Rabu, 31 Agustus 2011

MENJELANG LEBARAN

Seseorang menawariku makan bersama keluarganya. Aku tanya akan diajak makan dimana? Dia mengatakan silakan aku yang memilih tempat makan. Setelah berbicara soal selera dia menawarkan satu rumah makan yang tidak jauh dari tempatku. Kami pun menetapkan tanggal dan waktu. Beberapa hari kemudian ada teman yang bercerita bahwa di tempatnya ada beberapa janda tua yang sangat membutuhkan bingkisan untuk hari Lebaran. Dia bertanya padaku apakah aku bisa memberikan bingkisan? Bulan ini pengeluaranku untuk orang yang membutuhkan sudah cukup banyak. Tidak ada lagi sisa untuk membelikan bingkisan bagi para janda itu.

Saat aku sedang berpikir bagaimana aku mendapatkan dana untuk membeli sembako dan kue lebaran, keluarga yang mengajakku makan menelpon untuk mengingatkan bahwa besok mereka akan datang pada waktu yang telah ditentukan. Aku menjadi malu menerima tawaran ini. Bagaimana mungkin aku akan makan di suatu tempat yang menghabiskan dana yang cukup untuk membelikan sembako bagi para janda tua itu. Namun untuk menolaknya aku juga segan sebab sudah beberapa kali dia kutolak. Saat ini aku sudah janji akan makan bersama mereka. Aku juga yang menetapkan waktu dan tempatnya. Bagaimana mungkin tiba-tiba aku membatalkan dengan alasan yang tidak jelas sedangkan dia sudah meluangkan waktunya?

Maka ketika keluarga itu menelpon aku tanya kira-kira berapa dana yang dikeluarkan untuk makan ditempat itu? Orang itu hanya tertawa dan tidak mau menyebutkan. Aku lalu mengajukan tawaran bisakah uang yang seharusnya digunakan untuk makanku aku minta untuk beli sembako? Akhirnya setelah kujelaskan kami membatalkan acara makan bersama sebab uangnya dibelikan sembako. Harga makanan di rumah makan itu cukup mahal. Satu porsi lauk mencapai harga Rp 75,000.00 ini sudah cukup untuk membeli beras sebanyak 10 kg. Bila satu janda diberi 5 kg maka sudah ada dua janda yang akan mendapatkan beras dan masih sisa untuk membeli kecap atau mie instant. Aku yakin bahwa makan disana pasti orang itu akan mengeluarkan uang ratusan ribu. Ini cukup untuk membelikan sembako.

Sering kali kita tidak sadar mengeluarkan uang sedemikian mudah, padahal disisi lain ada orang yang sangat membutuhkan. Pada saat Lebaran sebagian orang berpesta pora tapi ada sebagian orang yang sulit untuk makan. Orang rela membelanjakan uangnya sekian ratus ribu untuk membeli petasan dan aneka kenikmatan sedangkan orang lain tidak mempunyai uang sama sekali untuk makan. Memang kita bisa menutup mata dengan beralasan bahwa hari Lebaran bukan urusan kita. Janda miskin juga bukan urusan kita. Tapi dalam hidup tidak bisa kita hanya memusatkan diri memikirkan urusan kita tanpa mau peduli pada urusan orang lain. Menyalahkan orang lain pun tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan. Orang miskin akan tertolong bila ada orang peduli tanpa meributkan dan mencari sumber kemiskinan atau mencari kesalahan.

Kita sering merasa mendapat berkat. Orang yang mengajakku makan juga mengatakan bahwa mereka mendapat berkat. “Ulurkanlah tanganmu kepada orang miskin, agar berkatmu sempurna adanya.” (Sir 7:32) Yesus bin Sirak mengingatkan bahwa kesempurnaan berkat bila kita mau berbagi dengan orang miskin. Berkat bukan hanya disyukuri oleh diri sendiri bahwa Allah telah berbuat baik bagi kita. Berkat perlu dibagikan sehingga semakin banyak orang merasakan kebahagiaan yang seperti kita alami. Lebih jauh lagi agar orang semakin menyadari bahwa Allah masih peduli pada mereka. Kita lah yang menjadi penyalur berkat dari Allah kepada orang-orang miskin. Orang yang mengajakku makan akhirnya datang ke tempat para janda dan memberikan sendiri sembako. Melihat para janda dengan wajah berseri dan penuh rasa syukur dia pun menjadi terharu. Dia mengatakan bersyukur bahwa dia mendapat kesempatan untuk berbagi. Aku mengatakan bahwa dia telah menyelamatkan martabat para janda itu, sebab pada saat orang lain pesta di hari Lebaran, mereka pun dapat makan cukup meski ala kadarnya. Mereka tidak akan malu karena tidak memiliki kue di hari Lebaran.

1 komentar:

Powered By Blogger