Sabtu, 24 Juli 2010

DOA

Setiap hari banyak dari kita berdoa entah berdoa seorang diri atau secara pribadi atau berdoa bersama-sama atau doa berjemaah. Memang sebaiknya kita berdoa, sebab kita butuh menjalin relasi yang mesra dengan Tuhan. Semakin kita banyak berdoa maka hubungan kita dengan Tuhan akan semakin baik. Seperti bila kita dengan seseorang sering mengadakan komunikasi, maka hubungan kita dengannya akan semakin baik. Kita akan memahami dia dan dia memahami kita. Doa adalah sarana kita berusaha untuk membuka diri terhadap Tuhan dan memahami Tuhan.

Tapi persoalanya dalam doa kurang terjadi komunikasi yang baik. Sering kali dalam doa kita hanya berbicara pada Tuhan dan tidak berusaha mendengarkan Tuhan. Memang Tuhan tidak akan bersuara seperti ketika kita berbicara. Tapi suara Tuhan dapat kita dengar dan temukan dalam Kitab Suci, dalam suara hati, dalam pengalaman hidup sehari-hari. Maka doa bukan hanya kita mengungkapkan apa yang ingin kita katakan pada Tuhan tapi juga berusaha untuk hening. Dalam hening kita berusaha melihat hidup kita dan mencari apa kehendak Allah bagi hidup kita. Allah senantiasa turut campur dalam setiap peristiwa hidup kita baik yang sederhana maupun yang besar. Dengan hening kita bisa melihat dan menangkap apa kehendak Allah. Hal ini sama seperti bila kita berhubungan dengan sahabat yang kita cintai. Kita dapat memahami apa kehendak atau yang sedang dirasakan oleh sahabat kita meski dia tidak berkata satu katapun. Kita dapat memahaminya sebab kita mempunyai kedekatan dengannya.

Dalam doa sering kali kita sibuk memilih kata-kata yang indah. Seolah dengan berkata-kata yang indah kita dapat menyenangkan Tuhan. Ini adalah sebuah kepalsuan. Bila kita berbicara dengan sahabat kita, maka kita tidak sibuk mencari kata-kata indah baginya. Kita lebih suka mengungkapkan apa yang sedang kita alami dan rasakan. Kita mengungkapkan apa yang ada dalam hati. Akibat doa seolah harus menggunakan kata indah, maka banyak umat enggan bila diminta untuk berdoa dalam pertemuan doa. Padahal Tuhan tidak membutuhkan kata-kata yang indah, melainkan ungkapan hati. Doa juga tidak membutuhkan kata yang panjang-panjang sebab Tuhan sudah tahu apa yang kita butuhkan. “Lagipula dalam doamu itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Allah. Mereka menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan. Jadi janganlah kamu seperti mereka, karena Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.” (Mat 6:7-8)

Kita sering mengatakan bahwa doa Bapa Kami, yang diajarkan oleh Yesus adalah doa yang sempurna. Padahal kita tahu bahwa doa Bapa Kami sangat pendek dan sederhana. Tidak ada kata-kata yang indah dan berbunga-bunga. Semua kata sangat sederhana dan merupakan ungkapan isi hati. Maka bila berdoa tidak perlu panjang-panjang. Cukup apa yang ingin kita katakan pada Tuhan. Bila kita belajar dari doa Bapa Kami, maka kita akan melihat bahwa isi doa tidak melulu permintaan melainkan juga tuntutan bagi kita. “Ampunilah dosa kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami,” Kita memohon ampun pada Allah tapi ada tuntutan dari diri kita sendiri untuk mengampuni. Permintaan pun tidak terlalu muluk, melainkan kebutuhan pokok yaitu makan yang cukup untuk hari ini. Sedangkan doa-doa kita sering berisi aneka permintaan. Akibat terlalu terpusat pada permintaan maka pujian kepada Allah menjadi berkurang. Padahal dalam doa Bapa kami hal pertama yang diungkapkan adalah pujian kepada Bapa di surga dan harapan akan terwujudnya Kerajaan Allah yaitu komunitas damai di bumi dan surga.

Ada orang yang merasa bisa berdoa dengan bahasa Roh. Rasul Paulus menjelaskan panjang lebar soal doa dengan bahasa Roh. Baginya bila berdoa dalam bahasa Roh sebaiknya berdoa secara pribadi. Sedang bila berdoa dalam jemaat tidak perlu menggunakan bahasa Roh. “Sebab, jika engkau mengucap syukur dengan rohmu saja, bagaimanakah orang biasa yang hadir sebagai pendengar dapat mengatakan "amin" atas pengucapan syukurmu? Bukankah ia tidak tahu apa yang engkau katakan?” (1Kor 14:16). Rasul Paulus mampu berbahasa Roh tapi dia tidak menggunakannya bila dalam jemaat. “Tetapi dalam pertemuan Jemaat aku lebih suka mengucapkan lima kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain juga, dari pada beribu-ribu kata dengan bahasa roh.” (!Kor 14:19). Bila kita percaya pada ajaran Rasul Paulus maka kita tidak perlu menggunakan bahasa Roh dalam doa jemaat, sebab doa dalam bahasa Roh selain si pendoa juga tidak paham apa yang dikatakan oleh dirinya sendiri juga tidak berguna bagi sesama. Bahkan dapat membawa orang pada kesombongan diri seolah lebih hebat dibandingkan orang lain. Padahal doa membutuhkan kerendahan hati, sebab kita sedang berhadapan dengan Allah.

Doa sebetulnya bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup kita. Tapi bagaimanakan dengan doa-doa kita? Masih ada banyak hal yang perlu kita benahi dalam cara dan sikap kita dalam berdoa. Tapi kita perlu bersyukur sebab Yesus telah memberikan contoh doa yang sederhana.

Senin, 19 Juli 2010

MELEDAK LAGI.. MELEDAK LAGI


Sejak digalakkan penggantian minyak tanah dengan gas elpiji untuk bahan bakar kebutuhan rumah tangga pada tahun 2008 sampai Juni 2010 sudah terjadi 36 ledakan yang merugikan ratusan juta rupiah dan banyak kurban. Pada 2008, 2 orang tewas, 27 luka-luka, dan 19 rumah rusak dan terbakar akibat ledakan gas. Pada 2009, korban jiwa bertambah menjadi 12 jiwa. Tahun ini, baru memasuki pertengahan tahun, 19 ledakan tabung gas telah terjadi dengan jumlah korban 15 orang tewas, 39 orang luka-luka, dan 55 rumah rusak. Dengan bertambahnya pengguna gas elpiji maka akan terus terjadi pertambahan kurban akibat ledakan. Penyebab ledakan disebabkan kerusakan pada tabung. Menurut hasil survey Badan Standart Nasional, ada 66% tabung gas yang terindikasi memungkinkan terjadinya ledakan. Belum lagi tabung yang bocor atau rusak. Menurut sebuah media pada bulan Juni di Pare-Pare ditemukan 8000 tabung 3 kg yang berkarat dan bocor. Di Ngawi ada 5646 yang telah rusak. Di Madiun setiap bulan rata-rata ditemukan 57 tabung yang rusak. Dengan demikian ada ribuan tabung rusak.

Tabung gas 3 kg adalah tabung yang pada awal pengalihan dari minyak tanah ke elpiji dibagikan oleh pemerintah untuk rakyat ekonomi lemah. Menurut data Kompas ada 60 juta tabung 3 kg yang beredar di masyarakat dan 7 juta tabung 12 kg. Jika menurut BSN ada 66% yang rusak maka ada 39,6 juta yang rusak. BSN juga menyatakan bahwa masalahnya bukan hanya tabung, tapi juga kompor, selang dan regulatornya. Menurut data BSN yang dikeluarkan bulan Juni 2010, ada 30% kompor tidak memenuhi standart SNI, 20% regulator bermasalah dan 100% selang yang tidak berstandar SNI atau keamanannya tidak bisa dijamin. Angka-angka ini sangat mengerikan. Muncul teror baru dalam rumah tangga. Masyarakat miskin semakin dirugikan oleh ulah orang yang memindahkan gas dari tabung 3 kg yang disubsidi pemerintah ke tabung 12 kg. Dengan demikian masyarakat miskin selain dikuatirkan akan ledakan tabung gas, juga tidak mendapatkan gas yang sesuai dengan ukurannya.

Pengalihan minyak tanah ke gas merupakan kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi pemerintah pada masyarakat. Menurut Kompas penggunaan minyak tanah membuat pemerintah harus mensubsidi masyarakat sebesar 50 T belum lagi rakyat harus antri selama beberapa jam untuk mendapatkan minyak tanah. Hal ini disebabkan harga minyak tanah di masyarakat hanya Rp 2000/ lt sedangkan harga yang harus dibayar oleh pemerintah sebesar Rp 7500/lt. Oleh karena itu penggunaan gas dapat mengurangi pengeluaran negara. Tapi hal yang kurang diperhitungkan adalah kesiapan masyarakat dan kurang adanya pengawasan pirantinya yaitu kompor, tabung, selang dan regulatornya. Akibatnya rakyat miskin yang sekali lagi jadi kurban.

Maraknya ledakan tabung gas tampaknya belum ditanggapi secara lebih serius oleh pemerintah. Seorang tokoh mengatakan bahwa kebakaran bukan hanya diakibatkan oleh penggunaan gas, tapi juga arus pendek listrik dan ledakan kompor minyak tanah. Pendapat ini memang benar, tapi hanya sebuah usaha pemaafan diri dan melarikan diri dari tanggungjawab. Berita malam di TV One pada malam ini (18 Juli) meliput ledakan tabung gas di Bandung, Jember dan Malang. Pada satu hari ada 3 ledakan yang membawa kurban manusia dan harta. TV One juga meliput satu kebakaran di Jakarta yang kemungkinan disebabkan arus pendek. Jadi dalam satu hari ada kebakaran dengan perbandingan 3:1. Maka pendapat tokoh tersebut perlu dipertanyakan.

Indonesia menolak disebut sebagai negara yang memakai sistem neoliberalisme. Tapi dari beberapa kebijakan pemerintah tercermin kuat neoliberalisme. Salah satu ciri neoliberalisme adalah kaum miskin kurang diperhatikan. Negara berusaha menumpuk kekayaan tanpa mempedulikan kesejahteraan rakyat miskin, sebab negara dipimpin oleh pengusaha atau ekonom. Kekayaan itu akan dikuasai oleh segelintir orang saja atau untuk mengembangkan usaha yang menguntungkan sedikit orang. Penggunaan gas merupakan salah satu contoh kebijakan yang tidak berpihak pada kaum miskin. Kebijakan ini memang menguntungkan pemerintah tapi mengurbankan rakyat miskin.

Jumat, 16 Juli 2010

GEREJA ABRAHAM, DAUD DAN SALOMO

Seorang pendeta dengan suara lantang dan gayanya yang khas mengulang-ulang kalimat, “Allah kita adalah kaya. Allah kita adalah raja. Kita adalah anak yang diberkati. Kita adalah anak raja yang kaya.” Ribuan orang yang datang mengamini perkataan itu. Mereka meyakini bahwa mereka adalah anak raja yang kaya. Pendeta itu memberi contoh Abraham adalah orang terberkati, maka dia kaya raya. Daud adalah orang terberkati maka dia raja. Salomo terberkati, maka dia menjadi raja yang kaya raya. Kita adalah orang terberkati, maka kita akan kaya raya. Lebih jauh dia mengatakan bahwa berkat akan berlimpah bila kita memberi persembahan pada Allah. Persembahan yang kita berikan pada Allah akan dibalas berlipat ganda. Ada 30, 60 bahkan 100 kali. Untuk mendukung argumennya dia mengutip sabda Yesus “setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.” (Mat 19:29)

Mendengar ini aku tersenyum prihatin. Kita mengaku diri sebagai orang Kristen sebab mengikuti Yesus. Siapakah Yesus yang kita ikuti? Dia digambarkan lahir dalam kemiskinan. Lahir di kandang di sebuah desa kecil yang berpenduduk sekitar 200 jiwa. Jauh dari gemerlap seorang raja. Dia hidup dalam kemiskinan dan bergaul dengan kaum miskin dan berdosa. Untuk membayar pajak masuk Bait Allah pun Dia tidak mempunyai uang. “Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga." (Mat 17: 27). Dia mengakhiri hidupNya dalam kemiskinan. Dia disalib dengan telanjang, sebab jubahnya diundi oleh para prajurit. Apakah Yesus kaya?

Yesus mengajar agar para murid tidak mengumpulkan harta dunia. "Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya.” (Mat 6:19) Para murid diingatkan agar jangan kuatir akan kepemilikan harta. Dalam perumpamaan Dia menggambarkan orang kaya yang cemas akan hidupnya, maka dia berusaha menyimpan kekayaannya. Tapi Allah mencabut nyawanya. Apakah arti semua yang sudah disimpannya? Kita tidak perlu kuatir akan apa yang kita miliki, sebab Allah akan melindungi kita. Bahkan jalan menuju kesempurnaan adalah bila orang berani hidup miskin. "Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” (Luk 18:22). Bagi Yesus hidup kita tidak tergantung dari kekayaan yang kita miliki. “Kata-Nya lagi kepada mereka: "Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.” (Luk 12:15)

Yesus mengajak para muridNya untuk mengumpulkan harta di surga. Harta surgawi adalah segala kebaikan dan tindak belas kasih. Ketaatan pada perintah Allah dan memiliki relasi yang baik dengan Allah melalui doa pribadi dan berjemaat. Harta inilah yang menyelamatkan kita. Membawa kita pada hidup yang kekal. Para santo santa yang sudah wafat ratusan bahkan ribuan tahun lalu masih diingat dan diceritakan segala kebaikannya hingga saat ini. Begitu pula orang baik setelah wafat dia akan tetap dikenang dan dihidupkan sampai kapanpun juga. Dengan demikian mereka sudah mendapatkan hidup kekal di dunia ini.

Para pendeta yang mengajarkan bahwa Allah akan memberi berlipat ganda dari yang kita persembahkan kepadaNya adalah sebuah pembodohan. Segala pemberian kita tidak dinikmati oleh Allah melainkan oleh pendeta. Allah tidak membutuhkan harta dunia, sebab Dialah pemilik seluruh semesta. Dalam Mzm 50 Allah mengkritik orang yang merasa telah diperhitungkan oleh Allah ketika memberi korban persembahan padaNya. Keselamatan bukan berasal dari berapa banyak harta yang kita berikan pada pendeta melainkan seberapa banyak kasih yang kita berikan pada Yesus yang ada dalam diri kaum miskin. “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.” (Hos 6:6)

Kekayaan memang penting bagi hidup kita tapi bukan itu jalan menuju keselamatan dan hidup kekal. Kekayaan adalah berkat yang dipercayakan Allah pada kita agar kita mau melakukan karya belas kasihNya. Bila orang memusatkan perwartaannya bahwa kita diberkati oleh Allah sehingga kaya seperti Abraham, Daud dan Salomo, maka dia bukan mewartakan Kristus. Mereka tidak dapat menyatakan diri sebagai orang Kristen, sebab ajaran mereka berbeda dengan ajaran Kristus. Mereka adalah Gereja Abraham, Gereja Daud atau Gereja Salomo. Bukan Gereja Kristen.

Kamis, 15 Juli 2010

BERNILAI ATAU PRESTASI

Albert Einstein (14 Maret 1879 – 18 April 1955) adalah salah satu orang paling genius di dunia. Dia penemu teori relativitas yang sangat terkenal dan banyak lagi penemuan-penemuannya yang sangat berguna bagi ilmu pengetahuan. Suatu saat dia pernah berkata, “Cobalah untuk tidak menjadi orang yang sukses, tapi menjadi orang yang bernilai.” Kita semua ingin menjadi orang yang sukses. Sejak kecil orang sudah dididik dan dipacu untuk meraih kesuksesan. Anak selain disekolahkan juga disuruh les berbagai mata pelajaran, bahasa dan aneka ketrampilan sebagai persiapan bagi masa depannya. Setelah selesai belajar orang mulai mengejar karir dengan segala cara. Dia harus menjadi orang yang sukses sehingga membanggakan keluarga.

Sering kali kesuksesan diukur dengan kepemilikan materi atau kekayaan. Bila orang memiliki aneka gelar tapi hidupnya miskin, maka dia dianggap belum sukses. Sebaliknya meski seseorang tidak mengeyam pendidikan cukup tapi mempunyai banyak usaha yang menghasilkan uang, sehingga dia dapat kaya raya maka dia dianggap orang sukses. Kesuksesan juga ditentukan oleh prestasi yang ditekuni. Orang tua sederhana dianggap sukses bila anak-anaknya menjadi kaya. Seorang pelukis dianggap sukses bila mampu menghasilkan lukisan yang dikagumi oleh banyak orang. Seorang pelajar yang menjadi juara kelas dan meraih berbagai prestasi maka dianggap sebagai pelajar sukses.

Orang sukses akan dihargai dan dikagumi oleh banyak orang, maka wajar bila orang berusaha meraih kesuksesan itu. Kita pun akan puas akan hidup kita sendiri bila sadar bahwa kita telah menjadi orang yang sukses. Bila membaca kata-kata Einstein maka kita perlu merenung lagi. Apakah kita sudah bernilai bagi sesama? Bernilai artinya kita menjadi berarti bagi sesama. Menjadi penting dan dibutuhkan oleh sesama. Menjadi orang yang sangat berpengaruh bagi sesama, bahkan mungkin menjadi segalanya bagi sesama. Tanpa kita maka sesama akan merasa sangat kehilangan atau mungkin tidak akan menjadi seperti dirinya saat ini.

Dengan mengejar prestasi maka kita mengarahkan segala perbuatan untuk diri sendiri, sebaliknya agar bernilai bagi sesama maka perbuatan kita juga terarah untuk sesama. Pengejaran untuk menjadi yang terhebat mau tidak mau akan berusaha mengalahkan bahkan menyingkirkan sesama. Sedangkan agar bernilai maka kita melihat sesama sebagai sahabat. Bukan pesaing. Untuk menjadikan sesama sebagai pesaing adalah hal yang sangat mudah. Tapi untuk menjadikan sesama sebagai sahabat merupakan hal yang perlu perjuangan.

Marta dalam Injil hari minggu ini adalah sosok yang mengejar prestasi. Dia tenggelam dalam kesibukan di dapur dengan harapan Yesus akan memuji kelezatan masakannya. Begitu sibuknya Marta sampai dia melupakan Yesus. Dia menjadikan Yesus sebagai tamu hebat, bukan orang yang bernilai baginya. Sebaliknya Maria duduk di bawah kaki Yesus mendengarkanNya sebagai guru. Maria tidak menyibukkan diri sebagai usaha mencapai prestasi tapi dia menjadikan Yesus sebagai orang yang bernilai. Yesus begitu bernilai sehingga dia tidak ingin meninggalkan Yesus seorang diri.

“Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya." (Luk 10:42) Bagian Maria yang terbaik adalah menempatkan dirinya sebagai orang yang menjadikan Yesus sebagai orang yang bernilai. Hal ini membangun relasi yang dalam dengan Yesus. Relasi ini tidak akan dapat diambil dari Maria. Seandainya Marta dapat memasak yang sangat lezat maka kelezatan itu akan hilang dengan cepat. Orang akan mengenang dan kagum padanya sebagai tukang masak yang handal. Dia akan menepuk dada sebab masakannya dipuji Yesus. Sebaliknya relasi kasih yang dibangun oleh Maria tidak akan hilang. Dia ada dalam Yesus dan Yesus ada dalam dia. Dimana saja Yesus atau Maria berada mereka akan terus saling mengingat. Mereka saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Mengubah satu dengan yang lain. Mereka menjadi bernilai bagi yang lain.

MARTA DAN MARIA

Ketika kuliah Kitab Suci beberapa kali aku diolok oleh dosen Kitab Suci seorang romo dari ordo kontemplatif atau pendoa. Beliau mengatakan bahwa konggregasi tempatku bergabung bagaikan Marta yang sibuk. Sedangkan ordo tempat beliau bergabung bagaikan Maria yang duduk dekat kaki Yesus. Mendengar olokan itu aku hanya tersenyum sebab aku tahu bahwa beliau tidak bermaksud menghina. Olokan hanya ungkapan cinta beliau pada kami. Beliau mengolok bahwa kaum aktif seperti kami itu menghabiskan waktunya untuk hal yang tidak berguna seperti Marta. Sedangkan kaum kontemplatif telah mengambil tempat yang tepat dan menghabiskan waktu untuk duduk mendengarkan Yesus. Inilah yang dipuji Yesus.

Yesus menegur Marta bukan karena dia sibuk bekerja, tapi dia protes mengenai Maria. Dia seolah bekerja paling keras sebaliknya Maria tidak bekerja. "Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara,” (Luk 10:41). Sebagai tuan rumah Marta ingin memberikan yang terbaik. Dia kuatir bahwa Yesus tidak mendapatkan yang terbaik. Yesus mengingatkan bahwa kita tidak perlu kuatir untuk memberikan yang terbaik padaNya. Dia sudah memiliki segalanya. Dia adalah Putra Allah. Kekuatiran ini mendorong Marta tenggelam dalam aneka pekerjaan. “tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya.” (Luk 10:42). Yesus mengingatkan bahwa yang diperlukan bagi Marta adalah menjadi murid Yesus seperti Maria. Mempunyai waktu untuk mendengarkan sabdaNya.

Kita pun sering seperti Marta. Menjelang Paskah, Natal atau hari besar lainnya semua orang sibuk menghias gereja. Membuat liturgi yang indah dan megah. Koor latihan setiap malam agar dapat menampilkan lagu yang indah. Semua beranggapan bahwa bila gereja dihias dengan indah, liturgi bagus, koor bagus dan sebagainya maka akan membuat Yesus suka cita. Apakah Yesus menghendakinya? Dia lahir di kandang dan tidak ada satu pun orang yang menyambutnya penuh suka cita. Para gembala dan orang Majus datang setelah beberapa hari Yesus lahir. Tidak ada kemegahan atau keindahan. Semua serba sederhana. Apalagi Paskah ketika Yesus bangkit. Tidak ada kemegahan sama sekali. Semua murid masih dalam perkabungan, keputusasaan dan ketakutan. Tapi mereka semua mendengarkan sabda Allah. Para Majus melihat bintang para gembala melihat malaikat, para murid di rumah tertutup berdoa dan melihat Yesus.

Akibat kita sibuk seperti Marta maka seringkali Natal dan Paskah berlalu begitu saja. Kita hanya ingat akan koor yang bagus, hiasan yang indah dan keramaian umat. Tidak ada usaha mendengarkan sabda Allah dan merenungkannya. Bahkan Paskah dimana bacaan semula 9 diubah menjadi 5 sebab dianggap terlalu lama. Meski sudah dikurangi kita masih merasa bosan dan mengantuk. Mungkin kita semua sudah capek melakukan persiapan sehingga kita tidak mampu merenungkan makna Paskah atau Natal dalam hidup kita. Seharusnya kita menjadi Maria yang berani mendengarkan sabda Yesus dan merenungkannya. Sabda yang tertanam dalam hati tidak akan berkesudahan. Sabda itu bagaikan sumber mata air yang tidak berkesudahan. Maka sabda yang tertanam dalam hati tidak akan dapat diambil oleh siapapun. Tidak akan habis. Sedangkan segala kemegahan hiasan gereja, keindahan koor dan lainnya akan habis ketika semua itu berlalu.

Hal ini bukan berarti kita tidak perlu menyiapkan dan memeriahkan perayaan liturgi. Hal yang bagus itu sangat dibutuhkan. Bila koor bagus maka umat akan terlibat untuk menyanyi dan merasa senang. Hiasan yang bagus membuat umat lebih dapat menghayati doa-doa. Maka tujuan kita menghias gereja dan menata liturgi adalah agar umat semakin dekat dengan sesama dan Allah. Semua petugas dan perangkat liturgi merupakan bagian dari tanda dan sarana keselamatan dari Allah. Tapi tujuan itu sering dilupakan. Kita terjebak seperti Marta yang tenggelam dalam kesibukan dan kekuatiran, sehingga melupakan tujuan utama yaitu agar Yesus dapat berbicara pada kita melalui sakramen. Agar kita dapat membangun relasi pribadi dengan Yesus dan sesama.

Senin, 12 Juli 2010

MENGIKUTI YESUS

Keputusan mengikuti Kristus bukanlah sebuah keputusan mudah. Sejak awal Yesus sudah menyatakan apa yang akan terjadi bagi para pengikutNya. Mereka akan mengalami aneka penderitaan dan disingkirkan oleh banyak orang bahkan keluarganya sendiri. Orang akan bangga bila mampu mempersalahkannya. Situasi ini digambarkan oleh Yesus seperti anak domba yang berada di tengah serigala. Domba adalah hewan lemah yang tidak mempunyai senjata untuk mempertahankan diri apalagi menyerang musuh. Domba jantan memang mempunyai tanduk untuk mempertahankan diri, tapi Yesus menggambarkan pengikutNya sebagai anak domba. Hewan yang lemah. Mereka hanya mampu lari dan bersembunyi. Sedang di sekitarnya ada serigala. Hewan buas yang mempunyai kebiasaan berburu dalam jumlah banyak. Mereka suka mengeroyok mangsanya. Dalam fabel, sosok serigala sering untuk untuk menggambarkan sifat yang licik, culas dan kejam. Sebaliknya domba adalah gambaran sifat yang tulus dan tidak berdaya. Suka hidup damai dan cenderung bodoh. Gambaran Yesus ini menunjukkan betapa beratnya mengikuti Dia.

Pada umumnya orang mengikuti seorang tokoh dengan harapan dia mendapatkan sesuatu. Simon pun berharap akan mendapat sesuatu. “Lalu Petrus menjawab dan berkata kepada Yesus: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?” (Mat 19:27). Kita pun mengikuti Yesus dengan harapan mendapat berkat berlimpah, sehingga ada orang yang mengajarkan bahwa mengikuti Yesus adalah mengikuti raja. Bahkan kita diangkat sebagai anak raja. Sebagai anak raja kita tidak akan berkekurangan.

Orang mengikuti seorang tokoh juga berharap mendapatkan posisi bagi hidupnya. Yakobus, Yohanes, dan murid yang lain berusaha menjadi yang terutama dan utama. Mereka berharap mendapat kekuasaan dan popularitas. Apa yang diharapkan oleh para murid Yesus adalah hal yang wajar terjadi dalam dunia. Orang ingin mendapatkan yang baik dari keputusannya. Ketika Soeharto masih berkuasa, maka banyak orang membangun tekad bulat menjadikan dia sebagai presiden seumur hidup agar mendapat kedudukan dan jabatan. Tapi setelah Soeharto jatuh, maka banyak orang mulai mencaci makinya. Menghujatnya seolah dia sejak awal telah menjadi oposisi dari rejim yang berkuasa.

Mengikuti Yesus juga bukan mencari damai. "Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” (Mat 10:34). Menerima Yesus berarti menerima ajaranNya yang berbeda dengan ajaran dunia. Siap untuk dilawan oleh dunia yang lebih suka tinggal dalam kegelapan. Ajaran Yesus adalah kebenaran. Bila kita hidup dalam kebenaran universal, maka kita akan berhadapan dengan para penolak kebenaran yang jumlahnya jauh lebih banyak. Dalam masyarakat sering kali kebenaran diputarbalikkan. Orang jujur akan hancur. Keadilan diperjualbelikan. Bila kita tetap meletakkan kebenaran di atas segalanya, maka kita harus berhadapan dengan serigala-serigala yang buas.

Kita mengikuti Yesus bukan mencari musuh atau suka menyakiti diri sendiri, melainkan kita ingin membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Membangun masyarakat yang berlandaskan pada kebenaran universal, bukan kebenaran sempit sesuai dengan pandangan agama atau adat tertentu. Berani berjuang membela kaum miskin dan tertindas. Inilah yang sering kali dilawan oleh dunia. Ketidakberdayaan bagaikan domba membuat kita berserah pada Allah. Membiarkan Allah yang berkuasa dalam diri kita. "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” (2Kor 12:9). Dalam penderitaan kita mencari kekuatan dari Allah dan mengimani bahwa Allah lebih berkuasa daripada segalanya. “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Fl 4:13). Tapi sering kita ragu akan kekuatanNya dan terlalu melihat kekuatan diri sendiri.

Kamis, 08 Juli 2010

MEMBALAS DENDAM

Seorang bercerita dengan emosional tentang kemarahan, kebencian dan dendamnya pada saudaranya. Setelah mendengarkan ceritanya aku dapat memahami mengapa dia sangat marah dan benci pada saudaranya. Tapi aku yakin bahwa apa yang diceritakan tidak semua benar. Pasti ada nilai kebaikan dalam diri saudaranya. Karena saudaranya dapat membangun keluarga yang baik dan tampak bahagia. Rasanya sulit dipahami orang sejahat itu dapat membangun keluarga yang baik dan tampak bahagia. Maka aku tidak sepenuhnya menyetujui kemarahan dan dendam yang bertumpuk di dalam hati orang itu. Usulku agar dia mengampuni agar dapat hidup tenang langsung ditolaknya dengan nada keras. Baginya tidak ada lagi pengampunan bagi saudaranya. Dia pun bersumpah bahwa sampai matipun dia tidak akan mengampuni saudaranya.

Semula aku melihat bahwa orang yang bercerita padaku bukanlah orang yang kasar dan pemarah. Tapi karena dendam pada saudaranya maka dia berubah menjadi pemarah dan kasar. Keluarganya mengeluh akan perubahan ini. Kebencian yang menggumpal menjadi dendam dapat merubah seseorang secara total. Kebencian dan dendam bagaikan bangkai yang mengeram dalam hati sehingga menimbulkan bau busuk dan sangat menganggu. Membuat hidup tidak nyaman. Bila ingin memiliki hidup yang nyaman dan tenang harus punya keberanian untuk membuang bangkai itu.

Sebagai seorang Katolik seharusnya pengampunan bukan hal yang asing. Dalam doa Bapa Kami, yang setiap hari didoakan pun pengampunan menjadi salah satu syarat agar diampuni oleh Tuhan. Tapi karena doa hanya sekedar diucapkan dan kurang diresapi maka pengampunan menjadi hal yang asing. Tidak tertanam dalam hati dan menjadi dasar kehidupan. Kesulitan mengampuni sebab merasa bahwa dirinya tidak berdosa. Orang yang datang padaku melihat dirinya selalu benar. Semua kesalahan ada dalam diri saudaranya. Sebetulnya bila kita menyadari bahwa kita pun orang berdosa dan sering melakukan kesalahan, maka kita akan mudah mengampuni.

“Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.” (Rm 12:19). Dendam mendorong kita ingin membalas. Padahal menurut Rasul Paulus pembalasan adalah hak Allah. Kita tidak berhak membalas sakit hati kita. Tapi kita sering merasa menjadi Allah dan mengambil alih peran Allah untuk mengadili dan menghukum orang lain. Hal ini bukan berarti di dunia tidak perlu adanya hukum positip yang dibuat negara. Hukum tetap diperlukan agar adanya ketertiban. Manusia masih lemah. Bila tidak ada hukum maka dia akan dapat berbuat sesuka hatinya sehingga merugikan sesama. Adanya hukum pun belum menjadi jaminan akan terciptanya ketertiban dalam masyarakat, sebab orang mudah sekali tergoda untuk mengikuti dan memuaskan keinginannya sehingga berani melanggar hukum yang ada.

“Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Mat 5:39). Ajaran ini sering dianggap lemah, sebab seolah kita membiarkan diri untuk ditindas. Sebetulnya tidak. Ketika Yesus ditampar oleh seorang pada saat diadili, Dia tidak memberikan pipi satunya untuk ditampar, melainkan Dia mempertanyakan mengapa Dia ditampar? Hal ini bukan berati Yesus tidak konsisten dengan ajaranNya. Tapi Dia membedakan penindasan. Bila penindasan itu ditujukan pada kebenaran yang menyangkut masyarakat luas, maka kita wajib mempertanyakan. Bertanya bukan berarti membalas kejahatan, melainkan membuka ruang dialog untuk menemukan kebenaran. Bila kesewenang-wenangan hanya menimpa kita, tanpa menimbulkan pengaruh negatif pada orang lain, maka kita harus mengampuni. Bahkan kita diminta untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. Hal ini sangat membutuhkan kebesaran jiwa yang didasari oleh kasih yang besar dan kesadaran bahwa Allah telah mengampuni kita terlebih dahulu atas segala dosa yang telah kita lakukan.

Rabu, 07 Juli 2010

DOA DAN PELAYANAN

Secara garis besar dalam Gereja ditemukan dua orang yang mempunyai pendapat yang bertentangan satu dengan yang lain tentang peran doa dalam kehidupan mereka. Sekelompok orang menyatakan buat apa berdoa bila tidak melayani. Lebih penting melayani umat secara nyata dari pada menghabiskan waktu untuk berdoa. Mereka melihat bahwa doa tidak akan mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Tuhan tidak datang melalui doa-doa untuk menyelesaikan masalah manusia. Kelompok ini sulit bila diajak untuk pertemuan doa, bahkan mereka sudah tidak mau ke gereja mengikuti perayaan sakramen. Mereka tetap percaya pada Yesus Sang Revolusioner.

Kelompok satunya tekun dalam doa dan meditasi tapi sangat sulit bila diajak untuk melayani kaum miskin. Bagi mereka relasi dengan Tuhan hanya dapat dijalin melalui doa dan meditasi. Mereka merasa bahwa pelayanan pada kaum miskin tidak akan pernah selesai. Kemiskinan adalah urusan negara. Bukan urusan mereka. Kelompok ini berusaha mencari kesalehan pribadi melalui doa-doa yang dijalankan secara ketat. Mereka beranggapan bahwa dengan senantiasa ingat akan Tuhan maka mereka tidak akan melakukan kejahatan yang melanggar hukum Tuhan. Mereka baik pada sesama dan berusaha hidup tanpa menyakiti atau merugikan sesama.

St. Vincentius a Paulo mengatakan, “Berilah aku seorang pendoa maka dia akan dapat melakukan segala hal.” St. Vincentius bukan hendak membentuk ordo pendoa. Dia adalah seorang yang peduli pada kaum miskin dan tertindas sehingga mendorong semua imamnya untuk melayani kaum miskin terutama di pedesaan dan tempat-tempat yang dihindari oleh orang. Tapi dia tetap menekankan kehidupan doa dan yakin bahwa seorang pendoa akan mampu melakukan pelayanan yang semakin baik. Pelayanan adalah buah dari doa dan meditasi. Dalam doa orang disadarkan akan belas kasih Allah dalam hidupnya. Belas kasih inilah yang dibagikan pada sesama. Dalam keheningan meditasi dia mencari kekuatan dari Allah sendiri untuk bertahan dan fokus pada misinya yaitu melayani kaum miskin. Godaan untuk meninggalkan pelayanan dan godaan untuk mencari kebangaan diri sangat kuat dalam pelayana. Dengan doa dan meditasi dia akan terus menerus diingatkan tujuan dari hidupnya yaitu melayani kaum miskin.

Uskup Oscar Romero seorang pejuang melawan penindasan juga menekankan kehidupan doa. Dia mengatakan “Jam-jam terbaik kita adalah jam yang kita habiskan dengan berlutut dihadapan Tuhan dalam doa kontemplatif.” Doa membuat hidupnya tenang dan damai yang terpancar kepada siapa saja yang datang padanya. Banyak orang bersaksi bahwa Uskup Romero adalah seorang yang banyak mendengarkan. Dia dapat membuat orang di sekitarnya merasa tenang meski dia tidak mengatakan apa-apa. Isi doanya merupakan ungkapan kegelisahan, kekalahan dan jeritan kaum miskin. Setiap dia mendengarkan keluhan kaum miskin dan melihat penderitaannya, maka semua dibawa dalam doa-doa dan meditasinya. Dengan demikian isi doa bukan hanya berbicara soal kepentingan diri tapi kepentingan umatnya. Kehidupan doa dan meditasi membuatnya menjadi pribadi yang tenang dan damai.

Yesus meluangkan waktu untuk berdoa. Dia meninggalkan banyak orang yang mencari untuk meminta kesembuhan. “Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana. Tetapi Simon dan kawan-kawannya menyusul Dia; waktu menemukan Dia mereka berkata: "Semua orang mencari Engkau." (Mrk 1:35-37). Bukan Yesus tidak mempunyai belas kasih pada orang yang membutuhkanNya, tapi relasi dengan Bapa adalah yang utama. Hidup Yesus adalah pelaksanaan dan perwujudan kehendak Allah di dunia. Bagaimana Dia tetap dapat memahami dan konsisten menjalankan kehendak Allah bila tidak mempunyai relasi yang baik? Doa dan karya adalah satu kesatuan integral. Tak terpisahkan. Tidak mungkin orang hanya menekankan satu hal dan mengabaikan yang lain. Semakin aktif melayani harusnya semakin aktif berdoa. Demikian pula sebaliknya. Semua pelayanan adalah perwujudan dari doa dan sebaliknya semua doa adalah ungkapan pelayanan dan pencarian kehendak Tuhan dalam pelayanan ini.

Senin, 05 Juli 2010

GEREJA TELAH MATI

Jean Jacques Rousseau (28 Juni 1712 – 2 Juli 1778) filsuf Swis berpendapat bahwa manusia adalah seperti atom yang lengkap dalam dirinya. Dia tidak membutuhkan orang lain. Manusia bukan seperti sel yang membutuhkan sel lain. Kalau toh manusia itu berkumpul disebabkan adanya kaitan struktur bukan batin. John Locke (16 Agutus 1632 – 28 Oktober 1704) filsuf Inggris berpendapat bahwa manusia berkumpul dan mengingkatkan diri satu dengan yang lain supaya ada kesamaan dalam segi hukum. Thomas Hobbes (5 April 1588 – 4 Desember 1679) filsuf Inggris mengatakan bahwa masyarakat adalah himpunan individu-individu yang masing-masing secara egoistis mengejar kepentingan mereka sendiri. Pendapat ketiga orang itu hampir sama bahwa manusia tidak membutuhkan sesamanya. Mereka berkumpul dengan sesama demi kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri. Semua kembali kepada diri sendiri.

Sebagai orang Timur yang menjunjung persaudaraan kita pasti berpendapat bahwa apa yang dikatakan oleh ketiga orang itu adalah salah. Kita menghargai persaudaraan, yaitu hubungan yang melibatkan batin. Bagi penduduk desa semua orang yang tinggal disitu adalah saudara. Bila salah satu warga membetulkan rumah atau punya hajat maka semua orang akan membantu tanpa diupah. Mereka cukup diberi makan dan minum. Suatu hal yang wajar sebab mereka telah bekerja keras. Jika pohon buahnya berbuah maka semua tetangga akan turut merasakan buahnya. Mereka saling memberi dan melibatkan diri satu dengan yang lain. Bahkan rumah mereka terbuka bagi semuanya.

Tapi itu kenangan sekitar 10-20 tahun yang lalu. Secara pasti hal itu sudah semakin memudar dan diganti dengan pola pikir seperti yang dikatakan oleh ketiga filsuf di atas. Orang semakin lama semakin egois. Pagar rumah mereka yang semula dari bambu dan pendek, bahkan banyak rumah tanpa pagar, sekarang berubah menjadi tembok dan besi yang menyerupai benteng. Orang tidak lagi saling menyapa bahkan sesama tetangga tidak saling mengenal satu dengan yang lain. Manusia telah menjadi atom.

Sikap ini juga sudah merasuk dalam tubuh Gereja. Banyak orang datang ke gereja dan merasa kesepian, sebab dia tidak mengenal saudaranya yang duduk di sebelahnya. Selama mengikuti ibadat dia tidak menyapa dan disapa oleh umat lain. Dia menjadi orang asing. Rasul Paulus menggambarkan Gereja sebagai tubuh yang terkait satu dengan yang lain. Bila mereka tidak saling mengenal bagaimana mereka dapat terkait? Orang menyatakan bahwa dia datang ke gereja untuk berdoa. Bertemu dengan Tuhan. Begitu khusuknya dia berdoa sampai tidak melihat orang yang duduk di dekatnya dan tidak mengenalnya. “Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” (1Yoh 4:21). Bila kita hanya mencintai Allah dan tidak mau mengenal saudara kita maka cinta kita mandul, sebab tidak pernah diwujud nyatakan dalam diri saudara-saudara kita.

“Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.” (Kis 4:32) Kesatuan Gereja sedemikian kuat sehingga tidak ada milik individu. Semua milik bersama. Gambaran Gereja seperti ini sudah tidak ada lagi. Sebaliknya anggota Gereja semakin individualis. Mereka hanya berusaha untuk mengejar kesalehan pribadi dengan memusatkan diri dalam hidup doa dan meditasi tapi melupakan hidup persaudaraan. Padahal kita semua tahu bahwa cinta pada Allah tidak dapat dipisahkan dari cinta pada sesama.

Gereja adalah gambaran Kerajaan Allah di dunia. Bila anggota Gereja sudah menjadi individualis maka Gereja kehilangan hakekatnya sebagai Kerajaan Allah. Gereja bagai garam yang kehilangan asinnya. Gereja menjadi tanda yang tidak mampu menandakan atau mati. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap tahun ada pertambahan anggota Gereja. Tapi mereka menjadi kecewa sebab Gereja yang digambarkan hanya merupakan kenangan masa lalu. Inilah tantangan kita saat ini untuk membangkitkan kembali Gereja yang telah mati, sehingga Gereja sungguh menjadi tubuh Kristus.

Minggu, 04 Juli 2010

YESUS ADALAH TUAN ATAU NABI

St. Vincentius a Paulo (24 April 1581 – 27 September 1660) adalah seorang imam yang memberikan dirinya untuk melayani kaum miskin di Perancis. Dia dapat disebut sebagai tokoh pembaharu Gereja. Salah satu sumbangan St. Vincentius pada Gereja adalah dia berhasil merobohkan tembok biara. Pada jaman itu kaum biarawan dan biarawati tinggal dibalik tembok biara sehingga terpisah dari kehidupan dunia. St. Vincentius melihat bahwa panggilan hidup membiara adalah untuk melayani Yesus yang miskin. Maka dia mengajak para imam untuk melayani kaum miskin di pedesaan, sebab kaum miskin di pedesaan sering diabaikan oleh para imam yang sibuk melayani di kota

St. Vincentius bersama St. Louisa untuk mendirikan suster-suster yang melayani kaum miskin. Bagi St. Vincentius Tuhan tidak lagi ada di tabernakel tapi ada nyata dalam diri kaum miskin, maka dia mengatakan pada para suster bahwa kapelmu adalah lorong-lorong rumah sakit dan rumah-rumah kumuh. Mereka tidak memusatkan diri dalam doa tapi doa mereka ada dalam pelayanan. Maka dia mengatakan “tinggalkan Tuhan demi Tuhan.” Hal ini bukan berarti menyepelekan kehidupan doa. Dia tetap menekankan kehidupan doa dan meditasi. Dalam sebuah suratnya dia mengatakan jadilah kartusian (para rahib yang sebagian besar hidupnya untuk berdoa dan meditasi) ketika di rumah dan pelayanan ketika di luar rumah. Bagi St. Vincentius kaum miskin adalah tuan yang harus dilayani dengan penuh kasih. Inilah sumbangsihnya besar bagi Gereja.

Lain St. Vincentius lain pula Uskup Oscar Romero (15 Agustus 1917 – 24 Maret 1980). Bila St. Vincentius memposisikan kaum miskin sebagai tuan, sedangkan Uskup Romero memposisikan kaum miskin sebagai nabi. Dia mengatakan “Umatku adalah nabiku”. “Saya harus mendengar apa yang dikatakan Roh Kudus melalui umatNya.” Uskup Romero berjuang untuk Gereja di El Salvador dimana saat itu banyak rakyat yang dibunuh dan diperlakukan tidak adil oleh penguasa dan para tuan tanah. Perjuangan Uskup Romero dimulai dari kesediaanya untuk mendengarkan jeritan rakyat miskin yang menuntut keadilan. Jeritan itu menyadarkan dia bahwa sebagai Uskup dia ditutut untuk membaktikan dirinya untuk membela dan menjadi suara kaum miskin.

St. Vincentius dan Uskup Romero bukan orang yang berjuang demi kaum miskin sejak awal hidup panggilannya sebagai seorang imam dan uskup. Mereka hidup dalam cita-cita dan pandangan mengenai panggilan imamat yang tidak bersentuhan dengan kaum miskin. Sampai pada suatu titik dimana mereka disadarkan akan tugas utama mereka adalah melayani kaum miskin. Kesadaran itu muncul setelah mereka bertemu langsung dan terlibat dalam kehidupan kaum miskin. Dari sini mereka menemukan Yesus yang baru dan otentik milik mereka. Mereka menemukan Yesus sebagai tuan yang harus dilayani dan sebagai nabi yang menyerukan keadilan dan pembebasan.

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: "Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?" Maka jawab Simon Petrus: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!" (Mat 16:15-16). Yesus ingin para muridNya memahami Dia menurut pendapatnya secara pribadi. Petrus sebagai wakil para rasul menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias. Yesus melarang Petrus untuk mengatakan hal itu kepada siapapun. Yesus ingin setiap orang menemukan DiriNya secara pribadi, bukan atas pendapat orang. St. Vincentius melihat Yesus sebagai tuan sedangkan Uskup Romero melihat Yesus sebagai nabi. Mereka menemukan Yesus secara pribadi dalam pergulatannya bersama kaum miskin.

Pemahaman kita bahwa Yesus adalah Mesias berdasarkan atas ajaran dari Kitab Suci dan Gereja. Bukan dari hasil pergulatan kita dalam pertemuan dengan Yesus secara nyata. Yesus ada dalam diri kaum miskin. Maka usaha pencarian siapa Yesus bagi diri kita adalah bila kita berani terlibat dalam kehidupan kaum miskin dan merefleksikannya dalam terang iman dan Kitab Suci. Dari sini kita akan menemukan Yesus entah sebagai tuan, nabi, guru atau lainnya. Pemahaman ini otentik milik kita yang mungkin tidak dipahami oleh sesama. Kita pun harus bertanya pada diri sendiri siapakah Yesus?

Sabtu, 03 Juli 2010

APAKAH BANGSA KITA SUDAH DEWASA?


Pertandingan Inggris vs Jerman di piala dunia 2010 menyisakan kenangan pahit bagi Inggris yang kalah 4-1. Seorang teman yang mendalami psikologi berpendapat bahwa seandainya gol Frank Lampard pada menit 39 tidak dianulir mungkin hasilnya akan lain. Gol itu sangat jelas. Tapi entah mengapa Jorge Lorrionda dari Uruguai yang menjadi wasit tidak melihatnya. Kekalahan telak ini tentu sangat memukul rakyat Inggris yang menjadikan sepak bola seperti agama. Seandainya mereka kalah dalam adu penalti atau kalah hanya 1 gol mungkin tidak semalu kalah 4-1.

Meski kalah besar aku salut dan kagum pada pemain Inggris. Jelas mereka sangat dirugikan. Tapi mereka tidak melakukan kekerasan atau keributan. Mereka menghargai keputusan wasit. Frank Lampard hanya memegang kepalanya penuh kekecewaan. Seandainya hal itu terjadi di negara kita mungkin sudah akan terjadi keributan di tengah lapangan. Wasit akan dikeroyok bukan hanya oleh pemain tapi juga offisial tim. Para supporter menjadi marah dan melempari wasit. Mereka mengadakan keributan bahkan sampai di luar stadion. Kekalahan Persebaya di Jakarta membuat para pendukungnya marah. Mereka melempari batu di sepanjang perjalanan Jakarta – Surabaya yang berjarak sekitar 880 km.

Dalam sebuah pertandingan kalah atau menang adalah hal yang biasa. Dirugikan atau diuntungkan oleh suatu keputusan adalah hal yang sering terjadi. Semua bisa disikapi secara dewasa. Kedewasaan seseorang dapat diukur ketika dia lebih menggunakan akal budi daripada rasa. Penggunaan akal budi membuat segala yang dikerjakan atau dikatakan merupakan sebuah keputusan yang sudah dipertimbangkan secara matang. Sebaliknya kemarahan dan sikap anarkis adalah ketika akal budi kurang digunakan secara penuh. Orang hanya mengikuti emosinya belaka.

Tindakan atau perilaku kurang dewasa bukan hanya milik para pendukung sepak bola. Sering kita melihat di media massa atau bahkan mengalami sendiri sikap tidak dewasa orang yang sudah berusia jauh dari usia remaja, orang yang menyatakan sebagai kaum intelektual bahkan agamawan. Tawuran, tindak kekerasan, dan aneka kesewenang-wenangan terjadi dimana-mana. Orang dewasa menyelesaikan segala masalah melalui diskusi, adu argumen bukan dengan adu fisik atau pengerahan massa untuk menekan orang lain agar mengikuti kehendaknya. Dalam diskusi orang berusaha mencari kebenaran. Tapi kadang kebenaran dapat berbeda tergantung dari sudut pandang dan kepercayaan. Dalam hal ini orang hanya dapat mencari titik temu atau memadukan kebenaranya yang diyakini. Bukan untuk menindas atau mengklaim bahwa kebenaran yang diyakini adalah kemutlakan. Apalagi bila masalahnya sudah bergeser menjadi kalah atau menang, sehingga usaha mencari kebenaran menjadi terkaburkan.

Kedewasaan juga ditunjukkan dari kemampuan seseorang untuk mengontrol diri. Bila anak kecil marah maka dia akan berteriak-teriak tanpa berhitung dimana dia berada. Dia tidak peduli apakah dia ada di dalam rumah atau di ruang publik. Dia tidak malu, sebab memang dia belum mampu menggunakan akal budi secukupnya. Dia masih dikuasai oleh emosi. Dengan akal budi yang matang orang dapat mengontrol diri, sebab dia sudah belajar mengenai tata krama, adat, dan sebagainya. Meskipun dia marah tapi dia akan mencari tempat untuk mengungkapkan kemarahannya.

Tapi melihat situasi di negara kita dan aneka kejadian kekerasan yang terjadi, kita bisa merenungkan apakah kita sudah dewasa? Kaum agamawan yang seharusnya adalah orang yang dewasa dan mampu mengontrol diri ternyata sering kali menunjukkan sikap dan tindakan yang tidak dewasa sama sekali. Dalam menyelesaikan masalah mereka menghilangkan diskusi sebaliknya mengedepankan kekerasan dan kekuatan massa. Mereka bukan mencari kebenaran melainkan hanya kalah dan menang. Padahal dari situlah mereka dinilai bahwa mereka masih jauh dari dewasa. Jauh dari kematangan kepribadian. Mereka tidak lebih dari anak kecil yang berpakaian dewasa

IMAN MEMBUTUHKAN BUKTI?


Pagi ini sebuah TV swasta memberitakan bahwa di sebuah makam yang dikeramatkan menyemburkan air jernih yang berlimpah. Banyak penduduk yang datang mengambil air itu. Mereka percaya bahwa air itu mempunyai mujijat. Hal yang kuanggap lucu adalah komentar akhir pembawa berita bahwa ada kemungkinan bahwa semburan air itu disebabkan adanya pipa PDAM yang bocor. Seandainya kemudian petugas PDAM memeriksa pusat semburan dan menemukan pipa PDAM yang bocor bagaimana reaksi masyarakat yang sudah rela antri dan berebut untuk mendapatkan air itu? Hal seperti ini sudah sering terjadi dimana masyarakat begitu mudah mempercayai sesuatu seolah sebuah mujijat dari Allah.

Kita mengaku sudah memasuki jaman modern yang ditandai dengan memiliki aneka peralatan modern. Sebetulnya ke-modern-an tidak hanya ditandai oleh barang-barang canggih tapi juga perubahan perilaku manusia yang disebabkan adanya perubahan dalam cara pandang terhadap hidup dan dunia sekitarnya. Dalam dunia modern orang lebih menekankan penggunaan akal budi dalam melihat dan memutuskan segala sesuatu. Mereka mencari sebab akibat dan berusaha memecahkan setiap hal yang dihadapinya dengan menggunakan akal budi yang ditunjang oleh tehnologi. Pada jaman dulu orang percaya bahwa epidemi pes disebabkan adanya kuasa jahat yang muncul dari rawa-rawa. Gerhana bulan disebabkan bulan dimakan raksasa. Pada jaman modern dengan aneka penemuan dan perkembangan tehnologi, maka semua itu berusaha untuk dinalar dan dipecahkan dengan mencari sebab akibatnya.

Tapi kekuatan tehnologi dan daya pikir manusia kerap menemui jalan buntu. Saat ini tehnologi kesehatan semakin canggih, tapi penyakit pun semakin canggih. Seolah mereka saling berkejaran. Akibatnya manusia kembali masuk dalam hal-hal diluar akal atau sering disebut supranatural. Mereka mencari kekuatan lain diluar tehnologi dan akal budi. Sebetulnya bagi orang beragama mereka sudah mempunyai kekuatan besar yaitu Allah. Mereka percaya bahwa Allahlah yang berkuasa atas segala yang ada di semesta. Segala kecanggihan tehnologi dan kekuatan daya nalar manusia tidak akan mampu melebihi kekuasaan Allah. Apa yang telah dirancang matang oleh manusia dapat mengalami kegagalan oleh sesuatu yang tidak diduga. Ada kejadian-kejadian yang diluar perhitungan manusia. Orang yang sudah dinyatakan tidak akan mampu hidup ternyata dapat sembuh. Hal ini sering dianggap adanya kekuatan lain yaitu Allah.

Meski manusia percaya adanya Allah yang mahakuasa, tapi manusia membutuhkan bukti tentang keberadaan Allah. Iman adalah manusia percaya penuh pada Allah. Tapi dalam berbagai kesempatan manusia menjadi ragu akan imannya. Doa yang tidak terjawab. Bencana yang datang beruntun. Penderitaan yang menimpa orang saleh dan lainnya membuat manusia bertanya. Apakah Allah sungguh ada atau hanya sebuah ciptaan manusia pada jaman dahulu? “Apakah Engkau tidak mau menghidupkan kami kembali, sehingga umat-Mu bersukacita karena Engkau? Perlihatkanlah kepada kami kasih setia-Mu, ya TUHAN, dan berikanlah kepada kami keselamatan dari pada-Mu!” (Mzm 85:8-9). Pemazmur dalam penderitaannya berteriak meminta bukti keselamatan dari Allah. Bukti adalah sesuatu yang dapat dirasakan atau dilihat oleh manusia.

“Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yoh 20:29). Thomas menuntut bukti kebangkitan, sebab akal budi tidak mampu menjelaskan kebangkitan. Akal budi membutuhkan bukti fisik atau penalaran yang logis. Iman membutuhkan akal budi untuk mempertajam dan mempertanggungjawabkan. Tapi akal budi bukan untuk mencari pembuktian-pembuktian dan menguraikan segala misteri iman. St. Agustinus berusaha menggunakan akal budinya untuk menguraikan Tritunggal dan dia akhirnya sadar bahwa hal itu hanya dapat diimani. Orang terus mencari bukti kehadiran Allah dalam mujijat termasuk air di kuburan. Tapi harusnya orang tetap menggunakan akal budi untuk mempertajam dan mempertanggungjawabkannya agar tidak tersesat.

Jumat, 02 Juli 2010

DALAM KELEMAHAN AKU DIPANGGIL

Di paroki kami sangat kekurangan asisten imam atau prodiakon yaitu awam yang membantu imam untuk membagi komuni pada saat misa atau mengirim komuni pada umat yang sakit. Orang yang aku tawari menolak dengan alasan belum pantas. Mereka masih mudah jatuh dalam dosa atau masih mempunyai banyak dosa. Mereka masih hidup mengejar hal duniawi dan sebagainya. Bagi mereka menjadi asisten imam itu adalah orang yang suci. Orang yang sudah tidak lagi mengejar kesenangan duniawi. Maka biar orang-orang tua saja yang menjadi asisten imam, sebab mereka sudah tidak mengejar segala kenikmatan duniawi. Maka banyak asisten imam sudah diatas 60 th. Kadang aku kasihan bila melihat orang-orang tua membantu membagi komuni, sebab mereka sulit jalan, tangan gemetaran, dan sering mengalami masalah karena usia.

Alasan penolakan dari orang yang kutawari memang ada benarnya. Memakai jubah putih dan membagi Tubuh Kristus mengandaikan bahwa diri sudah terbebas dari dosa. Tapi siapakah orang di dunia ini yang terbebas dari dosa selain Bunda Maria dan Yesus sendiri? “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus” (Rm 3:23-24). Kita semua berdosa dan oleh Kristus dosa kita ditebus. Jika hanya mengingat akan dosa, maka tidak ada orang yang berani melayani. Pelayanan bukan berarti sebuah kesombongan untuk menyatakan diri bahwa kita tidak berdosa atau kita lebih hebat dari pada orang lain, melainkan kesiapan untuk mengikuti panggilan Kristus. Dalam kelemahan kita berusaha menjawab panggilan Yesus.

“karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” (Mat 9:13). Hal yang sering kita ingat adalah bahwa Yesus datang untuk mencari kita yang berdosa. Dia meninggalkan 99 domba demi mencari satu domba yang tersesat. Kita hanya menunggu Yesus mencari dan menyelamatkan kita. Yesus bukan hanya mencari orang berdosa untuk menyelamatkannya, tapi Dia juga memanggil. Sabda Yesus di atas dalam konteks panggilan Matius. Panggilan adalah hak khusus Tuhan. Dia berhak memanggil siapa saja dan kapan saja. Tanpa meminta persetujuan orang yang dipanggilnya. Dia mengajak Matius tanpa meminta persetujuan atau menanyakan apakah Matius repot atau tidak. Dia mengajak dengan penuh kuasa.

Penonjolan akan kedosaan hanyalah salah satu bentuk dari sekian banyak alasan penolakan panggilan. Panggilan Yesus menuntut kita melakukan belas kasih pada sesama yaitu memberikan diri, berani berkurban atau menanggung salib sesama. Hal ini berarti kita harus berani meninggalkan diri dan segala kepentingan diri. Dalam dunia yang semakin egois dan individualis, maka pemberian diri pada sesama merupakan hal yang berat. Inilah yang membuat kita enggan. Kita lebih senang menjadi pengikut Kristus yang pasif. Mencari kesalehan diri melalui doa-doa dan meditasi daripada aktif terlibat dalam pelayanan pada sesama. Atau puas memberikan dana untuk karya pelayanan, tapi sebetulnya Tuhan lebih menghendaki tindakan belas kasih. “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan.” (Mat 9:12)

Kesadaran akan kelemahan, kedosaan dan rasa ketidakpantasan diri hal ini sangat penting bagi kita bila ingin mengikuti Yesus. Kita akan terus terdorong untuk bersandar pada Yesus. Menyerahkan seluruh pelayanan kita pada Yesus. Keberhasilan dan kegagalan apa yang kita lakukan adalah milik Yesus. Tapi kita sering merasa bahwa pelayanan adalah milikku sehingga bila berhasil maka akan tumbuh kesombongan sebaliknya bila gagal akan merasa frustasi. "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.” (2Kor 9:12). Rasul Paulus menyatakan bahwa dirinya lemah dan berdosa. Dalam kelemahan itu dia menunjukkan kuasa peran kuasa Allah dalam hidupnya. Oleh karena itu kesadaran akan kelemahan diri sangat penting dalam pelayanan, sebab dengan demikian kita membiarkan kuasa Allah berkarya dalam hidup dan pelayanan kita.

Powered By Blogger