Rabu, 03 Maret 2010

ALGIVARI


Pengantar: Tulisan ini dibuat oleh Agip saat dia masih menjadi anak jalanan dan tinggal di rumah singgah Yayasan Merah Merdeka. Konon kini Agip kembali ke Bali dan menjadi tukang ojek di desanya. Sejak berpisah dengannya beberapa tahun lalu aku tidak pernah bertemu kembali dengannya. Menurut cerita beberapa teman Agip sudah mempunyai istri.

Nama saya Algivari. Saya akrab dipanggil Agip. Saya berasal dari Bali. Rumah saya di desa Pegayaman, kecamatan Sukasadar, kabupaten Buleleng, Singaraja Bali. Orang tua saya kerja sebagai petani. Nama orang tua saya Saleh Jaeni. Pekerjaan petani. Ibu saya namanya Salmah. Semuanya masih hidup dan panjang umur. Sehat wal alfiat.

Saya punya ibu 2 tapi bapak satu. Dulu bapak kawin sama ibu yang pertama punya anak empat. Meninggal terus kawin lagi. Istri kedua punya anak delapan. Semuanya dua belas. Saya anak ketiga dari ibu yang kedua. Terus kakak saya kedua-duanya sudah kawin.

Ceritanya saya bisa sampai ke Surabaya, saya dulu tinggal di yayasan panti asuhan Yapinatim di Bali. Saya dikirim ke Jember, karena panti asuhan itu membuka cabang di Jember. Setelah di Jember 4 bulan sampai 3 bulan masih alhamdulilah lancar. Tetapi setelah 7 bulan kemudian, SPP nunggak-nunggak sampai sekolah saya itu tidak karuan. Nah gurunya itu tidak punya toleransi. Nagih uang SPP di depan kelas. Wah orang yayasan tidak pernah bayar. Gimana saya bisa bayar?

Terus dari Jember tujuan saya ke Surabaya sebenarnya tidak ada yang mengajak. Saya sudah bosan sekolah sebab dipojokkan oleh gurunya masalah biaya terus menerus. Saya lari ke Surabaya. Sampai di Surabaya saya ndak tahu apa. Yang saya tahu mobil dan jalan besar. Luntang lantung, terus bengok-bengol nggak karuan. Terus saya jalan ae, ternyata saya tembus di Delta Plasa. Terus selama di Delta Plasa saya ketemu laki-laki yang bernama Ahmad Fauzi penjual penthol. Dan saya pura-pura bersandiwara.
“Mas boleh numpang tanya Mas.”
“Oh boleh ya”
“Yayasan Merah Merdeka dimana?”
“Oh di Dinoyo”

Terus cerita-cerita sembentar langsung saya dibawa ke Yayasan Merah Merdeka. Buat saya tahu Yayasan Merah Merdeka itu sebenarnya saya tahu sudah dari Jember, tapi sebenarnya hanya tahu namanya saja. Saya tahu Yayasan Merah Merdeka dari Jember tapi saya ngawur nyarinya ke Surabaya entah dimana. Ternyata masih jodoh sama Yayasan Merah Merdeka akhirnya ketemu juga

Hubungan saya sama Hayin biasa-biasa saja. Saya sama Hayin itu saya sebagai kakak sepupunya Hyin sama Husni saya saudara satu pulau yaitu pulau Bali. Ya sekarang saya ingin maju dan berusaha keras untuk bisa menjadi baik demi masa depan saya. Ya ternyata setelah tinggal di Yayasan Merah Merdeka ini saya dicarikan pekerjaan. Setelah bekerja saya bekerja di bengkel Karunia dengan gaji 1 minggu Rp 40.000, 1 bulan 100.000 dan bonus cucinya kadang Rp 50.000 kadang Rp 60.000. Jadi kalau ditotal rata-rata 1 bulan Rp 300.000 sampai Rp 350.000 dan itu sudah cukuplah untuk makan saya. Terus untuk masa depannya, saya sih ingin sekolah, tapi untuk sekolah yang nyata itu saya sudah tidak mungkin. Umur saya sudah lewat yaitu saya wis tuwek lah. Jadi saya punya rencana kejar paket C.

Selama saya di bengkel ini, saya punya kerja sampingan yaitu tambal ban. Kalau siang saya kerja di bengkel Karunia. Sedangkan malam mulai pukul 7 sampai pukul 11 sampai 12 saya nembel ban. Kadang-kadang kalau saya kesel karena tidak ada pasien atau klien, saya nginep sampai pagi. Dan hasilnya nembel ya lumayalah untuk makan. Rata-rata Rp 7000 kadang Rp 10.000. Kadang Rp 12.000. Yang jelas yang paling banyak Rp. 13.000.

Saya sih kalau bisa ingin punya. Yang jelas ingin ngasih makan. Yang jelas bisa mendidik adik-adik saya. Cita-cita saya tidak mewah-mewah. Ndhak perlu rumah. Ndhak perlu motor. Yang penting bisa nyekolahkan adik-adik saya, karena saya termasuk anak yang paling besar dari ibu saya yang kedua.karena dari dua anak dari ibu saya yang kedua itu sudah kawin, jadi saya termasuk anak yang paling besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger