Sabtu, 25 Juni 2011

RENCANA ALLAH

Siapakah yang akan tahu rencana Allah dalam hidupnya? Tidak ada seorang pun yang tahu. Orang hanya tahu rencana pribadi meski rencana pribadi pun bisa berubah arah bahkan ada yang berubah total karena ada situasi yang menyebabkannya berubah. Sepasang muda mudi sudah menentukan hari perkawinan. Mereka mempersiapkan segalanya. Pada hari-hari terakhir baru menyadari bahwa diantara mereka masih ada prinsip-prinsip yang tidak dapat dijembatani yang dapat membahayakan perkawinan mereka. Mereka akhirnya sepakat untuk menunda. Bahkan akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Keluarga menjadi malu. Mereka pun sangat sedih dengan keputusan ini. Tapi beberapa tahun kemudian mereka ternyata menemukan pasangan hidup yang cocok dan dapat membangun rumah tangga yang berbahagia. Salah satu dari mereka mengatakan seandainya dulu jadi menikah tentu tidak akan sebahagia ini.

Terkadang apa yang tidak indah hari ini ternyata membuahkan hasil yang indah pada esok hari. Memang tidak semua yang pahit hari ini akan membuahkan kebahagiaan pada esok hari. Ada yang bertahun-tahun baru disadari bahwa ternyata kepahitan itu menghasilkan buah yang indah. Tapi budaya instant yang sangat kuat merasuk dalam diri manusia menyebabkan banyak orang ingin segera mengetahui apa yang ada dibalik semua penderitaannya. Mereka tidak ingin menunggu terlalu lama jawaban Allah atau terkuaknya misteri penderitaan yang dialaminya.

Allah seringkali berjalan lambat, demikian pula terungkapnya rencana-rencanaNya. Dalam Kitab Suci, diceritakan tentang Yusuf. Dia dimasukan ke dalam sumur, lalu dijual oleh saudara-saudaranya kepada saudagar Midian dan akhirnya dijual ke Pontifar, seorang pegawai Firaun. Karena difitnah oleh istri Ponifar maka Yusuf dimasukan dalam penjara. Ketika Firaun bermimpi yang tidak terpecahkan oleh para ahli Mesir, Yusuf mampu memecahkan mimpi Firaun sehingga dia diangkat menjadi pejabat di Mesir. Seandainya Yusuf tidak dijual ke para saudagar Midian maka dia tetap akan bersama ayahnya dan tidak akan menjadi pejabat di Mesir. Mungkin keluarga Yakub akan mati kelaparan dalam masa paceklik yang panjang. Ternyata Allah mempunyai rencana dalam diri Yusuf bahwa dia akan menjadi seorang pejabat tinggi di Mesir dan menyelamatkan keluarganya dari kelaparan melalui proses yang panjang dan berliku.

Allah mempunyai rencana khusus dalam hidup kita yang tidak kita ketahui. Kita hanya tahu akan kejadian dan situasi hidup kita saat ini. Sering kali penderitaan yang kita alami saat ini dipandang hanya pada saat ini saja dan dalam keputusasaan bahkan tidak jarang orang lari meninggalkan Allah. Padahal mungkin penderitaan saat ini merupakan salah satu langkah dari rencana Allah bagi hidup kita dikemudian hari yang masih misteri bagi kita. Disinilah dibutuhkan pengharapan dan iman yang kuat. Pengharapan akan hari esok yang akan lebih baik. Hal ini tidak mudah bila penderitaan datang beruntun atau memakan waktu yang lama seperti yang dialami pemazmur, “Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?” (Mzm 13:2-3) Kata “berapa lama lagi” yang diulang-ulang menunjukkan bahwa penulis Mazmur ini sudah tidak tahan lagi akan penderitaan yang ditanggungnya.

Dalam kisah Yusuf orang membaca bagaimana akhir kisah Yusuf. Tapi orang yang menderita saat ini dia masih belum tahu bagaimana akhirnya nanti. Apakah dia akan terus menanggung penderitaan atau akan menjadi Yusuf yang lain. Disini dibutuhkan iman yang berani menyerahkan seluruh jalan hidup pada Allah dan siap menjalani proses perjalanan hidup. Orang dapat beriman bila dia mau merefleksikan hidupnya. Dalam refleksi dia berusaha memahami karya Allah dalam hidupnya. Sepahit-pahitnya penderitaan yang ditanggung, pasti akan dapat ditemukan karya Allah di dalamnya. Tanpa refleksi ini orang akan berhenti pada melihat realita hidup saat ini yang pahit dan tidak melihat seluruh perjalanan hidup dimana belas kasih Allah pernah dialaminya.

Kamis, 23 Juni 2011

DOA YANG TERLEPAS DARI PERBUATAN


Film Hotel Rwanda yang dirilis pada tahun 2004 dan dibintangi oleh Don Cheadle Merupakan film yang diangkat berdasarkan sebuah kisah nyata Paul Rusesabagina manager Sabena Hôtel des Mille Collines saat terjadi kerusuhan antara suku Tutsi dan Hutu. Dalam film itu ditayangkan betapa mengerikan pembantaian yang dilakukan oleh suku Hutu terhadap suku Tutsi. Mayat-mayat bergelimpangan di jalanan. Penyiksaan dan berbagai perlakuan yang tidak manusiawi. Melihat film itu dan beberapa film lain seperti Tears of the Sun, Silent Army dan sebagainya kita tidak dapat membayangkan bagaimana orang dapat bertindak sekeji itu terhadap sesamanya. Mereka berubah menjadi hewan liar dan ganas yang telah kehilangan sisi kemanusiaannya.

Jika melihat agama yang dipeluk oleh mayoritas suku Hutu dan Tutsi adalah Katolik, tapi dengan melihat tindakannya yang diluar peri kemanusiaan itu kita dapat bertanya apakah mereka sudah melupakan kekatolikkannya? Semua orang Katolik pasti hafal doa Bapa Kami, satu-satunya doa yang diajarkan oleh Yesus sendiri kepada para muridNya. Dalam doa Bapa Kami kita memohon datangnya Kerajaan Allah sehingga di bumi seperti di dalam sorga. Bila melihat kekejian yang ditayangkan oleh film-film itu apakah Kerajaan Allah sudah datang? Bisakah kita melihat bumi seperti sorga?

Kehadiran Yesus menjadi tonggak suatu jaman baru, yaitu jaman Kerajaan Allah. Inilah inti pewartaan Yesus. Beberapa kali Yesus menyerukan pertobatan sebab Kerajaan Allah sudah dekat. Para murid pun diutus untuk mewartakan Kerajaan Allah. Tapi Dia juga menyatakan bahwa Kerajaan Allah sudah datang. “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu.” (Mat 12:28) Dengan demikian kehadiran Kerajaan Allah ditandai dengan berkuasanya Roh Allah di bumi yang membuat manusia menjadi terbebas dari kuasa setan atau kuasa kejahatan. Maka seruan pertobatan agar manusia kembali pada Allah dan meninggalkan kuasa kejahatan merupakan awal dari kehadiran Kerajaan Allah.

“Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” (Rm 14:18). Rasul Paulus lebih jelas lagi menjabarkan ajaran Yesus bahwa Kerajaan Allah adalah situasi yang berdasarkan kebenaran, kedamaian dan suka cita. Ramalan dan harapan terjadinya situasi ini sudah dimunculkan oleh Yesaya (Yes 11:1-9) dimana semua ciptaan bisa hidup rukun dan tidak ada lagi kejahatan. Kesempurnaan Kerajaan Allah ini baru terjadi nanti pada akhir jaman setelah pengadilan atas semua orang, tapi benih Kerajaan Allah itu sudah ada saat ini dan disini. Dalam doa Bapa Kami kita menantikan hadirnya Kerajaan Allah yang sempurna pada akhir jaman.

Selain menunggu kehadiran Kerajaan Allah pada akhir jaman, kita juga mengharapkan terciptanya situasi bumi yang seperti di dalam sorga. Terciptanya situasi sorga di bumi bukanlah sebuah anugerah Allah semata. Situasi ini harus diciptakan oleh manusia. Menurut Yesaya situasi ini dapat tercipta bila manusia kesukaannya ialah takut akan Allah, menghakimi secara adil, jujur, tidak menyimpang dari kebenaran, tidak berbuat jahat dan berlaku busuk. Orang yang hidupnya dikuasai oleh Roh Allah. Sedangkan Yesus menyerukan pertobatan dan mengajarkan kasih dan solider terutama terhadap yang miskin dan lemah. Tidak bersaing untuk menjadi yang terbesar melainkan saling melayani dan merendahkan diri untuk menjadi hamba bagi sesamanya.

Dengan demikian doa Bapa Kami bukanlah melulu sebuah harapan dan permohonan kepada Allah tetapi juga sebuah tuntutan kepada diri sendiri untuk membangun sorga di dunia ini. Tapi sering kali doa terpisah dari kehidupan nyata, sehingga meski berdoa Bapa Kami setiap hari tapi sikap hidupnya masih jauh dari usaha membangun sorga di bumi seperti yang terjadi di Rwanda dan negara lainnya. Bahkan mungkin juga dalam rumah dan Gereja dimana kita berada. Doa Bapa Kami masih menjadi sekedar doa yang diucapkan belum menjadi sebuah dorongan untuk membangun sorga di bumi.

Minggu, 12 Juni 2011

REKREASI

Anak-anak wajahnya ceria. Tawa mereka seakan tidak pernah berhenti. Ada saja kata yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak, meski perkataan itu sangat biasa mereka dengar atau ucapkan. Tapi dalam situasi seperti ini semua kata menjadi lucu dan dapat membuat tertawa. Sebetulnya bukan kata itu yang lucu melainkan situasi hati yang bahagia sehingga semua menjadi menyenangkan. Situasi hati mempengaruhi diri seseorang. Bila hati bahagia maka segala sesuatu tampak sangat menyenangkan. Gerakan tubuh yang biasanya dapat menimbulkan pertengkaran kini tampak lucu dan menjadi bahan tertawaan. Rekreasi yang sangat jarang dilakukan membuat anak-anak menjadi ceria. Sejenak mereka terlepas dari situasi hidup sehari-hari yang suntuk.

Ketika aku mengajak pulang semua langsung protes. Mereka ingin menikmati situasi bahagia yang dirasakan selama mungkin. Pulang berarti mereka harus menghadapi lagi situasi hidup yang berat. Tidur di kamar yang kotor dan pengap. Bekerja di jalanan dan mendapat tatapan penuh curiga dan sinis dari beberapa orang. Disini di tempat rekreasi mereka menjadi manusia yang terhormat. Tidak ada orang yang memandang rendah atau dengan rasa kasihan. Mereka kini menjadi sama dengan semua manusia yang ada di sekitar mereka. Bahkan beberapa orang pengamen dan pengemis datang lalu meminta sedekah padanya. Biasanya mereka ada di posisi itu, kini mereka ada di posisi orang yang dapat memberi. Orang yang lebih berkuasa sebab dapat memutuskan apakah akan memberi atau tidak.

Pulang dari rekreasi adalah hal yang mengecewakan, sebab orang harus menghadapi lagi situasi hidupnya sehari-hari. Ketika memberi retret atau rekoleksi sebagian peserta juga mengatakan hal yang hampir sama. Mengapa rekoleksi ini cepat berakhir dan mereka harus kembali lagi kekehidupannya sehari-hari? Hidup yang nyata adalah kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Rekreasi, rekoleksi, retret dan sebagainya bukan hidup yang nyata. Disini orang hanya mencari kekuatan atau penyegaran agar lebih kuat dalam menghadapi kehidupan sehari-hari yang berat. Seindah apapun tempat rekreasi atau sebagus apapun materi rekoleksi, semua itu bukan tempat kita. Bukan milik kita. Rumah dan kehidupan sehari-hari adalah tempat dan milik kita.

Petrus dan dua murid lain pun ketika melihat kemuliaan Yesus mereka ingin menetap di gunung. “Kata Petrus kepada Yesus: "Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." (Mat 17:4). Petrus merasa bahagia dan tidak ingin kehilangan rasa itu. Tapi Yesus mengajak turun gunung untuk menghadapi situasi nyata bahwa Dia sebentar lagi akan menjalani penderitaanNya. Yesus mengajak ketiga muridNya bukan untuk masuk dalam situasi rekreasi, meninggalkan situasi nyata dan masuk dalam situasi tidak nyata, melainkan Dia ingin memberikan kekuatan pada para murid sebelum mereka akan menghadapi situasi sulit dan membingungkan yaitu kisah sengsara dan kematianNya. Pengalaman di gunung diharapkan mampu meneguhkan iman mereka bila terjadi hal-hal yang menggoncangkan imannya.

Dalam kehidupan sehari-hari kita pun bisa masuk dalam situasi rekreasi. Situasi yang berbeda dengan situasi yang kita alami setiap hari dan membuat kita bahagia. Ketika hubungan suami istri menjadi dingin lalu muncul orang yang menawarkan cinta yang didambakan, sehingga terjadilah hubungan yang tidak diijinkan. Ketika kehidupan biara mulai menjadi sangat membosankan lalu muncul orang yang menawarkan kebahagiaan seolah semua akan berjalan menjadi kenyataan. Bila kita masuk dalam situasi rekreasi, maka sebaiknya kita tetap mempunyai kesadaran bahwa situasi ini tidak akan terwujud selamanya. Ini hanya sejenak dapat dinikmati atau ada batasnya. Kita harus kembali ke rumah dan situasi hidup kita sendiri. Dalam hal ini membutuhkan keberanian untuk menerima situasi hidup meski sepahit apa pun juga sebab itulah realita. Seandainya mengalami situasi rekreasi, maka pengalaman itu dijadikan saat untuk memperteguh diri dalam menghadapi situasi nyata sehari-hari bukan untuk menetap.

Minggu, 05 Juni 2011

MEMULIAKAN ALLAH

Suatu hari ada seorang yang sangat marah sebab temannya telah menghina Yesus. Dia lalu bertanya padaku apa yang harus dijawab bila ada orang menghina Yesus? Sebelum aku menjawabnya, dia sudah mencaci maki agama dan nabi yang diimani temannya. Mendengar semua kata kasarnya aku tersenyum. Dia pun semakin marah melihatku tersenyum. Dia kecewa mengapa aku seolah tidak peduli saat nama Yesus dihina oleh orang lain. Kemarahan yang tampak dalam diri orang ini sudah sering aku lihat. Bahkan tidak jarang kemarahan semacam ini berujung pada tindakan anarkis dan kekerasan pada sesama yang beragama lain. Sudah banyak kasus kerusuhan agama akibat orang merasa tersinggung bahwa Allah atau nabinya dihina orang lain.

Setelah kemarahan orang itu mereda aku bertanya padanya, apakah bila Yesus dihina maka Dia kehilangan hakekatnya sebagai penyelamat manusia? Apakah orang akan tidak percaya lagi padaNya? Dia langsung menjawab bahwa dia tetap percaya pada Yesus sebagai penyelamat. Lalu apa masalahnya? Yesus adalah Yesus. Putra Allah yang menjadi manusia. Segala pujian tidak menambah kemuliaanNya sebagai Putra Allah, sebaliknya segala cacian tidak akan mengurangi kemuliaanNya sebagai Putra Allah. Hakekat Yesus sebagai Putra Allah tidak pernah akan berkurang karena sikap manusia. Memang ada orang sombong yang mengaku diri sebagai pembela Allah. Apakah Allah begitu lemah sehingga membutuhkan kita untuk membelaNya? Bukankah Allah adalah penguasa semesta alam yang dapat menjungkir balikkan semesta?

Kita memang hendaknya memuliakan Allah. Hal ini bukan demi kebesaran Allah, sebab Allah sudah besar tanpa pujian kita. Kita memuliakan Allah sebagai perwujudan iman kepadaNya. Iman bukan sekedar aku percaya dan berserah pada Allah lalu dibaptis melainkan sebuah perwujudan dari rasa percaya itu. Iman itu nyata dan terwujud dalam kehidupan sehari-hari melalui perbuatan dan sikap hidup kita. Iman bukan kata-kata pujian kepada Allah atau membela bila Allah yang kita imani dicaci maki orang yang tidak percaya. Allah tidak membutuhkan pembelaan kita. Allah menghendaki kita mentaati segala perintahNya. Beberapa kali bangsa Israel dihukum oleh Allah sebab mereka melanggar perintahNya dan tidak mentaati apa yang diserukan oleh para nabi.

“Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya.” (Yoh 17:4) Yesus memuliakan Allah dengan taat pada kehendakNya dan melaksanakan semua tugas yang diberikan Allah padaNya. Dia membuat mujijat agar manusia melihat kemuliaan Allah. “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Mat 5:16). Bahkan sampai menjalani kesengsaraan dan kematian pun Yesus tetap hendak menunjukkan kemuliaan Allah. Semua itu bukan untuk mencari kemuliaan diri sendiri, sebab kemuliaan Yesus diberikan oleh Allah. "Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikit pun tidak ada artinya. Bapa-Kulah yang memuliakan Aku,” (Yoh 8:54). Jika kemuliaan Yesus diberikan oleh Allah maka tidak ada satupun orang yang dapat merampasnya atau menghilangkannya. Segala caci maki dan hujatan tidak akan menghilangkan kemuliaan itu.

Dengan demikian kita tidak perlu risau bila ada orang yang tidak percaya pada Yesus mencaci makiNya, sebab Yesus pun tidak marah ketika banyak orang menghina dan menyiksaNya. Bahkan Dia memberi pengampunan sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Dia pun mengajarkan pada kita agar tidak membalas orang yang jahat pada kita dengan kejahatan, sebaliknya dengan kebaikan. “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang.” (Rm 12:17). Kita bukan diminta membela Allah melainkan diminta untuk berjuang menegakkan ajaran kebenaran yang dari Allah. Berjuang untuk menyadarkan orang akan kebenaran melalui pengajaran, sikap dan tindakan kita yang mencerminkan iman. Inilah tantangan kita yang hidup dalam dunia yang semakin jauh dari kebenaran yang dari Allah.

Kamis, 02 Juni 2011

IBU


Di radio terdengar lagu lama berjudul “Mama’s Coat” yang dinyanyikan oleh George Baker, seorang penyanyi kelahiran Belanda yang bernama asli Johannes Bouwens. Lagu itu menceritakan tentang seorang ibu yang merelakan mantel satu-satunya untuk anaknya yang bila ke sekolah kedinginan. Mendengarkan lagu itu aku jadi teringat akan ibu yang pernah melakukan hal yang sama. Saat itu menjelang Lebaran. Biasanya bapak membelikan kami baju baru untuk semua anak-anaknya. Entah mengapa saat itu bapak tidak mampu membelikan baju baru. Padahal Lebaran sudah kurang beberapa hari lagi. Suatu malam ibu memotong sebuah jariknya yang masih tergolong bagus dan menjahit menjadi 3 potong baju bagi kami, sehingga saat Lebaran kami dapat memakai baju baru meski dari kain jarik yang tidak baru.

Kisah pengorbanan seorang ibu tidak pernah akan ada habisnya. Banyak orang pernah mengalami kasih ibu yang sangat menyentuh hati. Ibu yang rela menderita demi anak-anaknya. Ibu yang mengorbankan seluruh waktu hidupnya demi anaknya. Iwan Fals, seorang penyanyi balada, juga menuliskan syair indah dalam lagunya yang berjudul “Ibu”. Seperti udara kasih yang kau berikan, tak mampu kumembalas, ibu. Iwan Fals menggambarkan kasih ibu seperti udara, yaitu suatu unsur penting bagi kehidupan. Tanpa udara manusia tidak mampu untuk hidup. Mungkin dia hendak menyatakan bahwa tanpa kasih ibu manusia tidak bisa hidup. Udara juga menggambarkan sesuatu yang tidak tampak, tapi dapat kita rasakan. Kasih ibu pun sering tidak nampak, tapi dapat kita rasakan. Ibu yang bangun pagi lalu mempersiapkan segalanya. Mengandung kita selama beberapa bulan lalu mempertaruhkan nyawanya ketika melahirkan kita dan sebagainya sering kali tidak tampak, tapi semua dapat kita rasakan bila kita mau berhenti sejenak dan mencoba merasakannya.

Di satu sisi kita bisa membaca atau mendengar ribuan kisah kasih seorang ibu, tapi disisi lain kita juga membaca atau mendengar kisah tangisan seorang ibu akibat sikap anaknya yang sewenang-wenang. Kisah seorang ibu yang terlunta-lunta, disingkirkan, dibenci dan mendapat perlakuan yang tidak selayaknya dia terima dari anaknya. Kisah Malin Kundang, sebuah legenda dari Air Manis, Padang, tentang anak durhaka yang menjadi batu akibat menghina ibunya, terus berulang sampai saat ini dalam berbagai versi. Memang ada berbagai macam alasan yang dapat dikemukakan oleh seorang anak sehingga dia tega tidak peduli dan menyingkirkan ibunya. Ada seorang anak yang bercerita bahwa sejak kecil ibunya telah bersikap kasar dan kejam padanya, sehingga dia tidak mengalami kasih seorang ibu seperti yang digambarkan dalam cerita-cerita yang didengarnya. Akhirnya sampai tua pun dia tidak pernah mampu mencintai ibunya.

Aku bersyukur mempunyai pengalaman indah tentang kasih ibu, meski tidak jarang ibu juga menjengkelkan dan membuatku marah. Tapi semua kejengkelan dan kemarahan dapat tertutup bila mengingat kasihnya yang begitu besar dan tulus. Seandainya aku tidak mempunyai pengalaman kasih ibu dalam ingatanku pun mungkin aku akan tetap mencintainya. Dialah yang telah rela mengandung dan melahirkanku. Dia membawaku dalam kandungannya kemana saja dan saat dia melakukan apa saja. Dari dalam tubuhnyalah aku ada. Inilah yang tidak mungkin aku ingkari. Seandainya setelah itu ibu menjadi kasar dan kejam, tapi kasihnya selama aku masih janin sampai anak tidak dapat kuingkari. Seandainya ibu tidak mencintaiku dan tidak mau berkurban demi aku maka mungkin aku sudah dibunuhnya sejak aku masih dalam kandungan.

Ada pepatah surga ada dibawah telapak kaki ibu. Pepatah ini menunjukkan betapa besar peran ibu dalam kehidupan manusia, sehingga surga pun ada dibawah kakinya. Dalam agama Katolik peran ibu tampak dalam diri Maria. Dia ada ketika Yesus tergantung di salib. Dia pun ada ketika para rasul sedang putus asa. Maria pun sering menampakkan diri sampai saat ini bila dunia sedang mengalami penderitaan. Dia hadir memberikan harapan dan menyerukan pertobatan. Maka bagaimana pun sikap ibu yang kita terima, tidak layak bila kita tidak mencintainya. Dari dialah lahir kehidupan.

Powered By Blogger