“Mereka yang berada dalam kesempitan yang sangat parah, memiliki hak untuk mengusahakan bagi dirinya hal-hal yang perlu dari kekayaan orang lain.” (Gaudium et Spes art 69) Bagaimana para Bapa Konsili dapat menyerukan hal seperti itu? Bukankah secara kasar tulisan itu dapat diartikan bahwa bila orang mengalami situasi yang sangat parah maka dia boleh menjarah? Memang tulisan ini mempunyai catatan kaki yang tertulis demikian, “Dalam kasus semacam itu berlaku asas lama, “di dalam kebutuhan yang sangat parah segala sesuatu adalah milik bersama jadi harus dibagi-bagikan.” Untuk menerapkan asas dengan tepat harus diperhatikan semua persyaratan yang dituntut secara moral.” Artikel ini memang sejak awal membahas bahwa dunia dan seluruh isinya adalah milik bersama, maka semuanya harus dapat dinikmati oleh semua orang dengan cara yang adil dan cinta kasih.
Para Bapa Konsili menulis ini mungkin melihat bahwa dunia sangat timpang. Di satu sisi ada orang yang memboroskan uang yang cukup besar untuk hal yang tidak perlu sedangkan disisi lain ada orang yang mati kelaparan. Ketimpangan ekonomi semakin parah pada saat ini. Misalnya militer AS pada tahun 2010 menganggarkan $ 170 M hanya untuk perang di Afganistan dan Irak. Bila 1 $ = Rp 9000 maka anggaran itu sebesar Rp 1.530 T. Bandingkan dengan APBN Indonesia tahun 2010 untuk pusat 781,5 T dan untuk daerah 344,6 T atau total Rp 1.125,1 T. Ada selisih Rp 404,9 T. Padahal bila dilihat dari Gross National Product Indonesia merupakan negara miskin urutan ke 68 dengan GNP sebesar $ 3,900. Urutan pertama adalah Zimbabwe dengan GNP sebesar $ 200. Dengan demikian kesenjangan itu sangat dalam.
Jurang kaya miskin yang semakin lama semakin dalam dapat dijembatani dengan sikap solidaritas. Orang boleh saja kaya dari usahanya yang sah dan tidak melanggar hak asasi sesamanya. Tapi dia hendaknya menggunakan kekayaannya secara terbatas dan senantiasa ingat akan sesamanya yang kekurangan. Ada isyu anak seorang pejabat negara yang menghabiskan Rp 100 M untuk biaya pesta perkawinan. Disatu sisi hal itu sah saja, sebab itu uangnya sendiri. Tapi disisi lain dia harus sadar bahwa masih banyak orang di sekitarnya yang tidak mampu makan secara layak atau sakit tapi tidak mampu berobat. Bila orang tidak peduli ada sesamanya yang mati karena kelaparan sedangkan dia mempunyai banyak makanan, maka dia sama saja ikut membunuh orang itu. Dia sama seperti orang kaya dalam Luk 16:19-31 yang akan dihukum Tuhan.
Kita memang tidak berharap terjadi situasi yang sangat parah sehingga orang dapat mengambil milik orang lain seperti yang ditulis dalam Gaudium et Spes. Untuk itu kita perlu terlibat dalam pelayanan kaum miskin. Kepedulian dimulai dari penyadaran diri akan kepemilikan. Segala yang kita miliki bukan hanya untuk kesenangan diri sendiri, melainkan untuk membangun dunia dengan lebih baik. Selain itu kita perlu sadar bahwa orang lain pun punya hak hidup yang layak. Hak menjadi manusia yang bermartabat. Kemiskinan memungkinkan orang kehilangan martabatnya. Akibat kemiskinan orang rela mengais sampah untuk mencari makan. Seperti Lazarus yang menunggu remah-remah tapi hanya memperoleh jilatan anjing. Maka kita bila mempunyai materi berlebihan harus tahu batas atau ugahari dalam menggunakannya. Tidak berfoya-foya sebab masih banyak saudara kita yang sangat membutuhkan melainkan beramal.
Tapi pemberian roti saja tidak cukup. Maka perlu keterlibatan dalam kehidupan orang miskin. Yesus datang ke dunia untuk terlibat dalam masalah manusia. Dia tidak hanya mengirim roti dari surga seperti manna pada jaman Musa. Dia hadir untuk menyerukan suara orang tertindas. Dia menolong orang miskin. Dia bersama kaum miskin berusaha membangun dunia baru yang mendasarkan pada belas kasih tanpa memandang sekat agama, suku dan ras. Kita adalah penerus perjuangan Yesus. Maka perlu kita melihat diri sendiri. Sejauh mana kita turut terlibat dalam perjuangan kaum miskin? Ataukah kita menikmati segala yang kita miliki demi kenyamanan diri sendiri? Apakah kita telah menggunakan milik kita secara tanggungjawab baik kepada diri maupun sesama?
Para Bapa Konsili menulis ini mungkin melihat bahwa dunia sangat timpang. Di satu sisi ada orang yang memboroskan uang yang cukup besar untuk hal yang tidak perlu sedangkan disisi lain ada orang yang mati kelaparan. Ketimpangan ekonomi semakin parah pada saat ini. Misalnya militer AS pada tahun 2010 menganggarkan $ 170 M hanya untuk perang di Afganistan dan Irak. Bila 1 $ = Rp 9000 maka anggaran itu sebesar Rp 1.530 T. Bandingkan dengan APBN Indonesia tahun 2010 untuk pusat 781,5 T dan untuk daerah 344,6 T atau total Rp 1.125,1 T. Ada selisih Rp 404,9 T. Padahal bila dilihat dari Gross National Product Indonesia merupakan negara miskin urutan ke 68 dengan GNP sebesar $ 3,900. Urutan pertama adalah Zimbabwe dengan GNP sebesar $ 200. Dengan demikian kesenjangan itu sangat dalam.
Jurang kaya miskin yang semakin lama semakin dalam dapat dijembatani dengan sikap solidaritas. Orang boleh saja kaya dari usahanya yang sah dan tidak melanggar hak asasi sesamanya. Tapi dia hendaknya menggunakan kekayaannya secara terbatas dan senantiasa ingat akan sesamanya yang kekurangan. Ada isyu anak seorang pejabat negara yang menghabiskan Rp 100 M untuk biaya pesta perkawinan. Disatu sisi hal itu sah saja, sebab itu uangnya sendiri. Tapi disisi lain dia harus sadar bahwa masih banyak orang di sekitarnya yang tidak mampu makan secara layak atau sakit tapi tidak mampu berobat. Bila orang tidak peduli ada sesamanya yang mati karena kelaparan sedangkan dia mempunyai banyak makanan, maka dia sama saja ikut membunuh orang itu. Dia sama seperti orang kaya dalam Luk 16:19-31 yang akan dihukum Tuhan.
Kita memang tidak berharap terjadi situasi yang sangat parah sehingga orang dapat mengambil milik orang lain seperti yang ditulis dalam Gaudium et Spes. Untuk itu kita perlu terlibat dalam pelayanan kaum miskin. Kepedulian dimulai dari penyadaran diri akan kepemilikan. Segala yang kita miliki bukan hanya untuk kesenangan diri sendiri, melainkan untuk membangun dunia dengan lebih baik. Selain itu kita perlu sadar bahwa orang lain pun punya hak hidup yang layak. Hak menjadi manusia yang bermartabat. Kemiskinan memungkinkan orang kehilangan martabatnya. Akibat kemiskinan orang rela mengais sampah untuk mencari makan. Seperti Lazarus yang menunggu remah-remah tapi hanya memperoleh jilatan anjing. Maka kita bila mempunyai materi berlebihan harus tahu batas atau ugahari dalam menggunakannya. Tidak berfoya-foya sebab masih banyak saudara kita yang sangat membutuhkan melainkan beramal.
Tapi pemberian roti saja tidak cukup. Maka perlu keterlibatan dalam kehidupan orang miskin. Yesus datang ke dunia untuk terlibat dalam masalah manusia. Dia tidak hanya mengirim roti dari surga seperti manna pada jaman Musa. Dia hadir untuk menyerukan suara orang tertindas. Dia menolong orang miskin. Dia bersama kaum miskin berusaha membangun dunia baru yang mendasarkan pada belas kasih tanpa memandang sekat agama, suku dan ras. Kita adalah penerus perjuangan Yesus. Maka perlu kita melihat diri sendiri. Sejauh mana kita turut terlibat dalam perjuangan kaum miskin? Ataukah kita menikmati segala yang kita miliki demi kenyamanan diri sendiri? Apakah kita telah menggunakan milik kita secara tanggungjawab baik kepada diri maupun sesama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar