sudah diajarkan siapa Yesus itu. Aku paham gelar-gelar Yesus secara historis dan dogmatis, sebab pernah membaca tulisan para ahli dan diuji oleh para dosen. Tapi aku hanya tahu Yesus secara intelektual belum bersekutu dengan Yesus secara pribadi. Maka aku berusaha mencari siapakah Yesus yang kuikuti.

“Guru dimanakah Engkau tinggal?” tanya dua murid Yohanes Pembaptis. Memahami Yesus mau tidak mau harus bersekutu dengan Yesus. Tinggal bersama Yesus di rumahNya. Dimanakah rumah Yesus saat ini? Bila Yesus ada dalam diri orang miskin dan tertindas, maka rumah Yesus ada disana. Rumah Yesus adalah rumah kaum miskin dan tertindas. Pinggir-pinggir jalan tempat berkumpulnya anak-anak jalanan. Tumpukan sampah tempat para pemulung. Gubuk-gubuk kecil di tepi sungai tempat tinggal kaum miskin. Yesus ada disana. Bila ingin mengenal Yesus secara pribadi harus berada disana. Menyatu dengan Yesus, sehingga memahami siapa Yesus bagiku.

Pada umumnya orang menjadi Katolik karena ingin mengikuti Yesus. Dengan mengikuti maka kita tidak berusaha mencari. Bertanya pada diri sendiri apakah sebenarnya yang kita cari dengan menjadi Katolik? Setiap orang tentu akan mempunyai jawaban yang berbeda. Tapi pertama kali kita harus mencari siapa Yesus bagi diriku sendiri, sehingga kita dapat seperti Andreas yang berkata pada Petrus, “Aku telah menemukan Mesias,” Andreas mengikuti Yesus setelah dia menemukan siapa Yesus bagi dirinya. Hal ini yang sering dilupakan oleh orang yang ingin menjadi Katolik atau orang Katolik sendiri.

Rabu, 31 Agustus 2011

MENJELANG LEBARAN

Seseorang menawariku makan bersama keluarganya. Aku tanya akan diajak makan dimana? Dia mengatakan silakan aku yang memilih tempat makan. Setelah berbicara soal selera dia menawarkan satu rumah makan yang tidak jauh dari tempatku. Kami pun menetapkan tanggal dan waktu. Beberapa hari kemudian ada teman yang bercerita bahwa di tempatnya ada beberapa janda tua yang sangat membutuhkan bingkisan untuk hari Lebaran. Dia bertanya padaku apakah aku bisa memberikan bingkisan? Bulan ini pengeluaranku untuk orang yang membutuhkan sudah cukup banyak. Tidak ada lagi sisa untuk membelikan bingkisan bagi para janda itu.

Saat aku sedang berpikir bagaimana aku mendapatkan dana untuk membeli sembako dan kue lebaran, keluarga yang mengajakku makan menelpon untuk mengingatkan bahwa besok mereka akan datang pada waktu yang telah ditentukan. Aku menjadi malu menerima tawaran ini. Bagaimana mungkin aku akan makan di suatu tempat yang menghabiskan dana yang cukup untuk membelikan sembako bagi para janda tua itu. Namun untuk menolaknya aku juga segan sebab sudah beberapa kali dia kutolak. Saat ini aku sudah janji akan makan bersama mereka. Aku juga yang menetapkan waktu dan tempatnya. Bagaimana mungkin tiba-tiba aku membatalkan dengan alasan yang tidak jelas sedangkan dia sudah meluangkan waktunya?

Maka ketika keluarga itu menelpon aku tanya kira-kira berapa dana yang dikeluarkan untuk makan ditempat itu? Orang itu hanya tertawa dan tidak mau menyebutkan. Aku lalu mengajukan tawaran bisakah uang yang seharusnya digunakan untuk makanku aku minta untuk beli sembako? Akhirnya setelah kujelaskan kami membatalkan acara makan bersama sebab uangnya dibelikan sembako. Harga makanan di rumah makan itu cukup mahal. Satu porsi lauk mencapai harga Rp 75,000.00 ini sudah cukup untuk membeli beras sebanyak 10 kg. Bila satu janda diberi 5 kg maka sudah ada dua janda yang akan mendapatkan beras dan masih sisa untuk membeli kecap atau mie instant. Aku yakin bahwa makan disana pasti orang itu akan mengeluarkan uang ratusan ribu. Ini cukup untuk membelikan sembako.

Sering kali kita tidak sadar mengeluarkan uang sedemikian mudah, padahal disisi lain ada orang yang sangat membutuhkan. Pada saat Lebaran sebagian orang berpesta pora tapi ada sebagian orang yang sulit untuk makan. Orang rela membelanjakan uangnya sekian ratus ribu untuk membeli petasan dan aneka kenikmatan sedangkan orang lain tidak mempunyai uang sama sekali untuk makan. Memang kita bisa menutup mata dengan beralasan bahwa hari Lebaran bukan urusan kita. Janda miskin juga bukan urusan kita. Tapi dalam hidup tidak bisa kita hanya memusatkan diri memikirkan urusan kita tanpa mau peduli pada urusan orang lain. Menyalahkan orang lain pun tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan. Orang miskin akan tertolong bila ada orang peduli tanpa meributkan dan mencari sumber kemiskinan atau mencari kesalahan.

Kita sering merasa mendapat berkat. Orang yang mengajakku makan juga mengatakan bahwa mereka mendapat berkat. “Ulurkanlah tanganmu kepada orang miskin, agar berkatmu sempurna adanya.” (Sir 7:32) Yesus bin Sirak mengingatkan bahwa kesempurnaan berkat bila kita mau berbagi dengan orang miskin. Berkat bukan hanya disyukuri oleh diri sendiri bahwa Allah telah berbuat baik bagi kita. Berkat perlu dibagikan sehingga semakin banyak orang merasakan kebahagiaan yang seperti kita alami. Lebih jauh lagi agar orang semakin menyadari bahwa Allah masih peduli pada mereka. Kita lah yang menjadi penyalur berkat dari Allah kepada orang-orang miskin. Orang yang mengajakku makan akhirnya datang ke tempat para janda dan memberikan sendiri sembako. Melihat para janda dengan wajah berseri dan penuh rasa syukur dia pun menjadi terharu. Dia mengatakan bersyukur bahwa dia mendapat kesempatan untuk berbagi. Aku mengatakan bahwa dia telah menyelamatkan martabat para janda itu, sebab pada saat orang lain pesta di hari Lebaran, mereka pun dapat makan cukup meski ala kadarnya. Mereka tidak akan malu karena tidak memiliki kue di hari Lebaran.

Powered By Blogger