Rabu, 30 Juni 2010

GARAM

Beberapa kali aku mengajak orang untuk terlibat dalam aktifitas pelayanan pada kaum miskin tapi tidak jarang mereka menolak secara halus. Alasan yang sering dikatakan adalah bahwa mereka adalah kaum minoritas. Apa yang mereka anggap baik belum tentu dapat diterima baik oleh orang lain. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa sebagai minoritas kita perlu hati-hati dalam menjalankan aktifitas. Ketakutan atau bagiku lebih tepat beban kesadaran diri sebagai minoritas inilah yang menjadi penjara bagi banyak orang Katolik. Apalagi bila orang Katolik itu adalah seorang Cina, maka beban minoritas menjadi bertumpuk-tumpuk.

Negara kita sejak awal sudah menjadikan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan dan cita-cita. Hal ini disebabkan adanya kemajemukan dalam aneka hal. Bila ada keaneka ragaman pasti akan ada yang lebih banyak dan lebih sedikit. Di dunia ini tidak ada yang sama persis. Maka keberagaman dalam jumlah orang sehingga ada istilah mayoritas dan minoritas, seharusnya bukan masalah yang perlu diangkat dan ditakuti. Tapi setelah 65 tahun merdeka ternyata keberagaman masih belum dapat diterima oleh sebagian orang yang merasa unggul dalam jumlah. Penindasan dan perlakuan yang sewenang-wenang terhadap komunitas minoritas terus terjadi.

Sejak awal Yesus tidak membangun komunitas besar. Dia memilih 12 rasul dan 70 murid dari ribuan orang pengikutNya. Pembentukan kelompok kecil selain dalam rangka untuk meneruskan ajaranNya juga menjadi teladan bagi masyarakat akan komunitas yang menjadi prototipe Kerajaan Allah. Oleh karena Gereja adalah gambaran Kerajaan Allah maka hakekat Gereja itu kecil. Yesus memberi gambaran Gereja sebagai garam, dian, dan biji sesawi. Bila Dia sejak awal ingin membangun komunitas besar maka Dia akan merekrut sebanyak mungkin orang. Membangun struktur herarki yang rinci dan Dia memposisikan sebagai penguasa. Tapi itu semua tidak dilakukan.

Gereja adalah garam dunia. Garam itu mampu melebur sehingga dapat mempengaruhi media tempatnya melebur. Namun meski tampaknya melebur sebetulnya garam tetap utuh. Bila garam dimasukan dalam air maka air akan menjadi asin. Tapi bila air dituang ke atas kertas lalu kertas dikeringkan maka garam akan muncul kembali. Larutnya garam dalam air bukan akhir dari garam itu. Dia tetap eksis. Gambaran garam sangat tepat bagi peran Gereja di dunia. Gaudium et Spes dengan jelas menunjukkan peran Gereja agar terlibat dalam masalah dunia. Keterlibatan bukan hanya sekedar hadir atau menyatu dengan dunia, melainkan mempengaruhi dunia.

Bila Gereja digambarkan oleh Yesus sebagai garam, maka Gereja adalah kecil atau minoritas. Garam yang terlalu banyak akan merusak dan kehilangan perannya. Agama Katolik bila menjadi mayoritas ada kemungkinan akan kehilangan kekatolikannya. Ketika Konstantinus menjadikan Kristen sebagai agama negara secara perlahan terjadi pergeseran peran garam dunia. Pemimpin Gereja terlibat politik praktis dalam kerajaan. Pengejaran kenikmatan duniawi. Paus menjadi raja dunia dengan segala perilaku bak seorang raja. Orang berusaha menjadi imam atau biarawan untuk dapat menikmati kehidupan mewah. Pembangunan basilika-basilika yang indah tapi mengabaikan kaum miskin bahkan memanipulasi sakramen untuk menggalang dana pembangunan. Gereja kehilangan perannya di dunia bahkan kehilangan maknanya sebagai Kerajaan Allah.

Keminoritasan dengan segala konsekwensinya seharusnya disyukuri, sebab kita dapat berperan sebagai garam. Mentransformasikan masyararakat. Mempengaruhi kehidupan dan tata kehidupan dalam masyarakat. Memperkokoh kesatuan dalam tubuh Gereja dengan saling mengenal satu dan yang lain. Suatu hal yang sulit bila jumlah besar. Hal ini membutuhkan keberanian untuk keluar dari ketakutan rasa minoritas dan kepuasan dalam komunitas. Gereja baik melalui ormas, komunitas-komunitas maupun secara pribadi-pribadi mengambil peran aktif dalam pergerakan dunia, sehingga kehadiran Gereja di suatu tempat dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat disitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger