Senin, 21 Juni 2010

AGAMA DAN NEGARA


St. Agustinus (354 - 430) menulis “Remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia” artinya negara yang tidak diperintah dengan keadilan adalah gerombolan perampok. Pendapat ini sangat keras. Tapi memang hal itu sangat memungkinkan. Para pendiri negara kita menjadikan Pancasila menjadi dasar negara, meski saat ini sudah banyak orang yang lupa isi kelima sila itu. Salah satu sila berisi tentang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bila kita mengikuti berita dan melihat kasus-kasus yang ada di negara kita ini ternyata keadilan masih jauh dari kenyataan. Ketidakadilan ada dimana-mana. Bahkan orang yang dipilih untuk menegakkan keadilan hukum pun tidak adil. Mereka dapat dibeli oleh uang sehingga saat ini marak istilah MARKUS (makelar kasus). Bila penegak keadilan sudah tidak adil bagaimana kita bisa menyakini adanya keadilan di negara kita. Apakah negara kita adalah gerombolan perampok?

Negara kita mengklaim diri sebagai negara yang percaya pada Tuhan. Semua warga negara harus memeluk salah satu agama yang sudah ditentukan oleh negara. Di KTP pun orang harus mencantumkan agama apa yang dipeluknya. Rumah ibadah berdiri dimana-mana. Hari besar perayaan agama dijadikan hari libur nasional. Sekolah-sekolah yang berdasarkan keagamaan ada dimana-mana. Pendidikan agama pun sudah ditanamkan sejak dini dengan adanya pendidikan keagamaan untuk anak-anak. Bila melihat semua ini maka rakyat Indonesia adalah pemeluk agama yang baik. Tapi bila melihat situasi negara dan aneka kasus yang muncul maka orang dapat bertanya dimanakah peran agama dalam kehidupan bernegara?

Sebetulnya agama dan politik tidak bisa disatukan. Agama adalah sarana manusia untuk memahami Allah. Pemahaman akan Allah membawa manusia pada keyakinan atau iman, pengalaman spiritual yang sering tidak mampu dijelaskan oleh akal budi, meski iman juga membutuhkan akal budi. Sedangkan politik adalah sarana untuk mengatur masyarakat agar mereka dapat hidup dan berkembang sebagai manusia yang bermartabat. Di negara kita ini ada partai-partai politik yang berbasis agama. Keanggotaan ditentukan oleh agama yang dianut. Partai berbasis agama cenderung tertutup dan bagiku sangat rentan menimbulkan permusuhan sebab agama masih menjadi masalah sensitif di negara kita.

Menurut pendapatku, agama harus ada diluar partai politik. Agama menjadi terang bagi para penguasa untuk berbuat adil dan kasih terhadap siapa saja. Agama menjadi penuntun setiap penguasa untuk bertindak jujur dan membela kaum lemah. Yesus secara tegas membedakan antara agama dan negara. “Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat 22:21). Dia tidak mau terlibat dalam politik kekuasaan, maka Yesus menolak untuk diangkat sebagai raja dunia. Dia bukan raja dunia. Sejak jaman dulu kala pencampuradukan antara agama dan politik membuat banyak pertumpahan darah. Perang salib, perang Iran - Irak, Irlandia – Inggris, aneka kerusuhan di India dan masih banyak lagi.

Semua agama mengajarkan kebaikan dimana orang hendaknya saling mengasihi yang terwujud dalam sikap adil, jujur, membela kebenaran dan yang lemah. Dalam hukum agama jelas tertulis bila orang melanggar semua itu maka dia akan masuk neraka atau mengalami sengsara. Hukuman Allah adil dan tegas. Banyak orang takut akan karma, kutuk atau sebagainya yang datang dari Allah. Tapi adanya aneka masalah di negara yang terkait dengan pelanggaran hal itu menunjukkan bahwa agama tidak mempunyai peran dalam negara. Agama hanya menjadi ritus dan kebanggaan belum mampu menerangi orang untuk berbuat baik. Pernah ada orang yang mengatakan bahwa departemen yang paling banyak korupsi adalah departemen agama. Aku terkejut dan prihatin ketika mendengarnya. Bagaimana departemen yang seharusnya diisi oleh orang yang sangat agamis ternyata paling korup. Maka perlu adanya pembenahan agama di negara ini, bila tidak ingin negara kita menjadi gerombolan perampok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger