Kamis, 25 Maret 2010

HARI BARU


Ketika masih kecil dulu aku sering tidak bisa tidur bila diberitahu akan dibelikan sepatu atau pakaian baru. Aku ingin hari segera berubah sehingga bapak atau ibu segera membeli dan aku dapat memakainya. Pernah suatu sore bapak memberikan sepatu baru. Aku begitu senangnya sehingga sepatu itu langsung kupakai sampai tidur malampun tidak kulepas. Tapi semua yang baru itu hanya menyenangkan beberapa hari saja. Setelah itu semua menjadi biasa lagi. Kegembiraan akan sepatu atau pakaian yang baru menjadi hilang. Tidak jarang aku mulai mengeluh dan bosan dengan sesuatu yang semula membuatku bahagia. Aku ingin ganti lagi atau iri melihat milik teman yang kuanggap lebih bagus, sehingga mulai mengeluh mengapa bapak atau ibu membelikan yang ini tidak yang seperti itu.

Apa yang aku alami pada masa kecil itu tidak jarang dialami oleh banyak orang dalam bentuk yang berbeda. Orang sangat bersemangat ketika mulai diterima di sebuah perusahaan. Dia membayangkan akan bertemu dengan orang baru, pekerjaan baru dan suasana baru. Hari pertama menjadi hari yang menyenangkan. Tapi lama kelamaan mulai timbul kebosanan sebab bertemu dengan orang yang sama di tempat yang sama. Melakukan pekerjaan yang sama. Maka tidak jarang orang mengeluh jenuh dengan pekerjaannya. Rasa jenuh yang muncul dalam hati membuat orang kehilangan semangat. Mulai menjadi tidak cocok dengan teman sekantor hingga timbul cek cok kecil-kecilan yang semakin lama semakin membesar dan menimbulkan antipati atau dendam. Akibatnya banyak orang merasa hari Senin menjadi hari yang membosankan.

Rasa bosan dengan situasi hidup sehari-hari disebabkan orang tidak melihah hal yang baru dan indah dalam diri sesama atau situasi hidupnya. Begitu bangun tidur pada pagi hari yang timbul dalam angan adalah kebosanan hari ini. Rutinitas yang menjemukan. Bila hidup diawali oleh hal negatif maka sepanjang hari ada kemungkinan diwarnai oleh rasa itu. Memang orang tidak bisa mudah mengganti teman, situasi hidup, pekerjaan dan sebagainya. Dia mau tidak mau harus bertemu dan menjalani semua itu. Hal yang dapat dilakukan adalah ketika bangun tidur pagi hari membayangkan hal baru atau menyenangkan pada hari itu. Menciptakan atau mencari suasana baru dalam hidup yang dapat membuat bersemangat.

Kita setiap hari melihat matahari terbit dari timur dan tenggelam di barat. Oleh karena peredaran matahari itu sudah biasa dan kita sudah tahu sejak lahir, maka kita tidak melihat keindahannya. Kita baru mengagumi keindahan matahari terbit atau tenggelam ketika di gunung Bromo atau pantai Kuta. Padahal matahari itu satu. Dimana pun kita berada akan melihat matahari yang satu dan sama. Keindahan itu muncul sebab dalam diri kita mempunyai keyakinan akan melihat keindahannya. Sejak berangkat dari rumah kita sudah meyakinkan diri akan melihat keindahan matahari terbit atau terbenam di gunung Bromo atau pantai Kuta. Dengan demikian bukan mataharinya yang berubah tapi keinginan dan keyakinan kita untuk melihat keindahan itulah yang membuat matahari menjadi indah.

Kejenuhan akan teman, pekerjaan dan situasi hidup disebabkan kita kurang mencari keindahannya setiap hari. Kita melihat semua sama seperti kemarin. Semua biasa saja. Maka perlu untuk mencari keindahan dan sesuatu yang membuat kita kagum dalam diri teman, pekerjaan dan situasi hidup. Apa yang biasa dan sederhana akan menjadi indah dan mengagumkan bila kita mempunyai cinta. Dari rasa cinta akan timbul pikiran-pikiran positip, sehingga kita bisa melihat hal positip dalam apa saja yang kita temui sepanjang hari. Rasa cinta ini dibangun setiap kita bangun tidur pada pagi hari sehingga akan menumbuhkan semangat dan energi positip dalam diri yang akan mewarnai hidup kita sepanjang hari. Tapi membangun daya positip itu tidak mudah, sebab kita lebih mudah untuk melihat hal negatip dan kekurangan dalam aneka hal. Untuk itu perlu belajar terus menerus menumbuhkan hal positip sehingga kita dapat melihat segala sesuatu penuh kekaguman dan keindahan yang membuat hari hidup kita menjadi cerah.

Minggu, 21 Maret 2010

REFLEKSI DIRI

Masa Prapaskah adalah masa untuk merefleksi diri. Refleksi diri adalah cara untuk melihat perjalanan hidup dalam terang Allah. Apakah kita sudah berjalan sesuai dengan kehendak Allah atau sebaliknya menjauh dari kehendak Allah. Apakah sikap kita sudah mencerminkan kasih pada sesama atau masih cenderung egois dan mementingkan diri sendiri. Apakah yang kita lakukan sudah sesuai dengan kehendak Allah ataukah kita masih menuruti kehendak sendiri sehingga mengabaikan kehendak Allah. Masih banyak lagi yang dapat kita renungkan mengenai sikap, perkataan dan perbuatan kita dalam terang iman dan kehendak Allah.

Refleksi diri adalah usaha kita untuk mengetahui apa yang kurang dan perlu kita perbaiki dalam diri. Dalam bercermin kita harus mengambil jarak agar tidak terlalu dekat, sebab kalau kita terlalu dekat dengan cermin maka kita tidak akan melihat diri seutuhnya. Tapi kalau kita terlalu jauh dari cermin maka kita tidak akan jelas melihat diri meski dapat melihat diri seutuhnya. Maka perlu mengambil jarak yang tepat agar kita bisa melihat sebanyak mungkin diri kita namun tetap jelas. Kita mengambil jarak dari hidup secara tepat dan seimbang sehingga kita dapat melihat diri secara jelas dan tidak penuh dengan pembelaan diri.

Merefleksi diri dapat dilakukan kapan saja. Sejauh kita mau melihat diri sendiri. Salah satu contoh refleksi diri yang baik seperti dalam Injil Yoh 8:1-11. Dalam bagian itu diceritakan Yesus sedang berada di Bait Allah, lalu datang orang-orang membawa perempuan yang tertangkap berbuat zinah. Mereka bertanya pada Yesus apa yang harus dilakukan. Padahal mereka semua sudah tahu bahwa dalam hukum Musa kalau orang tertangkap berbuat zinah maka perempuan yang berbuat zinah harus dilempari batu sampai mati. Tapi mereka bertanya pada Yesus untuk mencobai Yesus. Bila Yesus mengijinkan mereka menerapkan hukum Musa, maka Dia melanggar ajaranNya sendiri agar orang saling mengampuni. Tapi bila Dia mengatakan agar mengampuni perempuan itu, maka Dia dapat disalahkan sebab melawan hukum Musa. Dalam situasi seperti ini Yesus mengajak orang untuk merefleksi diri. Maka Dia mengatakan "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”

Yesus seolah menempatkan sebuah cermin besar dihadapan semua orang. Yesus tidak lagi berbicara soal hukum tapi mengajak mereka untuk melihat diri sendiri. Apakah mereka tidak pernah berdosa sehingga mengadili orang lain yang dianggap berdosa? Pertanyaan Yesus membuat mereka sadar bahwa mereka pun orang berdosa. Akhirnya semua orang pergi mulai dari yang tua. Inilah contoh refleksi diri. Kita diajak untuk melihat diri kita sendiri.

Dalam hidup sehari-hari memang mudah sekali kita menyalahkan orang lain. Melemparkan tuduhan pada orang lain secara sewenang-wenang. Apalagi bila kita merasa kuat dan mempunyai kekuasaan. Dalam kasus perempuan yang tertangkap berbuat zinah itu, mengapa yang diadili hanya yang perempuan? Kemana pasangannya dalam berbuat zinah? Lelaki itu tidak diceritakan sebab memang dalam berbuat zinah yang disalahkan adalah pihak perempuan. Disinilah letak ketidakadilan hukum yang dibuat oleh lelaki. Pihak lelaki yang berkuasa dapat menuduhkan kejahatan pada orang lain sedang dia tidak menuduhkan pada diri sendiri. Kekuasaan dapat membuat orang menjadi sewenang-wenang sehingga mengadili orang lain dengan sesuka hati.

Kita pun mudah mengadili orang lain dengan sewenang-wenang. Seorang ibu dapat memarahi anaknya yang nonton TV padahal dirinya sendiri juga suka menonton TV. Seorang nyonya dapat mencaci maki pembantunya yang dianggap tidak bisa memasak, padahal dia sendiri yang seharusnya memasak bagi suami dan anaknya tidak bisa memasak dengan enak. Masih banyak contoh yang dapat kita temui dalam hidup sehari-hari dimana orang yang berkuasa mudah sekali melontarkan tuduhan dan pengadilan pada sesamanya yang dianggap lemah. Pengadilan dan tuduhan semakin kejam bila orang dianggap berbuat dosa yang melanggar susila. Orang mencibirkan bibirnya ketika melihat salah satu anak tetangga hamil sebelum menikah. Mereka ramai menggunjingkan dan mengejek gadis itu, padahal dirinya sendiri belum tentu tidak pernah melanggar norma susila.

Yesus mengingatkan bahwa bila kita menghakimi orang maka kita pun akan dihakimi yang sama. “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” (Mat 7:22) Perkataan Yesus ini sudah sangat jelas agar kita tidak mudah menghakimi orang lain. Memang kita belum pernah mengadili orang seperti orang-orang yang mengadili perempuan di Bait Allah, tapi kita sering kali menggunjing, mefitnah dan menggosip. Semua itu merupakan pengadilan terhadap orang lain. Dalam menggunjing kita menceritakan tentang keburukan orang. Kita sudah mengadili orang tanpa orang itu mampu membela diri atau menyatakan kebenaran. Bukankan ini pengadilan yang tidak adil sama sekali? Ketika menggunjing orang lain kita merasa diri benar dan orang yang kita bicarakan salah atau buruk. Maka kita dapat bertanya dalam diri sendiri apakah aku sudah cukup baik sehingga menjelekkan sesama dihadapan orang lain? Bila kita tidak pernah merefleksi diri maka kita akan terus merasa diri baik dan mudah mengadili orang lain. Sebaliknya bila sadar bahwa kita juga mempunyai banyak kesalahan, maka kita tidak akan mengunjingkan orang lain.

Refleksi membutuhkan sikap rendah hati. Dengan kerendahanhati maka kita akan mengakui kesalahan atau dosa yang telah kita perbuat dan menerimanya sebagai kelemahan diri lalu mohon ampun pada Tuhan. Bila kita tidak memiliki kerendahanhati maka ketika melihat kesalahan atau dosa, kita akan sibuk mencari pembenaran diri atau menyalahkan orang lain. Seorang anak sering menjadi sombong. Ketika dia mendapat nilai jelek dalam ulangan, maka dia mulai menyalahkan guru, teman, situasi belajar dan sebagainya. Seharusnya semakin tua kita semakin rendah hati. Berani mengakui kesalahan dan dosa. Dalam kisah perempuan tertangkap berbuat zinah dikatakan bahwa orang yang pergi dimulai dari yang tua. Hal ini bukan berarti orang tua mempunyai banyak dosa, melainkan orang tua mampu rendah hati sehingga dia cepat sadar akan kelehaman dirinya.

Maka dalam masa Prapaskah ini kita diajak untuk merefleksi diri dengan semangat rendah hati. Menyadari akan kedosaan diri sendiri. Bukan sibuk mencari-cari kesalahan sesama. Dalam hal ini dibutuhkan situasi tenang agar kita dapat sejenak melihat diri dengan jujur dan mengadili diri kita sendiri sebelum mengadili sesama.

Selasa, 16 Maret 2010

ANDAI KAU TAHU NAK....

Dering bel mengejutkan Murni. Dia segera menutup novel yang sedang dibacanya. Hanya dalam hitungan detik halaman sekolah yang semula dikuasai oleh suara para ibu-ibu yang duduk bergerombol di beberapa tempat, kini tenggelam oleh suara riuh anak-anak. Mereka berebut keluar dari ruang kelas seperti kawanan lebah yang marah karena rumahnya diusik. Teriakan, tertawa dan panggilan nama-nama dengan nada kecil melengking bermunculan dari berbagai penjuru halaman. Beberapa anak berlarian saling mengejar sambil mengejek. Teriakkan marah terdengar dari beberapa anak karena merasa tubuhnya ditabrak anak yang berlarian. Mereka memukul dan balas dipukul. Tiada kemarahan mendalam. Bagi anak-anak semua hanya gurauan. Hidup tidak dihadapi dengan serius.

Murni memicingkan matanya. Mencoba mencari sosok wajah yang terus melekat di benaknya. Wajah yang polos tapi bagaikan sebuah samurai yang menusuk hati. Membongkar masa lalu yang sudah dimasukan dalam peti berkarat. Deretan peristiwa yang ingin disobek dari seluruh perjalanan hidupnya. Pengalaman yang membenamkan dirinya dalam dosa dan dosa yang tiada termaafkan. Murni menggelengkan kepalanya lemah. Dia ingin sejenak mengusir wajah polos yang dilihatnya beberapa waktu lalu. Tapi semakin diusir semakin kuat wajah itu terus menari-nari dalam alam khayalnya siang malam penuh ejekan. Membuat hatinya tercabik-cabik pedih sehingga tak kuasa membendung air mata yang selama ini disimpan rapat-rapat.

Satu demi satu anak-anak di lapangan sekolah mulai berkurang. Mereka pergi dijemput orang tua atau pembatunya atau orang-orang kepercayaan orang tuanya. Hati Murni cemas. Dimana wajah yang dinantikan? Apakah dia tidak masuk hari ini? Sakitkan dia? Siapa yang merawatnya ketika sakit? Air mata Murni meleleh. Dia mengangkat kaca mata minusnya dan berusaha menyeka air matanya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dicari sedikit kelegaan dari uap panas yang mengapung dari halaman. Angin lembut yang melintas menggoyangkan dedaunan pohon mangga yang berdiri rindang di belakang punggungnya.

Murni melirik jam tangan yang melingkari di lengannya. Sudah 10 menit sejak bel berbunyi tapi wajah itu masih belum muncul juga. Mata Murni melihat seorang bapak tua melintas halaman sambil mendorong sebuah becak. Dia berhenti di depan sebuah pintu kelas. Tidak lama kemudian muncul di pintu kelas seorang anak lelaki. Wajahnya tampan. Tingginya sudah sebahu bapak tua penarik becak. Hati Murni berdebar. Air matanya semakin deras meleleh. Bahunya bergoyang-goyang menahan isak tangis. Bapak tua pengemudi becak membantu anak lelaki itu duduk di bangku becak. Becak itu pun berjalan melintas di depan tempat Murni duduk. Ingin rasanya Murni lari menghampiri mereka. Tapi kakinya terpaku di tempatnya. Hanya isak tangis tertahan mengiringi kepergian mereka.

Murni bergegas menuju mobilnya. Dia keluar dari deretan mobil yang tidak seramai ketika dia datang. Perlahan-lahan dia mengikuti becak itu berjalan. Di depan sebuah gang kecil becak itu masuk. Murni memparkir mobil tidak jauh dari mulut gang. Dengan berjalan cepat dia berusaha mengejar becak yang didorong melintasi gang. Di depan sebuah halaman kecil becak itu berhenti. Anak lelaki itu dengan sigap meloncat turun dan berjalan bergegas masuk ke lorong kecil. Wajahnya tampak cerah. Sekilas dia menatap Murni yang berdiri tidak jauh darinya. Hanya sekilas dan sebuah senyum tipis. Dia tertatih berjalan melintasi deretan pintu-pintu kecil rumah bedeng. Bapak pengemudi becak itu menatap Murni sekilas. Sebuah senyum dan anggukan kepala menyadarkan Murni. Dia berjalan terus melintasi bapak pengemudi becak yang sibuk mengatur becaknya.

Beberapa langkah kemudian Murni balik arah. Dia kembali ke mulut gang dimana mobilnya diparkir. Hatinya tidak kuasa menahan kepedihan. Dia menelungkupkan kepalanya di stir mobil. Menangis keras. Kepedihan yang disimpan rapat selama ini seperti mendapat pintu keluar. Pertahanan dirinya jebol. Segala kepalsuan yang disimpannya selama ini terbuka lebar. Senyum anak itu seperti sebuah palu pengadilan yang membuatnya tidak berdaya untuk membuat sebuah pembelaan. Murni menarik nafas berusaha mengontrol dirinya. Sebagai seorang wanita karir yang menduduki jabatan tinggi di sebuah perusahaan dia sudah terbiasa tidak melibatkan perasaan dalam mengambil keputusan. Dia terbiasa memakai topeng untuk menutupi kelemahan dirinya. Anak buahnya yang pada umumnya lelaki sering menjulukinya sebagai wanita besi yang sulit tersenyum. Kini dihadapan anak itu Murni menjadi perempuan lemah yang tidak berdaya.

Murni melihat wajahnya di kaca spion mobil. Dia mengoleskan bedak dan lipstick. Dia tidak ingin ada orang yang melihatnya lemah. Beberapa kali dia menarik nafas panjang untuk mengatasi kegalauan hatinya. Di liriknya selembar koran yang masih terbuka di jok sebelahnya. Foto anak itu terpampang besar. “Cacat Tidak Menghalangi Untuk Meraih Prestasi Dunia” judul artikel yang ditulis dalam huruf besar-besar. Tiga buah foto terpampang besar. Satu ketika anak itu sedang berdiri. Di sisinya ada foto ketika dia melukis. Di bawahnya ada foto hasil lukisannya yang meraih penghargaan dunia.

“Ah anakku,” kata Murni lirih. Air matanya turun kembali. Dia menyandarkan tubuhnya di jok mobil. Matanya terpejam untuk memulihkan kekuatan dirinya. Tapi sebuah film usang memenuhi alam pikirannya. Tiga belas tahun lalu dia masih seorang mahasiswi tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi terkenal di ibu kota. Suatu hari dia bersama beberapa teman rekreasi ke Bali. Malam hari mereka habiskan di sebuah diskotik yang cukup terkenal. Ada seorang bule yang menatapnya penuh minat. Mereka berkenalan. Dia bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan asing. Perkenalan singkat berlanjut melalui telpon dan surat. Beberapa kali terjadi pertemuan bila bule itu datang ke ibu kota. Sampai akhirnya mereka melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan. Sebuah kebodohan yang didasarkan pada kepalsuan cinta dan ketidakpastian.

Bule itu kembali ke Amerika tanpa kabar berita meninggalkan sebuah janin dalam rahim Murni. Perusahaan tempat bule itu bekerja tidak memberikan alamat yang jelas padanya. Beberapa kali surat kembali dengan alamat tidak dikenal. Murni harus menghadapi masalah seorang diri. Bagaimana dia akan mengatakan semua ini pada orang tuanya yang tinggal jauh di luar pulau? Mereka begitu bangga padanya yang dianggap paling cerdas dan baik dalam keluarga. Apa yang akan terjadi bila mereka tahu bahwa sekarang gadisnya yang sangat dibanggakan hamil tanpa suami? Apakah dia tega melemparkan kotoran ke wajah ayah bundanya yang sudah tua? Apalagi ayahnya sudah sakit-sakitan. Sebuah batu besar menimpa dirinya. Dunia menjadi gelap dan sangat dibencinya. Dia tidak ingin ada orang yang tahu keadaannya. Teman-temannya pun tidak, sebab cerita mereka dapat sampai ke telinga orang tuanya.

Keputusan yang memedihkan diambil. Dia harus aborsi. Berbagai obat diminum. Tapi janin ini tidak mau gugur. Pertolongan seorang dukun yang memijat dan jamu juga tidak mampu menghancurkan janin yang sangat dibencinya. Kandungan semakin besar. Murni makin kalut. Semua jalan buntu. Akhirnya dia pergi ke sebuah kota kecil. Dia kost dan mengatakan pada para tetangga bahwa dia sedang mencari suaminya yang pergi ke kota itu. Kebohongan demi kebohongan dibuatnya sampai lupa apa itu kebenaran. Topeng dipakainya dan berganti peran. Anak itu lahir. Hati Murni bagai dilumat besi gilingan. Hancur luluh lantak. Wajah anak itu tampan. Hidungnya mancung. Matanya kebiruan. Kulitnya putih dan rambutnya hitam lebat. Tapi tanpa lengan. Hanya ada dua daging kecil seperti sayap sebagai pengganti lengannya. Akan aku apakan mahluk kecil ini? Teriak Murni dalam hati.

Keluar dari rumah sakit dia tidak tahu kemana jalan yang harus dituju. Kembali ke kost sampai kapan? Apakah dia akan menghabiskan hidupnya di kota kecil dalam kebohongan dan kepalsuan? Dalam keadaan kalut tukang becak yang ditumpangi mengulurkan tangan. Dia sudah lama menikah dan tidak punya anak. Dia mau merawat bayi cacat yang tidak dikehendakinya. Baginya ini berkah dari Tuhan. Tanpa pikir panjang Murni menyerahkan bayi itu pada tukang becak yang ditumpanginya.

Bertahun-tahun peristiwa itu tenggelam. Murni menyelesaikan kuliahnya dan bekerja. Karirnya melesat cepat. Dia menduduki sebuah jabatan tinggi di sebuah perusahaan. Hatinya yang sudah hancur tidak mampu menerima cinta dari pemuda manapun. Dia tidak ingin dikhianati kedua kalinya. Cukup sekali dia menderita. Desakan orang tua agar dia menikah ditolak halus. Keluarganya menyerah dan membiarkan dia hidup lajang. Sampai beberapa hari lalu dia membaca di sebuah koran kisah tentang seorang anak cacat yang berhasil menjuarai lomba lukis bagi penyandang cacat tingkat dunia. Dia melukis menggunakan kakinya, sebab kedua tanganya tidak ada. Melihat wajah anak itu Murni bergetar hebat. Wajahnya mirip dengan orang bule yang pernah mencintainya.

Dorongan rasa sesal seorang ibu menghantam dirinya. Hukuman nurani sebagai ibu berdosa yang membuang anaknya terus berdengung dalam hati yang terdalam siang malam. Mengapa anakku harus menanggung penderitaan akibat keputusanku yang ceroboh? Pertanyaan yang terus berputar berulang-ulang. Mengapa tega membuang buah cinta? Dia cacat dan tidak pernah melihat ayahnya mengapa aku satu-satunya orang tua tidak mau merawatnya? Dosa apakah yang dia pikul sehingga hidup dalam penderitaan dan kemiskinan sebagai anak tukang becak sedang aku hidup dalam berkelimpahan harta? Air mata Murni berderai. Tangisan di hati lebih terdengar pedih. Tusukan demi tusukan kesadaran membuatnya makin tidak berdaya.

Dia membenahi penampilannya. Membuka pintu mobil dan berjalan lunglai memasuki gang yang lurus dan sempit. Deretan rumah sederhana dilalui seperti deretan saksi yang mencibirkan bibir melihat segala kepalsuan yang dibangunnya. Di kejauhan tampak becak tua itu masih terongok disana. Tanpa penumpang dan pengemudi. Beberapa orang melihatnya dengan mata penuh heran. Jarang sekali ada perempuan cantik, bersih dan mengenakan gaun yang bagus tersesat di gang mereka. Murni tidak peduli. Hidup mereka lebih bersih daripada lembaran hidupku yang kelam. Katanya dalam hati sambil terus melangkah.

Minggu, 14 Maret 2010

WAKTU


Kadang kalau sedang menunggu lampu hijau menyala di traffic light aku merasa sangat lama padahal angka digital yang menghitung mundur waktu menunjukkan hanya beberapa detik saja. Di beberapa traffic light lama waktu untuk setiap perubahan lampu berkisar antara 1 sampai 2 menit. Bahkan ada yang hanya 30 detik saja. Tapi waktu 30 detik itu pun dirasa sangat lama bila harus menunggu, sebaliknya menjadi sangat cepat bila akan lewat. Kadang aku mengejar waktu yang bergerak cepat agar dapat melintasi perempatan. Dari sini aku melihat bahwa waktu itu sangat relatif dan sangat berguna.

Bagi beberapa orang waktu itu sangat berguna. Waktu 1 detik bagiku dapat sangat berguna untuk dapat melintasi perempatan. Bagi Michael Jordan waktu 5 detik dapat digunakan untuk memenangkan Chichago Bulls ketika melawan Utah Jazz sehingga menjuarai NBA untuk keenam kalinya. Bagi Michael Phelps, perenang AS, waktu 0,13 detik sangat penting untuk mengalahkan Rafael Munoz sehingga dia dapat menjuarai renang gaya kupu-kupu jarak 100 m. Masih banyak lagi aneka rekor yang diciptakan dalam hitungan detik bahkan dibawah detik. Bila melihat ini maka kadang aku merasa malu mengapa aku meremehkan waktu satu detik bahkan ratusan detik sehingga membuangnya secara percuma atau untuk melakukan hal yang tidak berguna.

Dalam budaya modern seperti jaman ini sering kali kita mendengar orang yang mengatakan tidak punya waktu. Banyak orang tenggelam dalam aneka kesibukan sehingga tidak mempunyai waktu lagi. Akibatnya terjadi krisis terutama krisis relasi personal. Banyak orang kehilangan relasi yang hangat dengan sesamanya sebab orang tidak mempunyai waktu untuk bertegur sapa secara personal. Krisis ini juga melanda keluarga-keluarga. Dalam bahasa Inggris ada dua kata yaitu house dan home yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sama yaitu rumah, padahal dua kata ini mempunyai arti yang berbeda. House adalah konstruksi bangunan dimana ada atap, pintu, dinding dan sebagainya. Tidak diperhatikan apakah orang yang tinggal saling menyapa atau ada kasih. Sedangkan home adalah tempat tinggal dimana orang dapat nyaman, berkembang, menghidupi kehidupannya. Seseorang membedakan house dan home sebagai berikut. "Home is where the heart is." You can live in a beautiful home, but if you have no one to love and share it with, then it's just a plain house no matter how fancy it is.” Sedangkan yang lain mengartikan sebagai berikut, Home is place where one can find the stracture with respect, love, care and feeling for each other among the family members but structure minus other qualities can be termed as a house. Jaman ini banyak rumah sudah menjadi house daripada home.

Krisis dalam keluarga akibat hilangnya relasi personal sehingga kita tidak mampu membangun home disebabkan kita tidak mempunyai waktu. Apakah kita sungguh tidak mempunyai waktu ataukah banyak waktu yang kita buang percuma? Apakah kita sudah menggunakan setiap detik waktu untuk meraih kemenangan seperti Michael Jordan dan Michael Phelps? Dalam keseharian sering kita tidak menggunakan waktu yang ada secara efektif dan efesien. Orang bisa bertahan selama berjam-jam untuk menikmati acara TV atau tindakan membuang waktu yang sebetulnya kurang bermanfaat bagi dirinya. Hal yang sering terjadi adalah orang kurang memiliki management waktu yang tepat. Tidak jarang ketika bangun tidur di pagi hari kita tidak tahu apa yang ingin kita raih dan lakukan pada hari itu. Kita mengikuti saja apa yang terjadi sehingga terkejut ketika sadar bahwa sudah senja. Lalu kita mengeluh bahwa kita kehabisan waktu.

Kita sudah tahu bahwa dalam 1 hari waktu berjalan selama 24 jam. Maka sebetulnya kita tidak mungkin kekurangan waktu, bila semua sudah ditata dan dijadwal sedemikian rupa. Dengan demikian krisis-krisis, terutama krisis relasi personal, yang terjadi akibat kita kekurangan waktu sebetulnya dapat dihindari. Selain itu perlu adanya skala prioritas dalam pembagian waktu. Sesuatu yang penting dalam hidup diberi porsi yang lebih besar dibandingkan hal yang lain. Tapi persoalannya sering kali kita kurang mampu membedakannya sehingga menimbulkan krisis dalam kehidupan kita.,

Sabtu, 13 Maret 2010

PULANG

Pulang ke rumah setelah berpergian adalah hal yang sangat menyenangkan bagiku dan mungkin juga bagi banyak orang. Memang ketika di rumah aku membayangkan enaknya pergi ke suatu tempat baru dan dapat melihat atau merasakan sesuatu yang baru. Tapi ketika di tempat baru itu aku merindukan rumah. Di tempat baru kadang kala aku menikmati aneka fasilitas yang jauh lebih bagus dibandingkan di rumah, tapi aku merasa ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Aku merasa tidak sebebas di rumah sendiri. Aku merasa asing dan ada suatu rasa di rumah yang tidak aku temukan di tempat baru atau di luar rumah. Maka setiap sampai di stasiun atau bandara ada rasa lega dalam hati dan aku ingin berteriak “Aku pulang!”.

Tapi tidak jarang kepulangan menjadi suatu yang berat bila sadar bahwa di rumah ada masalah yang tidak ingin kuhadapi. Ketika tahun-tahun pertama di seminari pulang ke rumah adalah sesuatu yang ingin kuhindari. Aku tahu bahwa di rumah pasti aku akan bertengkar dengan orang tuaku yang tidak setuju dengan keputusanku masuk seminari. Tapi meski demikian tetap saja ada dorongan yang kuat untuk pulang. Dorongan untuk menikmati suasana. Menikmati bantal dan tempat tidur yang ada di rumah. Masakan ibu yang khas dan suasana rumah. Hal ini yang menyebabkan pada masa lebaran ada ribuan orang berbondong-bondong untuk pulang, meski penuh dengan perjuangan dan susah payah. Mereka berani menempuh segala resiko asal dapat pulang.

Dalam perumpamaan tentang anak bungsu yang pergi untuk menghamburkan warisan dari bapanya, akhirnya si bungsu ingin pulang dalam kemiskinan dan kehinaan. Apakah seandainya dia menjadi kaya dan sukses maka dia tidak akan pulang? Aku rasa tidak. Dalam hikayat Malin Kundang, meski si Malin Kundang sudah kaya, tapi dia tetap ingin pulang. Masalah besar adalah dia tidak mampu menerima kemiskinan ibunya, sehingga dia tidak mau mengakuinya sehingga dikutuk menjadi batu. Dengan demikian si bungsu mungkin juga tetap ingin pulang meski dia telah menjadi kaya. Keinginan si bungsu pulang semakin kuat ketika dia sadar akan situasi hidupnya dan membandingkan dengan situasi bapanya. Dia ingin menikmati situasi yang ada di rumah bapanya meski dia sadar akan ketidakpantasan diri, maka dia rela menjadi apa saja asal dapat pulang.

Hidup adalah sebuah perjalanan. Dalam menempuh perjalanan hidup kita dapat berjalan menuju ke Allah atau sebaliknya menjauh dari Allah. Dosa adalah saat kita berjalan menjauh dari Allah. Pada saat kita berbuat dosa ada rasa ingin bertobat. Kita ingin kembali berjalan ke arah Allah. Tapi kita sering lemah sehingga dorongan untuk pulang ke rumah Allah sering kita bunuh dengan aneka alasan yang kita buat dan seolah masuk akal. Kadang kita malu untuk kembali ke Allah sebab sadar bahwa telah banyak dosa yang kita lakukan. Banyak orang tidak ke gereja sebab dia merasa bahwa dia tidak pantas untuk datang ke rumah Allah. Kerinduan untuk kembali ke rumah Bapa sering dibunuh sehingga membuat hati menjadi tidak nyaman.

Kembali ke rumah Allah membutuhkan keberanian untuk mengakui segala dosa kita. Semakin kita sadar akan dosa seharusnya semakin kita sadar akan pentingnya bantuan dari Allah. Hal ini memang membutuhkan kerendahanhati untuk meminta pertolongan Allah dan menyadari dosa. Banyak orang merasa dirinya tidak berdosa sehingga tidak membutuhkan pertolongan Allah. Di sisi lain kita juga menyakini akan belas kasih Allah yang tidak berkesudahan. Hal ini bukan berarti kita dapat berbuat seenaknya dengan keyakinan bahwa toh Allah akan mengampuni. Yesus bersabda “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." (Yoh 8:11). Belas kasih diberi Allah tapi bukan berarti kita menyalahgunakan anugerah itu. Kita sering ingin pulang terlebih ke rumah Bapa, maka dorongan itu perlu kita pupuk dan kembangkan setiap saat sehingga hidup kita selalu berjalan ke arah Bapa. Kalau toh suatu saat kita jatuh, kita masih mempunyai harapan untuk kembali ke rumah Bapa.

Senin, 08 Maret 2010

DITENGAH HUJAN DI BAWAH JEMBATAN


Dua tubuh kurus duduk merapat di tiang tembok penyangga jembatan. Kaki mereka ditekuk di depan perut. Tulang lutut mereka yang tampak menonjol bagai butir kelapa ditekan di dada. Mereka terus berusaha untuk menggeser pantat semakin menempel ke tembok untuk menghindari tetes air hujan yang turun bagaikan jarum berkejaran dari langit kelabu. Butiran air hujan yang meleleh dari bibir jembatan jatuh tidak beraturan membuat lubang-lubang besar di sela jari kaki. Beberapa air memercik membasahi baju, kepala dan lengan mereka yang telah basah.

“Mak,” suara gadis kecil menyeruak diantara gemuruh air hujan yang berjatuhan di sungai.
“Ya,” jawab perempuan tua di sebelahnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang lengang. Satu dua motor melaju kencang di sela mobil menyisakan percikan air coklat yang meloncat menggapai langit.
“Lapar Mak,” kata gadis itu lirih. Perutnya yang lapar ditekan betis kurus. Anak itu membetulkan letak duduknya kembali. Lengannya yang kecil dan hitam berusaha mendekap erat kedua kakinya. Seolah dia tidak ingin kakinya pergi meninggalkan tubuhnya yang lapar dan basah kuyup.
“Ya,” sekali lagi perempuan itu menyahut singkat. Dia mendongakkan kepalanya. Matanya yang lebar berusaha mencari tanda kapan hujan akan berhenti. Tapi mendung gelap merata menutupi seluruh kota.
“Mak,” seru anak itu lagi semakin lirih. Dia menatap emaknya. Disandarkan kepalanya di lengan emaknya yang basah.

Perempuan itu membatu. Wajahnya menatap ke arah tirai hujan yang menyelimuti tiang besi berukir di ujung jembatan. Lampu di puncak tiang itu memancar warna kuning. Sinarnya seolah bergoyang-goyang terbias oleh deretan air hujan. Di dekat tiang itu dia biasanya berdiri. Menanti satu dua orang yang mengulurkan lengan dengan uang receh dalam genggaman telapak tangannya. Kini di dekat tiang itu hanya ada tabir air hujan berwarna kekuning-kuningan membawa sinar lampu. Sekali lagi dia mendongakkan kepalanya mencari tanda kapan hujan akan berhenti sebelum gelap menutupi seluruh kota.

Perempuan itu mengejap-ngejapkan matanya. Sejak tadi air matanya meleleh bersama air hujan yang menetes di kepalanya yang penuh uban. Rasa asin terjilat di bibirnya. Seasin hidupnya yang meleleh di perkotaan. Dia menghela napas berat. Mengusir segala bayang peristiwa yang pernah dilalui. Lembar gelap yang panjang dan entah dimana ujungnya. Dia mengatupkan bibirnya rapat. Berusaha menekan semua bayang yang melintas. Aku harus kuat, katanya dalam hati. Aku harus kuat. Aku harus terus berharap pada suatu saat akan keluar dari kubangan busuk ini.

“Mak,” kata anak perempuan itu sekali lagi. Tubuhnya yang kurus semakin menempel di tubuh emaknya. Dia mencari sedikit kehangatan di tubuh emaknya yang basah. Dia membayangkan sedikit kehangatan akan mengusir rasa lapar yang melilit. Sejak pagi tadi perutnya belum terisi apa-apa selain air yang menetes dari tembok jembatan. Rasa asin dan pahit ditelannya untuk membasahi kerongkongan dan mengisi perut. Lengan anak itu memeluk perut emaknya yang sama tipisnya dengan baju yang dikenakan.

Perempuan itu mengusap kepala anaknya. Sembilan tahun lalu anak ini berteriak penuh kebebasan terlepas dari rahimnya di sebuah PUSKESMAS. Tangis kebebasan seorang bayi dan teriak penuh syukur seorang ibu beradu. Sebuah senyum bahagia tersungging di wajah seorang pria setengah baya. Kebahagiaan diraih dan berhenti sesaat kemudian. Dari mana didapatnya biaya untuk membayar PUSKESMAS? Ucapan selamat seorang perawat bagaikan jari yang menunjukkan tanggungjawab.

Penghasilan seorang tukang becak yang tidak cukup untuk dimakan berdua kini harus dibagi menjadi tiga. Anak kecil lebih membutuhkan biaya. Bila dia lapar maka dia akan menangis tanpa peduli apakah orang tua mempunyai beras atau tidak. Bagaimana bila dia sakit? Apakah dia tidak akan sekolah? Darimana biaya sekolah? Apakah orang miskin tidak boleh mempunyai anak? Aku berhak mempunyai anak. Kata perempuan itu dalam hati yang teguh. Orang tuanya memberi nasehat, setiap anak membawa rejeki masing-masing. Sebuah harapan digenggam. Anak ini akan membawa rejeki dalam kehidupannya. Mengubah hidupnya menjadi lebih baik.

Ternyata harapan itu semakin lama semakin luntur. Kehidupan bertambah berat. Anaknya beberapa kali sakit dan membutuhkan biaya. Satu demi satu apa yang pernah dimiliki dijual. Kamar kontrakan menjadi kosong. Kompor minyak adalah barang terakhir yang dapat dijualnya. Tapi semua dijalani dengan penuh keyakinan bahwa suatu saat pasti anak ini akan membawa rejeki tersendiri. Harapan terus ditumbuhkan dalam hati agar dapat tegak berdiri menatap gelombang penderitaan.

Satu tahun berlalu. Dua tahun berlalu. Semua dapat dilalui dengan kekuatan yang dia sendiri tidak tahu darimana asalnya. Tahun keempat sebuah pukulan menghantamnya sampai terguling-guling tanpa daya. Dunianya hancur. Suaminya tertabrak mobil dan meninggal di tempat. Becak sewaannya hancur tergilas roda kendaraan yang melaju cepat. Suaminya tergeletak merenggang nyawa tanpa kehadirannya. Si penabrak pun hilang ditelan keramaian kota. Tak satu pun orang pun yang berani mengacungkan jari untuk bertanggungjawab meski sebuah kehidupan telah dicampakkan ke dalam kumbangan penderitaan yang semakin dalam. Orang hanya melihat prihatin dan menjadikan sebuah cerita bahwa di suatu siang dan di suatu jalan ada tukang becak mati mengenaskan kurban tabrak lari.

Uang duka dan beras yang disumbangkan tetangga hanya cukup untuk hidup satu bulan. Pemilik kost yang hidupnya bergantung dari uang kost tidak mampu lagi menampungnya. Dia harus meninggalkan rumah untuk pergi entah kemana. Kampung halaman telah ditinggalkan sejak dulu. Keluarga di kampung sudah tidak mengenalinya kembali. Dia orang buangan dan menjadi semakin buangan. Perempuan itu menarik nafas berat. Satu-satunya tempat yang dapat menampungnya ialah pasar dan emperan toko. Tapi semua berubah ketika penguasa kota lebih memilih keindahan daripada kaum miskin seperti dirinya. Ketakutan diseret para petugas berseragam coklat membuatnya bagaikan binatang lemah yang hidup di tengah liarnya hutan beton kota. Bersiaga. Siap untuk ditangkap dan diseret. Disorot aneka kamera dan masuk televisi menjadi tontonan yang memprihatinkan. Dia tidak ubahnya seekor tikus yang berlarian mencari waktu sepi untuk mengais sisa makanan di tempat sampah. Lalu bersembunyi di ruang kosong dibawah jembatan.

“Nah, Tinah,” sebuah suara keras mengejutkan perempuan itu. Dia cepat menoleh ke arah sumber suara. Di dekat tiang jembatan tampak wajah penuh keriput di bawah topi besar. Wajah yang menyeringai menampakkan gusi tanpa gigi.
“Eh Pak De,” sahut perempuan itu penuh semangat. Anak yang ada dalam pangkuannya segera mendongakkan kepalanya. Wajahnya menjadi cerah. Dia segera bangkit. Duduk di sebelah emaknya.

Seorang lelaki tua berjalan perlahan agar tidak jatuh masuk sungai menuju kearah mereka. Sebuah plastik putih menutup seluruh tubuhnya yang kurus kering. Tapi air hujan masih dapat menyelinap dan membasahi bajunya. Dia menjinjing sebuah tas kresek hitam kecil. Mata anak kecil itu menjadi cerah melihat sebuah tas kresek hitam. Dia bangkit berdiri. Menanti lelaki tua itu mendekat.

“Ini untukmu,” kata lelaki tua itu sambil mengulurkan tas kresek hitam. Secepat kilat anak perempuan itu menyambar tas kresek. Kepalanya melongok melihat isi tas kresek. Sebuah senyum lebar menghias wajahnya. Lelaki itu membuka topi lebarnya.
“Darimana Pak De hujan-hujan begini.” Kata perempuan yang dipanggil Tinah ramah. Lelaki itu duduk dihadapannya.
“Aku dari rumah.” Katanya sambil membuka lembaran plastik yang menutup tubuhya. “Tadi aku ingat anakmu.”
“Ya De, dia dari tadi merengek lapar.”
“Hem.. “ lelaki itu menatap mulut anak perempuan yang penuh makanan. “Jangan tergesa nanti kamu kesedak.” Katanya sambil tersenyum. Perempuan itu pun tersenyum melihat anaknya menikmati makanan yang dinanti sejak pagi tadi.
“Ah hujan ini deras sekali.” Kata lelaki tua itu membuka percakapan.
“Ya De, sejak pagi tadi tidak berhenti.”
“Makanya aku seharian di rumah saja.” Lelaki itu menatap ke arah sungai coklat yang bergerak perlahan. “Siapa yang akan naik becak ditengah hujan begini. Semua orang pasti akan memilih tinggal di rumah.”
“Ya De,”
“Aku tadi entah kok tiba-tiba ingat sama anakmu.” Sekali lagi lelaki itu menatap anak perempuan kecil yang sedang melahap isi tas kresek. “Aku yakin pasti anakmu kelaparan pada hujan seperti ini. Maka aku keluar mencari apa yang dapat dimakannya.”
“Terima kasih De,”
“Aku minta tolong si Boreng untuk mencarikan makanan yang ada di dapur dan dia dapat satu kresek itu.”
“Maaf sudah merepotkan Pak De,”
“Tidak apa Nah.” Jawab lelaki tua itu dengan penuh rasa bangga. “Enak Ndhuk?” tanya lelaki tua itu pada anak perempuan.
“Enak De,” jawabnya sambil terus mengunyah. Mie, nasi goreng, potongan telur, sayatan daging ayam dan entah masakan apalagi bercampur menjadi satu dalam tas kresek. Dia tahu Boreng adalah tukang parkir di dekat rumah makan di jalan yang tidak jauh dari tempatnya berada. Beberapa kali Boreng memberinya campuran segala macam masakan.
“Andai suamimu masih hidup tentu kalian tidak akan kelaparan seperti ini.” Gumam lelaki tua itu lirih. Perempuan itu hanya mampu menatap kosong. Dia sudah bosan mendengar pengadaian. Hidup tidak ada pengandaian. Yang ada adalah kenyatan saat ini dan disini. Segala pengandainya hanyala sebuah mimpi kosong.
“Sudahlah De, tidak usah dipikirkan.” Sahut perempuan itu. “Kami masih sanggup untuk menjalani hidup ini tanpa mimpi.”
“Kau memang hebat Nah,” puji lelaki itu. Tinah tersenyum tipis.
“Ah.. bagiku Pak De lah orang yang hebat.” Balas Tinah. “Dalam hujan begini masih memikirkan kami berdua.”
“Aku hanya sekedar memintakan sedikit sisa makanan di dapur pada Boreng.” Jawab lelaki itu. “Besok kamu terima kasih pada Boreng.”
“Ya De,”
“Orang miskin seperti kita ini harus saling tolong Nah,” kata lelaki itu membuka percakapan setelah tercenung sejenak. “Jika bukan kita siapa lagi yang akan menolong kita?”
“Pasti ada De,”
“Coba kamu liat dijalan itu,” kata lekaki tua itu menunjuk ke arah jalan raya. “Apakah para pengendara motor itu tidak melihat kalian berdua duduk disini?”
“Mungkin melihat.”
“Lalu apa yang mereka lakukan? Apakah mereka tidak memiliki uang lima ribu untuk diberikan pada anakmu yang kelaparan? Orang yang datang di rumah makan tempat Boreng bekerja banyak sekali. Mereka semua kekenyangan sampai membuang makanan yang dibelinya dengan harga yang sangat mahal.”
“Bila mereka tidak membuang makanan maka anakku tidak dapat makan De,” jawab perempuan itu sambil tersenyum. Lelaki itu pun terseyum.

“Aku pulang dulu,” kata lelaki itu sambil berdiri. Dia menutupi tubuhnya dengan lembaran plastik. Sebuah topi besar diletakkan di atas kepalanya untuk mengurangi curahan air hujan atau panas terik ketika dia mengayuh becaknya.
“Terima kasih De,”
“Ndhuk aku pulang,” teriak lelaki itu pada gadis kecil yang masih makan.
“Terima kasih De,” teriaknya sambil menutup mulutnya dengan jari-jarinya yang koto agar makanan yang masih tersimpan disana tidak jatuh.

Hujan masih terus mengguyur bumi. Perempuan tua itu kembali duduk di tempatnya. Dia menatap anaknya yang makan dengan lahapnya sambil menanti satu dua butir nasi yang mungkin masih tertempel di tas kresek hitam.

Rabu, 03 Maret 2010

NDHUNG


Pengantar: Catatan ini ditulis oleh Ndung pada saat dia kira-kira berumur 13 tahun, sebab dia tidak tahu kapan tanggal lahirnya. Dia bergabung di rumah singgah Yayasan Merah Merdeka setelah beberapa tahun tidak sekolah dan hidup di jalanan. Suatu saat kami memasukkan ke SD. Setelah lulus SD lalu masuk SMP. Tapi di SMP tidak bertahan lama sebab tidak tahan dengan aturan SMP. Tulisan ini ditulis ketika dia masih SD. Sebuah pengalaman nyata yang diungkapkan dan tidak kami edit sama sekali. Saat ini aku tidak tahu dimana Ndhung berada.

Nama saya Ndung alias Iwan. Dulu saya tidak pernah ngamen. Waktu di perempatan saya lihat anak jalanan ngamen dapat uang banyak, terus saya sama kakak saya belajar nekad untuk mencari uang sendiri tidak menyusahkan orang tua.

Saya dulu ngamen di perempatan Sidotopo. Dulu disitu saya sendirian sama kakak saya. Terus waktu bertambah saya banyak teman. Terus disitu saya bilang sama kakak saya, saya mau cari uang sendiri jangan disuruh diajak pulang saja. Dan malam harinya saya bertemu berkenalan dengan anak yang bernama Rohim. Rohim itu dulunya ngamen di Ambengan. Disitu saya diperkenalkan sama temannya banyak sekali. Waktu hari sabtu saya diajak ke Taman Remaja untuk mencari uang disitu. Waktu itu saya masih malu. Tidak mau mencari uang. Terus sama dia saya diajari untuk nyari uang yang banyak. Dari situlah saya berani mencari uang sendiri.

Pas pada malam harinya saya ngamen sama Rohim bertemu dengan dua anak yaitu Amin dan David. Anak dua ini waktu itu saya ngamen sama Rohim, saya minta sama Mas Ismail, saya ndak tahu itu, saya belum tahu namanya dan saya minta, “Mas belikan soto Mas.” Terus dua anak ini bilang begini, “Nggak usah, nggak usah. Opo iki. Arek ngendi iki. Gak kenal aku mas. Ojok ditukokno. Elek iki mas.” Pas kata David, “Oh iyo. Raine eling kethek.” Saya diam saja. Namanya ndak tahu. Habis itu saya disuruh duduk, disuruh makan soto, dikasih satu piring sama mas Ismail. Dari situ saya mulai berkenalan sama Amin.

Pas David itu saya diperkenalkan sama Amin, terus waktu itu Amin musuhan sama David. Terus gibeng-gibengan. Saya ikut gibeng-gibengan. Terus dari situ saya sama Amin, Rohim ke Tunjungan Plasa. Disitu saya pertama itu malu cari uang. Terus habis itu ada anak TP perempuan sama anak kecil satu. Saya itu gini,
“Mbak boleh saya cari uang.”
“Oh boleh dik asal jangan resek.”
“Ya mbak.” Terus teman saya sama Rohim itu resek, bilang gini.
“Mbak piro mbak sewane mbak, onok koncoku sing arep nyewo.” Mbak itu langsung kaget.
“Sopo sing ngongkon ngono-ngono.”
“Iki mbak koncoku .” Amin terus menghindar dari saya.
“Ndak tahu, ndhak tahu saya mau nyari uang.” Terus mbak itu mendekati saya
“Koen ngomong opo le.”
Saya bilang, “Bilang apa mbak? Saya cari uang.”
“Koen iku nek golek duit sing nggenah cangkeme.”
“Lho wis nggenah iki mbak. Aku gak ngomong opo-opo.” Terus bari ngono mbak iku ngomong maneh
“Wah koen iku sik cilik wis weruh sing gak genah-genah.”
“Lho aku ngomong opo mbak?”
“Iki koncomu ngomong jare koen kape nyewo aku.”
“Gak mbak. Inalilahi mbak.” Terus bari ngono mbak iku olok-olokan karo aku. Terus tukaran. Dia bilang ke temannya. Saya dipukuli. Amin digibeng sepisan semaput. Terus Rohim dikejar sampai Joko Dolog. Dipukul sampai tangannya cuklek. Habis itu saya digawe santapan. Malah disantap wong gedhe. Amin diguyang banyu. Saya bilang,
“Iki mbak gak semaput. Mbak guyangen sing akeh.” Habis itu Amin sadar. Terus tidur lagi pura-pura semaput. Saya bilang, “Jejeken ae mbak.” Amin dijejek terus bangun dan bengok-bengok, “Aduh tolong-tolong gak salah aku Lek,” habis itu saya bilang “Min koen ngomongo Min. Aku engko sing kenek. Dhuduk aku Rohim.” Terus dia bilang begini
“Awas koen mbak yo. Koen ketok ndhuk Delta tak pateni koen mbak,” terus mbaknya bilang begini
“Saya ndak takut sama temanmu. Aku juga punya teman.” Terus habis itu waktu itu Rohim tidak ngamen selama satu tahun. Terus saya sama Amin ngamen ke TP. Cari uang. Balapan terus. Balapan itu saya disindir sama Amin. Mesti Amin kalau kalah nggondhok, nangis. Kalau Amin dapat banyak saya diiming-imingi. Saya diam saja.

Terus Amin bilang langganannya di Gramedia banyak yang menyemirkan. Saya nggak punya semir. Saya bilang gini, “ Min nyemir sama saya, Min. Saya tidak punya semir.”
“Ya.” Katanya. Terus sampai di Gramedia saya ditinggal. Akhirnya saya ke TP. Saya cari orang, “Om belikan saya semir om.”
“Buat apa dik?”
“Buat nyemir om. Ndhak punya uang.”
“Ya udah.” Saya ngambil satu. Saya mengambil Kiwi. Terus saya kok malu nyemir. Kok ndak sama dengan Amin. Terus ada orang tanya saya,
“Dik-dik nyemir dik,”
“Oh ya Mas. Berapa mas?”
“Lho kamu berapa?”
Saya ngawur, “Rp 5000 mas.”
“Yo wis gak opo, semiren sing resik.”
“Yo mas.”

Habis dari situ saya berani mencari uang sendiri. Terus Amin habis dari Gramedia selalu pamer, “Satus ewu.. satus ewu.” Aku cik iri. Bari ngono ndhik parkiran kok rame rek. Saya mikir gitu. Saya dapat uang banyak. Gantian saya ngiming-ngimingi Amin. “Rongatus ewu.. rongatus ewu.” Terus Amin ngomong gini,
“Ndhung, bareng koen ambek aku Ndhung, aku kok gak oleh duit Ndhung.”
“Gak koen iming-imingi ndhik Gramedia?” terus Amin nggondhok tak tinggal nok nggone kakus. Dhe’e gondhok terus njaluk tulung ndhek nggone satpam. “Lek golekno koncoku lek,” sampek ditelpon ndhuk ngone anu, suara-suara pendengare TP. “Tolong yang namanya Ndhung ditunggu temanya yang namanya Amin di informasi lantai 3.” Saya pura-pura tidak mendengarkan. Saya keluar lagi. Habis itu Amin ke Mitra ketemu saya, katanya,
“Ndhung ojo tinggal aku Ndhung. Aku tobat Ndhung karo koen Ndhung.”
“Yo Min wis koen ngamen ambek aku.”

Habis gitu Amin minggat membawa game watch nintendo. Saya tanya, “Min koen kok nggowo game wacth iki tuku nek endi?”
“Aku minggat. Menengo bapakku gak eruh. Pusing aku ndhek omah. Oleh akeh, oleh tithik diseneni. Minggat ae aku.”
“Engko aku disalahno bapakmu Min.”
“Gak ngurus aku.”
Waktu malam saya diajak Amin, “Ndhung melok aku Ndhung”
“Lha po?”
“Wis ta la manukmu ngaceng koen.”
“Lha po?”
“Mbalon.”
“Lho mbalon Min?”
“Wis ta enak-enak koen. Manukmu abang koen.” Terus saya dengar itu saya mau.
“Tapi aku gak duwe duit Min. Duwekku wis tak tabung.”
“Wis ta tenang. Tak selangi pitung ewu.”

Terus Amin sampai di jembatan Delta Amin bilang gini, “Yan sayangku. Yan Ono pasienku Yan. Ingin anu ambek koen Yan.”
“Lapo iki Min,”
“Wis ta mlebuo,” terus setelah itu saya diajak sama mbak itu. Nggak tahu saya disuruh gini gini.
“Uh nggak enak rek rasane. Manuk guatel.” Setelah itu saya tidur di patung Joko Dolog. Di warung Sedap Terkenal saya tidur disitu. Habis makan dua piring terus saya tidur. “Min turu Min kesel.”
“Yo turu.”
Paginya saya ditinggal. Uh Amin ninggal. Awas yo Min. ketok ndhek TP tak iming-iming telung atus ewu koen. Setelah itu bangunnya tangan saya menthol sampai sekarang. Tapi nggak seberapa. Alhamdulilah sekarang sudah nggak seperti dulu. Dulu menthol sampai kaki. Sampai TP saya masih garuk-garuk terus. Amin ndhak tahu ketemu bapaknya di Delta. Bapak dan ibunya sama adiknya semua datang naik becak. Amin disiram air dan dithutuk sama aqua. Terus Amin teriak, “Ampun pak.. ampun pak.. aku gak minggat maneh.”
“Koen arep dadi opo minggat-minggat. Wis dikek’i omah arepe dadhi mbambung yo. Ayo mulih-mulih.” Habis itu aku diseneni, “Le ojok ngejak-ngejak Amin le.”
“O nggih pak. Gak eruh pak.” Aku wedi diseneni, akhiri aku meneng ae.

Akhirnya Amin setahun nggak ngamen. Aku ketemu lagi di Delta. Aku dikandhani Joyo,
“Ndhung onok Amin Ndhung.”
“Wah ojok guyon rek.”
“Sumpah deloken tha.” Terus aku melihat Amin. Lho Amin kok jadi begini. Wajahnya menjadi moyong. Terus aku bilang gini, “Min lali ambek aku Min.”
“Sopo koen.”
“Wah yok opo rek. Aku sing ndhuk TP lho. Rong atus ewu-rong atus ewu.”
“Ooo.. Halo bos ketemu meneh. Single tha”
“Wah gawat rek. Cekelane HP. Percoyo rek. Kalah ae. Yok opo Min kabare.”
“Uh enak. Model saiki. HP tak dhol.” Habis itu saya diajak Amin ke WTC. Saya ketemu sama Robert sama adiknya. Mentereng. Saya dikompas setiap harinya seribu. Saya sama Rohim diberitahu.
“Ndhung lapo koen kok gelem ngekeki duit.”
“Lha opo.”
“Itungen nek sedino sewu-sewu piro koen nek seminggu.”
“ Iya ya. Mene nek njaluk tak santap.”
“Ojok sik. Nek dijak single lawanen.” Habis itu anaknya datang sama temannya tiga. Terus dia bilang gini, “He le njaluk duweke sewu.”
“Iyo mas iki.” Terus habis saya kasih saya kasih anteman sekali. Tapi adik’e gak trimo,
“Opo koen gak trimo.” Saya diantem sekali. Ceprok. Saya diam aja. Setelah itu Rohim lari mencari pentung.
“Him penthungen Him.” Aku dikroyok anak tiga. Lambeku bendhul. Motoku ajur. Setelah itu anak itu lolos. Aku keluar dari Delta diajak Joyo ke jembatan. “Lho iki lak jembatan nggone Amin mbalon.”

Habis itu besoknya saya memang membuat resek. Ada gledekan tukang batu tak colong. Orangnya tanya, “Endhi gledekanku le.”
“Gak eruh Mas.”
“Balekno tha cung gledekane.”
“Gak eruh aku mas.” Habi itu Rofiq bilang gini.
“Arek ini disantap ae.” Saya dengar. Lalu Joyo bilang gini
“Ndhung gak wani? Santapen ae Ndhung.”
“Tenang ae Yo. Opo jare engko ae.” Lalu saya bilang, “Opo koen Fiq. Koen ngajak single tha?”
“Lho opo koen gak trimo ta Ndhung.”
“Ayo nek jembatan.” Sudah di jembatan langsung saya tonjok ae. Lambene nyonyor. Adiknya ikutan datang bawa kayu. Adiknya tak tronyok munting. Untung ditulung. Nek gak ditulung itu pasti mati. Habis itu saya sampai disitu dan lama nggak ketemu anak dua itu. Saya ngamen di Gubeng dan ketemu dengan Pak Joko, Dian, Luis, Danang, Bu Tik, Riki. Pokoknya banyak kenalan di Gubeng sampai saya nggak pernah pulang. Lha sampai saya dimarahi ibu saya. Saya lalu mikir. Sebetulnya saya harus mikir sekolah saja.

Waktu saya ngamen ke Darmo saya lihat anak ngamen. Dari itu saya berkenalan dengan anak yang namanya Rahman. Saya diajak
“Ndhung melok aku nok yayasan.”
“Yayasan endhi Man,”
“Onok wis tha. Enak-enak koen gak kiro ilang dhuwitmu.”
“Temen tha Man.”
“Iyo wis.” Habis itu saya diajak naik sepedanya Rahman. Terus saya bilang gini,
“Man mana yayasannya?” Saya ditipu sama Rahman.
“Nomornya berapa?”
“Golek ono nomor 76.” Ternyata bukan. Gak taunya nomor berapa saya nggak tau. Tapi saya melihat Rahman kok masuk ke sini. Saya ikut saja. Terus saya ketemu mas-mas pengurus sana. Lalu saya ditanya
“Dik kamu anak mana?”
“Saya anak Delta mas.”
“Namamu siapa?”
“Endhung.”
“Lho kok kamu tahu sini?”
“Saya diajak Rahman. Mas boleh saya tidur sini.”
“O nggak apa-apa kamu tidur sini.”
“Setiap hari nggak apa mas?”
“Nggak apa.”
“Gak ilang mas?”
“Gak. Aman-aman kok ndhok kene.” Habis itu paginya saya berkenalan dengan romo Gani. Romo Gani bilang begini,
“Iki arek endhi rek kok lucu ngene. Gak tumon kethok.” Terus bilang sama mas Anton. “Ton, Anton.. ini siapa ini.”
“Anak baru mo.”
“Anak baru kok gak tau kethok. Kok eling wong Flores.”
“Biasa mo wong ambengan.” Terus habis itu saya disuruh mas Anton kenalan sama Romo Gani dan mbak Tantri.
“Ndhung kenalno Ndhung. Iki Romo. Iki mbak Tantri.”
Saya ditanya sama romo, “Jenengmu sopo le.”
“Jenengku Endhung mo.” Terus ditanya sama mbak Tantri
“Namamu siapa dik,”
“Endhung mbak.”
“Darimana?”
“Dulu rumah saya Mbulak Banteng. Terus saya belajar cari uang sendiri. Belajar mandiri.”
“Lho kamu kok bisa sampai disini?”
“Diajak Rahman. Nggak tahu katanya nginep di yayasan uang saya aman. Kalau dijalan uang saya ilang terus mbak.”
“O nggak apa kalau tidur sini. Aman kok.” Terus sejak itu saya setiap dari ngamen pulang ke yayasan. Saya nyelengi. Dari itu kok ada banyak teman disini saya sampai malu. Saya lalu tanya
“Mas kok banyak teman.”
“Gak opolah. Namanya yayasan. Mesti wong sewu tak lebokno ambek aku. Sing penting dihibur.”
“Yo wis lah mas. Sakarepmu.” Terus anak-anak. Dulu sama pengurus kalau ngamen kalau jam 10 belum pulang, kalau mau tidur disini nggak boleh masuk. Terus saya takut. Wah saya tidur di yayasan jam 10. Pulang dari Delta. Nggak apa dapat uang sedikit. Terus kok anak-anak masuk jam 3? Saya ketemu Akip di Irba saya tanya,
“Kip nggak pulang Kip. Katanya masuknya jam 10.”
“Nggak apa.”
“Lho nggak apa Kip.”
“Nggak apa kok.” Udah besok saya masuk jam 3 aja. Katanya Akip
“Pokoknya jangan rame-rame nanti dimarahi sama tetangga sebelah.”
“Ya Kip.” Saya tanya Akip. “Lho Kip kamu ada apa disini?”
“Nggak ada apa-apa. Cangkrukan.”
“Lho Kip disini banyak bancinya Kip. Nanti anumu bisa disedot.”
“Nggak apa-apa.”
“Ya udah.” Terus saya ngamen. Keliling. Pertama saya ngamen di Delta. Terus saya ketemu diskotik Cangkir. Terus saya cari uang dan saya dapat langganan perempuan. Cantik-cantik. Seksi-seksi. Terus saya tanya, “Mbak sampean ayu soko apane mbak?”
“Wah koen iku sik cilik le. Gak usah eruh urusane wong gedhe.”
“Eh sopo eruh engko bojoku nurun sampean mbak.”
“Gak opo nurun aku. Enak. Pokok e siji ojo ngombe.”
“Gak opo mbak. Pokoke nurut sing lanang ae mbak.”
“Sip.. sip.” Terus dari situ dapat uang banyak terus. Habis itu saya ngajak teman saya. Kasihan teman saya setiap hari tidak dapat uang terus. Saya ajak kesitu. Terus saya disitu ngajak teman saya banyak. Luis, Joyo, Amin, Gotri, Andre, banyak pokonya sama anak Gubeng. Habis itu lama tambah lama sama petugasnya Cangkir yang namanya Rizal bilang gini. “Ayo ngalih-ngalih. Gawe resek ae iki.”
Terus saya bilang gini, “Lik lik aku golek duit gak golek resek. Sing golek resek palingo sing ngombe kene Lik.”
“Lho koen mbantah?”
“Gak mbantah Lik. Tapi nek sampean ngantem. Ngantemo. Pokoke sing kuasa sing mbales.” Terus orangnya langsung minggat. Besoknya dia lapor ke polisi Tegalsari.
“Pak anak ini diusir aja pak.”
“O nggak apa-apa.” Saya nggak takut. Tapi tambah lama tambah lama polisinya bilang begini, “Dik jangan disini dik nanti kamu ketangkep sama teman saya.”
“Iya pak. Tapi saya nggak nggawe resek pak.”
“Gak oleh dik. Iki wong mendhem le koen tak kandhani. Umpamane koen kesenggol sithik ae koen diantem.” Habis itu saya kenalan sama Edo. Edo itu bosnya Luis.
“Mas minta uangnya mas.”
“Gak ono dik. Koen njaluk bir tha?”
“Gak mas sepurane mas. Aku gak doyan bir.”
“Yo wis njaluk piro koen.”
“Aku nek iso njaluk rong puluh.”
“Iki tak kei sepuluh ae. Dhumen.”
“Yo mas suwun.” Habis itu saya kenalan sama mbak Sisca. Mbak Sisca itu penyanyi pendampingnya DJ Iwan. Ketemu saya senyum terus. Saya sampai igit-igit nek ketemu. Munggo’o saya jadi adiknya senang saya. Terus saya cari uang di Cangkir. Saya njaggakno mencari uang di Cangkir. Di Delta saya nggak senang lagi. Tapi polisinya kok tambah banyak. Petugas Cangkir menyewa anggota ABRI. Saya dikeplak.
“Ayo le nyingkir le,”
“Lho apa salahku pak?”
“Ayo nyingkrih. Ojok nglaman-nglamak koen. Aku iki ABRI.”
“Lho pak sampean ABRI tapi ndelok salahne pak. Aku gak salah.”
“Lho koen nglawan.”
“Yo wis pak aku ngalih. Sepisan iki sampean ngeplak. Loro meneh Engko tak laporno uwongku.”
“Koen dhuwe wong nok pengadilan tha?”
“Dhewu pak.” Besoknya saya ngajak teman saya Erik. Teman saya Erik dipegang. Tapi nggak dipegang sampai Tegalsari. Dilepaskan di Darmo. Habis itu saya mulai takut. Mulai takut. Sekarang saya mencari uang di Cangkir itu sembunyi-sembunyi seperti tikus mencari mangsa nggak berani sama yang punya. Gak enak rek. Terus saya menemukan lagi Carefour dan Pakuwon. Terus saya menjajal disitu. Ternyata disitu juga tidak enak, sebab dimarahi sama satpamnya. Saya tidak tahu lagi harus mencari makan dimana. Gak enak kalau harus terus meminta di rumah singgah.

JOYO


Pengantar:Catatan ini merupakan tulisan Joyo salah satu anak jalanan ketika masih tinggal di rumah singgah Yayasan Merah Merdeka. Saat menulis catatan ini Joyo masih berumur 11 tahun. Ketika bergabung dengan komunitas Yayasan Merah Merdeka Joyo sudah tidak sekolah lagi. Lalu kami sekolahkan tapi ternyata gagal. Dia melarikan diri ketika duduk di bangku SMP. Saat ini aku tidak pernah mendengar lagi kabarnya.

Orang tuaku kerja cari kodok. Ibuku, ibu rumah tangga. Aku anak yang terakhir dari empat bersaudara mati satu. Kakakku yang paling tinggi, namanya Slamet. Slamet waria. Iya orang yang paling saya sayangi adalah ibuku. Aku meyayangi ibuku karena yang melahirkan aku dan dia orang tuaku satu-satunya.

Aku sampai begini dulunya diajak Pur. Pur minta-minta ke Bambu Runcing terus Mitra, Joko Dolog, Tunjungan Plaza, Delta. Dan aku minta-minta dapat uang dua puluh kira-kira. Dan aku pergi ke sebuah warung beli mie makan sampai habis. Malam aku pergi lagi ngamen. Uang buat jajan, buat makan, buat ngasih ibuku.

Pengalamanku yang paling jelek adalah saat aku ketemu sama orang yang hampir-hampir membawaku ke club-club. Pulang aku hampir diculik, kalau nggak salah aku hampir dibunuh. Orangnya besar, hitam, rambutnya kribo. Bilangnya dia mau ngasih uang aku Rp 50.000 terus aku ikut. Habis itu aku hampir deket aku lari. Dicari dia.

Hidup di jalanan panas, capek. Ya ada senengnya juga banyak teman bisa bergurau. Biasa ya namanya anak ngamen, berguraunya tonjok-tonjokkan. Tapi tidak selalu sungguhan. Aku juga pernah ngobat. Biasanya pakai gotres. Ya seperti orang mabuklah. Telo-telo, terus aku membayang-bayangin, menghayal. Habis itu kapok sebab hampir ketabrak truk. Tinggal di Gubeng dapat baju dicolong.

Sekarang aku senang sebab tinggal di Simo. Dapat baju, disekolahkan, dapat makan. Di Simo banyak teman. Apalagi ceweknya cantik-cantik. Sekarang ini aku sudah 11 tahun. Nanti kalau sudah besar aku ingin jadi pilot. Ingin membangun rumah 2 tingkat atau 3 tingkat. Ya sekarang ini rumahku hampir roboh, berduyung-duyungan.

ALGIVARI


Pengantar: Tulisan ini dibuat oleh Agip saat dia masih menjadi anak jalanan dan tinggal di rumah singgah Yayasan Merah Merdeka. Konon kini Agip kembali ke Bali dan menjadi tukang ojek di desanya. Sejak berpisah dengannya beberapa tahun lalu aku tidak pernah bertemu kembali dengannya. Menurut cerita beberapa teman Agip sudah mempunyai istri.

Nama saya Algivari. Saya akrab dipanggil Agip. Saya berasal dari Bali. Rumah saya di desa Pegayaman, kecamatan Sukasadar, kabupaten Buleleng, Singaraja Bali. Orang tua saya kerja sebagai petani. Nama orang tua saya Saleh Jaeni. Pekerjaan petani. Ibu saya namanya Salmah. Semuanya masih hidup dan panjang umur. Sehat wal alfiat.

Saya punya ibu 2 tapi bapak satu. Dulu bapak kawin sama ibu yang pertama punya anak empat. Meninggal terus kawin lagi. Istri kedua punya anak delapan. Semuanya dua belas. Saya anak ketiga dari ibu yang kedua. Terus kakak saya kedua-duanya sudah kawin.

Ceritanya saya bisa sampai ke Surabaya, saya dulu tinggal di yayasan panti asuhan Yapinatim di Bali. Saya dikirim ke Jember, karena panti asuhan itu membuka cabang di Jember. Setelah di Jember 4 bulan sampai 3 bulan masih alhamdulilah lancar. Tetapi setelah 7 bulan kemudian, SPP nunggak-nunggak sampai sekolah saya itu tidak karuan. Nah gurunya itu tidak punya toleransi. Nagih uang SPP di depan kelas. Wah orang yayasan tidak pernah bayar. Gimana saya bisa bayar?

Terus dari Jember tujuan saya ke Surabaya sebenarnya tidak ada yang mengajak. Saya sudah bosan sekolah sebab dipojokkan oleh gurunya masalah biaya terus menerus. Saya lari ke Surabaya. Sampai di Surabaya saya ndak tahu apa. Yang saya tahu mobil dan jalan besar. Luntang lantung, terus bengok-bengol nggak karuan. Terus saya jalan ae, ternyata saya tembus di Delta Plasa. Terus selama di Delta Plasa saya ketemu laki-laki yang bernama Ahmad Fauzi penjual penthol. Dan saya pura-pura bersandiwara.
“Mas boleh numpang tanya Mas.”
“Oh boleh ya”
“Yayasan Merah Merdeka dimana?”
“Oh di Dinoyo”

Terus cerita-cerita sembentar langsung saya dibawa ke Yayasan Merah Merdeka. Buat saya tahu Yayasan Merah Merdeka itu sebenarnya saya tahu sudah dari Jember, tapi sebenarnya hanya tahu namanya saja. Saya tahu Yayasan Merah Merdeka dari Jember tapi saya ngawur nyarinya ke Surabaya entah dimana. Ternyata masih jodoh sama Yayasan Merah Merdeka akhirnya ketemu juga

Hubungan saya sama Hayin biasa-biasa saja. Saya sama Hayin itu saya sebagai kakak sepupunya Hyin sama Husni saya saudara satu pulau yaitu pulau Bali. Ya sekarang saya ingin maju dan berusaha keras untuk bisa menjadi baik demi masa depan saya. Ya ternyata setelah tinggal di Yayasan Merah Merdeka ini saya dicarikan pekerjaan. Setelah bekerja saya bekerja di bengkel Karunia dengan gaji 1 minggu Rp 40.000, 1 bulan 100.000 dan bonus cucinya kadang Rp 50.000 kadang Rp 60.000. Jadi kalau ditotal rata-rata 1 bulan Rp 300.000 sampai Rp 350.000 dan itu sudah cukuplah untuk makan saya. Terus untuk masa depannya, saya sih ingin sekolah, tapi untuk sekolah yang nyata itu saya sudah tidak mungkin. Umur saya sudah lewat yaitu saya wis tuwek lah. Jadi saya punya rencana kejar paket C.

Selama saya di bengkel ini, saya punya kerja sampingan yaitu tambal ban. Kalau siang saya kerja di bengkel Karunia. Sedangkan malam mulai pukul 7 sampai pukul 11 sampai 12 saya nembel ban. Kadang-kadang kalau saya kesel karena tidak ada pasien atau klien, saya nginep sampai pagi. Dan hasilnya nembel ya lumayalah untuk makan. Rata-rata Rp 7000 kadang Rp 10.000. Kadang Rp 12.000. Yang jelas yang paling banyak Rp. 13.000.

Saya sih kalau bisa ingin punya. Yang jelas ingin ngasih makan. Yang jelas bisa mendidik adik-adik saya. Cita-cita saya tidak mewah-mewah. Ndhak perlu rumah. Ndhak perlu motor. Yang penting bisa nyekolahkan adik-adik saya, karena saya termasuk anak yang paling besar dari ibu saya yang kedua.karena dari dua anak dari ibu saya yang kedua itu sudah kawin, jadi saya termasuk anak yang paling besar.

HAYIN


Pengantar: Tulisan ini merupakan sebuah catatan usang yang aku temukan dalam file tentang cerita yang ditulis oleh Hayin salah satu penghuni rumah singgah Yayasan Merah Merdeka. Saat ini Hayin sudah bekerja di sebuah warung kopi. Dia bukan hanya bekerja tapi juga sudah menanamkan modalnya di waruNg kopi itu. Ketika bertemu terakhir kali dia sudah naik motor yang cukup bagus dan katanya sudah kontrak rumah. Dia bersyukur bahwa dia bisa berubah. Catatan ini dibuat ketika dia masih hidup di jalanan.

Nama saya Hayin. Saya berasal dari Bali. Saya lahir di desa Pegayaman, Bali pada tanggal 17 Januari 1987. Saya sampai ke Surabaya ini karena atas kemauan hati saya bukan kemauan orang lain. Saya ke Surabaya punya tujuan tertentu. Bukan untuk hura-hura, tetapi untuk mencari dimana letak masa depan saya. Mungkin di Surabaya inilah saya mendapatkan masa depan yang cerah. Karena memang dari dulu hidup saya susah begini susah, tapi saya nggak pernah menyesali hidup susah, karena ini mungkin pemberian Tuhan. Dan mungkin dari dulu, saat inilah nikmat yang saya dapatkan. Dapat tempat tinggal, makan gratis, sekolah dibiayai. Itu sudah sangat cukup bagi saya.

Disini saya nggak pernah merasa kekurangan, karena kebutuhan-kebutuhan saya selalu terpenuhi. Tapi saya juga berharap agar saya tidak selamanya tergantung pada orang lain. Saya inginnya diri saya sendiri melakukan apa yang bisa saya lakukan. Dan apa yang bisa. Dan jika saya tidak bisa saya akan berusaha. Itulah prinsip hidup saya. Saya memiliki prinsip karena setiap manusia harus memiliki prinsip. Dan prinsip itu sangat penting bagi saya. Karena prinsip bisa mendorong kemauan saya dan apalagi saya sudah tidak memiliki orang tua. Pada siapa lagi saya tergantung kalau bukan pada diri saya sendiri.

Tapi saat ini belum cukup kalau tidak ada orang yang membantu kemajuan saya dan yang saya harapkan adalah kasih sayang, perhatian, pendidikan dari orang yang lebih tua dan apalagi yang dapat menggantikan kedua orang tua yang telah tiada. Dan saya di jalanan tidaklah enak, karena saya sudah merasakan bagaimana rasanya jadi anak jalanan. Selalau mendapatkan hidup yang keras. Selalu kurang perhatian dari orang-orang. Kadang menjadi bahan cacian bagi orang-orang yang lebih mampu dari saya . Dari itu saya ingin hidup saya cerah seperti orang-orang yang sukses dan tidak selalu menjadi baha cemoohan orang-orang.

BABE


Belum lama ini kita dikejutkan oleh pengakuan Baekuni alias Babe yang mengaku telah membunuh 14 anak secara keji mulai tahun 1998-2010. Jumlah kurban Babe ini mengalahkan jumlah kurban dari pembunuh yang sangat terkenal yaitu Very Idham Hermansya alias Ryan yang membunuh 5 orang dan Siswanto alias Robot Gedek yang membunuh 6 anak jalanan bahkan Jack The Ripper, pembunuh berantai dari London yang membunuh 11 orang. Memang jumlah kurban Babe masih kalah jauh dibanding dengan Ahmad Suraji alias Datok yang membunuh 42 orang.

Aku memang belum pernah bertemu langsung dengan Babe. Andai aku bertemu Babe sebelum kasus ini terungkap pasti dalam pikiranku tidak akan terlintas sedikit pun akan kekejiannya. Bila melihat wajah Babe yang menyisakan ketampanan pada masa muda dan senyum yang ramah maka sulit bagiku untuk menduga bahwa dia seorang pembunuh yang keji. Bahkan sebaliknya aku mungkin akan kagum akan kesediaannya untuk merawat dan berbagi kasih pada anak jalanan. Anak yang sering kali kekurangan kasih sayang dan mendapat perlakuan kasar dari berbagai pihak. Tapi ternyata dari penampilannya yang kebapakan tersimpan kekejian.

Dalam pengakuannya Babe melakukan semua itu sebab dia pernah disodomi pada umur 12 tahun. Dalam dunia anak jalanan sodomi bukanlah hal asing. Beberapa anak yang pernah tinggal di rumah singgah kami juga memberikan pengakuan bahwa mereka pernah disodomi oleh anak yang lebih kuat. Maka suatu saat bila mereka merasa kuat maka mereka pun akan menyodomi anak yang dianggap lemah. Hal ini seperti sebuah lingkaran yang harus diputuskan. Maka aku ragu bahwa Babe adalah pelaku terakhir. Aku menduga ada Babe Babe lain yang masih belum terungkap.

Kekejian Babe muncul dari kebencian dan dendam yang mengeram dalam hatinya selama beberapa tahun. Dia menunggu saat yang tepat untuk meluapkan dendamnya. Apa yang dialami oleh Babe sebetulnya juga dialami oleh banyak orang meski pelampiasannya tidak sama. Seorang ibu yang benci pada suaminya menumpahkan kebencian itu pada anaknya. Dia tega menyiksa buah hatinya untuk melampiaskan dendam dan kebencian yang ditekan dalam hatinya selama ini. Seorang yang punya pengalaman buruk pada masa kecil menjadi orang yang kurang menyenangkan pada saat dewasa. Dia menjadi sewenang-wenang dan kasar bahkan pada keluarganya.

Salah satu ajaran Yesus yang sangat kuat adalah pengampunan. Orang diminta untuk mengampuni sesamanya. Gema pengampunan pun dimasukan dalam satu-satunya doa yang diajarkan olehNya. Bahkan ajaran pengampunan dikatakan lagi setelah Dia mengajarkan doa Bapa kami, “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Mat 6:14-15). Pengulangan ini menunjukkan betapa pentingnya pengampunan. Bahkan Yesus tidak memberi batasan sampai berapa kali kita harus mengampuni (bdk Mat 18:21-22). Dia pun memberikan teladan mengampuni semua orang yang telah menyiksa dan membunuhNya dan memohonkan ampun bagi mereka kepada Bapa. "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:34).

Dalam hidup tidak jarang kita menjadi marah dan benci. Kita dendam pada orang, tapi sering kali tidak kuasa untuk melampiaskannya. Maka semua dendam dan kebencian itu kita simpan dalam hati. Bila hati penuh dendam dan kebencian maka yang keluar dari hati didasari oleh dendam dan kebencian. “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya.” (Luk 6:45). Untuk itu kita perlu mengampuni agar hati kita penuh kedamaian sehingga apa yang keluar dari diri kita, baik perkataan maupun tindakan, akan merupakan perwujudan damai yang ada dalam hati.

Powered By Blogger