Rabu, 30 Juni 2010

GARAM

Beberapa kali aku mengajak orang untuk terlibat dalam aktifitas pelayanan pada kaum miskin tapi tidak jarang mereka menolak secara halus. Alasan yang sering dikatakan adalah bahwa mereka adalah kaum minoritas. Apa yang mereka anggap baik belum tentu dapat diterima baik oleh orang lain. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa sebagai minoritas kita perlu hati-hati dalam menjalankan aktifitas. Ketakutan atau bagiku lebih tepat beban kesadaran diri sebagai minoritas inilah yang menjadi penjara bagi banyak orang Katolik. Apalagi bila orang Katolik itu adalah seorang Cina, maka beban minoritas menjadi bertumpuk-tumpuk.

Negara kita sejak awal sudah menjadikan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan dan cita-cita. Hal ini disebabkan adanya kemajemukan dalam aneka hal. Bila ada keaneka ragaman pasti akan ada yang lebih banyak dan lebih sedikit. Di dunia ini tidak ada yang sama persis. Maka keberagaman dalam jumlah orang sehingga ada istilah mayoritas dan minoritas, seharusnya bukan masalah yang perlu diangkat dan ditakuti. Tapi setelah 65 tahun merdeka ternyata keberagaman masih belum dapat diterima oleh sebagian orang yang merasa unggul dalam jumlah. Penindasan dan perlakuan yang sewenang-wenang terhadap komunitas minoritas terus terjadi.

Sejak awal Yesus tidak membangun komunitas besar. Dia memilih 12 rasul dan 70 murid dari ribuan orang pengikutNya. Pembentukan kelompok kecil selain dalam rangka untuk meneruskan ajaranNya juga menjadi teladan bagi masyarakat akan komunitas yang menjadi prototipe Kerajaan Allah. Oleh karena Gereja adalah gambaran Kerajaan Allah maka hakekat Gereja itu kecil. Yesus memberi gambaran Gereja sebagai garam, dian, dan biji sesawi. Bila Dia sejak awal ingin membangun komunitas besar maka Dia akan merekrut sebanyak mungkin orang. Membangun struktur herarki yang rinci dan Dia memposisikan sebagai penguasa. Tapi itu semua tidak dilakukan.

Gereja adalah garam dunia. Garam itu mampu melebur sehingga dapat mempengaruhi media tempatnya melebur. Namun meski tampaknya melebur sebetulnya garam tetap utuh. Bila garam dimasukan dalam air maka air akan menjadi asin. Tapi bila air dituang ke atas kertas lalu kertas dikeringkan maka garam akan muncul kembali. Larutnya garam dalam air bukan akhir dari garam itu. Dia tetap eksis. Gambaran garam sangat tepat bagi peran Gereja di dunia. Gaudium et Spes dengan jelas menunjukkan peran Gereja agar terlibat dalam masalah dunia. Keterlibatan bukan hanya sekedar hadir atau menyatu dengan dunia, melainkan mempengaruhi dunia.

Bila Gereja digambarkan oleh Yesus sebagai garam, maka Gereja adalah kecil atau minoritas. Garam yang terlalu banyak akan merusak dan kehilangan perannya. Agama Katolik bila menjadi mayoritas ada kemungkinan akan kehilangan kekatolikannya. Ketika Konstantinus menjadikan Kristen sebagai agama negara secara perlahan terjadi pergeseran peran garam dunia. Pemimpin Gereja terlibat politik praktis dalam kerajaan. Pengejaran kenikmatan duniawi. Paus menjadi raja dunia dengan segala perilaku bak seorang raja. Orang berusaha menjadi imam atau biarawan untuk dapat menikmati kehidupan mewah. Pembangunan basilika-basilika yang indah tapi mengabaikan kaum miskin bahkan memanipulasi sakramen untuk menggalang dana pembangunan. Gereja kehilangan perannya di dunia bahkan kehilangan maknanya sebagai Kerajaan Allah.

Keminoritasan dengan segala konsekwensinya seharusnya disyukuri, sebab kita dapat berperan sebagai garam. Mentransformasikan masyararakat. Mempengaruhi kehidupan dan tata kehidupan dalam masyarakat. Memperkokoh kesatuan dalam tubuh Gereja dengan saling mengenal satu dan yang lain. Suatu hal yang sulit bila jumlah besar. Hal ini membutuhkan keberanian untuk keluar dari ketakutan rasa minoritas dan kepuasan dalam komunitas. Gereja baik melalui ormas, komunitas-komunitas maupun secara pribadi-pribadi mengambil peran aktif dalam pergerakan dunia, sehingga kehadiran Gereja di suatu tempat dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat disitu.

Senin, 28 Juni 2010

TAWARAN PERSAHABATAN

Yesus dalam perjalanan ziarah ke Yerusalem bersama murid-muridNya akan melewati daerah Samaria. Rute yang diambil Yesus adalah rute yang tidak biasa, sebab orang Samaria bermusuhan dengan orang Yahudi. Dia dan para muridNya dapat diganggu oleh orang Samaria, sebab dianggap musuh. Maka keinginan Yesus untuk singgah di daerah itu langsung ditolak oleh penduduk Samaria. Penolakan itu membuat dua murid menjadi marah. “Ketika dua murid-Nya, yaitu Yakobus dan Yohanes, melihat hal itu, mereka berkata: "Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?” (Luk 9:54) Mereka ingin meniru Elia, “Tetapi Elia menjawab mereka: "Kalau benar aku abdi Allah, biarlah turun api dari langit memakan engkau habis dengan kelima puluh anak buahmu!" Maka turunlah api Allah dari langit memakan dia habis dengan kelima puluh anak buahnya.” (2Raj 1:12) Permintaan kedua murid itu ditolak oleh Yesus sebab tujuan Dia datang ke dunia untuk menyelamatkan bukan untuk memusnahkan. Musuh pun perlu diselamatkan.

Yesus datang ke dunia untuk memulihkan relasi manusia dengan Allah dan manusia dengan sesama yang rusak akibat dosa. Allah menawarkan persahabatan kepada manusia. Persahabatan dapat terbangun bila kita mau menghilangkan sekat-sekat yang dibangun oleh manusia. Kita menyadari bahwa kita setara, meski situasi dan kondisinya berbeda. “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.” (1Kor 12:13).

Kita masuk dalam jaman global dimana batas negara dan budaya menjadi kabur atau terasa tidak ada lagi. Kemajuan tehnologi transportasi membuat kita dapat berpergian kemana pun tempat di dunia ini secara cepat. Kita dapat berpindah dari satu negara ke negara lain. Kemajuan tehnologi komunikasi memungkinkan kita berkomunikasi dengan murah dan cepat dengan orang di negara lain. Kita dapat membangun persahabatan dengan orang yang sangat jauh dan mungkin tidak akan pernah bertemu muka dengan muka. Tapi anehnya pada jaman global ini di negara kita sering terjadi bentrok antar warga dengan aneka alasan. Mulai dari masalah olah raga, politik, agama dan lainnya.

Ternyata globalisasi membuat banyak orang mengalami krisis identitas. Mereka lalu berusaha membangun kelompok-kelompok kecil berdasarkan kesamaan hoby, agama, pandangan hidup dan sebagainya untuk membangun identitas dirinya kembali. Dalam Gereja pun muncul aneka kelompok baru walau yang dibahas hampir sama. Dalam agama pun muncul kelompok-kelompok yang berusaha menjalankan secara ketat nilai-nilai agama yang sesuai dengan Kitab Suci. Mirip kaum Farisi di Israel pada jaman Yesus. Kelompok-kelompok ini membangun sekat-sekat baru diantara manusia. Tidak jarang terjadi perkelahian antar kelompok akibat mereka semua merasa benar.

Pertentangan muncul sebab orang ingin menunjukkan ego dan kekuatannya seperti Yohanes bersaudara. Orang merasa bahwa kelompoknya paling benar dan kuat. Bahkan ada orang yang mengklaim kebenaran Allah hanya ada pada mereka. Orang terjebak dalam kurungan pikiran-pikiran dan keyakinan kelompoknya. Mereka bagaikan katak dalam tempurung yang hanya mampu melihat sepetak kecil dari dunia. Pemikiran yang sempit ini tidak mampu dibongkar oleh perkembangan tehnologi informasi. Setiap hal baru dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan kelompoknya maka perlu diawasi dan ditentang. Bila mungkin perlu dihancurkan.

Persahabatan hanya dapat terwujud bila orang berani melepaskan egonya. Menyadari bahwa dirinya lemah dan membutuhkan sesama. Melihat sesama mempunyai martabat yang sama. Orang dapat saja membentuk kelompok tapi bukan berarti bahwa mereka dapat hidup hanya dengan kelompoknya. Sekelompok orang membenci AS, seolah tidak membutuhkan AS, ironisnya mereka menggunakan tehnologi buatan AS. Gereja harusnya menjadi kelompok terbuka yang terus menerus menawarkan persahabatan kepada siapa saja meski mungkin ditolak.

Minggu, 27 Juni 2010

GEREJA YANG TERBUKA

Beberapa tahun lalu aku mendampingi sebuah stasi. Stasi ini sudah berdiri sejak tahun 1970. Pada tahun 2002 jumlah umat sekitar 2000 jiwa, tapi masih belum bisa menjadi paroki, sebab stasi ini sangat miskin. Bila menjadi paroki dikuatirkan tidak mampu membiayai operasionalnya. Letak gereja berada di tengah perkampungan padat yang penduduk mayoritas dari suatu suku yang sangat fanatik pada agama tertentu. Pada 9 Juni 1996 di daerah situ ada 9 gereja yang dihancurkan oleh masyarakat dengan mengatasnamakan agama. Kemiskinan, yang menyebabkan munculnya kecemburuan sosial dan ketidakfahaman tentang agama lain, membuat masyarakat mudah sekali tersulut oleh hasutan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Hal juga menjadi salah satu sebab mengapa stasi ini belum berubah menjadi paroki.

Setelah beberapa bulan disana aku mengajak anak-anak muda untuk mengadakan malam seni. Atas seijin pengurus RT dan RW aku melibatkan karang taruna dan remaja masjid dalam kepanitian. Semula memang agak sulit dan dicurigai. Untuk mengadakan rapat di gedung pertemuan gereja saja mendapat tentangan yang keras. Najis masuk ke halaman gereja. Akhirnya malam seni dapat berlangsung di halaman gereja. Atraksi diisi oleh barongsai, jaranan, tari rebana dari sebuah pondok pesantren dan lain-lain. Ketua RW dalam sambutannya mengatakan bahwa selama 20 tahun dia tinggal di situ belum pernah diadakan acara seperti ini. Aku pun menjadikan sebuah ruang sederhana sebagai balai pengobatan murah. Warga sekitarnya mulai datang untuk berobat. Halaman gereja pun dijadikan tempat senam oleh warga. Area gereja yang semula dianggap najis menjadi sarana terbuka dan dimanfaatkan oleh warga.

Rm. William Chang dalam buku “Berteologi Pembebasan” menulis kehadiran Gereja adalah kehadiran Kerajaan Allah yang bercirikan semangat rekonsiliasi, pengampunan, keadilan dan damai universal. Kehadiran Gereja di suatu tempat berarti kehadiran benih Kerajaan Allah. Seperti gambaran yang diberikan oleh Yesus bahwa benih yang kecil akan tumbuh dan mengayomi burung-burung. “Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya." (Mat 13:32). Dengan demikian Gereja tidak dapat tertutup atau menjadi getho yang hanya sibuk dengan umatnya sendiri melainkan harus terbuka bagi masyarakat. Sarana yang ada di gereja harusnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Gereja pun terlibat aktif dalam pergerakan masyarakat.

Kerusahan karena SARA disebabkan adanya masyarakat yang kurang tepat dalam menterjemahkan ajaran agamanya. Kesalahan ini tidak dapat dibiarkan. Gereja harus proaktif untuk mengubah dan memperbaiki pandangan yang salah dalam masyarakat. Maka dialog-dialog di akar rumput perlu diadakan. Malam seni adalah sebuah langkah kecil dialog akar rumput untuk membuka sekat-sekat yang ada. Memang pemerintah sudah memfasilitasi dialog antar tokoh, tapi kurang melibatkan akar rumput. Padahal masyarakat akar rumputlah yang mudah terprovokasi untuk melakukan kerusuhan. Maka Gereja tidak cukup hanya merayakan sakramen atau membangun komunitas diantara umat, melainkan perlu terlibat secara nyata dalam masyarakat.

Ketika akan mendirikan balai pengobatan beberapa orang menetang usaha ini. Mereka kuatir bahwa balai pengobatan itu akan dituduh sebagai sarana kristenisasi. Aku berusaha meyakinkan mereka bahwa kehadiran Gereja harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Bila masyarakat sekitar merasakan manfaatnya ada harapan bahwa mereka akan merasa memilikinya. Rasa ini akan mendorong mereka untuk menjaga dan melindungi gereja bila terjadi kerusuhan. Kebencian yang ada dalam masyarakat disebabkan gereja tertutup. Mereka hanya melihat orang berpakain bagus keluar masuk gereja. Mereka hanya mendengar keriuhan bila gereja mengadakan acara. Hal ini dapat berubah bila mereka merasakan manfaatnya kehadiran gereja di sekitar mereka.

HADIR DITENGAH KAUM MISKIN

Seorang pernah tanya padaku mengapa aku bergaul dengan anak jalanan dan orang yang dianggap mempunyai kehidupan kurang baik dalam masyarakat. Mereka merasa bahwa anak jalanan dan kaum marginal lainnya adalah komunitas yang perlu disingkiri. Mereka adalah pribadi yang tidak dapat diubah untuk menjadi lebih baik, sebab mereka sudah terbentuk untuk hidup seperti itu. Pengemis adalah orang malas yang tidak mau berusaha. PSK adalah pribadi yang tidak bermoral dan ingin mendapat uang dengan cara yang sangat mudah meski harus mengorbankan martabatnya. Masih ada banyak lagi pandangan buruk terhadap teman-teman yang disampaikan padaku.

Aku membenarkan semua pendapat itu. Tapi apakah gunanya kita mengeluh tentang perilaku seseorang bila hanya berhenti mengeluh? Anak jalanan dan kaum miskin kota lain adalah sebuah fenomena kota-kota besar. Semakin hari jumlah mereka semakin banyak. Berulang kali pemerintah kota mengadakan operasi penertiban yaitu usaha membersihkan mereka dari jalanan. Mereka ditangkap, diberi ceramah lalu dilepaskan kembali. Ada pula yang ditahan dan diberi pelatihan ketrampilan lalu dipulangkan ke desa asal. Tapi tindakan itu tidak mengurangi jumlah mereka, sebab setiap tahun terus bertambah. Keluhan dan penangan ala pemerintah tampaknya tidak menyelesaikan masalah. Maka perlu cara lain untuk mengembalikan mereka ke dalam masyarakat.

Selama berteman dengan anak jalanan aku melihat bahwa akar masalah mereka bukan kemiskinan tapi krisis kasih dan pandangan yang salah tentang hidup dan diri sendiri. Bila penanggulangan masalah hanya memusatkan perhatian pada usaha memperbaiki ekonomi maka anak jalanan akan terus bertambah. Penanganan harus dimulai dengan mengasihi. Memperlakukan mereka sebagai manusia terhormat yang memiliki martabat sama. Bila mereka hanya ditangkap yang tidak memungkinkan terjadi pelecehan, hanya akan menimbulkan dendam dan kebencian belaka. Mereka bukan obyek yang seolah dapat diubah sesuai dengan keinginan kita. Mereka adalah subyek yang dapat memutuskan apa yang dianggap benar meski orang lain menganggap tidak benar.

Menganggap mereka subyek adalah bila kita berani berteman dengannya. Berusaha memahami masalah dan pergulatan hidupnya. Dengan memahami pergulatan hidupnya, maka kita akan mempunyai cara untuk sedikit demi sedikit mengubahnya. Allah ingin mengubah sikap manusia untuk menjadi lebih baik. Pertama Dia mengutus para nabi yang menyerukan pertobatan. Tapi usaha ini tampaknya gagal, maka Dia mengutus PuteraNya sendiri. Yesus hadir untuk terlibat atau solider dengan manusia, tapi juga memberikan teladan sikap dan perilaku yang sesuai dengan kehendak Allah.

Karya keselamat dari Allah tidak lagi menggunakan ancaman hukuman bagi yang menentang dan mengabaikan perintahNya melainkan dengan mengasihi manusia sampai mengurbankan diri. Ancaman hukuman akan membuat manusia hanya taat karena takut dihukum. Seperti anak kecil terpaksa belajar sebab takut dihukum tidak diberi uang saku bila tidak belajar. Ancaman hukuman membuat kita tidak menjadi dewasa. Kita menjadi budak, sebab melakukan segala sesuatu hanya karena takut dihukum. Yesus mengajar dan memberikan teladan kepada kita tentang kasih kepada Allah dan sesama. Segala tindakan dan sikap kita berdasarkan kasih kepada Allah dan sesama. Rasul Paulus melihat Taurat yang berisi aneka hukum merupakan kuk yang menjadi beban. Sedangkan kasih Allahlah yang memerdekakan kita.

Bersahabat berarti hadir secara fisik sehingga bisa disentuh dan menyentuh. Kehadiran kita di tengah kaum miskin dan terbuang bertujuan memulihkan martabat mereka. Membuat mereka menyadari bahwa mereka adalah orang yang berharga sehingga mereka dapat menghargai diri sendiri. Hadir di tengah mereka bukanlah hal yang mudah. Mereka pun dapat menolak dan memperlakukan kita secara tidak pantas. Perlu ketabahan hati dan kesetiaan pada tujuan bahwa kita hadir untuk menawarkan kasih Allah agar merekapun dapat belajar mengasihi diri, sesama dan Allah.

Sabtu, 26 Juni 2010

IMAN REMAH REMAH


Ketika masih mendampingi kaum pemulung di tepi sungai Wonokromo atau tepatnya di daerah Jagir, kami setiap minggu memberi pelajaran pada anak-anak. Selesai belajar anak-anak mendapat tambahan gizi. Suatu hari aku membawa kamera untuk memotret aktifitas kami yang berpusat di sebuah mushola. Saat itu ada seorang teman sedang membagi bubur kacang hijau. Beberapa anak duduk mengelilingi sebuah panci besar tempat bubur kacang hijau. Kejadian itu kupotret. Setelah selesai dicetak, sebab pada saat itu belum ada kamera digital, aku tersenyum melihat hasilnya. Pandangan semua anak yang mengelilingi panci itu terpusat pada panci yang berisi bubur kacang hijau.

Mereka memusatkan pandangannya pada panci sebab mereka sangat menginginkan bubur kacang hijau itu. Mungkin dalam pikiran mereka sudah terbayang makan bubur kacang hijau. Mereka ingin segera menikmatinya, hanya karena diminta sabar dan antri maka mereka hanya mampu memandang dengan penuh keinginan. Dalam hidup kita pun sering memusatkan perhatian pada apa yang kita inginkan. Apalagi bila yang kita inginkan itu sesuatu yang besar dan sulit kita peroleh lalu dihadapan kita ada yang hendak membagi barang itu. Maka kita tidak berani melepaskan pandangan dari orang itu agar apa yang menjadi keinginan kita tidak lepas atau diambil oleh orang lain.


Pada saat tertimpa penderitaan kita akan berdoa lebih khusuk. Kita mengarahkan seluruh pandangan kita pada Tuhan seperti yang digambarkan oleh pemazmur, “Lihat, seperti mata para hamba laki-laki memandang kepada tangan tuannya, seperti mata hamba perempuan memandang kepada tangan nyonyanya, demikianlah mata kita memandang kepada TUHAN, Allah kita, sampai Ia mengasihani kita.” (Mzm 123:2). Kita berharap Tuhan memberikan yang terbaik bagi kita. Bila ternyata doa-doa kita seperti sebuah kesia-siaan maka kita mulai protes dan berontak pada Tuhan. Tidak jarang orang menjadi marah bahkan meninggalkan Tuhan.

Ketika Yesus sedang berjalan bersama murid-muridNya, tiba-tiba muncul seorang perempuan Kanaan yang berteriak-teriak memohon agar Yesus menyembuhkan anak perempuannya yang sedang sakit. Para murid tampaknya terganggu dengan ulah perempuan itu, maka mereka meminta agar Yesus mengusirnya. Yesus pun bereaksi dan mengatakan bahwa Dia hanya diutus untuk orang Israel. Bukan orang Kanaan. Penolakan Yesus ini tidak mengendurkan semangat ibu itu. Dia terus memohon. Sekali lagi Yesus berkata kasar dalam sebuah kiasan, bahwa tidak layak melemparkan roti pada anjing. Tapi ibu itu tidak menyerah. "Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.” (Mat 15:27). Jawaban itu membuat Yesus terkejut dan kagum. Dia lalu menyembuhkan anak ibu itu.

Setiap orang berharap yang terbaik baginya. Dalam beriman pun kita berharap akan mendapatkan yang terbaik dari Allah. Perempuan Kanaan itu memberikan pelajaran berharga bahwa iman adalah keberanian untuk menerima apa saja, meski hanya remah atau potongan yang sangat kecil dari sebuah roti. Baginya cukup remahan berkat bagi hidupnya. Dia tidak berharap yang besar apalagi terbesar dan terbaik. Inilah iman yang rendah hati. Iman yang senantiasa bersyukur meski mendapat hal yang sangat kecil dari anugerah Allah. Ibu itu berjuang demi anaknya. Dia rela merendahkan diri di depan banyak orang demi kesembuhan anaknya. Yesus mengagumi iman ibu itu.

Kita sering bertindak seperti anak-anak pemulung yang memusatkan seluruh perhatian untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Keterpusatan itu menyebabkan kita tidak memperhatikan sesama. Kita hanya melihat penderitaan kita sendiri dan memohon Allah mengabulkan apa yang kita inginkan. Maka kita perlu belajar dari perempuan Kanaan. Dia beriman dengan rendah hati. Rela menerima remah-remah berkat. Bukan menuntut Allah untuk memberi yang terbaik menurutnya. Iman yang mengarahkan seluruh diri pada Allah tapi siap menerima apa saja dari Allah meski tampaknya sangat kecil, sederhana dan tidak berarti.

Jumat, 25 Juni 2010

MEMBELI KESELAMATAN

Beberapa tahun lalu ada seorang publik figur yang menikah. Ada beberapa pejabat tinggi Gereja yang hadir dalam pernikahan itu. Suatu hari aku bertemu dengan salah satu petinggi Gereja yang hadir. Aku tanya alasan kehadirannya sebab hal itu menjadi perbicaraan banyak umat. Beliau menceritakan jasa-jasa tokoh ini saat terjadi bencana di tempatnya. Sambil tersenyum aku mengatakan bahwa seorang temanku selama berbulan-bulan mendampingi kurban bencana itu, apakah bila dia menikah maka beliau juga akan datang? Pertanyaanku ini ternyata menimbulkan kemarahan. Menurut beliau datang atau tidak dalam sebuah pernikahan adalah hak beliau. Aku tidak punya hak untuk menghalanginya. Ketika aku akan menjawab seorang ibu, tokoh perempuan, datang dan mengajakku minum kopi. Kami berdua saling memandang dan tersenyum.

Kejadian itu bukan satu-satunya. Masih ada beberapa kali kejadian dimana seorang menikah dihadiri oleh sekian banyak petinggi Gereja. Jelas mereka bukan orang miskin. Setiap orang Katolik ingin dalam setiap acara yang diadakannya dapat dihadiri oleh petinggi Gereja. Apalagi bila ada beberapa petinggi Gereja yang hadir bersama dan merayakan sakramen bersama. Hal ini tentu akan menambah kebanggaan diri. Tapi tidak semua orang dapat melakukannya. Hanya publik figure atau tokoh yang kaya raya yang dapat melakukannya. Belum pernah ada seorang miskin yang menikah dihadiri oleh beberapa petinggi Gereja sekaligus. Mengundangpun mereka merasa tidak layak.

Dalam Injil diceritakan bahwa suatu hari ada hamba dari seorang perwira yang sakit. Beberapa tokoh Yahudi datang pada Yesus. Mereka meminta agar Yesus datang, sebab perwira itu berjasa. "Ia layak Engkau tolong, sebab ia mengasihi bangsa kita dan dialah yang menanggung pembangunan rumah ibadat kami.” (Luk 7:4-5). Seandainya perwira itu bukan donatur rumah ibadat apakah para tokoh itu rela datang pada Yesus? Beberapa kali para tokoh itu melihat Yesus menyembuhkan seseorang. Mereka melihat hanya untuk mencari cara agar dapat menyalahkan Yesus. Tapi kali ini mereka yang datang dan meminta Yesus. Mereka mungkin sungkan ketika perwira itu meminta padanya agar mereka mengajak Yesus ke rumahnya untuk menyembuhkan hambanya. Mereka berhutang budi sehingga rela merendahkan diri untuk datang pada Yesus.

Yesus pun berangkat ke rumah perwira itu. Tapi perwira itu seorang yang tahu diri. Dia sekali lagi mengutus sahabatnya dengan pesan kepada Yesus, bahwa Yesus tidak perlu datang ke rumahnya, sebab dia percaya bahwa dengan mengucapkan satu kata saja maka hambanya akan sembuh. Yesus memuji iman perwira itu. Suatu bentuk iman yang sangat sederhana. Iman yang pasrah dan penuh ketaatan. Perkataan perwira itu digunakan oleh Yesus untuk membuka mata para tokoh tua. Keselamatan didapatkan bukan karena jasa kepada manusia atau menjadi donatur besar rumah ibadah, tapi karena iman. "Imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!" (Luk 7:50) Keselamatan tidak dapat dibeli. Keselamatan terjadi kalau ada iman. Perwira itu yang dapat membeli para tua-tua sadar bahwa keselamatan berasal dari iman bukan dari apa yang dia miliki dan telah dilakukannya, sehingga dia mengutus sahabatnya untuk meralat apa yang dikatakan oleh para tua-tua.

Saat ini uang menjadi tuan yang sangat berkuasa. Orang merasa kekayaan yang dimilikinya dapat membeli keselamatan. Orang kaya dapat meminta petinggi Gereja hadir dalam acara yang diadakan meski hal itu melanggar aturan. Di suatu tempat punya aturan tertulis bahwa bila ada orang meninggal maka imam hanya melayani satu kali. Tapi ketika ada orang kaya meninggal maka setiap acara dipimpin oleh imam atau petinggi Gereja. Aturan dapat dikalahkan oleh kekayaan. Seolah bila semua acara dipimpin oleh seorang atau beberapa imam maka orang itu dapat masuk surga. Kita harus belajar dari perwira itu bahwa keselamatan terjadi karena iman bukan jabatan atau kekayaan. “Emas dan peraknya tidak akan dapat menyelamatkan mereka pada hari kemurkaan TUHAN.” (Yeh 7:19). Sebaliknya imam pun harus berusaha adil agar tidak menyakiti hati umat yang miskin.

MESIAS MESIAS

Surabaya sekarang praktis sudah bersih dari foto para calon pemimpin kota. Sebentar lagi pasti akan ada lagi berbagai foto untuk pemilihan gubernur. Kalau tidak salah sampai akhir tahun nanti ada sekitar 140 pemilihan pemimpin kota di seluruh Indonesia. Rakyat akan diajak bermimpi dengan aneka janji program dan kebijakan. Semua program dan kebijakan ditujukan bagi kaum miskin. Pada saat inilah kaum miskin sungguh-sungguh menjadi orang yang dihargai dan diperhitungkan keberadaannya. Belum pernah sekalipun aku melihat seorang calon menyatakan akan membela atau melindungi orang kaya, orang yang dijadikan sumber dana bagi pencalonannya.

Semua janji bagi kaum miskin akan lenyap setelah seorang calon menjadi pejabat kota. Seorang calon pemimpin ketika sedang berkampanye membuat slogan, “Kota ini untuk semua.” Tapi setelah menjabat sebagai pemimpin langkah pertama yang dilakukan adalah mengadakan penggusuran besar-besaran. Padahal pada waktu kampanye dia menyatakan tidak akan menggusur bahkan akan membuka lahan pekerjaan bagi kaum marginal. Inilah wajah mesias-mesias politik. Orang yang tampaknya datang untuk menyelamatkan kaum miskin dan tertindas tapi hanya demi kepentingan politiknya saja.

“Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga.” (Mat 24:24) Mesias yang dikatakan Yesus pada jaman ini muncul dalam bentuk yang berbeda. Mereka membawa janji-janji yang indah dan muluk. Sebagaimana iklan, janji yang dikatakan oleh setiap mesias politik sarat dengan kepalsuan. Janji membentuk pemerintahan yang jujur dan bersih tapi ada masalah yang jelas salah ternyata dinyatakan benar. Bagi mesias politik hal yang terpenting ialah dia mencapai apa yang diinginkannya.

Mesias juga muncul dalam bidang keagamaan. Mereka mengatasnamakan Allah melakukan tindakan dan ajaran yang seolah menjaga kemurnian agama dengan menyerang orang yang tidak sepaham dengannya. Memaksa orang untuk percaya padanya. Tidak jarang dia melakukan dengan kekerasan dan penindasan. Ada juga yang membuat aneka mujijat yang mencengangkan dan menyatakan diri bahwa dia adalah utusan Allah. Jim Jones (13 Mei 1931 – 18 November 1978) adalah salah satu contoh mesias dunia saat ini. Dia mengajak 909 orang dan 276 anak pengikutnya untuk bunuh diri masal di Guyana pada 18 November 1978.

Kemesiasan Yesus berbeda dengan kemesiasan politik dan para nabi modern seperti Jim Jones. Kemesiasan Yesus tampak dalam tindakan dan ajaranNya yang memberi kehidupan dan harapan kepada banyak orang. Dia tidak mengejar kekuasaan seperti mesias politik. Sebaliknya Dia menghindari kekuasaan. Dia menghindari popularitas dan pengkultusan individu, maka Yesus sering kali melarang orang yang disembuhkan. Dia menyerahkan kemuliaan yang diperoleh dari Allah dengan rela menjadi manusia sederhana dan wafat disalibkan.

Kemesiasan Yesus adalah memberi kehidupan dengan mengajarkan kasih yang tanpa batas kepada siapa saja, termasuk kepada para musuhnya. Kasih yang sempurna seperti kasih Allah. “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:44-45). Dia mempunyai kuasa dari Allah atas surga dan bumi, tapi tidak menggunakan kekuasaanNya itu untuk menindas orang yang tidak percaya padaNya. Kemesiasan Yesus bukan berdasarkan janji tapi dari tindakan dan perkataan yang menyelamatkan semua orang dan merelakan diri sebagai tebusan bagi dosa manusia. Kemesiasan Yesus adalah keberanian untuk berkurban demi keselamatan manusia dan cintaNya yang menghidupkan, bukan cinta yang sempit dan tertuju pada diri sendiri.

ANDAI LUNA MAYA ORANG KATOLIK

Ketika mendengar dua anak muda membicarakan Ariel dan Luna, aku iseng-iseng tanya. Bagaimana seandainya Luna seorang Katolik? Apakah dia boleh mengikuti misa dan menerima komuni? Mereka hanya tersenyum tanpa arti. Salah satu dari mereka lalu menjawab boleh saja asal mengaku dosa lebih dulu. Anak yang lain menjawab tidak boleh sebab dia sudah berdosa dan diketahui publik. Dia dapat menjadi batu sandungan. Aku desak lagi, seandainya dia maju waktu penerimaan komuni, apakah ada orang yang akan melarang? Mereka menjawab pasti tidak ada yang melarang. Dia hanya akan menjadi gunjingan saja. Setelah mendengar jawaban mereka aku lalu pergi sambil membayangkan seandainya Yesus disini saat ini apakah akan melarang juga?

Luna dianggap sudah melanggar moralitas yang dipegang oleh masyarakat. Aku yakin bahwa Gereja pun berpendapat yang sama. Tapi yang membuatku merenung adalah apakah Yesus pun akan bersikap sama? Peristiwa di Bait Allah saat Yesus dihadapkan perempuan yang tertangkap berbuah zinah menunjukkan bahwa Dia mempunyai pendapat yang berbeda dari pendapat masyarakat. “Lalu kata Yesus: "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.” (Yoh 8:11). Dia tidak menghukum orang yang cacat moral dengan memberi syarat bahwa orang berdosa itu tidak boleh berbuat dosa lagi.

Aku merasa bahwa saat ini pasti Luna tenggelam dalam penyesalan. Dia mungkin telah kapok melakukan hal itu. Tapi apakah esok masyarakat sudah mampu mengampuni dia dan memberinya kesempatan untuk berkarya kembali? Aku tidak yakin. Peristiwa ini akan terus diingat oleh banyak orang sampai bertahun-tahun. Luna pun akan sulit mendapatkan kembali pekerjaan dan prestasi yang diperolehnya dengan susah payah, bahkan mungkin sampai bertahun-tahun kemudian. Masyarakat masih menghukumnya. Seandainya Luna telah mengaku dosa dan diijinkan menerima komuni kembali, apakah seluruh anggota Gereja mau menyambutnya dengan penuh suka cita? Aku ragu akan hal ini. Dia selamanya akan menanggung hukuman dari masyarakat.

Dalam Injil digambarkan Yesus adalah seorang yang berani melawan arus. Akibatnya Dia mempunyai banyak musuh. Dia dicaci maki dan dituduh gila. "Ia kerasukan setan dan gila; mengapa kamu mendengarkan Dia?” (Yoh 10:20). Yesus pun bereaksi atas tuduhan banyak orang “Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? Apabila Aku mengatakan kebenaran, mengapakah kamu tidak percaya kepada-Ku?” (Yoh 8:46). Tuduhan kegilaan dan kerasukan setan disebabkan orang tidak paham mengenai apa yang disampaikan oleh Yesus. “Apakah sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku? Sebab kamu tidak dapat menangkap firman-Ku.” (Yoh 8:43). Dia menyampaikan Sabda Allah sedangkan para pendengarnya telah merasa tahu tentang Sabda Allah. Keyakinan bahwa mereka tahu Sabda Allah maka hati dan pikiran mereka menjadi tertutup akan sebuah kebenaran baru.

Saat ini banyak orang merasa sudah menguasai Sabda Allah. Mereka merasa yakin dengan apa yang mereka ketahui. Maka tidak jarang mereka melegitimasi tindakan dan perkataannya sebagai perkataan dan kehendak Allah. Mereka menciptakan Allah yang sesuai dengan keinginannya sendiri dan mengklaim bahwa kebenaran Allah hanya menjadi miliknya. Orang Farisi pun melakukan hal yang sama. Mereka mendasarkan hidupnya pada adat istiadat dan hukum yang bersumber dari Sabda Allah. Ketaatan total disatu sisi ada baiknya tapi bila ketaatan itu sudah menjadi benteng besar yang kokoh dan angkuh, maka akan tertutup dari segala kebenaran lain. "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.” (Mat 7:12). Allah adalah kasih. SabdaNya adalah ajaran tentang kasih. Kasih yang terbuka bagi siapa saja terutama orang berdosa. Seandainya Luna adalah orang Katolik apakah Gereja akan menerimanya dengan penuh suka cita seperti bapa yang baik dalam Lukas? Apakah Yesus akan memperlakukan Luna sama seperti perempuan di Bait Allah?

Rabu, 23 Juni 2010

SIAPA YANG LAYAK DATANG???

Pernah aku diundang pesta ulang tahun seorang yang cukup kaya. Pesta diadakan di sebuah rumah makan mewah. Dia juga mengundang anak-anak jalanan yang aku bina di rumah singgah. Kami berangkat dengan penuh semangat. Membayangkan makan enak dan gratis. Sesampai di depan restoran kami dihadang oleh tiga orang satpam. Mereka secara tegas melarang dan setengah mengusir kami. Memang saat itu tidak ada satupun dari kami yang berpakaian pesta, sebab memang kami tidak memilikinya. Aku sudah berusaha menjelaskan pada para satpam bahwa kami diundang oleh orang yang berulang tahun. Tapi mereka tidak peduli. Kami tetap diusir. Bersyukur aku membawa ponsel sehingga dapat menghubungi orang yang berulang tahun situasi yang sedang kami hadapi. Akhirnya orang itu menemui kami dan mengajak masuk.

Bagiku sikap satpam itu memang tidak dapat disalahkan. Pasti dalam pikiran mereka tamu yang datang akan berpakaian pesta dan orang terhormat. Ketika mereka melihat keadaan kami maka mereka langsung menolaknya. Kehadiran kami dianggap merusak keindahan ruang dan suasana pesta. Pakaian kami yang kumal dan kotor. Kaki kami hanya beralas sandal jepit. Penampilan kami yang kumuh dan tampak tidak pernah mandi. Bau kami yang khas bau anak jalanan. Semua itu tidak menunjukkan bahwa kami adalah termasuk undangan dan layak untuk menghadiri sebuah pesta yang megah dan meriah. Kehadiran kami dapat mengganggu para tamu lain.

Dalam sebuah pesta memang semua orang berharap bahwa tamu yang datang adalah orang yang siap untuk berpesta. Pantas ada di tempat pesta. Tamu-tamu yang “aneh” seperti kami akan menimbulkan pertanyaan dan tatapan kecurigaan. Dalam Luk 7:36-50 dikisahkan suatu hari Yesus diundang makan oleh seorang Farisi bernama Simon. Mungkin dia seorang yang terhormat dan kaya, sehingga dia tidak memperlakukan Yesus seperti selayaknya orang menyambut tamu terhormat. Mungkin dia merasa statusnya lebih tinggi dari Yesus. Ketika sedang makan masuklah seorang perempuan berdosa yang menyentuh Yesus. Kemungkinan dia adalah seorang PSK. Semua orang memandang Yesus. Perempuan ini hadir di suatu tempat yang seharusnya tidak dihadiri. Tentu hal ini tidak menyenangkan bagi semua yang hadir di perjamuan makan itu. Yesus menggunakan kesempatan pertemuan dengan perempuan itu untuk memberi ajaran pada Simon bahwa keselamatan terbuka bagi siapa saja.

Dalam masyarakat terjadi pembedaan manusia yang didasarkan pada kepemilikan, jabatan, pekerjaan dan sebagainya. Semakin orang memiliki banyak, maka dia akan semakin terhormat. Seorang camat yang hidup sederhana dianggap lebih terhormat dibandingkan seorang petani yang kaya raya. Seorang bangsawan dengan deretan gelar akademik dianggap lebih terhormat dibandingkan seorang camat dan sebagainya. Orang akan dianggap sangat terhormat bila dia kaya, mempunyai jabatan tinggi dan sederet gelar akademik. PSK yang datang di rumah Simon dan kami yang datang di pesta dianggap tidak memiliki semuanya itu. Maka kami menduduki posisi terakhir dalam herarki di masyarakat. Meski herarki itu tidak tertulis.

Setiap manusia berhak mendapat penghormatan yang sama sebagai citra Allah. Aneka gelar, jabatan, pekerjaan, kepemilikan dan lainnya adalah tempelan dalam diri manusia yang dilekatkan oleh manusia. Semua itu dapat dilepas dan terlepas. Yesus mengasihi orang paling lemah dan yang paling tidak berdaya. Rasul Paulus menulis bahwa kita adalah tubuh dan yang paling lemah paling dilindungi. “Dan kepada anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang terhormat, kita berikan penghormatan khusus. Dan terhadap anggota-anggota kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus.” (1Kor 12:23). Tapi ajaran ini sulit diterapkan dalam masyarakat bahkan Gereja sekalipun sebab dalam tubuh Gereja pun dipakai ukuran yang ada dalam masyarakat, meski Gereja mengaku sebagai Kerajaan Allah. Kehadiran orang berdosa, orang rendahan, dianggap dapat menganggu, sehingga mereka sering disingkirkan atau tidak dipedulikan. Mereka tidak mendapat peran dan suara mereka tidak didengar.

AGAMA KAUM SALEH

Seusai misa seorang bapak menyalamiku. Bapak itu tersenyum malu ketika kutanya dia dari paroki mana, sebab aku hampir mengenal semua wajah umat yang ada di paroki ini. Dia mengatakan bahwa dia dari paroki ini tapi sudah bertahun-tahun tidak pernah ke gereja. Dia beralasan bahwa dia adalah orang yang penuh dosa sehingga tidak pantas mengikuti perayaan ekaristi. Aku mengatakan bahwa ekaristi terbuka untuk siapa saja. Di dunia ini tidak ada orang yang tidak berdosa kecuali bunda Maria dan Yesus. Maka setiap orang berhak untuk hadir dalam misa. Bahkan semakin kita sadar akan dosa-dosa kita maka kita harus bertobat yaitu kembali kepada Bapa dan menerima undangan Bapa untuk bersatu dengan Dia dalam perayaan ekaristi.

Apa yang dialami oleh bapa itu banyak dialami oleh orang lain. Mereka tidak mengikuti misa sebab merasa dirinya tidak pantas atau ditegur orang akan ketidakpantasanya. Yesus mengundang orang berdosa untuk datang dalam perjamuannya. Dia bagai bapa yang baik dalam Luk 15:11-32 yang selalu menantikan anaknya kembali. Allah kita bukanlah Allah orang kudus atau Allah orang sempurna, tapi Allah orang berdosa yang membutuhkan keselamatan. Yesus datang ke dunia disebabkan ada orang disingkirkan atau dihilangkan martabatnya karena dianggap berdosa. Orang kusta, PSK, pemungut cukai, orang berdosa dan lainnya, mereka dianggap tidak pantas datang ke Bait Allah oleh sekelompok orang yang merasa dirinya saleh. Mereka sudah ditentukan masuk neraka oleh orang yang merasa dirinya saleh.

Suatu hari Yesus memberi perumpamaan tentang perbedaan doa antara orang Farisi dan pemungut cukai. Orang Farisi menunjukkan kehebatan yang telah dibuatnya, sedangkan pemungut cukai menunjukkan ketidakpantasannya. Yesus mengkritik isi doa itu. “Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Luk 18:14). Dalam buku The Parables of Jesus karangan Joachim Jeremias, dia mengutip doa orang Farisi yang isi dan formatnya mirip dengan doa orang Farisi dalam perumpamaan Yesus. Isi doa mereka merupakan perbandingan antara hidupnya dengan hidup orang lain. Orang Farisi mengunggulkan hidupnya lebih baik dibandingkan orang lain.

Doa adalah salah satu ungkapan hati. Keyakinan akan kesalehan diri dan keunggulan diri dihadapan Allah seperti orang Farisi banyak terjadi didalam Gereja. Ada kelompok-kelompok yang merasa sebagai orang yang paling paham dan dekat dengan Allah. Mereka menutup kelompoknya dari orang berdosa atau orang yang dianggap rendah oleh dunia misalnya kaum miskin, penjahat, PSK dan sebagainya. Sebaliknya mereka terbuka bagi orang terpelajar, orang kaya, pejabat dan sebagainya. Mereka yakin bahwa kelompok mereka adalah kelompok yang telah dimurnikan oleh Allah dan terberkati. Kesadaran akan kelompok berkembang dalam kesadaran akan Allah. Allah mereka adalah Allah yang cerdas, “bersih” tidak tersentuh oleh kaum yang dianggap kotor. Doa dan pujian mereka kepada Allah dibuat seindah mungkin, maka tata liturgi yang benar sangat penting dan diatas segalanya, sebab mereka berhadapan dengan Allah. Ritus-ritus harus dilakukan secara tepat dan rinci.

Yesus datang untuk membongkar penjara yang dibangun oleh kaum Farisi. Yesus membongkar aturan keagamaan yang membuat kaum berdosa dan rakyat jelata tidak dapat masuk dalam Bait Allah. Membongkar hukum dan adat yang memberatkan. Bagi Yesus Kerajaan Allah yang dibangunNya terbuka untuk siapa saja terutama kaum yang disingkirkan dan dianggap berdosa. Maka Dia berhadapan dengan para pemimpin agama dan tokoh-tokoh yang merasa berkuasa dalam menentukan orang masuk surga atau neraka. Maka Yesus diikuti oleh kaum berdosa dan tersingkir. Oleh perempuan dan anak yang dianggap masyarakat kelas dua. Dia dianggap membawa harapan dan angin segar dalam hubungan manusia dengan Allah. Yesus berusaha menghancurkan keeksklusifan Allah dalam genggaman kaum yang merasa dirinya saleh.

Senin, 21 Juni 2010

AGAMA DAN NEGARA


St. Agustinus (354 - 430) menulis “Remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia” artinya negara yang tidak diperintah dengan keadilan adalah gerombolan perampok. Pendapat ini sangat keras. Tapi memang hal itu sangat memungkinkan. Para pendiri negara kita menjadikan Pancasila menjadi dasar negara, meski saat ini sudah banyak orang yang lupa isi kelima sila itu. Salah satu sila berisi tentang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bila kita mengikuti berita dan melihat kasus-kasus yang ada di negara kita ini ternyata keadilan masih jauh dari kenyataan. Ketidakadilan ada dimana-mana. Bahkan orang yang dipilih untuk menegakkan keadilan hukum pun tidak adil. Mereka dapat dibeli oleh uang sehingga saat ini marak istilah MARKUS (makelar kasus). Bila penegak keadilan sudah tidak adil bagaimana kita bisa menyakini adanya keadilan di negara kita. Apakah negara kita adalah gerombolan perampok?

Negara kita mengklaim diri sebagai negara yang percaya pada Tuhan. Semua warga negara harus memeluk salah satu agama yang sudah ditentukan oleh negara. Di KTP pun orang harus mencantumkan agama apa yang dipeluknya. Rumah ibadah berdiri dimana-mana. Hari besar perayaan agama dijadikan hari libur nasional. Sekolah-sekolah yang berdasarkan keagamaan ada dimana-mana. Pendidikan agama pun sudah ditanamkan sejak dini dengan adanya pendidikan keagamaan untuk anak-anak. Bila melihat semua ini maka rakyat Indonesia adalah pemeluk agama yang baik. Tapi bila melihat situasi negara dan aneka kasus yang muncul maka orang dapat bertanya dimanakah peran agama dalam kehidupan bernegara?

Sebetulnya agama dan politik tidak bisa disatukan. Agama adalah sarana manusia untuk memahami Allah. Pemahaman akan Allah membawa manusia pada keyakinan atau iman, pengalaman spiritual yang sering tidak mampu dijelaskan oleh akal budi, meski iman juga membutuhkan akal budi. Sedangkan politik adalah sarana untuk mengatur masyarakat agar mereka dapat hidup dan berkembang sebagai manusia yang bermartabat. Di negara kita ini ada partai-partai politik yang berbasis agama. Keanggotaan ditentukan oleh agama yang dianut. Partai berbasis agama cenderung tertutup dan bagiku sangat rentan menimbulkan permusuhan sebab agama masih menjadi masalah sensitif di negara kita.

Menurut pendapatku, agama harus ada diluar partai politik. Agama menjadi terang bagi para penguasa untuk berbuat adil dan kasih terhadap siapa saja. Agama menjadi penuntun setiap penguasa untuk bertindak jujur dan membela kaum lemah. Yesus secara tegas membedakan antara agama dan negara. “Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat 22:21). Dia tidak mau terlibat dalam politik kekuasaan, maka Yesus menolak untuk diangkat sebagai raja dunia. Dia bukan raja dunia. Sejak jaman dulu kala pencampuradukan antara agama dan politik membuat banyak pertumpahan darah. Perang salib, perang Iran - Irak, Irlandia – Inggris, aneka kerusuhan di India dan masih banyak lagi.

Semua agama mengajarkan kebaikan dimana orang hendaknya saling mengasihi yang terwujud dalam sikap adil, jujur, membela kebenaran dan yang lemah. Dalam hukum agama jelas tertulis bila orang melanggar semua itu maka dia akan masuk neraka atau mengalami sengsara. Hukuman Allah adil dan tegas. Banyak orang takut akan karma, kutuk atau sebagainya yang datang dari Allah. Tapi adanya aneka masalah di negara yang terkait dengan pelanggaran hal itu menunjukkan bahwa agama tidak mempunyai peran dalam negara. Agama hanya menjadi ritus dan kebanggaan belum mampu menerangi orang untuk berbuat baik. Pernah ada orang yang mengatakan bahwa departemen yang paling banyak korupsi adalah departemen agama. Aku terkejut dan prihatin ketika mendengarnya. Bagaimana departemen yang seharusnya diisi oleh orang yang sangat agamis ternyata paling korup. Maka perlu adanya pembenahan agama di negara ini, bila tidak ingin negara kita menjadi gerombolan perampok.

Minggu, 20 Juni 2010

EKARISTI: PERWUJUDAN KASIH

Paus Benediktus XVI dalam ensiklik Deus Caritas Est mengajak kita untuk melihat kembali makna sakramen ekaristi. Paus menulis, “Dalam hal “ibadat” sendiri, dalam persekutuan ekaristi terkandung hal dikasihi dan terus mengasihi. Ekaristi yang tidak menjadi tindakan praksis kasih, terkoyak-koyak.” (art 15). Paus menjelaskan bahwa ekaristi mempunyai sifat sosial. Persatuan kita dengan Kristus dalam ekaristi hanya dapat terjadi bila kita bersatu dengan sesama. Kita menjadi milik Kristus hanya dalam persekutuan dengan sesama. Kita meleburkan diri dalam sesama sehingga menjadi satu tubuh. Peleburan ini didasari oleh kasih kepada Allah dan manusia. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan sama. “Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat 22:39).

Dalam ekaristi perwujudan kasih itu nyata. Allah mengasihi kita dengan mengurbankan diriNya. Inilah sumber kasih kita. Allah telah mendahului mengasihi kita secara nyata. Maka kita pun harus mengasihi sesama secara nyata. Allah mengasihi kita dengan terlibat dalam kehidupan kita. Dia menjadi manusia, merasakan penderitaan kita dan akhirnya wafat bagi kita. Dalam ekaristi kita diajak untuk melihat kembali pengurbanan Yesus bagi kita. Melalui hosti yang rapuh Yesus menyatu dengan kita. Maka Allah menutut kita untuk terlibat secara nyata dalam kehidupan sesama terutama yang lemah

Kasih adalah perasaan. Tidak dapat diciptakan atau diperintahkan. Perasaan muncul bila kita mau mengenal sesama, menjadikan mereka sebagai saudara dan terlibat dalam kehidupannya. Dunia saat ini didasari oleh sikap individualis, dimana kita merasa tidak membutuhkan sesama. Sikap ini sudah masuk dalam tubuh Gereja yang hari demi hari semakin menguat. Pada waktu merayakan ekaristi kita bisa duduk sebangku dengan orang yang asing bagi kita. Mungkin kita sudah mengenal wajahnya tapi belum pernah sekalipun saling menyapa. Bagaimana mungkin kita dapat mengasihi dia?

Banyak orang merasa bahwa mengikuti ekaristi adalah kewajiban sebagai umat Katolik atau juga untuk mengejar kesalehan pribadi. Seolah bila sudah mengikuti ekaristi setiap hari maka dia akan masuk surga. Dalam Injil jelas bahwa syarat untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah adalah bila orang memiliki kasih pada sesamanya terutama yang miskin. Paus Benediktus menyebut orang yang mengejar kesalehan pribadia adalah orang benar tapi tidak memiliki kasih. Orang semacam ini akan mengalami hubungan Allah yang kering. Kita akan merasakan kasih Allah dan memiliki hubungan dengan Allah yang hidup bila kita mengasihi sesama. “karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” (1Yoh 4:20). Kasih kita pada Allah menjadi nyata dalam kasih kepada sesama. Kita akan menjadi peka terhadap Allah bila kita peka terhadap sesama.

Dalam ekaristi kita mendengarkan sabda Allah. Kita dapat belajar dari Bapa dan Putra agar mampu mengasihi sesama. Kita diajak untuk merenungkan sejauh mana kita telah melakukan kasih kepada sesama. Dengan demikian semua firman Allah bukanlah sebuah penghiburan atau membuat kita merasa puas diri, melainkan sebuah tuntutan dan ajakan untuk melakukan tindakan kasih yang nyata disini dan saat ini. Kita belajar dari Yesus bagaimana Dia mewujudnyatakan kasih Allah pada manusia. “Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya.” (1Ptr 2:21)

Oleh karena itu perlu adanya pembaharuan ekaristi. Bukan hanya tata liturginya seperti yang terjadi dalam Gereja selama ini. Pembaharuan-pembahuruan liturgi sering kali hanya mengubah gerakan tubuh, kalimat-kalimat doa, dan lagu-lagu. Belum menyentuh pembaharuan relasi manusia dengan sesamanya yang merupakan intinya. Ekaristi harus menjadi praksis kasih dan persatuan antar umat. Bila tidak maka ekaristi sudah terkoyak-koyak. Kasih pada sesama berlanjut pada kasih pada semua orang. Dengan demikian perlu adanya revolusi dalam bidang liturgi agar praksis kasih semakin nyata.

KITA PUN TURUT MELEMPAR BATU


Beredarnya film durasi pendek tentang Ariel, Luna dan Cut Tari menghebohkan bangsa kita. Mulai dari anak, remaja sampai pejabat pemerintah dan presiden ikut memberikan pendapat. Bahkan media asing seperti CNN pun memberikan ulasan. Inilah berita terheboh yang pernah terjadi melebihi kasus Bank Century, lumpur Lapindo, kasus mafia pajak dan pengadilan dan kasus-kasus lain yang besar bangsa. Koran dan TV pun tidak habisnya membahas dan menayangkan. Beberapa koran meletakkan sebagai headline. Berutung kasus ini muncul ketika ada piala dunia sepak bola. Andai tidak ada piala dunia, mungkin akan lebih besar dan ramai lagi.

Apakah kasus ini begitu menggoncangkan sendi peradaban bangsa sehingga perlu dibahas ramai-ramai dan besar-besaran? Ketiga orang itu memang salah bila ditinjau dari sudut agama, sebab mereka bukan pasangan suami istri yang sah. Dari sudut agama ini kemudian berkembang ke sudut moral, etika bahkan hukum pidana. Bila membaca KUHP pasal 284 tentang perselingkuhan, maka kasus Ariel tidak dapat dipersoalkan sebab tidak dilaporkan oleh istrinya. Dia juga tidak melakukan di depan umum yang dapat terkena KUHP pasal 281 atau pasal 283 tentang memperlihatkan film porno. Ada yang menggunakan hukum UU ITE tentang penyebaran film porno. Padahal mereka tidak bermaksud menyebarkan. Dengan demikian kasus ini dari segi hukum masih akan ramai dan panjang dibicarakan.

Perselingkuhan bukan hanya dilakukan oleh Ariel tapi juga oleh banyak orang. Mulai dari masyarakat sederhana, artis, pejabat, tokoh agama dan sebagainya. Beberapa tahun lalu banyak orang pun ribut sebab ada tokoh agama yang terkenal tiba-tiba diketahui mempunyai istri baru yang merupakan anak buahnya sendiri. Tapi karena film porno tentang dia tidak ada, maka kasus hanya seputar kawin siri. Bila Ariel, Luna dan Cut Tari diributkan sebab mereka selingkuh, maka banyak orang juga harus diributkan. Bila Ariel dan temannya dinyatakan merusak moral bangsa, maka banyak orang juga melakukan yang sama. Hal yang membedakan adalah mereka tidak ketahuan secara umum. Tidak ada orang yang menyebarkannya melalui internet dan HP.

Pada tahun 2002 kita dihebohkan oleh VCD tentang dua anak muda Bandung yang terkenal dengan judul “Bandung Lautan Asmara”. Tahun 2006 hal yang sama menimpa seorang politisi Golkar. Belum lagi yang bersifat lokal mulai anak SMP sampai tokoh. Ketika Yesus dihadapkan pada perempuan yang tertangkap berbuat zinah maka Dia mengatakan, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” (Yoh 8:7). Yesus mengajak orang untuk bercermin dari kasus yang sedang mereka persoalkan. Ternyata cermin besar yang diletakkan oleh Yesus membuat mereka melihat diri sendiri dan relung hati yang terdalam dimana segala dosa disembunyikan rapat-rapat. Mereka pun menjadi sadar bahwa mereka juga orang berdosa yang tidak pantas mengadili dosa orang lain.

Kita bukan hendak membenarkan apa yang dilakukan oleh Ariel. Tapi dari kasus ini mari kita semua merefleksi diri. Kita melihat diri kita sendiri yang juga menyimpan dosa entah besar atau kecil, tapi kita telah turut melemparkan batu pada orang yang berbuat jinah. Kita turut mengadili seolah kita tidak pernah berbuat zinah. “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:28) Kasus perzinahan memang menjadi kasus menarik sepanjang jaman. Di Amerika yang menganut paham kebebasan tapi cukup ketat dalam kasus semacam ini. Bill Clinton popularitasnya langsung anjlok sebab terlibat skandal dengan Monica Lewinsky pada tahun 1998. Di negara kita masih banyak kasus lebih memprihatinkan daripada kasus Ariel. Mengapa kasus ini begitu menyedot perhatian? Mungkin karena kita semua menyimpan dosa perzinahan, sehingga begitu ada kasus muncul, maka kita bereaksi keras, sebab kita teringat akan kasus kita yang berusaha kita tutup rapat dalam hati. Kita mengecam keras mereka yang berbuat zinah, sebab kita malu pada diri kita sendiri. Ini hanya perkiraan saja.

SALIB: SEMANGAT UNTUK BERTAHAN DALAM DERITA

Situasi hidup yang sangat menekan pada jaman ini membuat banyak orang tegang. Ketatnya persaingan, tuntutan ekonomi, ketidakjelasan masa depan, kekecewaan pada berbagai sistem dan masih banyak lagi yang menekan manusia, maka mereka menjadi stress dan putus asa. Bila rasa itu tidak mampu diatasi dengan baik maka dapat muncul bentuk-bentuk pelarian yang cenderung negatif. Maka meskipun pengguna narkoba dihukum berat tapi kasus narkoba terus muncul. Banyaknya tawuran antar mahasiswa bahkan dalam satu universitas. Kasus bunuh diri yang semakin meningkat. Kasus orang tua yang membuang anaknya dan aneka kejahatan lain yang terus bertambah.

Semua orang berharap bahwa hidup dapat berjalan seperti yang diharapkan. Tapi situasi kehidupan yang jauh berbeda dari yang diharapkan membuat orang menjadi cemas dan putus asa. Beberapa orang datang padaku sharing tentang kehidupan yang berat. Aku mengatakan bahwa sebetulnya kita patut bersyukur bahwa kita mengikuti Yesus yang tersalib. Dia telah menanggung penderitaan yang jauh lebih berat daripada beban hidup kita. Memang orang bisa berdalih bahwa Yesus dapat kuat sebab Dia adalah Putra Allah. Sebetulnya dalih ini kurang tepat, sebab Yesus juga mengalami kecemasan dan ketakutan. "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." (Luk 22:42). Doa ini merupakan ungkapan dari kegelisahan dan ketakutan Yesus yang amat sangat. Begitu takutnya sampai ada malaikat yang menguatkan.

Pernah aku masuk dalam situasi yang berat. Aku lalu berdiri di depan jalan salib. Aku hanya melihat gambar Yesus yang memikul salib. Setelah lama memandang lalu timbul dalam hatiku. Bila Yesus kuat menangung salib yang sedemikian berat mengapa aku harus menyerah? Salib yang kupanggul tidak seberat salib Yesus. Bila Yesus harus sendirian memanggul salib, sehingga Dia merasa bahwa Allah pun telah meninggalkan sedang di sekitarku masih ada teman dan saudara yang dapat meneguhkan. Mereka memang tidak memanggul salibku, tapi mereka memberi kekuatan agar aku terus melangkah. Bila Yesus disiksa secara total baik fisik maupun psikologisnya, sedangkan tubuhku tetap utuh. Bila Yesus dihujat oleh seluruh warga Yerusalem sedangkan aku hanya dihujat oleh sedikit orang saja. Membandingkan situasi yang harus dijalani oleh Yesus dan situasi hidupku sendiri, maka aku bertanya pada diri sendiri mengapa harus mengeluh dan protes pada Tuhan seolah hidupku sudah berakhir?

Yesus sudah memberikan keteladanan tentang ketabahan. Ketabahan disebabkan Dia senantiasa bersandar pada Allah. Dia ingin menjalankan kehendak Allah meskipun kehendak Allah tidak sesuai dengan kehendakNya sendiri. Kehendak Allah begitu gelap bagiNya. Kepasrahan pada Allah membuatNya tenang dan berani menjalani situasi yang sangat berat sekalipun. Pemberontakan disebabkan kita kurang berserah pada kehendak Allah. Kegelisahan dan kemarahan disebabkan kita ingin semua berjalan seperti apa yang kita inginkan. Kita ingin Allah mengikuti kehendak kita. Melalui salib kita disadarkan bahwa Yesus yang Putra Allah saja taat kepada kehendak Bapa yang sangat berat. Lalu mengapa kita ingin mengatur Allah agar melakukan kehendak kita?

Penyaliban Yesus adalah tragedi akibat keculasan, pengkhianatan, ketidakadilan, dan aneka kebusukan manusia. Tapi penyaliban Yesus tidak berhenti sampai disitu. Dia bangkit. Para murid yang hatinya sudah hancur, putus asa dan penuh ketakutan setelah melihat Yesus bangkit maka semangatnya kembali berkobar. Penderitaan yang kita alami bukan akhir dari hidup kita. Masih ada kebangkitan yang kita nantikan. Masih ada harapan hari esok. Harapan sekecil apapun bahkan yang tampaknya tidak masuk akal seperti para murid yang melihat Yesus bangkit, merupakan kekuatan untuk bertahan. “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” (Yak 1:12). Keteguhan saat menderita juga merupakan wujud kecintaan kita pada Allah. Cinta sejati adalah jika kita tetap setia meski didera derita.

Jumat, 18 Juni 2010

OPTION FOR THE POOR

Di depan sebuah gereja pada hari minggu banyak pengemis yang duduk di jalan masuk ke gereja. Pakaian dan kondisi mereka sangat kontras dengan gedung dan umat yang mau mengikuti misa. Apalagi dengan bagian dalam gereja yang megah dan nyaman. Beberapa kali aku melihat para pengemis itu hanya seperti patung atau benda biasa yang memang sudah ada di tempat itu, sebab umat yang melewatinya berjalan begitu saja. Jarang ada yang menoleh atau tersenyum atau memberikan uang receh mereka. Seolah pengemis itu bukan manusia sehingga tidak perlu diperhitungkan keberadaan dan martabatnya sebagai manusia. Beberapa orang bahkan menunjukkan ekspresi wajah yang tidak senang melihat kehadiran pengemis itu disitu. Mereka mengatakan bahwa memberi uang pada pengemis itu sama saja kita turut melanggengkan apa yang mereka kerjakan. Sampai kapan kita harus memberi pengemis? Sampai uang di dompet habis pun tidak akan mampu membuat pengemis meninggalkan profesinya.

Di depan pasturan tempatku memang tidak ada pengemis. Tapi setiap hari selalu ada tukang becak yang berjajar menunggu penumpang. Bahkan ada tukang becak yang sudah puluhan tahun setiap hari mangkal di depan gereja. Melihat ada tukang becak di depan pasturan maka aku berusaha mengajak mereka untuk berkumpul membangun komunitas yang disepakati oleh mereka sebagai paguyuban. Mereka aku undang untuk makan siang bersama. Menjadi anggota koperasi. Mengadakan perlombaan pada hari raya nasional. Aku berusaha menyapa mereka setiap masuk atau keluar pasturan. Kadang aku memberi rokok satu dua bungkus. Aku memang tidak mampu membantu mereka untuk beralih profesi menjadi sopir taksi atau kerja yang lain. Maka aku berusaha menjadikan mereka sebagai sahabat. Orang yang semartabat.

Sudah lama Gereja mencanangkan option for the poor lalu diubah menjadi option with the poor. Dalam Konsili Vatikan II Gereja berusaha membangun kembali semangat awali yaitu kepedulian pada kaum miskin dan tertindas yang dituangkan dalam dekrit Gaudium et Spes. Gereja berusaha memposisikan diri untuk terlibat dalam situasi kaum miskin. Prihatin pada kondisi kemiskinan dan berjuang bersama kaum miskin agar mereka dapat keluar dari kemiskinannya atau mereka dipulihkan hak dan martabatnya. Seruan para pemimpin Gereja agar Gereja terlibat dan solider pada kaum miskin terus didengungkan. Ensiklik yang pertama dari Paus Benediktus XVI, Deus Caritas Est, pun menyerukan agar Gereja melakukan tindakan kasih yang nyata.

Tapi solidaritas dan keterlibatan pada kaum miskin sering kali masih dalam tahapan wacana dan bahan diskusi yang panjang. Masih ada batasan yang tegas antara kaum miskin dan Gereja. Tindakan kasih bagi kaum miskin masih berupa seruan belum menjadi kesadaran sebagai panggilan hidup Gereja. Untuk meanggapi seruan Gereja maka ada orang yang berusaha melakukan tindakan kasih pada kaum miskin, tapi masih dalam tindakan karitatif dan momental. Ketika Jogja diguncang gempa, maka banyak umat dalam waktu singkat menggalang dana. Seorang tokoh umat mengkritikku yang tidak berusaha menggalang dana bantuan untuk Jogja. Dia dengan bangga bercerita bahwa dia telah menggalang sekian puluh truk bahan bantuan bagi kurban.

Option for the poor atau sekarang option with the poor, bukanlah sebuah tindakan yang tergantung moment. Tapi sebuah tindakan yang berkelanjutan. Membantu kurban bencana merupakan hal mudah bila kita mempunyai dana. Biasanya kita datang lalu pergi setelah melakukan potret memotret. Kita tidak pernah mengenal dan dikenal oleh para kurban. Tidak ada relasi batin diantara kita dengan mereka. Mereka senang saat menerima bantuan tapi setelah itu mereka tidak tahu mau apa. Option with the poor adalah bila kita berani masuk dalam kehidupan mereka dan terlibat dalam masalahnya. Kita menjadi sahabat mereka dan bersama mereka kita berusaha mengubah hidupnya. Dalam pertemuan bersama para tukang becak untuk membagi tabungan beberapa waktu lalu, salah seorang tukang becak dengan bangga mengatakan bahwa dia mempunyai tabungan 6 juta dan akan diambil untuk membeli seekor sapi. Inilah langkah kecil option with the poor. Kaum miskin bukan keranjang belas kasih melainkan kita harus mampu memberdayakan mereka agar mampu keluar dari masalah hidupnya.

Rabu, 16 Juni 2010

SALIB KEHINAAN ATAU KEMULIAAN???


Seorang temang mengatakan sambil bercanda bahwa Allah orang Kristen adalah Allah yang kalah dan mati. Dia melihat wafat Yesus disalib sebagai kekalahan. Dia kalah terhadap manusia. Dia pun kalah terhadap penderitaan sehingga menjelang wafat berteriak pada Allah yang telah meninggalkanNya. Temanku membandingkan dengan nabinya yang mampu membangun kerajaan besar dan mampu menaklukkan aneka kerajaan yang semula menguasai dunia. Dia seorang pemenang yang pantas dan layak diikuti oleh semua orang. Kemenangan adalah tanda perlindungan dan restu Tuhan atas gerakan kenabian yang dicanangkannya.

“Memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan,” (1Kor 1:23) Rasul Paulus melihat bahwa pemberitaan tentang salib tidak mudah. Orang Yahudi percaya bahwa Mesias adalah orang yang mampu membebaskan bangsa Israel dari penjajahan dan mengembalikan kejayaan Daud. Bila Yesus adalah Mesias maka tidak mungkin Dia wafat di salib. Bila Dia adalah Mesias maka Allah akan menolongNya ketika disalibkan. Oleh karena itu pada saat disalibkan orang Yahudi menunggu apakah Allah akan menolongNya. Bila Allah menolongNya maka mereka akan percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Sedangkan bagi orang diluar bangsa Yahudi, salib merupakan lambang kehinaan. Hanya penjahat kelas berat yang dihukum salib. Bagaimana mungkin orang diajak untuk percaya bahwa orang yang disalibkan adalah penyelamat manusia?

Tapi kekristenan mempunyai pandangan lain. Salib yang dianggap hina dan lambang kekalahan diyakini sebagai bagian dari karya keselamatan dan kemuliaan. Salib adalah lambang kemenangan, sebab melalui salib Kristus segala dosa kita dihapuskan. “Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.” (1Ptr 2:24). Hal ini memang sulit dipahami bagaimana situasi kekalahan dianggap sebagai kemenangan. Kehinaan diyakini sebagai kemuliaan. Perbedaan mendasar terletak dari cara melihat. Iman melihat jauh menembus kenyataan atau realita. Bila berhenti pada realita maka kita hanya melihat kelemahan dan kekalahan. Untuk itu perlu melihat jauh dari realita.

Kemenangan Yesus bukan karena Dia turun dari salib melainkan keberanianNya untuk wafat disalib demi semua orang. Dia berani menyerahkan diri secara total mengikuti kehendak Allah. Bila Yesus menginginkan untuk turun dari salib pasti hal itu mampu dilakukanNya. Belum pernah ada orang yang mampu membangkitkan orang mati, bahkan orang yang telah berada dalam kubur. Tapi Yesus mampu melakukannya. Kematian adalah kekalahan manusia yang absolut. Manusia tidak akan pernah mampu mengalahkannya. Yesus telah menguasai maut dan mampu mengalahkan maut. “Dialah satu-satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorang pun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia. Bagi-Nyalah hormat dan kuasa yang kekal!” (!Tim 6:16). Dengan demikian Yesus bukan orang yang kalah melainkan Dia orang yang taat pada kehendak Allah.

Salib lambang kemuliaan. Yesus adalah orang yang penuh kuasa. Tapi Dia tidak menggunakan kekuasaanNya itu untuk mengalahkan salib. Kemuliaan Yesus bukan sebab kematianNya disalib, tapi kerendahhatianNya yang rela menjalani kehinaan meski Dia sebetulnya tidak pantas menjalaninya dan mampu keluar dari kehinaan itu. KerendahhatianNya membuat Dia rela melepaskan martabat dan kekuasaan yang telah diberikan Allah padaNya. Dia rela menjalani penghinaan sebab terdorong rasa cinta yang sangat besar kepada manusia. Semua orang ingin dihargai setinggi mungkin, maka dia akan berontak bila dihina. Dia ingin membuktikan kemampuannya agar semua orang tahu bahwa dia bukan orang sehina itu. Sebaliknya Yesus memasrahkan diriNya untuk dihina. Dia mengosongkan diriNya. Dia tidak mempedulikan reputasiNya. Kemuliaan Yesus tampak dalam kerelaanNya untuk dihina demi keselamatan manusia.

Minggu, 13 Juni 2010

BERKAT ATAU KUTUK??

Seorang bapak yang mempunyai anak cacat bertanya padaku apakah anaknya itu suatu anugerah? Banyak orang mengatakan bahwa anak adalah anugerah Tuhan. Tapi bila cacat parah apakah pendapat itu masih berlaku. Anugerah adalah sesuatu yang membuat manusia bahagia dan bangga. Dimana kebahagiaan dan kebanggaan bila mempunyai anak cacat? Anugerah adalah sesuatu yang dinantikan dan diharapkan manusia. Apakah anak cacat dinantikan dan diharapkan oleh orang tua? Bila bukan anugerah apakah anak cacat ini adalah sebuah kutuk? Bila anak ini adalah kutuk apakah kesalahannya sehingga dia dikutuk seperti ini? Bukankah anak ini juga ciptaan Allah yang dibuat dengan penuh kasih? Bukankah dia juga citra Allah? Mengapa Allah menggambarkan DiriNya dalam wujud dan kondisi seperti ini?

Pertanyaan bapak ini bukan sebuah pertanyaan yang mudah. Harold S Kushner (3 April 1935 - ) seorang rabi Yahudi menulis buku dengan judul Berkat, Kutuk atau Rahmat. Menurutnya penderitaan dapat membuat seseorang berusaha untuk memahami Allah semakin mendalam, tapi lebih banyak lagi yang membuat orang menjadi sinis pada Tuhan. Mereka menjadi berontak sebab penderitaan menimbulkan konflik yang tajam mengenai konsep Allah yang Mahabaik dan situasi yang dihadapinya. Orang berontak sebab mereka juga terjebak oleh hukum sebab akibat. Padahal di dunia ini ada sesuatu yang terjadi diluar sebab akibat. Terjadi tanpa mengikuti jalur ketertiban. Mengapa Allah membuat sesuatu diluar jalur ketertiban? Matahari tertib dari timur ke barat. Tapi ada komet yang keluar dari jalurnya sehingga menabrak bumi dan menimbulkan bencana yang mengerikan. Mengapa komet itu bisa keluar dari jalurnya? Banyak penyebabnya.

Dalam penderitaan orang terdorong untuk mencari sebabnya. Ada penderitaan yang diakibatkan oleh ulah manusia. Ada pula yang disebabkan oleh diri sendiri. Tapi diluar itu ada yang disebabkan oleh adanya ketidaaturan. Seorang ibu yang sudah berusaha menjaga janin dalam rahimnya sedemikian rupa tapi ternyata saat lahir anaknya cacat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Dia lalu mencari penyebabnya dan siapa yang harus bertanggungjawab terhadap semua ini. Orang berusaha mencari kambing hitam dalam penderitaannya. Tuhan sering menjadi kambing hitam. Terkadang orang takut untuk menimpakan semua kesalahan pada Tuhan. Lalu siapa yang salah? Maka pertanyaan berubah menjadi mengapa ada penderitaan? Apakah Allah suka melihat penderitaan?

Allah tidak suka dengan penderitaan manusia. Yesus menangis ketika Lazarus mati. Tuhan pun menyesal atas musibah air bah "Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan.” (Kej 8:21). Dengan demikian Allah bukanlah Allah yang kejam dan suka menyiksa manusia. Bila Dia kejam maka Dia tidak akan menyerahkan putra tunggalnya untuk disalibkan. Wafat Yesus yang mengerikan adalah usahaNya untuk menanggung penderitaan manusia. "Dialah yang memikul kelemahan kita dan menanggung penyakit kita." (Mat 8:17). Bila Allah tidak kejam lalu mengapa ada penderitaan di dunia? Mengapa menimpaku?

Ketika Yesus ditanya salah siapa sehingga ada orang buta maka Dia menjawab "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yoh 9:3). Yesus tidak berusaha mencari sebab kebutaan itu. Dia mengajak kita melihat penderitaan secara positip, bahwa dalam penderitaan kasih Allah semakin dinyatakan. Kasih yang murni sebab tidak mencari kesenangan dan kepuasan diri melainkan kasih yang rela memberikan diri bagi sesamanya. Harold melihat kematian Martin Luther King, pemimpin spiritual kulit hitam di AS yang dibunuh, adalah saat yang tepat baginya untuk menghadap Allah, sebab dia terlalu berat menanggung penderitaan. Harold berusaha mencari makna dalam penderitaan. Bila manusia menemukan makna dari penderitaan maka dia akan mampu bertahan. Yesus berani menjalani siksa dan memikul salib sebab Dia menemukan makna bahwa segala yang dialamiNya demi keselamatan kita.

MANAKAH YANG LEBIH BERHARGA?

Seorang datang padaku meminta doa. Dia bercerita bahwa sudah 2 minggu ini cincin emas kesayangannya hilang entah kemana. Dia sudah berusaha mencari ke seluruh pelosok rumah. Bertanya pada suami dan anak-anak serta pembantunya. Tapi tidak ada satu pun yang tahu dimana cincin itu berada. Dia pun sudah berdoa novena tapi hasilnya masih nihil. Maka dia berharap aku mau membantu doa agar cincin itu dapat ditemukan. Aku sarankan agar dia membeli lagi saja, sebab dia mampu membelinya. Usulku langsung ditolak. Cincin itu sangat berarti baginya sebab itu hadiah pernikahan dari almarhum ibunya. Cincin itu tidak akan tergantikan sebab sarat kenangan.

Cincin adalah benda yang dapat dibeli kapanpun kita mau. Kita pun dapat memesan pada pengrajin untuk membuatkan yang sama persis dengan yang hilang. Kesedihan disebabkan dalam cincin itu ada nilai kenangan yang tidak tergantikan. Kehilangan cincin menjadi kehilangan benda yang memuat kenangan terdalam dalam hidup. Nilai inilah yang tidak mungkin tergantikan oleh benda apapun di dunia. Memang kenangan akan almarhum ibu bisa tetap ada meski cincin pemberiannya hilang. Tapi cincin itu menjadi benda yang dapat mengkaitkan antara orang itu dengan almarhum ibunya.

Cincin bukan hanya sekedar benda, sebab didalamnya ada nilai, kenangan dan kasih yang tidak tergantikan. Tapi apakah kita juga gelisah ketika kehilangan sesama? Bukankah sesama adalah citra Allah yang jauh bernilai dari sebuah cincin? Dalam hidup sering terdengar kisah orang menyingkirkan teman bahkan saudaranya sendiri dari ingatan dan hidupnya. Dalam Luk 15:11-32 diceritakan tentang anak yang hilang. Anak sulung tidak peduli adiknya hilang, sebab dia merasa bahwa adiknya telah berlaku tidak baik terhadap bapa dan keluarganya. Dia pun marah melihat sikap bapanya yang peduli pada adiknya. Dia tidak melihat bahwa adiknya sangat bernilai sebaliknya bapa melihat anaknya sangat bernilai, maka dia menyambutnya penuh suka cita.

"Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu?” (Mat 18:12). Yesus datang ke dunia untuk mencari manusia yang tersesat. Orang yang tersesat atau hilang dalam istilah Lukas, mungkin dia tidak paham akan kebenaran. Mungkin dia egois dan hidup hanya menuruti keinginannya sendiri. Mereka perlu dicari dan diselamatkan sebab mereka juga ciptaan Allah. Ketika Yesus dikritik sebab bergaul dengan Zakheus yang dicap sebagai orang berdosa, maka Yesus menjawab, "Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham.” (Luk 19:9). Kita semua adalah citra Allah. Ciptaan Allah yang paling mulia. Maka manusia sangat berharga dan perlu diselamatkan agar mereka kembali menjadi citra Allah.

Pencarian manusia yang berdosa adalah usaha untuk memulihkan martabat manusia yang rusak akibat dosa. Tanggungjawab ini merupakan tanggungjawab kita semua. Setiap orang diajak oleh Yesus untuk mengembalikan manusia pada jalur hidupnya sebagai citra Allah. Para murid pun diutus untuk pergi memberitakan Kerajaan Allah dan membawa manusia pada pertobatan. “Lalu pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat,” (Mrk 6:12). Tapi tugas ini sering kali diabaikan. Kita sering tidak peduli bila ada orang berdosa. Bahkan mungkin kita pun tega menyingkirkan orang.

Pada akhir-akhir ini kita dihebohkan oleh video porno artis. Mulai dari anak kecil, orang tidak berpendidikan sampai pejabat membicarakannya. Orang hanya membicarakan tanpa rasa sedih yang mendalam mengapa ada artis yang berbuat demikian. Kita lebih suka menetertawakan orang yang jatuh dalam dosa dan memandangnya hina daripada melakukan usaha untuk mempertobatkannya. Bukankah mereka juga citra Allah yang membutuhkan pemulihan martabat yang telah dirusaknya. Bukankah kita pun terlibat merusak citranya bila turut menyebarkan keburukannya? Tapi inilah dunia dewasa ini. Orang lebih prihatin ketika cincinnya hilang daripada sesamanya hilang.

Sabtu, 12 Juni 2010

BERBAGI KEKAYAAN

“Mereka yang berada dalam kesempitan yang sangat parah, memiliki hak untuk mengusahakan bagi dirinya hal-hal yang perlu dari kekayaan orang lain.” (Gaudium et Spes art 69) Bagaimana para Bapa Konsili dapat menyerukan hal seperti itu? Bukankah secara kasar tulisan itu dapat diartikan bahwa bila orang mengalami situasi yang sangat parah maka dia boleh menjarah? Memang tulisan ini mempunyai catatan kaki yang tertulis demikian, “Dalam kasus semacam itu berlaku asas lama, “di dalam kebutuhan yang sangat parah segala sesuatu adalah milik bersama jadi harus dibagi-bagikan.” Untuk menerapkan asas dengan tepat harus diperhatikan semua persyaratan yang dituntut secara moral.” Artikel ini memang sejak awal membahas bahwa dunia dan seluruh isinya adalah milik bersama, maka semuanya harus dapat dinikmati oleh semua orang dengan cara yang adil dan cinta kasih.

Para Bapa Konsili menulis ini mungkin melihat bahwa dunia sangat timpang. Di satu sisi ada orang yang memboroskan uang yang cukup besar untuk hal yang tidak perlu sedangkan disisi lain ada orang yang mati kelaparan. Ketimpangan ekonomi semakin parah pada saat ini. Misalnya militer AS pada tahun 2010 menganggarkan $ 170 M hanya untuk perang di Afganistan dan Irak. Bila 1 $ = Rp 9000 maka anggaran itu sebesar Rp 1.530 T. Bandingkan dengan APBN Indonesia tahun 2010 untuk pusat 781,5 T dan untuk daerah 344,6 T atau total Rp 1.125,1 T. Ada selisih Rp 404,9 T. Padahal bila dilihat dari Gross National Product Indonesia merupakan negara miskin urutan ke 68 dengan GNP sebesar $ 3,900. Urutan pertama adalah Zimbabwe dengan GNP sebesar $ 200. Dengan demikian kesenjangan itu sangat dalam.

Jurang kaya miskin yang semakin lama semakin dalam dapat dijembatani dengan sikap solidaritas. Orang boleh saja kaya dari usahanya yang sah dan tidak melanggar hak asasi sesamanya. Tapi dia hendaknya menggunakan kekayaannya secara terbatas dan senantiasa ingat akan sesamanya yang kekurangan. Ada isyu anak seorang pejabat negara yang menghabiskan Rp 100 M untuk biaya pesta perkawinan. Disatu sisi hal itu sah saja, sebab itu uangnya sendiri. Tapi disisi lain dia harus sadar bahwa masih banyak orang di sekitarnya yang tidak mampu makan secara layak atau sakit tapi tidak mampu berobat. Bila orang tidak peduli ada sesamanya yang mati karena kelaparan sedangkan dia mempunyai banyak makanan, maka dia sama saja ikut membunuh orang itu. Dia sama seperti orang kaya dalam Luk 16:19-31 yang akan dihukum Tuhan.

Kita memang tidak berharap terjadi situasi yang sangat parah sehingga orang dapat mengambil milik orang lain seperti yang ditulis dalam Gaudium et Spes. Untuk itu kita perlu terlibat dalam pelayanan kaum miskin. Kepedulian dimulai dari penyadaran diri akan kepemilikan. Segala yang kita miliki bukan hanya untuk kesenangan diri sendiri, melainkan untuk membangun dunia dengan lebih baik. Selain itu kita perlu sadar bahwa orang lain pun punya hak hidup yang layak. Hak menjadi manusia yang bermartabat. Kemiskinan memungkinkan orang kehilangan martabatnya. Akibat kemiskinan orang rela mengais sampah untuk mencari makan. Seperti Lazarus yang menunggu remah-remah tapi hanya memperoleh jilatan anjing. Maka kita bila mempunyai materi berlebihan harus tahu batas atau ugahari dalam menggunakannya. Tidak berfoya-foya sebab masih banyak saudara kita yang sangat membutuhkan melainkan beramal.

Tapi pemberian roti saja tidak cukup. Maka perlu keterlibatan dalam kehidupan orang miskin. Yesus datang ke dunia untuk terlibat dalam masalah manusia. Dia tidak hanya mengirim roti dari surga seperti manna pada jaman Musa. Dia hadir untuk menyerukan suara orang tertindas. Dia menolong orang miskin. Dia bersama kaum miskin berusaha membangun dunia baru yang mendasarkan pada belas kasih tanpa memandang sekat agama, suku dan ras. Kita adalah penerus perjuangan Yesus. Maka perlu kita melihat diri sendiri. Sejauh mana kita turut terlibat dalam perjuangan kaum miskin? Ataukah kita menikmati segala yang kita miliki demi kenyamanan diri sendiri? Apakah kita telah menggunakan milik kita secara tanggungjawab baik kepada diri maupun sesama?

MELIHAT SECARA BARU


John Winston Lenon (9 Oktober 1940 – 8 Desember 1980) yang lebih dikenal sebagai John Lenon adalah seorang musikus dan anggota grup band The Beatles yang sangat berpengaruh dalam dunia musik. Pada tahun 1971 bersama Yoko Ono, istrinya, merilis lagu berjudul “Oh My Love”. Lagu itu mengungkapkan bahwa untuk pertama kali dalam hidup matanya terbuka lebar sehingga dapat melihat langit, pohon dan semua menjadi terang dalam hati. Untuk pertama kali dia dapat merasakan kepedihan, kasih, impian dan semua menjadi terang dalam hati. Jelas John Lenon sudah melihat dan merasakan semua itu sebelumnya, tapi mengapa dia mengatakan untuk pertama kali?

Banyak orang mengalami hal seperti yang ditulis oleh John Lenon. Dia mampu melihat dan merasakan secara baru apa yang ada di sekitarnya dan hidupnya. Ke-baru-an ini mampu mengubah orang itu secara drastis. Uskup Agung Oscar Romero (15 Agustus 1917 – 24 Maret 1980) adalah salah satu orang yang melihat secara baru hidupnya sehingga berubah secara drastis. Martin Maeir dalam buku Oscar Romero mengutip kesaksian seseorang yang mengatakan bahwa, “pewartaan pastoral Oscar Romero semula hanya disukai oleh kelompok kecil elit yang berasal dari sebuah komunitas atau kelompok-kelompok klasik dari Gerakan Keluarga Kristen. Tapi penderitaan dan kemelaratan umat tidak banyak berarti baginya dan ia juga hampir tidak berarti bagi umat.” Perubahan drastis terjadi ketika Romero datang pada pemakaman Rutilio Grande SJ yang dibunuh pasukan pemerintah pada 12 Maret 1977. Romero yang semula mengkritik keras gerakan para biarawan dan awam yang membela kaum miskin berubah menjadi uskup yang membela kaum miskin. Dia pun akhirnya dibunuh.

Perubahan cara melihat dan merasa seseorang dapat terjadi bila dia menggunakan hati untuk melihat segalanya. Melihat bukan hanya dengan kekuatan fisik tapi melibatkan hati yang penuh kasih. Lebih jauh lagi melihat dari sudut pandang Yesus sendiri dalam melihat sesuatu di dunia. Hampir setiap hari kita melihat orang miskin di sekitar kita dan kita melihatnya sesuatu yang biasa bahkan wajar saja ada orang miskin. Akibatnya kita sering tidak peduli dan acuh. Hal ini berbeda bila kita mulai melihat dengan hati dan belajar dari Yesus bagaimana Dia memperlakukan orang miskin. Kita akan melihat secara baru. Orang miskin bukan dilihat hanya kemiskinannya dan segala stigmata yang tertempel di dalam dirinya, tapi sebagai manusia yang membutuhkan pertolongan.

Melihat dan merasakan dengan hati bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu adanya proses dalam diri. Memang terkadang bisa tampak mudah sebab ada peristiwa yang mengguncangkan hidupnya. Seorang ayah yang semula keras dan kurang peduli pada keluarganya, tiba-tiba berubah menjadi ayah yang penyayang keluarga setelah seorang anaknya meninggal akibat narkoba. Tapi kita tidak bisa menunggu ada peristiwa hebat dalam hidup untuk berubah. Maka perlu keberanian berproses melibatkan hati dalam melihat dan merasakan sesama. Bila melihat orang miskin kita berusaha meninggalkan stigmata atau asumsi yang telah menempel di dalam dirinya melainkan berusaha untuk melihat dari sudut mereka. Berusaha merasakan penderitaan mereka. Agar mampu melihat seperti yang Yesus lihat perlu membaca Injil dan merenungkannya.

“Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang juga pun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian. Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2Kor 5:16-17). Menerima Yesus dalam hidup melalui pembaptisan membuat kita menjadi manusia baru. Terjadi pertobatan yang menyeluruh. Pertobatan bukan karena kita menerima Kristus sebagai penyelamat dan merelakan diri untuk dibaptis, melainkan memberikan diri kita menjadi Bait Allah dimana Roh Kristus bersemayam. Melalui ekaristi kita bersatu secara penuh dengan Kristus sehingga bukan lagi aku yang hidup tapi Kristus yang hidup dalam diriku. Kristus yang hidup dalam diri kita menggerakkan kita untuk melihat segalanya dari sudut pandang Kristus. Dengan demikian kita melihat segalanya secara baru

BERTAHAN DALAM PENDERITAAN

C.S Lewis (29 November 1898 – 22 November 1963) seorang Irlandia kelahiran Inggris adalah seorang novelis, akedemikus, teolog dan kritikus sastra. Novelnya yang terkenal adalah The Chronicles of Narnia. Dalam salah satu tulisannya dia mengatakan, adalah sangat mengagumkan bahwa sampai tingkatan tertentu penderitaan manusia, orang dapat terus percaya bahwa Allah mencintainya. Dia membayangkan bahwa Allah adalah kasih. Allah seperti bapa yang mengasihi manusia. Memang Dia tidak memberi segala keinginan kita tapi Dia akan melindungi kita dari yang jahat. Bila kita tertimpa bencana maka Dialah yang pertama akan bertindak. Tapi mengapa di dunia ini banyak penderitaan yang ditanggung oleh manusia dan Allah tampaknya diam?

Yesus pun dalam doa Bapa Kami memohon agar Allah membebaskan manusia dari segala penderitaan. “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.” (Mat 6:13). Pencobaan sering diartikan suatu yang dapat membuat seseorang meninggalkan imannya. Ada banyak hal yang dapat membuat orang meninggalkan iman, misalnya penderitaan, kekecawaan, harta atau kenikmatan dan sebagainya. Sedangkan “yang jahat” adalah sesuatu yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan manusia. Sesuatu yang membuat manusia menderita. Iblis dilambangkan sebagai si jahat. Dalam Ayub jelas sekali peran iblis yang membuat manusia menderita. Iblis juga membuat manusia menjadi jahat dan meninggalkan iman.

Harapan manusia untuk terlepas dari penderitaan atau kejahatan yang didukung oleh keyakinan bahwa Allah adalah kasih berbenturan dengan situasi hidup penuh dengan penderitaan. Penderitaan membuat orang mulai mencari Allah dan mempertanyakan keberadaanNya. Keyakinan orang dapat menjadi luntur bahkan berubah menjadi kebencian dan pemberontakan pada Allah bila penderitaan seperti jalan panjang yang tidak berujung. Maka C. S Lewis kagum bila dalam penderitaan orang masih percaya akan Allah yang mahakasih. Orang mampu bertahan dalam iman akan Allah sebagai Bapa yang baik meski situasi kondisi hidupnya sangat sulit.

“Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia” (Yak 1:12). Kekuatan manusia untuk bertahan dalam iman meski hidupnya penuh penderitaan berdasarkan pada cintanya pada Tuhan. Cinta membuat dia hanya mempunyai satu pilihan untuk terus bersandar pada Tuhan. Ketika banyak orang meninggalkan Yesus, maka Dia bertanya pada para muridNya apakah mereka juga akan meninggalkanNya? Petrus mewakili para murid menjawab, "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah." (Yoh 6:68-69). Cinta Petrus pada Yesus membuatnya tidak mempunyai pilihan lagi. Dia percaya penuh pada Yesus meski situasi hidupnya sangat berat dan perkataan Yesus sulit dipahami.

Kekuatan seseorang untuk terus bertahan pada Allah adalah adanya harapan. Ketika aku tertimpa penderitaan aku hanya mengatakan pada diri sendiri, bahwa besok semua ini akan berlalu. Hal ini membuatku kuat dan memberi keberanian untuk terus berjuang. Harapan seperti bintang di tengah malam gelap. Dia meski kecil dan jauh tapi tetap dapat menjadi penuntun langkah kita. Ketakutan dan keputusaasaan dapat membuat kita tidak mampu lagi melihat harapan. Hal yang baik pun dapat berubah menjadi hal yang menakutkan. Ketika para murid melihat Yesus datang pada saat mereka diterjang badai, maka mereka mengira hantu. Kekalutan membutakan mata mereka.

Rasul Paulus mengatakan ada 3 hal yaitu iman, harapan dan kasih. Sebetulnya inilah yang membuat kita mampu bertahan pada saat yang sulit untuk terus bersandar pada Allah. Ketiganya merupakan satu kesatuan. Kasih adalah yang terbesar, sebab dari kasih itulah kita akan terus bergantung pada Allah dan yakin bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan kita sehingga muncul harapan untuk terus berjuang.

Rabu, 09 Juni 2010

SIAPAKAH AKU?

Ketika murid-murid Yohanes Pembaptis bertanya pada Yesus apakah Dia adalah Mesias atau mereka harus menunggu lagi maka Yesus menjawab, "Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.” (Mat 11:4-5). Dari sini tampak bahwa Yesus mengajak para murid Yohanes untuk menilai sendiri apakah Dia adalah Mesias atau bukan. Yesus tidak mengajukan pembuktian dari Kitab Suci atau propaganda tentang siapa Mesias itu. Tapi Dia menunjukkan karyaNya. Apa yang telah dilakukanNya yaitu berpihak pada kaum miskin dan menderita. Dia membuktikan kemesiasanNya melalui karya keselamatan yang telah dilakukan.

Pada jaman ini banyak orang berusaha menunjukkan siapa dirinya melalui iklan atau propaganda. Menjelang pemilihan kepala daerah muncul banyak foto di jalanan dan media mengenai tokoh atau orang yang menokohkan diri dengan segala apa yang telah dilakukan, meski kadang masih berupa janji. Mereka berusaha menunjukkan pada masyarakat siapa dirinya dari karya-karya yang telah dilakukan atau janji-janji yang akan dikerjakan bila dia terpilih nanti. Sering kali janji jauh lebih banyak daripada apa yang sudah dikerjakan. Oleh karena banyak masyarakat yang sebelumnya tidak pernah mendengar apa yang telah dikerjakan oleh para tokoh tadi, maka dalam beberapa pemilihan kepala daerah yang menjadi pemenang adalah golput.

Manusia diukur atau dinilai dari apa yang sudah dikerjakan atau pohon dinilai bagus bila menghasilkan buah yang bagus. Ada kaitan yang erat antara perbuatan dan diri. Orang dapat saja memproklamirkan diri sebagai orang hebat. Mula-mula masyarakat dapat menjadi kagum dengan segala promosinya, yang tentu saja dibuat sebombastis mungkin. Tapi lambat laun masyarakat akan menilai sendiri melalui apa yang dikerjakan dan segala keputusannya. Mereka akan menilai apakah segala promosinya terwujud atau hanya buih yang membesar lalu pecah tanpa bekas.

Penilaian masyarakat pada seorang tokoh bisa melebar pada komunitas. Pernah ada seorang teman dari negeri asing terkejut ketika melihat Indonesia untuk pertama kali. Dia semula mengira Indonesia itu negara terbelakang dan masih primitif, sebab dia mengenal satu orang Indonesia yang dianggapnya begitu bodoh. Dia pun beberapa kali menerima kartu pos dari Indonesia dengan gambar gunung, hutan, orang Papua yang memakai koteka dan sebagainya. Melihat teman yang dianggap bodoh dan kartu pos yang diterimanya maka dia menyimpulkan bahwa Indonesia adalah negara primitif.

Hal ini memang bukan kesalahan teman asing itu. Dia meyakini pandangan kurang tepat tentang Indonesia sebab melihat temannya yang dari Indonesia. Aku pun dapat membuat citra Indonesia buruk bila aku di negara asing menampilkan sikap yang buruk meski banyak promosi yang bagus tentang Indonesia. Dalam kehidupan di Gereja pun sama saja. Aku sebagai anggota CM dapat membuat CM dianggap bagus atau buruk, tergantung dari sikapku. Orang sulit melihat CM secara keseluruhan. Mereka hanya melihat CM dalam diriku. Maka bila ada orang bertanya apakah CM itu, maka aku harus mampu mengatakan seperti Yesus ketika ditanya oleh para murid Yohanes.

Inilah tantangan bagi kita semua. Setiap orang hidup bukan demi dirinya sendiri atau atas nama dirinya sendiri, tapi di dalam dirinya atau di belakang dirinya ada keluarga, agama, komunitas, bangsa dan sebagainya. Sikap, tindakan dan perkataan kita bukan hanya menunjukkan siapa diri kita tapi juga komunitas, agama, keluarga, dan bangsa. Tindakan dan perkataanku menentukan penilaian orang terhadap apa yang ada dibalikku atau yang melatarbelakangi hidupku. Banyak orang lebih percaya dengan apa yang dilihat dan dirasakan daripada membaca iklan dan promosi yang muluk-muluk. Orang lebih mudah menilai apakah CM itu baik atau buruk dari apa yang dilihat dalam diri anggota CM daripada mendengarkan aneka teori dan perdebatan teologis yang sering kali tidak dipahaminya. Orang pun tidak perlu bertanya apakah CM itu bila aku dapat menunjukkan sikap dan tindakanku yang peduli pada kaum miskin.

Senin, 07 Juni 2010

SEMANGAT MISKIN

Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang ingin hidup miskin. Orang berlomba untuk menjadi kaya. Gereja juga tidak melarang umatnya menjadi kaya, sebab Gereja juga kaya. Tapi Gereja mengingatkan agar semua orang mempunyai semangat miskin. Semangat yang digali dari orang miskin. Orang miskin adalah orang yang tidak punya apa-apa. Kemiskinan membuatnya tidak mempunyai kekuasaan untuk menentukan aneka hal bahkan hidupnya. Dia berserah untuk diatur dan menerima apa saja tanpa pemberontakan dalam diri. Ketidakberdayaan ini membuatnya berserah, sehingga dia mudah bersyukur atas apa saja yang diterimanya. Sebaliknya bila orang merasa kaya dan mempunyai kuasa, maka dia akan mengatur banyak hal. Bahkan memaksakan pendapat dan keinginannya. Dia akan mudah menuntut bila merasa diperlakukan tidak sesuai dengan kepemilikannya.

"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Mat 5:3). Yesus mengatakan bahwa orang yang miskin di hadapan Allah sebagai orang berbahagia. Yesus berbicara bukan berdasarkan kepemilikan, sebab bila bicara kepemilikan, maka siapa yang akan merasa kaya dihadapan Allah? Ini adalah semangat miskin. Semangat miskin dihadapan Allah membuatnya memiliki Kerajaan Sorga, situasi penuh persaudaraan dan kasih yang akan memberikan rasa damai dan bahagia. Kerajaan Sorga sudah dimulai saat Yesus datang dan benihnya ada dalam Gereja yang akan sempurna pada akhir jaman. Memiliki bukan berarti dia menjadi penguasa Kerajaan Sorga tapi dapat hidup dalam dan merasakan Kerajaan Sorga. Dia akan bahagia dan merasa damai.

Semangat miskin dihadapan Allah membuat kita menyerahkan seluruh hidup kita pada Allah. Kita menerima semua pemberian Allah seperti Ayub. “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!.” (Ayb 1:21). Atau pasrah seperti Maria, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38). Sikap ini membuat kita bahagia. Sering orang merasa tidak bahagia sebab hatinya penuh dengan tuntutan dan ketidakpuasan. Orang tidak puas akan situasi hidupnya. Orang merasa jengkel sebab doa-doanya terasa tidak didengar oleh Allah. Orang marah sebab merasa telah mentaati perintah Allah tapi hidupnya diterpa bencana. Orang kuatir akan hidupnya. Akibatnya jika dia berdoa maka isi doanya penuh tuntutan dan perintah agar Allah memenuhi apa yang diinginkannya.

Orang yang merasa kaya juga tidak bahagia di dunia dan tidak mampu masuk dalam Kerajaan Allah. Orang yang merasa kaya dan kuat, maka dia tidak membutuhkan orang lain. Padahal manusia adalah mahluk sosial yang sangat bergantung pada sesama. Dalam Gereja yang dihuni orang kaya, maka rasa persaudaraan menjadi tipis. Bila di desa maka semua anggota Gereja saling mengenal satu dengan yang lain. Tapi bila di daerah kaya, maka orang sulit mengenal satu dengan yang lain. Bagaimana mau membangung persaudaraan bila tidak saling mengenal? Bila orang miskin meninggal, maka keluarganya sudah merasa bersyukur bila tutup peti dilakukan oleh asisten imam atau prodiakon. Tapi bila orang kaya maka keluarganya menuntut setiap upacara harus dipimpin oleh seorang imam. Bila tidak maka keluarga itu akan marah.

Maka kebahagiaan hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai semangat miskin. Orang yang merasa dirinya tidak berkuasa dan tidak berarti, sehingga berserah pada banyak hal serta bersyukur atas segala yang dialaminya. Semangat miskin bukan hanya dimiliki oleh orang miskin materi, tapi semua orang dapat memilikinya. Orang yang memiliki banyak materi pun dapat memiliki semangat miskin. Yesus mempunyai semuanya. Dia adalah Putra Allah, tapi Dia berani melepaskan segalanya. “Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Flp 2:6-7). Semangat miskin dapat kita pelajari bila kita mau terlibat dalam kehidupan orang miskin

Powered By Blogger