Pertandingan Inggris vs Jerman di piala dunia 2010 menyisakan kenangan pahit bagi Inggris yang kalah 4-1. Seorang teman yang mendalami psikologi berpendapat bahwa seandainya gol Frank Lampard pada menit 39 tidak dianulir mungkin hasilnya akan lain. Gol itu sangat jelas. Tapi entah mengapa Jorge Lorrionda dari Uruguai yang menjadi wasit tidak melihatnya. Kekalahan telak ini tentu sangat memukul rakyat Inggris yang menjadikan sepak bola seperti agama. Seandainya mereka kalah dalam adu penalti atau kalah hanya 1 gol mungkin tidak semalu kalah 4-1.
Meski kalah besar aku salut dan kagum pada pemain Inggris. Jelas mereka sangat dirugikan. Tapi mereka tidak melakukan kekerasan atau keributan. Mereka menghargai keputusan wasit. Frank Lampard hanya memegang kepalanya penuh kekecewaan. Seandainya hal itu terjadi di negara kita mungkin sudah akan terjadi keributan di tengah lapangan. Wasit akan dikeroyok bukan hanya oleh pemain tapi juga offisial tim. Para supporter menjadi marah dan melempari wasit. Mereka mengadakan keributan bahkan sampai di luar stadion. Kekalahan Persebaya di Jakarta membuat para pendukungnya marah. Mereka melempari batu di sepanjang perjalanan Jakarta – Surabaya yang berjarak sekitar 880 km.
Dalam sebuah pertandingan kalah atau menang adalah hal yang biasa. Dirugikan atau diuntungkan oleh suatu keputusan adalah hal yang sering terjadi. Semua bisa disikapi secara dewasa. Kedewasaan seseorang dapat diukur ketika dia lebih menggunakan akal budi daripada rasa. Penggunaan akal budi membuat segala yang dikerjakan atau dikatakan merupakan sebuah keputusan yang sudah dipertimbangkan secara matang. Sebaliknya kemarahan dan sikap anarkis adalah ketika akal budi kurang digunakan secara penuh. Orang hanya mengikuti emosinya belaka.
Tindakan atau perilaku kurang dewasa bukan hanya milik para pendukung sepak bola. Sering kita melihat di media massa atau bahkan mengalami sendiri sikap tidak dewasa orang yang sudah berusia jauh dari usia remaja, orang yang menyatakan sebagai kaum intelektual bahkan agamawan. Tawuran, tindak kekerasan, dan aneka kesewenang-wenangan terjadi dimana-mana. Orang dewasa menyelesaikan segala masalah melalui diskusi, adu argumen bukan dengan adu fisik atau pengerahan massa untuk menekan orang lain agar mengikuti kehendaknya. Dalam diskusi orang berusaha mencari kebenaran. Tapi kadang kebenaran dapat berbeda tergantung dari sudut pandang dan kepercayaan. Dalam hal ini orang hanya dapat mencari titik temu atau memadukan kebenaranya yang diyakini. Bukan untuk menindas atau mengklaim bahwa kebenaran yang diyakini adalah kemutlakan. Apalagi bila masalahnya sudah bergeser menjadi kalah atau menang, sehingga usaha mencari kebenaran menjadi terkaburkan.
Kedewasaan juga ditunjukkan dari kemampuan seseorang untuk mengontrol diri. Bila anak kecil marah maka dia akan berteriak-teriak tanpa berhitung dimana dia berada. Dia tidak peduli apakah dia ada di dalam rumah atau di ruang publik. Dia tidak malu, sebab memang dia belum mampu menggunakan akal budi secukupnya. Dia masih dikuasai oleh emosi. Dengan akal budi yang matang orang dapat mengontrol diri, sebab dia sudah belajar mengenai tata krama, adat, dan sebagainya. Meskipun dia marah tapi dia akan mencari tempat untuk mengungkapkan kemarahannya.
Tapi melihat situasi di negara kita dan aneka kejadian kekerasan yang terjadi, kita bisa merenungkan apakah kita sudah dewasa? Kaum agamawan yang seharusnya adalah orang yang dewasa dan mampu mengontrol diri ternyata sering kali menunjukkan sikap dan tindakan yang tidak dewasa sama sekali. Dalam menyelesaikan masalah mereka menghilangkan diskusi sebaliknya mengedepankan kekerasan dan kekuatan massa. Mereka bukan mencari kebenaran melainkan hanya kalah dan menang. Padahal dari situlah mereka dinilai bahwa mereka masih jauh dari dewasa. Jauh dari kematangan kepribadian. Mereka tidak lebih dari anak kecil yang berpakaian dewasa
Meski kalah besar aku salut dan kagum pada pemain Inggris. Jelas mereka sangat dirugikan. Tapi mereka tidak melakukan kekerasan atau keributan. Mereka menghargai keputusan wasit. Frank Lampard hanya memegang kepalanya penuh kekecewaan. Seandainya hal itu terjadi di negara kita mungkin sudah akan terjadi keributan di tengah lapangan. Wasit akan dikeroyok bukan hanya oleh pemain tapi juga offisial tim. Para supporter menjadi marah dan melempari wasit. Mereka mengadakan keributan bahkan sampai di luar stadion. Kekalahan Persebaya di Jakarta membuat para pendukungnya marah. Mereka melempari batu di sepanjang perjalanan Jakarta – Surabaya yang berjarak sekitar 880 km.
Dalam sebuah pertandingan kalah atau menang adalah hal yang biasa. Dirugikan atau diuntungkan oleh suatu keputusan adalah hal yang sering terjadi. Semua bisa disikapi secara dewasa. Kedewasaan seseorang dapat diukur ketika dia lebih menggunakan akal budi daripada rasa. Penggunaan akal budi membuat segala yang dikerjakan atau dikatakan merupakan sebuah keputusan yang sudah dipertimbangkan secara matang. Sebaliknya kemarahan dan sikap anarkis adalah ketika akal budi kurang digunakan secara penuh. Orang hanya mengikuti emosinya belaka.
Tindakan atau perilaku kurang dewasa bukan hanya milik para pendukung sepak bola. Sering kita melihat di media massa atau bahkan mengalami sendiri sikap tidak dewasa orang yang sudah berusia jauh dari usia remaja, orang yang menyatakan sebagai kaum intelektual bahkan agamawan. Tawuran, tindak kekerasan, dan aneka kesewenang-wenangan terjadi dimana-mana. Orang dewasa menyelesaikan segala masalah melalui diskusi, adu argumen bukan dengan adu fisik atau pengerahan massa untuk menekan orang lain agar mengikuti kehendaknya. Dalam diskusi orang berusaha mencari kebenaran. Tapi kadang kebenaran dapat berbeda tergantung dari sudut pandang dan kepercayaan. Dalam hal ini orang hanya dapat mencari titik temu atau memadukan kebenaranya yang diyakini. Bukan untuk menindas atau mengklaim bahwa kebenaran yang diyakini adalah kemutlakan. Apalagi bila masalahnya sudah bergeser menjadi kalah atau menang, sehingga usaha mencari kebenaran menjadi terkaburkan.
Kedewasaan juga ditunjukkan dari kemampuan seseorang untuk mengontrol diri. Bila anak kecil marah maka dia akan berteriak-teriak tanpa berhitung dimana dia berada. Dia tidak peduli apakah dia ada di dalam rumah atau di ruang publik. Dia tidak malu, sebab memang dia belum mampu menggunakan akal budi secukupnya. Dia masih dikuasai oleh emosi. Dengan akal budi yang matang orang dapat mengontrol diri, sebab dia sudah belajar mengenai tata krama, adat, dan sebagainya. Meskipun dia marah tapi dia akan mencari tempat untuk mengungkapkan kemarahannya.
Tapi melihat situasi di negara kita dan aneka kejadian kekerasan yang terjadi, kita bisa merenungkan apakah kita sudah dewasa? Kaum agamawan yang seharusnya adalah orang yang dewasa dan mampu mengontrol diri ternyata sering kali menunjukkan sikap dan tindakan yang tidak dewasa sama sekali. Dalam menyelesaikan masalah mereka menghilangkan diskusi sebaliknya mengedepankan kekerasan dan kekuatan massa. Mereka bukan mencari kebenaran melainkan hanya kalah dan menang. Padahal dari situlah mereka dinilai bahwa mereka masih jauh dari dewasa. Jauh dari kematangan kepribadian. Mereka tidak lebih dari anak kecil yang berpakaian dewasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar