Banyak kaum miskin yang seolah membiarkan hidupnya diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang oleh orang yang mempunyai kekuatan. Rumah mereka digusur, tanah mereka dirampas, sungai yang biasa mereka manfaatkan dicemari oleh limbah industri dan sebagainya. Mereka dimanipulasi saat ada pilkada atau pemilu. Banyak janji palsu dan seolah sikap yang peduli tapi semua itu hanya pada saat pemilu atau pilkada. Setelah semua selesai maka semua janji tidak terealisasi dan mereka pun dilupakan. Mereka dikooptasi dengan diberi sedikit fasilitas agar tidak menyerukan tuntutannya. Masih banyak lagi bentuk-bentuk ketidakadilan dan penindasan.
Beberapa dari mereka sudah berjuang. Tapi perjuangan itu tidak ada hasilnya bahkan hidup mereka menjadi tambah susah. Seolah hukum dan keadilan sudah begitu jauh dari jangkauan dan tidak mampu melindungi lagi. Pemerintah membuat kebijakan dan hukum tapi banyak dari kebijakan dan hukum itu yang tidak berpihak pada kaum miskin. Pemerintah membuat kebijakan pentepatan harga gabah, sehingga petani tidak bebas menjual gabahnya sehingga banyak petani yang miskin, sebab ongkos produksi lebih besar dibandingkan hasil produksi. Pemerintah membuat hukum bagi para buruh yang ter PHK, mereka bisa membela dirinya sendiri. Tapi di pengadilan buruh itu harus berhadapan dengan pengacara yang jauh lebih handal, sehingga tuntutannya dapat dikalahkan. Belum lagi hukum yang bisa dibeli oleh para pemilik modal dan pejabat.
Akibat kegagalan demi kegagalan membuat kaum miskin menjadi pasif, menyerah dan bergantung pada orang yang dianggap kuat. Banyak buruh yang menuntut haknya tapi dengan ancaman PHK maka dia akan melupakan tuntutannya, sebab dia masih butuh pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Dia pun pasrah saja ketika penguasa membuat aturan yang merugikan, sebab apapun yang mereka lakukan tidak menghasilkan perubahan bahkan dapat menambah kesengsaraan sendiri. Akibatnya mereka menjadi pasif dan membiarkan semua ketidakadilan terjadi di depan mata. Maka kaum miskin telah kehilangan martabatnya sebagai manusia yang bebas menentukan haknya. Mereka tidak mampu mengatakan “tidak” atau “ya” bagi dirinya. Semua bergantung pada para penguasa, sehingga mereka semakin dimiskinkan.
Masyarakat Yahudi pada jaman Yesus tidak jauh berbeda dengan masyarakat saat ini. Kaum miskin sering dihilangkan martabatnya dan diperlakukan tidak adil. Ketika Yesus diminta untuk mengadili perempuan yang tertangkap berbuat zinah, Dia hanya berhadapan dengan seorang perempuan. Kemana yang lelaki? Apakah dia tidak bersalah sehingga tidak perlu diadili yang sama? Ketika Yesus menyembuhkan orang lumpuh, maka para pemimpin mengkritikNya berdasarkan hukum Taurat bahwa Dia telah melanggar hari Sabat. Tapi Yesus bertanya "Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?" (Luk 14:5). Yesus berusaha memulihkan kaum miskin yang telah kehilangan martabatnya sebagai manusia, meski Dia harus melawan hukum Taurat dan para penguasa yang ada.
Gereja seharusnya berpihak pada kaum miskin. Dalam dokumen konsili Vatikan II yang Gaudium et Spes sudah ditegaskan bahwa Gereja terlibat dalam masalah dunia, terutama masalah kemiskinan manusia yang semakin mengerikan. Gereja bukan sekedar memberikan bantuan sembako atau tindakan karitatif pada saat bencana melainkan membantu kaum miskin mendapatkan kembali martabatnya dengan cara pembelaan. Tindakan ini seharusnya dimulai oleh para pemimpin Gereja. Merekalah yang pertama-tama harus menunjukkan posisi dan keberpihakannya pada kaum miskin. Mereka berada di tengah kaum miskin untuk mendorong dan membantu kaum miskin mendapatkan kembali martabatnya yang telah dihilangkan oleh para penguasa. Tapi hal ini tidak mudah, sebab semakin tinggi jabatan semakin banyak fasilitas dan kenikmatan yang diperolehnya. Semua itu diberi oleh orang yang berkuasa. Keberanian berpihak pada kaum miskin berarti berani kehilangan semuanya bahkan dirinya.
Beberapa dari mereka sudah berjuang. Tapi perjuangan itu tidak ada hasilnya bahkan hidup mereka menjadi tambah susah. Seolah hukum dan keadilan sudah begitu jauh dari jangkauan dan tidak mampu melindungi lagi. Pemerintah membuat kebijakan dan hukum tapi banyak dari kebijakan dan hukum itu yang tidak berpihak pada kaum miskin. Pemerintah membuat kebijakan pentepatan harga gabah, sehingga petani tidak bebas menjual gabahnya sehingga banyak petani yang miskin, sebab ongkos produksi lebih besar dibandingkan hasil produksi. Pemerintah membuat hukum bagi para buruh yang ter PHK, mereka bisa membela dirinya sendiri. Tapi di pengadilan buruh itu harus berhadapan dengan pengacara yang jauh lebih handal, sehingga tuntutannya dapat dikalahkan. Belum lagi hukum yang bisa dibeli oleh para pemilik modal dan pejabat.
Akibat kegagalan demi kegagalan membuat kaum miskin menjadi pasif, menyerah dan bergantung pada orang yang dianggap kuat. Banyak buruh yang menuntut haknya tapi dengan ancaman PHK maka dia akan melupakan tuntutannya, sebab dia masih butuh pekerjaan untuk menghidupi dirinya. Dia pun pasrah saja ketika penguasa membuat aturan yang merugikan, sebab apapun yang mereka lakukan tidak menghasilkan perubahan bahkan dapat menambah kesengsaraan sendiri. Akibatnya mereka menjadi pasif dan membiarkan semua ketidakadilan terjadi di depan mata. Maka kaum miskin telah kehilangan martabatnya sebagai manusia yang bebas menentukan haknya. Mereka tidak mampu mengatakan “tidak” atau “ya” bagi dirinya. Semua bergantung pada para penguasa, sehingga mereka semakin dimiskinkan.
Masyarakat Yahudi pada jaman Yesus tidak jauh berbeda dengan masyarakat saat ini. Kaum miskin sering dihilangkan martabatnya dan diperlakukan tidak adil. Ketika Yesus diminta untuk mengadili perempuan yang tertangkap berbuat zinah, Dia hanya berhadapan dengan seorang perempuan. Kemana yang lelaki? Apakah dia tidak bersalah sehingga tidak perlu diadili yang sama? Ketika Yesus menyembuhkan orang lumpuh, maka para pemimpin mengkritikNya berdasarkan hukum Taurat bahwa Dia telah melanggar hari Sabat. Tapi Yesus bertanya "Siapakah di antara kamu yang tidak segera menarik ke luar anaknya atau lembunya kalau terperosok ke dalam sebuah sumur, meskipun pada hari Sabat?" (Luk 14:5). Yesus berusaha memulihkan kaum miskin yang telah kehilangan martabatnya sebagai manusia, meski Dia harus melawan hukum Taurat dan para penguasa yang ada.
Gereja seharusnya berpihak pada kaum miskin. Dalam dokumen konsili Vatikan II yang Gaudium et Spes sudah ditegaskan bahwa Gereja terlibat dalam masalah dunia, terutama masalah kemiskinan manusia yang semakin mengerikan. Gereja bukan sekedar memberikan bantuan sembako atau tindakan karitatif pada saat bencana melainkan membantu kaum miskin mendapatkan kembali martabatnya dengan cara pembelaan. Tindakan ini seharusnya dimulai oleh para pemimpin Gereja. Merekalah yang pertama-tama harus menunjukkan posisi dan keberpihakannya pada kaum miskin. Mereka berada di tengah kaum miskin untuk mendorong dan membantu kaum miskin mendapatkan kembali martabatnya yang telah dihilangkan oleh para penguasa. Tapi hal ini tidak mudah, sebab semakin tinggi jabatan semakin banyak fasilitas dan kenikmatan yang diperolehnya. Semua itu diberi oleh orang yang berkuasa. Keberanian berpihak pada kaum miskin berarti berani kehilangan semuanya bahkan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar