Senin, 08 Maret 2010

DITENGAH HUJAN DI BAWAH JEMBATAN


Dua tubuh kurus duduk merapat di tiang tembok penyangga jembatan. Kaki mereka ditekuk di depan perut. Tulang lutut mereka yang tampak menonjol bagai butir kelapa ditekan di dada. Mereka terus berusaha untuk menggeser pantat semakin menempel ke tembok untuk menghindari tetes air hujan yang turun bagaikan jarum berkejaran dari langit kelabu. Butiran air hujan yang meleleh dari bibir jembatan jatuh tidak beraturan membuat lubang-lubang besar di sela jari kaki. Beberapa air memercik membasahi baju, kepala dan lengan mereka yang telah basah.

“Mak,” suara gadis kecil menyeruak diantara gemuruh air hujan yang berjatuhan di sungai.
“Ya,” jawab perempuan tua di sebelahnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan yang lengang. Satu dua motor melaju kencang di sela mobil menyisakan percikan air coklat yang meloncat menggapai langit.
“Lapar Mak,” kata gadis itu lirih. Perutnya yang lapar ditekan betis kurus. Anak itu membetulkan letak duduknya kembali. Lengannya yang kecil dan hitam berusaha mendekap erat kedua kakinya. Seolah dia tidak ingin kakinya pergi meninggalkan tubuhnya yang lapar dan basah kuyup.
“Ya,” sekali lagi perempuan itu menyahut singkat. Dia mendongakkan kepalanya. Matanya yang lebar berusaha mencari tanda kapan hujan akan berhenti. Tapi mendung gelap merata menutupi seluruh kota.
“Mak,” seru anak itu lagi semakin lirih. Dia menatap emaknya. Disandarkan kepalanya di lengan emaknya yang basah.

Perempuan itu membatu. Wajahnya menatap ke arah tirai hujan yang menyelimuti tiang besi berukir di ujung jembatan. Lampu di puncak tiang itu memancar warna kuning. Sinarnya seolah bergoyang-goyang terbias oleh deretan air hujan. Di dekat tiang itu dia biasanya berdiri. Menanti satu dua orang yang mengulurkan lengan dengan uang receh dalam genggaman telapak tangannya. Kini di dekat tiang itu hanya ada tabir air hujan berwarna kekuning-kuningan membawa sinar lampu. Sekali lagi dia mendongakkan kepalanya mencari tanda kapan hujan akan berhenti sebelum gelap menutupi seluruh kota.

Perempuan itu mengejap-ngejapkan matanya. Sejak tadi air matanya meleleh bersama air hujan yang menetes di kepalanya yang penuh uban. Rasa asin terjilat di bibirnya. Seasin hidupnya yang meleleh di perkotaan. Dia menghela napas berat. Mengusir segala bayang peristiwa yang pernah dilalui. Lembar gelap yang panjang dan entah dimana ujungnya. Dia mengatupkan bibirnya rapat. Berusaha menekan semua bayang yang melintas. Aku harus kuat, katanya dalam hati. Aku harus kuat. Aku harus terus berharap pada suatu saat akan keluar dari kubangan busuk ini.

“Mak,” kata anak perempuan itu sekali lagi. Tubuhnya yang kurus semakin menempel di tubuh emaknya. Dia mencari sedikit kehangatan di tubuh emaknya yang basah. Dia membayangkan sedikit kehangatan akan mengusir rasa lapar yang melilit. Sejak pagi tadi perutnya belum terisi apa-apa selain air yang menetes dari tembok jembatan. Rasa asin dan pahit ditelannya untuk membasahi kerongkongan dan mengisi perut. Lengan anak itu memeluk perut emaknya yang sama tipisnya dengan baju yang dikenakan.

Perempuan itu mengusap kepala anaknya. Sembilan tahun lalu anak ini berteriak penuh kebebasan terlepas dari rahimnya di sebuah PUSKESMAS. Tangis kebebasan seorang bayi dan teriak penuh syukur seorang ibu beradu. Sebuah senyum bahagia tersungging di wajah seorang pria setengah baya. Kebahagiaan diraih dan berhenti sesaat kemudian. Dari mana didapatnya biaya untuk membayar PUSKESMAS? Ucapan selamat seorang perawat bagaikan jari yang menunjukkan tanggungjawab.

Penghasilan seorang tukang becak yang tidak cukup untuk dimakan berdua kini harus dibagi menjadi tiga. Anak kecil lebih membutuhkan biaya. Bila dia lapar maka dia akan menangis tanpa peduli apakah orang tua mempunyai beras atau tidak. Bagaimana bila dia sakit? Apakah dia tidak akan sekolah? Darimana biaya sekolah? Apakah orang miskin tidak boleh mempunyai anak? Aku berhak mempunyai anak. Kata perempuan itu dalam hati yang teguh. Orang tuanya memberi nasehat, setiap anak membawa rejeki masing-masing. Sebuah harapan digenggam. Anak ini akan membawa rejeki dalam kehidupannya. Mengubah hidupnya menjadi lebih baik.

Ternyata harapan itu semakin lama semakin luntur. Kehidupan bertambah berat. Anaknya beberapa kali sakit dan membutuhkan biaya. Satu demi satu apa yang pernah dimiliki dijual. Kamar kontrakan menjadi kosong. Kompor minyak adalah barang terakhir yang dapat dijualnya. Tapi semua dijalani dengan penuh keyakinan bahwa suatu saat pasti anak ini akan membawa rejeki tersendiri. Harapan terus ditumbuhkan dalam hati agar dapat tegak berdiri menatap gelombang penderitaan.

Satu tahun berlalu. Dua tahun berlalu. Semua dapat dilalui dengan kekuatan yang dia sendiri tidak tahu darimana asalnya. Tahun keempat sebuah pukulan menghantamnya sampai terguling-guling tanpa daya. Dunianya hancur. Suaminya tertabrak mobil dan meninggal di tempat. Becak sewaannya hancur tergilas roda kendaraan yang melaju cepat. Suaminya tergeletak merenggang nyawa tanpa kehadirannya. Si penabrak pun hilang ditelan keramaian kota. Tak satu pun orang pun yang berani mengacungkan jari untuk bertanggungjawab meski sebuah kehidupan telah dicampakkan ke dalam kumbangan penderitaan yang semakin dalam. Orang hanya melihat prihatin dan menjadikan sebuah cerita bahwa di suatu siang dan di suatu jalan ada tukang becak mati mengenaskan kurban tabrak lari.

Uang duka dan beras yang disumbangkan tetangga hanya cukup untuk hidup satu bulan. Pemilik kost yang hidupnya bergantung dari uang kost tidak mampu lagi menampungnya. Dia harus meninggalkan rumah untuk pergi entah kemana. Kampung halaman telah ditinggalkan sejak dulu. Keluarga di kampung sudah tidak mengenalinya kembali. Dia orang buangan dan menjadi semakin buangan. Perempuan itu menarik nafas berat. Satu-satunya tempat yang dapat menampungnya ialah pasar dan emperan toko. Tapi semua berubah ketika penguasa kota lebih memilih keindahan daripada kaum miskin seperti dirinya. Ketakutan diseret para petugas berseragam coklat membuatnya bagaikan binatang lemah yang hidup di tengah liarnya hutan beton kota. Bersiaga. Siap untuk ditangkap dan diseret. Disorot aneka kamera dan masuk televisi menjadi tontonan yang memprihatinkan. Dia tidak ubahnya seekor tikus yang berlarian mencari waktu sepi untuk mengais sisa makanan di tempat sampah. Lalu bersembunyi di ruang kosong dibawah jembatan.

“Nah, Tinah,” sebuah suara keras mengejutkan perempuan itu. Dia cepat menoleh ke arah sumber suara. Di dekat tiang jembatan tampak wajah penuh keriput di bawah topi besar. Wajah yang menyeringai menampakkan gusi tanpa gigi.
“Eh Pak De,” sahut perempuan itu penuh semangat. Anak yang ada dalam pangkuannya segera mendongakkan kepalanya. Wajahnya menjadi cerah. Dia segera bangkit. Duduk di sebelah emaknya.

Seorang lelaki tua berjalan perlahan agar tidak jatuh masuk sungai menuju kearah mereka. Sebuah plastik putih menutup seluruh tubuhnya yang kurus kering. Tapi air hujan masih dapat menyelinap dan membasahi bajunya. Dia menjinjing sebuah tas kresek hitam kecil. Mata anak kecil itu menjadi cerah melihat sebuah tas kresek hitam. Dia bangkit berdiri. Menanti lelaki tua itu mendekat.

“Ini untukmu,” kata lelaki tua itu sambil mengulurkan tas kresek hitam. Secepat kilat anak perempuan itu menyambar tas kresek. Kepalanya melongok melihat isi tas kresek. Sebuah senyum lebar menghias wajahnya. Lelaki itu membuka topi lebarnya.
“Darimana Pak De hujan-hujan begini.” Kata perempuan yang dipanggil Tinah ramah. Lelaki itu duduk dihadapannya.
“Aku dari rumah.” Katanya sambil membuka lembaran plastik yang menutup tubuhya. “Tadi aku ingat anakmu.”
“Ya De, dia dari tadi merengek lapar.”
“Hem.. “ lelaki itu menatap mulut anak perempuan yang penuh makanan. “Jangan tergesa nanti kamu kesedak.” Katanya sambil tersenyum. Perempuan itu pun tersenyum melihat anaknya menikmati makanan yang dinanti sejak pagi tadi.
“Ah hujan ini deras sekali.” Kata lelaki tua itu membuka percakapan.
“Ya De, sejak pagi tadi tidak berhenti.”
“Makanya aku seharian di rumah saja.” Lelaki itu menatap ke arah sungai coklat yang bergerak perlahan. “Siapa yang akan naik becak ditengah hujan begini. Semua orang pasti akan memilih tinggal di rumah.”
“Ya De,”
“Aku tadi entah kok tiba-tiba ingat sama anakmu.” Sekali lagi lelaki itu menatap anak perempuan kecil yang sedang melahap isi tas kresek. “Aku yakin pasti anakmu kelaparan pada hujan seperti ini. Maka aku keluar mencari apa yang dapat dimakannya.”
“Terima kasih De,”
“Aku minta tolong si Boreng untuk mencarikan makanan yang ada di dapur dan dia dapat satu kresek itu.”
“Maaf sudah merepotkan Pak De,”
“Tidak apa Nah.” Jawab lelaki tua itu dengan penuh rasa bangga. “Enak Ndhuk?” tanya lelaki tua itu pada anak perempuan.
“Enak De,” jawabnya sambil terus mengunyah. Mie, nasi goreng, potongan telur, sayatan daging ayam dan entah masakan apalagi bercampur menjadi satu dalam tas kresek. Dia tahu Boreng adalah tukang parkir di dekat rumah makan di jalan yang tidak jauh dari tempatnya berada. Beberapa kali Boreng memberinya campuran segala macam masakan.
“Andai suamimu masih hidup tentu kalian tidak akan kelaparan seperti ini.” Gumam lelaki tua itu lirih. Perempuan itu hanya mampu menatap kosong. Dia sudah bosan mendengar pengadaian. Hidup tidak ada pengandaian. Yang ada adalah kenyatan saat ini dan disini. Segala pengandainya hanyala sebuah mimpi kosong.
“Sudahlah De, tidak usah dipikirkan.” Sahut perempuan itu. “Kami masih sanggup untuk menjalani hidup ini tanpa mimpi.”
“Kau memang hebat Nah,” puji lelaki itu. Tinah tersenyum tipis.
“Ah.. bagiku Pak De lah orang yang hebat.” Balas Tinah. “Dalam hujan begini masih memikirkan kami berdua.”
“Aku hanya sekedar memintakan sedikit sisa makanan di dapur pada Boreng.” Jawab lelaki itu. “Besok kamu terima kasih pada Boreng.”
“Ya De,”
“Orang miskin seperti kita ini harus saling tolong Nah,” kata lelaki itu membuka percakapan setelah tercenung sejenak. “Jika bukan kita siapa lagi yang akan menolong kita?”
“Pasti ada De,”
“Coba kamu liat dijalan itu,” kata lekaki tua itu menunjuk ke arah jalan raya. “Apakah para pengendara motor itu tidak melihat kalian berdua duduk disini?”
“Mungkin melihat.”
“Lalu apa yang mereka lakukan? Apakah mereka tidak memiliki uang lima ribu untuk diberikan pada anakmu yang kelaparan? Orang yang datang di rumah makan tempat Boreng bekerja banyak sekali. Mereka semua kekenyangan sampai membuang makanan yang dibelinya dengan harga yang sangat mahal.”
“Bila mereka tidak membuang makanan maka anakku tidak dapat makan De,” jawab perempuan itu sambil tersenyum. Lelaki itu pun terseyum.

“Aku pulang dulu,” kata lelaki itu sambil berdiri. Dia menutupi tubuhnya dengan lembaran plastik. Sebuah topi besar diletakkan di atas kepalanya untuk mengurangi curahan air hujan atau panas terik ketika dia mengayuh becaknya.
“Terima kasih De,”
“Ndhuk aku pulang,” teriak lelaki itu pada gadis kecil yang masih makan.
“Terima kasih De,” teriaknya sambil menutup mulutnya dengan jari-jarinya yang koto agar makanan yang masih tersimpan disana tidak jatuh.

Hujan masih terus mengguyur bumi. Perempuan tua itu kembali duduk di tempatnya. Dia menatap anaknya yang makan dengan lahapnya sambil menanti satu dua butir nasi yang mungkin masih tertempel di tas kresek hitam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger