Kamis, 24 Desember 2009

NATAL DI KANDANG DAN TANPA KEMEGAHAN


Beberapa orang berjalan hilir mudik di sekitarku. Anak-anak kecil, kaum muda, dan orang tua. Mereka berwajah cerah dan penuh tawa tenggelam dalam kesibukannya. Terdengar suara koor anak-anak menggema. Sebagian anak lain menari riang di depan altar. Anak-anak muda sibuk menyelesaikan gua Natal. Ibu-ibu sibuk merangkai bunga. Sebagian bapak sibuk mengatur kursi, memasang lampu dan segala yang dibutuhkan untuk perayaan malam nanti. Keringat mengucur di wajah mereka yang penuh senyum. Kubayangkan kemeriahan malam nanti yang merupakan puncak dari segala persiapan yang telah dilakukan selama beberapa hari bahkan bulan sebelumnya.

Anganku melayang pada teman-teman yang jauh di pedalaman. Apakah juga akan ada kemeriahan disana? Disini gedung gereja yang megah diberi hiasan gubuk sederhana untuk menggambarkan kemiskinan Yesus ketika lahir. Sedangkan gereja yang kulihat di pedalaman mirip dengan gubuk yang merupakan hiasan disini. Hiasan apa yang akan mereka pasang dalam gereja disana? Apakah mereka juga akan memasang gubuk kecil sebagai penggambaran tempat Yesus lahir jaman dulu kala? Dalam beberapa gereja yang kulihat tidak ada satu pun yang memasang hiasan sebagai tanda perayaan Natal. Semua biasa saja. Apakah dengan demikian mereka tidak merayakan Natal?

Di kota besar Natal identik dengan gua, gubuk atau rumah sederhana. Orang bangga bila bisa menyulap gereja yang megah menjadi gua atau gubuk sederhana. Tidak jarang untuk semua itu mereka mengeluarkan dana jutaan rupiah. Setelah masa Natal berlalu semua akan menjadi sampah. Bagaimana dengan saudaraku di pedalaman? Mereka tentu tidak perlu mengeluarkan dana sedikit pun juga untuk mengubah gereja mereka. Mereka selalu membayangkan memiliki gedung gereja yang lebih layak daripada gereja yang ada saat ini. Apakah bila gereja mereka sudah megah maka mereka juga akan membuat gubuk atau gua di dalamnya saat Natal nanti? Lalu buat apa mereka membangun gedung yang bagus?

Di pedalaman imam sangat kurang. Seorang tokoh umat mengatakan bahwa imam hanya datang pada saat Natal, Paskah atau ada orang yang membutuhkan untuk perkawinan dan baptis. Jangan diharap imam datang tepat pada tanggal 25 Desember. Perayaan Natal bisa dilakukan bulan Januari bahkan sampai pertengahan Januari. 25 Desember hanya dirayakan dalam bentuk ibadat saja. Namun hampir semua umat datang dan bersuka cita meski tidak ada misa. Betapa sederhananya mereka. Tidak banyak tuntutan. Semua dijalani dengan suka cita. Mensyukuri segala yang ada dan apa yang terjadi. Inilah Natal yang sesungguhnya.

Sering kali aku mendengar orang mengeluh tentang suasana gereja yang panas sebab tidak pakai AC. Imam berkotbah tidak bagus. Liturgi membosankan dan sebagainya. Tidak ada rasa syukur bahwa dia masih bisa mengikuti misa dalam gereja yang megah. Masih ada imam yang mempersembahkan misa. Dapat merayakan Natal pada tanggal 24 malam atau 25 dan sebagainya. Tidak ada rasa syukur. Bagaimana Maria ketika menjelang melahirkan? Tidak menemukan tempat yang layak. Tidak ada orang yang menolong. Tidak ada segala sesuatu yang layak untuk kelahiran. Apakah dia bersungut sungut dan menggerutu? Ataukah dia bersyukur karena menemukan tempat yang sederhana untuk sekedar merebahkan tubuhnya yang akan melahirkan?

Pada Natal orang mengubah gedung gereja menjadi kadang. Apakah cukup mengubah gedung? Bukankah yang harus diubah adalah suasana hati? Hati yang penuh syukur atas segala yang ada. Atas situasi hidup yang kadang pahit dan tidak dikehendaki. Kita bisa belajar dari saudara kita yang ada di pedalaman. Mereka merayakan Natal dalam kandang yang sepi dan jauh dari kemegahan. Tidak ada liturgi yang hebat. Tidak ada imam yang merayakan misa. Namun semua dilakukan dengan penuh syukur. Dalam hati yang penuh syukur itulah ada kegembiraan sejati.

Senin, 23 November 2009

DUA RAJA

Pertemuan Pilatus dan Yesus merupakan pertemuan dua raja. Pilatus mewakili kerajaan dunia sedangkan Yesus mewakili kerajaan surga. Pada awalnya Pilatus mempertanyakan ke-raja-an Yesus. Tapi akhirnya Pilatus secara tidak langsung mengakui ke-raja-an Yesus. "Jadi Engkau adalah raja?” Pertanyaan Pilatus tidak dijawab “ya” atau “tidak” oleh Yesus melainkan Dia langsung menunjukkan tugas dan perutusannya datang ke dunia. Perutusan dan tujuan ke-raja-anNya yang berbeda dengan tujuan ke-raja-an duniawi. Secara tidak langsung Yesus hendak membedakan kerajaan duniawi dan kerajaan surgawi yang dipimpinNya.

Banyak orang ingin menjadi raja atau penguasa. Dengan menjadi raja maka orang akan mempunyai kekuasaan yang besar. Akan menikmati aneka fasilitas dan kenikmatan. Akan menikmati penghormatan dan pelayanan yang lebih dibandingkan orang biasa. Tidak jarang ketika jalanan begitu macet tiba-tiba terdengar raungan sirine dan semua kendaraan harus menepi untuk memberi jalan penguasa yang lewat. Penguasa dapat menentukan siapa yang salah dan benar seturut keinginan dirinya. Bahkan sejarah pun dapat diputar balikkan. Sejarah serangan umum 1 Maret 1949 selama bertahun-tahun diakui sebagai rancangan Soeharto. Padahal ada desas desus bahwa itu adalah buah pikiran Sultan Hamengkubowono IX.

Namun untuk menjadi penguasa tidaklah mudah. Memang ada orang yang ditakdirkan menjadi penguasa. Tapi ada orang yang harus berjuang untuk menjadi penguasa. Tidak jarang perjuangan itu menggunakan kekerasan dan kebohongan atau tindakan licik lainnya. Para anggota dewan perwakilan rakyat harus berjuang keras agar dapat duduk di kursi dewan. Aneka trik digunakan untuk mengalahkan pesaing. Jutaan rupiah dikeluarkan untuk membayar atau membeli suara. Oleh karena kekuasan diperoleh dengan uang dan kekerasan, maka ketika menjadi penguasa dia akan menjadikan uang sebagai tujuan dan mempertahankannya dengan kekerasan.

Budaya dunia yang seperti itu berusaha dilawan oleh Yesus dengan membangun budaya baru. Dia mengajarkan pemimpin adalah pelayan. Bila orang ingin menjadi tinggi maka dia harus merendahkan diri. Pemimpin adalah pembawa terang dan kebenaran. Maka sejak awal Yesus menolak godaan iblis yang akan memberiNya kekuasaan, kemewahan, dan kehebatan. Bila orang mengejar semua itu maka dia akan tega menindas sesamanya dan berlaku keras dan keji. Adam dan Hawa pun jatuh akibat tidak sanggup untuk menahan godaan untuk memiliki kekuasaan yang lebih lagi.

Budaya surgawi yang dibangun Yesus bukan hanya terwujud di surga setelah kita mati, melainkan dimulai ketika kita masih hidup di masyarakat saat ini. Kita pun bisa menjadi raja. Seorang ayah adalah raja yang mempunyai kekuasaan di dalam rumah. Seorang ibu pun dapat mempunyai kuasa di rumah. Seorang anak penguasa diantara teman-temannya dan sebagainya. Tapi kita sering lupa peran kita sebagai penguasa. Kita membayangkan penguasa adalah kalau menjadi ketua RT, Walikota atau presiden. Ketidaksadaran ini membuat kita bersikap sesuka hati kita.

Budaya surgawi yang ditawarkan oleh Yesus tentang penguasa sering dilupakan. Bahkan ada pejabat Gereja yang bersemangat sebagai raja duniawi daripada surgawi. Dia lebih senang menunjukkan tentang kekuasaan yang dimiliki daripada melayani. Seorang imam bila diminta untuk misa di rumah umat harus dijemput mobil. Setiap Kamis Putih semua diingatkan akan pelayanan dengan pencucian kaki. Tapi setelah misa semua dilupakan, sebab upacara itu dianggap hanya upacara bukan pelajaran untuk diterapkan dalam hidup. Masih banyak lagi contoh semangat kekuasaan duniawi yang mendasari sikap pemimpin dalam tubuh Gereja. Bagaimana dengan kita sendiri? Apakah kita sudah mendasari sikap kita dengan semangat penguasa surgawi? Sejauh mana kita punya semangat untuk membangun sebuah budaya baru yaitu budaya surgawi? Atau kita larut dalam jaman dan menikmati sebagai penguasa duniawi?

Jumat, 20 November 2009

XIII: THE CONSPIRACY


Sebuah mini seri NBC TV berjudul “XIII: The Conspiracy” yang ditayangkan di AS pada 8-15 Februari 2009 mengkisahkan sebuah konspirasi yang ruwet di dalam dunia politik. Cerita diawali dengan pembunuhan kakak presiden AS Sally Sheridan oleh seorang sniper pada saat dia menjadi pembicara dalam perayaan Hari Veteran. Tapi pembunuh itu tidak tertangkap. Tiga bulan kemudian ada pria, diperankan oleh Stephen Dorff, yang terluka parah, sehingga kehilangan daya ingatannya diperankan. Dia mempunyai tato angka XIII di lehernya. Dia berusaha mencari jatidirinya seperti dalam trilogi film Jason Bourne. Pencarian ini membawanya masuk dalam sebuah konspirasi politik tingkat tinggi yang berusaha menjatuhkan presiden Sally Sheridan, sebab dia berusaha mengurangi anggaran untuk senjata. Konspirasi ini didalangi oleh wakil presiden dan melibatkan menteri, agen rahasia dan pengusaha senjata. Semua orang yang terlibat dalam konspirasi ini di tato lehernya dengan angka romawi. Pemimpin tertinggi diberi angka I dan terus berurutan sampai petugas lapangan. Hanya kelompok elit yang mengetahui siapa anggota konspirasi ini, sedang yang lain tidak saling mengenal kecuali tato angka di leher. Dasar terbentuk konspirasi itu adalah uang. Bila terjadi pengurangan senjata maka para tokoh itu akan kehilangan penghasilan yang besar.

Mengikuti hingar bingar perseteruan antara KPK melawan Polisi yang gencar dimuat media membuat banyak orang menjadi analisis politik. Mulai dari rakyat sederhana sampai tokoh masyarakat hampir setiap hari membicarakan kasus cicak melawan buaya ini, entah dalam konteks bergurau atau serius. Bagi rakyat sederhana kasus ini membuat kepala pusing dan gregetan. Ada juga yang menikmati seperti nonton sebuah sinetron yang sulit ditebak akhirnya. Setiap saat bisa muncul tokoh baru yang terkait atau dikaitkan. Bermula dari tuduhan pembunuhan oleh Antasari lalu merembet ke kasus dugaan korupsi Bibit-Chandra. Muncul nama Anggodo yang dituduh sebagai makelar kasus di pengadilan. Sepertinya satu kasus belum puas dibicarakan sudah muncul kasus baru yang lebih seru dan membuat mata terbelalak bertanya-tanya.

Melihat apa yang terjadi saat ini hampir sama dengan nonton film XIII: The Conspiracy. Ruwet dan ada tokoh baru yang muncul. Seperti melihat jaring laba-laba yang centang perentang tapi saling terkait satu dengan yang lainnya. Orang hanya berharap dan bertanya-tanya siapakah sebenarnya dalang semua ini. Siapa orang yang di lehernya ada tatto I? Tapi mencari orang dengan tato I bukanlah hal yang mudah seperti di film. Siapa jagoannya pun sulit ditentukan tidak seperti di film. Hal ini membuat penasaran.

Banyak orang yakin bahwa dibalik semua ini pasti ada dalangnya. Dalam film XIII: The Conspiracy ujung-ujungnya adalah uang. Apakah yang terjadi saat ini juga berujung pada keinginan seseorang untuk mendapatkan kekayaan atau jabatan? Uang dalam banyak kasus memang menjadi ujung dan sumber dari kasus itu. Perang-perang besar yang pernah terjadi juga bersumber dari keinginan untuk mendapatkan kekayaan dengan ditutupi oleh nasionalisme atau alasan yang tampak lebih luhur lainnya.

Uang memang penting untuk menunjang kehidupan, tapi akan menjadi berbahaya bila orang mulai serakah atau menggunakan uang demi mencapai keinginannya. Tidak jarang orang dibeli agar mau mendukung seseorang dalam mencapai tujuannya. Menjelang pilkada atau pemilu banyak uang beredar dalam masyarakat. Memang hal ini tidak diakui tapi di lapangan banyak orang mendapatkan uang demi memilih partai atau orang tertentu. Maka orang yang terpilih menjadi pejabat atau wakil rakyat belum tentu karena dia dicintai atau dipercaya oleh rakyat melainkan dapat juga karena dia mempunyai banyak uang untuk membeli suara rakyat.

Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang kita pun melihat pelaku konspirasi demi uang. Bahkan kita pun dapat menjadi aktor penggunaan uang secara salah atau serakah sehingga tega menidas sesama. Banyak keluarga pecah akibat uang. Bahkan ada anak tega menindas orang tuanya demi uang. St. Paulus telah mengingatkan kita bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang (1Tim 6:10). Kecintaan pada uang membuat orang serakah dan gelap mata sehingga tega melakukan hal-hal yang melawan norma, adat, hukum dan aneka tindakan memalukan lainnya. Oleh karena itu kita perlu mengambil sikap yang tegas dalam memegang dan mencari uang. Memiliki uang boleh saja tapi jangan mencintainya secara berlebihan sehingga dapat mendorong kita melakukan kejahatan-kejahatan seperti dalam film “XIII: The Conspiracy” atau juga mungkin dalam kasus cicak melawan buaya?

Rabu, 18 November 2009

21-12-2012


Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan soal hari kiamat yang akan terjadi pada 21-12-2012. Salah satu pemicunya adalah film "2012" yang dibintangi oleh John Cusack. Film yang ditayangkan pertama kali pada 11 November lalu telah menjadi box office yang hanya dalam waktu singkat sudah meraup $ 230.4 juta. Sebuah angka yang sangat fantastis. Jauh melebihi film "This Is It" nya Michael Jackson yang hanya meraup $ 5.1 juta. USA Today, sebuah koran di AS menulis tentang film itu “The movie is an undeniable visual spectacle, but just as unequivocally a cheesy, ridiculous story.”

Di toko buku pun saya melihat beberapa buku yang membahas hal yang sama. Saya membeli yang berjudul “Kiamat 2012” karangan Lawrence E Joseph. Baik film 2012 atau tulisan Lawrence meramal kiamat berdasarkan kepercayaan bangsa Maya, satu suku Indian kuno. Menurut kepercayaan bangsa Maya, saat ini adalah jaman keempat yang dimulai pada 13-8-3114 SM yang dianggap sebagai hari pertama atau 0.0.0.0.1 dan akan berakhir pada 21-12-2012 atau 13.0.0.0.0. Setelah itu bumi akan memasuki jaman baru. Menurut perhitungan astronomi mereka tanggal 21-12-2012 jam 11.11 malam matahari tepat berada di lubang atau pusat Bima Sakti, yang dianggap sebagai rahim dari planet-planet, sehingga menggangu pancaran energi ke bumi. Hal ini merupakan kejadian yang akan berulang setiap 2600 tahun sekali. Ganguan pancaran energi dari pusat Bima Sakti itu akan mengakibatkan guncangan di bumi.

Pada tahun 1976 juga sudah dibicarakan kiamat yang akan terjadi pada 2012. Pada tahun itu ada buku berjudul “The Twelfth Planet” karangan Zecharian Sitchin, seorang kelahiran Azerbaijan dan besar di Palestina. Setelah menyelesaikan studi di London dia kini tinggal di New York. Dia menterjemahkan tulisan yang telah berumur 6000 tahun dari bangsa Sumeria, satu bangsa kuno yang tinggal di sekitar Irak. Menurut tulisan itu pada awalnya bumi didatangi oleh alien yang disebut Annunaki dan berasal dari planet Nibiru. Annunaki menciptakan manusia untuk menjadi budaknya dengan memodifikasi gen primata. Annunaki kemudian kembali ke planet Nibiru. Pada tahun 2012 planet Nibiru akan memasuki orbit bumi yang menyebabkan terganggunya gravitasi bumi sehingga akan terjadi guncangan dan kehancuran bumi.

Apakah kiamat itu menurut pandangan agama? Dalam agama Islam dan Kristen gambaran kiamat hampir sama dimana bumi hancur lebur akibat terjadinya gempa bumi dasyat, jatuhnya bintang-bintang, matahari yang menjadi gelap dan musnahnya mahluk hidup. Sebelumnya akan terjadi penyesatan-penyesatan dan penderitaan bagi manusia. Setelah terjadinya semua itu akan ada pemisahan antara orang baik dan jahat (Mat 13:49). Manusia akan memasuki jaman baru (Mat 24:8). Kiamat adalah kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Bangsa Maya pun mempunyai kepercayaan yang sama. Kiamat merupakan awal dari suatu jaman baru.

Kapan kiamat itu akan terjadi? Sudah berulang kali orang meramalkan akan terjadinya kiamat. Sebelum masuk tahun 2000 juga banyak orang meramalkan bahwa kiamat akan terjadi pada tahun 2000. Orang ribut Y2K bug. Tapi ternyata terjadi apa-apa. Menurut kyai yang mengajar saya waktu kecil dalam pandangan agama Islam kiamat akan terjadi pada hari Jumat. Tapi tidak ada yang tahu kapan persisnya. Menurut iman Katolik, hanya Bapa yang tahu kapan hari itu terjadi (Mat 24:36). Kita hanya diminta untuk berjaga-jaga dan waspada. Teguh dalam iman dan bertahan dalam penderitaan.

Bagaimana bila 21-12-2012 yang kebetulan juga hari Jumat akan kiamat? Bagi saya sungguh menyenangkan. Seperti ketika sekolah dulu diberitahu oleh guru kapan ulangan akan diadakan. Saya akan mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Tapi bagi saya sangat memprihatinkan bila orang percaya, sebab kematian dan kiamat adalah misteri Allah. Itu adalah hak Allah yang tidak bisa diambil alih oleh manusia. Allah hanya meminta kita untuk senantiasa berjaga dan waspada sebab hal itu terjadi seperti pencuri di waktu malam. “Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar.” (Mat 24:43). Tapi bagi saya ada baiknya juga orang gencar membicarakan 2012 sebab dengan demikian semakin banyak orang diingatkan akan akhir hidupnya entah oleh kematian atau pun kiamat, sehingga mereka mau bertobat.

Minggu, 15 November 2009

BUMI DAN LANGIT

“Kami sudah muak dengan semua penindasan ini!” kata seorang gadis kurus yang duduk tepat di depanku. Kaosnya bertuliskan kata-kata lucu dan sudah tampak kumal. Koas yang terlalu besar bagi tubuhnya yang kurus.
“Upah tidak naik tapi perlakuan semakin kasar.” Timpal gadis lain yang duduk tidak jauh dari pintu sambil mengusap keringat yang meleleh di dahinya. Udara panas membekap kami. Ruang ukuran 3X3 m ini tidak cukup bagi sekian banyak orang dengan hati yang dibakar marah. Kami duduk melingkar mengisi setiap jengkal ruang yang tersedia. Berdempet. Tubuh kami menyentuh tubuh yang lain menambah rasa panas.

“Apakah kalian pernah menemui pimpinan untuk membicarakan ini?” tanyaku
“Sudah!” jawab gadis yang rambutnya dipotong pendek.
“Dua teman kami yang mempertanyakan kenaikan UMR akhirnya di PHK dengan alasan tidak jelas.” Kata gadis yang lain.
“Saat ini memang situasi dan kondisi ekonomi sedang sulit.” Kataku berusaha mendinginkan suasana. “Kalian semua tahu bahwa kita masuk dalam krisis global.”
“Aku rasa itu tidak bisa dijadikan alasan, sebab pabrik kami masih terus ekspor.” Bantah gadis yang memakai kaos bertulisan lucu. “Kami bukan menuntut UMR tahun ini, tapi cukuplah bagi kami bila ada sedikit kenaikan upah.”
“Upah mereka masih jauh dibawah UMR,” kata pemuda yang duduk disebelahku. Dia mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. Aku mengerutkan kening.
“Benar,” kata gadis berkaos itu mencoba menyakinkan aku. “Kami ini hanya mendapat Rp 600.000 padahal UMR 2009 kan Rp 948.500. Apakah salah bila kami meminta tambahan upah?”
“Berapa yang kalian tuntut?” tanyaku
“Kami menuntut upah lembur, sebab sering kami harus lembur tapi tidak mendapat upah lembur. Katanya uang sebesar itu sudah termasuk semuanya.”
“Dalam situasi krisis seperti ini dimana biaya hidup menjadi sangat tinggi, kami semakin tidak mampu hidup dengan upah sebesar itu.” kata seorang perempuan setengah baya. Dia adalah orang yang sudah lama bekerja di perusahaan itu. “Kami ini sudah menghemat sedemikian rupa tapi tetap saja tidak cukup.” Aku menghela nafas trenyuh. Kulihat wajah-wajah kusam disekelilingku. Mata-mata putus asa menatapku penuh harap. Aku gelisah.

“Lalu apa yang bisa aku lakukan?” tanyaku. Kutatap satu demi satu wajah yang duduk melingkar. Wajah yang kuyu dan putus asa. Mata-mata memancarkan rasa kecewa. Gelora kemarahan yang mengiringi setiap kata yang terlontar dari mulut-mulut kering.
Sampean menjadi mediator kami.” Kata salah satu dari mereka setelah sesaat terdiam. Dengung kata setuju berkeliling dari satu mulut ke mulut yang lain.
“Kami sudah aksi tapi selalu gagal bahkan dipreser oleh aparat,” seorang pemuda yang duduk di sebelahku menjelaskan. Dia sudah agak lama membantu kawan buruh perempuan yang bekerja di pabrik ini. “Kawan-kawan sudah capek dan ketakutan sebab mereka dipreser sampai tempat kos-kosan.”
“Bagaimana dengan jalur hukum?”
“Sistem hukum perburuhan tidak memihak buruh!” kata seorang gadis yang duduk tidak jauh dariku. “Aturan hukum saat ini buruh harus membela dirinya sendiri. Bagaimana kami yang tidak belajar hukum harus membela diri kami dan berhadapan dengan pakar hukum yang mewakili pengusaha?”
“Masuk ruang pengadilan saja kami sudah takut.” Sambung yang lain. “Apalagi harus berhadapan dengan para pakar hukum. Jelaslah kami akan kalah!” katanya berapi-api. Beberapa gadis tertawa masam.

Suara-suara lirih memenuhi ruang yang pengap. Aku meneguk sedikit air dari gelas air kemasan. Rasa sejuk menjalar di tenggorokanku. Dua jam lalu aku masih duduk di tempat yang nyaman. Menikmati makanan enak di ruang ber AC yang sejuk. Gelak tawa mengiringi satu demi satu makanan mahal masuk ke dalam mulutku. Kini aku duduk berdesakan di rumah salah satu kawan buruh yang gelisah sebab beberapa teman mereka di PHK akibat menuntut kenaikan upah. Sebuah loncatan dari surga yang penuh kenyamanan ke dunia yang penuh perjuangan dan penderitaan.

“Mengapa aku harus menjadi mediator?” tanyaku.
Sampean pasti kenal dengan pemilik perusahaan ini.” Kata pemuda di sebelahku sambil menghembuskan asap rokok. Kabut asap bergulung-gulung memenuhi ruang.
“Siapa?”
“Pak Thomas Jayakusuma.” Aku menatap ke arah gadis yang menyebutkan nama itu.
“Thomas Jayakusuma?” aku mengulang nama itu. Ah tidak mungkin, kataku dalam hati.
“Benar.” Sahut salah satu gadis ketika melihatku meragukan nama yang disebutnya. “Sampean mengenalnya bukan?” Aku menganggukkan kepala lemah. Sebersit rasa kecewa menyeruak di dada. Di kota ini berapa orang bernama Thomas Jayakusuma yang mempunyai perusahaan sepatu?

Seraut wajah melintas di mataku. Seorang pria setengah baya. Penampilannya rapi. Murah senyum dan sabar. Bila berbicara selalu memilih kata-kata yang sopan dan diucapkan dengan nada yang lembut. Belum pernah aku mendengarnya berkata keras. Ada rasa sesak mengganjal di dada. Aku sering bertemu dengannya pada hari minggu di gereja. Dia aktif dalam berbagai organisasi Gereja dan banyak menyumbangkan dananya untuk aneka keperluan Gereja. Aku juga mengenal keluarganya dengan baik. Beberapa kali mereka mengajakku makan di sebuah rumah makan yang cukup besar dan mahal. Pernah sekali aku dan seorang teman diajak keluarga ini makan. Tanpa sengaja aku melihat bon tagihan. Mataku terbelalak melihat deretan angka yang tertera. Suatu jumlah yang mendekati dua kali lipat UMR.

Aku menarik nafas dalam. Kuteguk lagi sedikit air dari gelas air kemasan untuk membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba menjadi kering. Bagaimana mungkin orang yang kuanggap baik selama ini ternyata kini aku mendengar cerita yang jauh berbeda? Kawan-kawan buruh memintaku menemuinya untuk menjadi mediator. Aku tidak mampu membayangkan duduk berhadapan dalam posisis berseberangan. Kupandang langit-langit tempat kost yang buram oleh asap rokok yang mengepul dari mulut beberapa teman.

Suara para kawan buruh berdengung bagai lebah yang terbang mengelilingi kepalaku. Mereka berbicara satu dengan yang lain. Tidak ada satu perkataan pun yang masuk dalam otakku yang sedang bergulat. Udara rumah kost menjadi semakin panas. Kuteguk sisa air di gelas air kemasan sampai tetes terakhir. Tenggorokanku masih terasa sangat kering.

Minggu, 08 November 2009

ANTARA YERIKHO DAN YERUSALEM

Dalam beberapa renungan yang pernah saya baca tentang kisah orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37) selalu menekankan tentang perbedaan antara dua orang lewat yang membiarkan kurban perampokan dengan orang yang menolong. Hampir semua menyalahkan orang Lewi dan imam sebaliknya memuji orang Samaria. Akibat terpusat pada ketiga orang tersebut maka melupakan sumber masalahnya yaitu perampoknya. Inilah dimana orang jahat tidak dibahas panjang lebar. Dia seolah hanya pemain figuran yang muncul sebentar lalu menghilang dan dilupakan, sedangkan aktor utamannya yaitu Lewi, imam dan orang Samaria yang diulas panjang lebar.

Orang juga tidak mempersoalkan kurban perampokan. Bila dia dirampok kemungkinan besar dia sedang membawa barang atau uang yang cukup banyak. Rasanya tidak mungkin orang miskin dirampok habis-habisan seperti itu. Apakah dia orang baik atau jahat? Apakah dia seorang pemungut cukai atau orang murah hati? Mungkin saja orang Lewi dan imam tidak mau menolong sebab mereka tahu bahwa orang itu adalah seorang koruptor dan penindas yang kejam dan sangat mereka benci. Maka mereka membiarkannya saja. Biar tahu rasa. Atau dalam “bahasa” masyarakat disebut azab yang harus ditanggung akibat kejahatan selama hidupnya. Apakah bila yang dirampok adalah donatur besar Bait Allah maka kedua orang itu akan membiarkannya? Lewi adalah kelompok dalam struktur jabatan di Bait Allah yang salah satu tugasnya adalah mengumpulkan perpuluhan. Tentu dia tidak ingin kehilangan donatur besar. Demikian pula imam yang hidupnya juga bergantung atas persembahan.

“Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Yesus membuka pertanyaan mengenai ketiga orang yang lewat. Dia tidak mempersoalkan perampok sebab perampok itu sudah jelas posisinya. Orang yang berbuat sewenang-wenang dan kejam. Orang bila menghargai orang lain sebagai sesama maka dia tidak akan memperlakukan orang lain dengan sewenang-wenang dan kejam. Maka tinggal 3 orang yang mengetahui adanya kurban. Akhirnya para murid menjawab bahwa sesama adalah orang yang menolong orang yang sedang menderita. Mendengar itu maka Yesus menjawab, "Pergilah, dan perbuatlah demikian!” Yesus sekalipun tidak menyalahkan orang Lewi dan imam.

Dalam kehidupan sehari-hari gambaran orang Lewi dan imam sering muncul. Orang tidak menolong sesama bukannya mereka tidak peduli melainkan ada alasan lainnya. Ada orang menolong hanya kepada orang yang beragama sama, bersuku sama dan sebagainya. Disini orang dibedakan dengan kriteria tertentu. Padahal semua manusia adalah sama siapapun dia adanya. Selain itu orang menolong karena ada kepentingan tertentu. Pernah aku ditegur keras oleh seorang pemimpim umat sebab aku mengkritiknya yang bersedia ramai-ramai memberkati artis yang menikah. Apakah bila yang menikah orang sederhana maka mereka semua mau datang bersama? Bagiku kedatangan mereka disebabkan adanya kepentingan lain diluar liturgi.

Dalam menolong sesama maka yang menjadi pusat perhatian adalah kebutuhan sesama. Bukan kebutuhan dan kepentingan kita. Sikap menghindar yang ditunjukkan oleh Lewi dan imam dapat dihindari bila pusat perhatiannya pada kurban. Bukan pada dirinya sendiri. Motivasi yang mendasari usaha menolong adalah keselamatan orang yang sedang menderita bukan kepentingan diri sendiri. Selama kita masih memusatkan perhatian bagi kepentingan diri kita sendiri maka kita akan memilih-milih bila akan menolong orang. Bahkan mungkin akan menghindari mereka yang membutuhkan pertolongan seperti Lewi dan imam dengan aneka alasan. Yesus mengingatkan bahwa bila menolong orang maka tidak boleh ada keinginan lain selain menolongnya. “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta. Dan engkau akan berbahagia, karena mereka tidak mempunyai apa-apa untuk membalasnya kepadamu.” (Luk 14:13-14)

Minggu, 01 November 2009

TAMU


Bila ada orang datang ke rumah maka saya membedakan mereka sebagai tamu atau teman main. Bila teman maka saya akan menemaninya berbicara dimana saja yang nyaman bagi kami. Entah di teras rumah, di tepi jalan sambil melihat orang lewat, di ruang tamu bahkan kadang di ruang tidur sambil tiduran. Bila mereka saya anggap tamu maka saya akan menemui di ruang tamu dan menjamu dengan minum atau makanan kecil bila ada. Pembedaan itu didasarkan pada keakraban, kebutuhan yang mendorongnya datang ke rumah, statusnya dan sebagainya. Bila dia adalah orang yang saya hormati maka saya akan memperlakukannya sebagai tamu. Saya akan memakai pakaian yang pantas, duduk di ruang tamu secara pantas, berbicara yang sopan dan mengetrapkan aneka etika yang pernah diajarkan orang tua.

Penghargaan terhadap tamu tergantung dari situasi dan kondisi setempat. Tergantung pada pemahaman diri kita akan arti tamu itu bagi diri sendiri. Bila saya bertamu ke rumah teman-teman di tepi rel kereta api, rumah pemulung dan sebagainya, maka mereka akan menerima saya dengan apa adanya. Tidak jarang mereka menerima saya sambil bertelanjang dada atau memakai pakaian ala kadarnya. Bukan mereka tidak menghormati saya tapi karena memang mereka tidak mempunyai pakaian yang layak atau mereka sudah melihat saya sebagai bagian dari mereka sehingga tidak perlu lagi adanya tata aturan yang ketat. Saya yakin kalau ada orang yang sangat dihormati datang maka mereka pun akan berusaha berpenampilan lain dan menjaga sikapnya.

“Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, -- dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1Kor 6:19). Tubuh kita adalah bangunan yang dibangun oleh Allah sendiri. Sebagai orang Katolik hampir setiap minggu kita menerima hosti yaitu roti yang kita imani sebagia tubuh Yesus. Dengan menerima hosti maka bangunan tubuh kita kedatangan tamu agung yaitu Tuhan sendiri yang datang dan bersatu dengan kita secara penuh. Bila tamu agung lain tidak menyatu dengan kita, namun Yesus bersatu secara penuh di dalam tubuh kita. Dia ada dalam diri kita dan bertahta dalam hati kita.

Kehadiran Yesus secara nyata dalam tubuh kita sering kurang kita sadari. Bahkan tidak jarang hosti hanya dianggap sebagai bagian dari perayaan ekaristi. Atau menjadi kewajiban sebagai orang Katolik untuk menerima hosti setiap mengikuti ekaristi. Oleh karena dianggap sebagai “sesuatu” yang otomatis bila mengikuti ekaristi, maka kurang dihayati maknanya. Kita kurang melihatnya sebagai sebuah anugerah dimana Allah rela menyatu dalam tubuh kita yang fana dan penuh dosa. Kita kurang melihatnya sebagai sesuatu yang mengagumkan dimana Tuhan sudi tinggal dalam rumah atau tubuh kita. Akibatnya kita kurang memposisikan diri secara benar.

Bila kita sadar bahwa ada tamu agung dalam diri kita maka kita ingin menghormatiNya. Kita akan mengubah sikap hidup kita. Kita akan berkata-kata dengan sopan kepada siapa saja. Kita tidak akan berperilaku yang tidak pantas. Kita akan berpikir, berkata dan bertindak yang terhormat karena rasa hormat kepada tamu yang ada dalam tubuh kita. Menerima hosti berarti kita menerima Yesus secara nyata dalam tubuh kita. Maka seharusnya kita menyatakan kesatuan itu dalam sikap hidup kita. “Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami.” (2Kor 4:10). St. Paulus membawa Yesus dalam dirinya dan menyatakan kesatuannya dengan Yesus dalam sikap hidupnya. Sikap hidup dan perkataannya menunjukkan Yesus yang bersikap dan berkata melalui dirinya.

Kesadaran akan adanya tamu agung dalam diri kita akan mengubah hidup kita. “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Gal 2:20)

Selasa, 27 Oktober 2009

SETELAH GEMPA


Seorang bapak renta duduk di dekat sebuah reruntuhan. Tubuhnya kurus dan kurang terawat. Rambutnya yang sudah memutih dan tipis menjadi atap wajahnya yang penuh keriput. Lengannya seperti batang pohon tua. Gelap dan kering. Menyangga sebungkus nasi. Perlahan namun mantap jemari tangan kanannya memasukan nasi dan sedikit lauk ke dalam mulut. Gigi yang tinggal beberapa dipaksa untuk menghancurkan setiap makanan yang hendak ditelannya. Dia menikmati setiap suap yang dikunyahnya.
“Kau dapat lauk apa?” tanya seseorang. Bapak itu menoleh sejenak. Di sisinya berdiri seorang perempuan yang tidak kalah rentanya. Perempuan itu lalu duduk di atas sebuah koran bekas. Berhimpitan dengan bapak itu.
“Tidak penting dapat lauk apa,” jawab lelaki tua itu sambil terus mengunyah. “Yang panting kita hari ini dapat makan. Tidak perlu mencari lagi.”
“Hem..” jawab perempuan itu. Mulutnya sudah penuh nasi. Mereka tidak peduli akan orang yang lalu lalang di sekitarnya. Seolah dunia berhenti pada setiap kunyahan.

Seleret sinar lampu blitz menerpa wajah sepasang orang renta itu. Mereka terkejut. Mulut mereka berhenti mengunyah. Mata mereka menatap sumber sinar itu. Beberapa meter dari tempat mereka duduk tampak seorang anak muda sedang jongkok. Di lehernya terkalung sebuah kamera dengan lensa panjang dan besar. Sebuah tas ransel besar menempel di punggungnya. Dia tersenyum ramah.

“Selamat siang,” sapanya ramah
“Siang..” jawab lelaki tua itu sambil berusaha menelan makanan yang tersisa di mulut.
“Boleh saya duduk disini?” tanya pemuda itu lagi
“Silakan nak,” jawab perempuan tua. Dia berusaha menyingkirkan beberapa sampah yang berserak di dekatnya duduk. Anak muda itu duduk. Melihat seonggok sisa nasi yang masih tersisa di bungkusnya. Nasi berwarna agak kemerahan karena tercampur sambal, sayur dan potongan daging ayam.

“Perkenalkan saya pak,” anak muda itu mengulurkan tangannya.
“Waduh tangan bapak kotor,” jawab lelaki itu agak malu. Ada beberapa sisa nasi dan sambal yang menempel di jemarinya.
“Tidak apa-apa pak,” kata pemuda itu. Dia menjabat jemari yang penuh sisa makanan. Lalu dia menjabat jemari tangan perempuan tua yang sama kotornya. “Saya Tio dari Jakarta.”
“Wah jauh sekali.”
“Ah tidak kok,”
“Sudah lama disini?”
“Belum baru beberapa hari sejak gempa terjadi.”
“O menolong kurban gempa?”
“Ya begitulah pak.” Jawab Tio. Sebersit nada bangga tersirat. Dia membolos kuliah untuk terlibat menjadi relawan membantu para kurban gempa yang menghancurkan kota dan beberapa desa yang ada di sekitar kota itu.
“Wah terima kasih sudah jauh-jauh kemari untuk membantu kurban disini.” kata bapak itu. Sinar kagum dan bangga memancar dari kedua bola matanya yang buram akibat katarak dan dimakan umur.
“Ah biasa saja pak,” jawab pemuda itu sambil tersenyum. Sebuah rasa bangga yang akan menyeruak dari wajahnya berusaha ditekan dalam hati yang terdalam. “Saya hanya ingin memberikan apa yang saya miliki kepada orang yang sedang menderita.”

Lelaki dan perempuan itu kembali menikmati nasi bungkus yang diterima dari posko bencana. Bagi banyak orang nasi dari posko adalah nasi darurat. Tapi bagi mereka berdua nasi itu sudah sangat mewah dan jarang mereka nikmati dalam hidup sehari-hari. Mereka menikmati setiap suap nasi yang masuk dalam mulut. Keringat menetes dari dahi yang keriput akibat pedasnya sambal yang diaduk dengan nasi.

“Rumah bapak dan ibu juga hancur?” tanya Tio berusaha membuka percakapan lagi. Kedua orang itu sejenak saling memandang. Hampir serentak mereka menggelengkan kepalanya perlahan. Tio memandang penuh heran.
“Syukurlah kalau begitu,” sambungnya. “Rumah bapak dan ibu di daerah mana?”
“Kami tidak punya rumah,” jawab bapak itu lirih. Terbesit sebuah senyum malu.
“Tidak punya rumah?”
“Ya,”
“Apa hancur terkena gempa?” Tio berusaha menegaskan.
“Kami memang sudah lama tidak punya rumah lagi,” jawab ibu itu. Matanya yang redup seperti lampu kehabisan minyak menatap Tio.
“Lalu,”
“Kami ini sudah lama jadi pengemis di kota ini.”
“Ah…”
“Rumah kami beberapa tahun lalu sudah dijual dan uangnya sudah habis untuk biaya berobat ibu,” kata bapak itu. Matanya mengarah ke arah perempuan tua yang ada di sisinya. Perempuan itu menundukkan kepala. Suapan terakhir yang hendak masuk mulutnya terhenti. Terlintas sebuah rumah sederhana yang terpaksa dijual untuk biaya operasi tumor di rahimnya.
“Kok tidak tinggal bersama anak?”
Bapak itu menghela nafas panjang. Dengan lemah mereka berdua menggelengkan kepala kembali. Mata mereka menatap jauh ke arah orang yang sibuk lalu lalang. “Satu anak tapi satu menantu.” Jawab bapak itu lirih. “Selama kami masih bisa hidup sendiri maka kami tidak ingin merepotkan anak,”

Sebuah kebisuan menggantung diantara mereka. Tio menatap mereka. Teringat akan papa dan mamanya di rumah. Selama ini dia kerap menentang mereka. Ke pergiannya ke tempat bencana ini juga karena dia merasa bosan di rumah. Dia ingin lari dari rumah dan kedua orang tuanya. Ada sebuah pedang menyayat hatinya. Dia bangkit berdiri.

“Saya ke tempat teman-teman dulu pak,” katanya dingin. Lelaki tua itu menatap sambil tersenyum ramah. Mereka berdua menganggukkan kepalanya. Tio merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan selembar uang seratus ribu.
“Ini bu untuk beli minum nanti.”
“Wah kok merepotkan,” sahut perempuan tua itu. Matanya berbinar. Sering dia melihat lembaran uang itu tapi baru beberapa kali dia mampu menyentuhnya. Kini uang itu ada dalam genggamannya. Dengan hati-hati uang itu diselipkan di sela harta bendanya yang ada dalam sebuah tas kain yang sudah usang. Tio berlalu. Dia memotret beberapa obyek lainnya.

“Mengapa kita sekarang kita menjadi orang yang penting ya bu?” tanya lelaki tua itu. Matanya menatap ke arah punggung Tio dan orang yang berlalu lalang.
“Maksud bapak?” tanya perempuan tua itu sambil menatap tas kainnya. Dia tidak ingin melepaskan pandangannya dari lembaran uang pemberian Tio.

Lelaki itu terdiam. Setiap hari dia berjalan dari rumah ke rumah atau berdiri di tepi jalan menanti uang receh yang jatuh di telapak tangannya yang penuh keriput. Selama ini banyak orang menjauh bahkan mengusirnya. Tapi gempa membuat semua berubah. Dia diberi makan, pakaian dan kemarin diajak untuk berobat. Semua gratis! Dia tidak perlu lagi mengemis untuk mendapatkan uang receh. Dia tidak takut kelaparan sebab di posko ada makanan. Saat ini tanpa bersusah payah pun dia dapat satu lembar uang seratus ribu. Diajak berbicara layaknya manusia terhormat. Difoto oleh seorang pemuda dari ibu kota. Suatu yang tidak pernah lagi dialami selama melewati tahun-tahun sebagai seorang pengemis. Semua kemewahan itu tidak akan diperolehnya bila tidak ada gempa yang merobohkan sebagian besar bangunan kota ini.

Minggu, 25 Oktober 2009

SUATU HARI MINGGU DI SUATU TEMPAT

Seorang pria gagah berdiri di balik mimbar. Pakaian kebesarannya menenggelamkan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi. Tapi pakaian itu adalah lambang statusnya yang harus dikenakan ketika dia ada di tempat itu. Dihadapannya dalam bangku-bangku kayu jati yang panjang-panjang, duduk rapi orang tanpa batasan umur. Ada empat lajur bangku panjang yang berderet ke memanjang dari pintu masuk sampai tempat pria itu berdiri. Hampir semua bangku terisi penuh.

“Saudara-saudara terkasih,” katanya lantang di depan pengeras suara, “Dalam Injil dikisahkan Yesus mengkritik orang Farisi yang mampu mengetahui tanda alam tapi tidak mampu mengetahui tanda jaman. Apakah tanda-tanda jaman itu?..”
Tiba-tiba dari deretan bangku tengah terdengar tulit..tulit…tulit… Suara itu tidak begitu keras tapi cukup bagi banyak orang untuk menolehkan kepala. Mata mereka bergerak mencari sumber suara itu. Daya pengaruh suara itu lebih kuat dari pada suara keras pria yang ada di belakang mimbar.
“Siapa sih yang tidak mematikan HP?” gerutu lirih seorang pemudi yang duduk beberapa baris di belakang pemilik HP yang bunyi. Wajah pemudi itu tampak cemberut. Sebuah rasa kesal tersirat.
“Udah biar aja. Kamu dengarkan aja kotbahnya.” Jawab seorang pemuda yang duduk di sebelahnya. Dia merapatkan tubuhnya ke arah tubuh si pemudi. Udara panas yang menggambang di ruang itu tidak menjadi penghalang untuk duduk berdempetan, meski masih ada sela yang cukup lebar dengan orang lain yang duduk sebangku dengannya.
“Sungguh menganggu!” sambung pemudi itu lirih dalam nada jengkel.
“Itulah tanda-tanda jaman.” Bisik pemuda itu. Dia menatap mesra kepada pemudi itu. “Orang sudah sangat tergantung dan melekat pada HP. Kamu juga kemana-mana selalu bawa HP.” Sebuah senyum menghiasi wajahnya.
“Boleh aja sih orang bawa HP tapi kan di pintu sudah ada tanda agar HP dimatikan.” Jawab pemudi itu. “Sebetulnya tanpa diberi tanda di pintu pun orang harusnya sudah tahu bahwa dia masuk ke gereja. Dia mau berdoa.”
“Ah tanda bisa saja ditempatkan dimana-mana, tapi apakah orang menangkap tanda?”
“Harusnya nangkap dong. Anak kecil aja tahu.”
“Masalah bukan orang tahu dan tidak tahu.”
“Lalu apa?” tanya pemudi itu. Matanya menatap tajam kepada pemuda yang wajahnya sangat dekat dengan wajahnya.
“Masalahnya orang udah terlekat itu saja.” Pemuda itu membetulkan letak duduknya. Tubuhnya agak dibungkukkan agar suaranya tidak menganggu seorang ibu yang duduk di sebelahnya. Mereka terdiam.

“Orang harus mampu menangkap tanda jaman.” Kata pria di balik mimbar dengan suara lantang. “Bila kita paham akan tanda jaman maka kita bisa memahami akan situasi jaman ini. Kita dapat mempersiapkan diri kita masing-masing. Tidak terjebak dengan tawaran jaman yang bisa menyesatkan dan melumpuhkan iman kita, melainkan kita bisa memperkuat diri kita sendiri dengan semakin beriman.”
“Tuh dengar,” bisik pemuda itu membuka percakapan kembali, “HP bisa merupakan sarana melumpuhkan iman kita.”
“Ah terlalu tinggi.” Jawab pemudi itu sinis. Bibirnya yang kecil mencibir.
“Eh itu romo yang bilang lho,”
“HP kalau digunakan dengan baik tidak akan melumpuhkan iman.” Sahut pemudi itu. “Bahkan bisa menjadi sarana menumbuhkan iman. Kamu kan sering aku kirimi ayat-ayat yang berguna bukan?” Pemuda itu menganggukkan kepalanya. “Semua itu tergantung dari pemakainya saja.” Lanjut pemudi itu penuh semangat berusaha menyaingi kotbah pria yang berdiri di balik mimbar.
“Tapi kalau kita jujur,” bisik pemuda itu, “Berapa persen sih HP itu untuk menumbuhkan iman dan berapa persen yang dapat menggoyahkan iman?”
“Ya kamu hitung sendiri saja,” sahut pemudi itu. “Apa kamu pernah menghitung?”
“Belum,” jawab pemuda itu sambil menggelengkan kepalanya.
“Kalau kamu sih pasti hanya untuk SMS cewek-cewek lain ya?” kata pemudi itu ketus.
“Ah kamu bisa aja,” jawab pemuda itu. “Cewek yang aku SMS hanya kamu kok,” rayu pemuda itu sambil tersenyum mesra.
“Omong kosong!”
“Sungguh!”
“Siapa cewek kemarin yang kirim SMS mesra?”
“Ah hanya cewek iseng kok,” sahut pemuda itu. Dia menatap ke arah pemudi. “Dia memang suka bergurau.”
“Bohong!”
“Sungguh.”
“Aku tidak percaya ada cewek mengirim SMS mesra hanya sekedar guyon.”
“Nanti kamu kukenalkan dengannya.”
“Nggak mau!” jawab pemudi itu dengan wajah cemberut.
“Dia teman SMA,” jawab pemuda itu lirih. Tubuhnya semakin dirapatkan ke pemudi di sebelahnya.
“Aku nggak tanya siapa dia, tapi pasti ada banyak SMS seperti itu di HPmu yang tidak aku ketahui.”
“Tidak! Percayalah.”
“Bohong!”
“Aku hanya kirim SMS mesra ke kamu seorang,” kata pemuda itu penuh rayu.
“Bagaimana aku tahu ketika kamu tidak bersamaku.”
“Percaya saja padaku.”
“Huh..”
“Aku hanya mencintai kamu,” kata pemuda itu mesra. Dia menggenggam jemari pemudi di sebelahnya. Pemudi itu segera menarik jemarinya dari genggaman pemuda itu.
“Dilihat orang tuh!” kata pemudi itu dengan wajah merona merah. Sikunya menyodok pinggang pemuda di sebelahnya yang tersenyum bahagia.

Seorang ibu yang duduk di sebelah pemuda itu batuk-batuk kecil. Dia menatap mereka dengan wajah yang masam. Kedua kaum muda itu pun menatap ke arah ibu itu. Sejenak mereka saling memandang. Pemuda itu tersenyum kecil ke arah ibu itu.

“Kalian sama mengganggunya dengan suara HP,” bisik ibu itu lirih sambil memalingkan wajahnya. Dia kembali mengarahkan wajahnya ke arah depan tempat pria itu masih berdiri di balik mimbar. Kedua anak muda itu hanya saling menatap.

“Saudara-saudara terkasih,” kata pria dibalik mimbar lantang, “Memang kita tidak akan mampu melawan segala perkembangan jaman. Atau kita menolak segala sarana tehnologi yang ada saat ini. Kita akan menjadi orang terkucil dari dunia. Kita akan menjadi orang aneh di tengah masyarakat. Tapi kita dapat menggunakan segala sarana tehnologi untuk keselamatan dan kesejahteraan bersama. Amin.” Pria dibalik mimbar menyudahi kotbahnya. Dia lalu berjalan menuju meja besar yang berada di tengah.

Deretan manusia yang duduk di bangku serentak berdiri ketika pria di balik meja besar mengajak mereka untuk berdiri. Kedua anak muda itu pun turut berdiri seperti yang lain. Semua orang yang datang ke tempat ini mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memuji dan memuliakan Tuhan pada hari Tuhan. Tapi apakah tujuan itu terwujud?

Rabu, 21 Oktober 2009

KECOAK DI KAMAR MANDI


Seekor kecoak berlarian di kamar mandi. Sebentar berhenti lalu bergerak lagi dengan gesitnya. Menyusup ke lubang pembuangan air dan menghilang. Beberapa saat lagi kepalanya yang kecil dengan sungut-sungutnya muncul dari lubang. Seakan hendak memastikan apakah tempat itu aman baginya atau tidak. Dia berlarian kembali kian kemari. Baginya ruang kamar mandi yang hanya berukur 2X3 meter persegi adalah sebuah dunia yang luas. Dunia yang memberinya kehidupan. Tempat mencari makan. Tempatnya berkembang biak sampai kematian menjemputnya.

Bagi manusia kamar mandi adalah bagian kecil dari bangunan yang lebih besar yaitu rumahnya. Sebuah rumah sebesar apapun adalah bagian kecil dari sebuah kota. Sebuah kota sebesar apapun adalah bagian kecil dari seluruh dunia. Bumi yang kita huni adalah bagian kecil alam semesta. Keluasan bumi tidak akan dipahami oleh kecoak yang hidup dalam ruang terbatas di kamar mandi. Kecoak ini pun tidak mau keluar dari kamar mandi sebab sudah merasa nyaman dan merasa bahwa ruang itu sangat luas. Membutuhkan beberapa menit untuk berkeliling.

Bagi Allah dunia adalah tempat yang sempit, sesempit kamar mandi bagi manusia. “Beginilah firman TUHAN: Langit adalah takhta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku; rumah apakah yang akan kamu dirikan bagi-Ku, dan tempat apakah yang akan menjadi perhentian-Ku?” (Yes 66:1). Allan Lightman dalam bukunya yang berjudul “Mimpi-Mimpi Einstein” membagi dunia menjadi dua yaitu mekanis dan perasaan. Dunia mekanis itu tetap dan kaku. Satu jam adalah 60 menit. Tapi dunia perasaan itu relatif. Satu jam bagi orang yang berdekatakan dengan musuhnya adalah waktu yang sangat lama, tapi bagi sepasang kekasih adalah waktu yang sangat pendek. Padahal sama-sama 60 menit. Suatu benda dalam pemahaman mekanis adalah tetap besar dan beratnya dimana pun juga benda itu diletakkan. Tapi dalam pandangan manusia bisa menjadi lebih kecil atau besar tergantung darimana dia melihatnya. Bola tenis akan tampak paling besar bila diletakkan diantara sejumlah kelereng. Tapi dia akan menjadi paling kecil bila diletakkan diantara bola basket. Padahal bola tenis secara mekanis adalah tetap bola tenis.

Dunia adalah relatif. Kerelatifan ini bukan hanya terjadi pada benda tapi pada semua hal. Sering orang merasa bahwa idenya paling hebat, apa yang dimiliki paling banyak dan sebagainya. Hal ini disebabkan dia tidak melihat keluar dari dirinya atau dunianya terbatas seperti kecoak di dalam kamar mandi. Dia hanya melihat sekitarnya bahkan dirinya sendiri namun sudah merasa melihat seluruh dunia. Ketika tinggal di sebuah negara asing, saya sering ditanya oleh teman dari negara itu dengan pertanyaan yang sama dan menurut saya menjengkelkan. Bila melihat sesuatu mereka bertanya apakah ini ada di Indonesia? Mereka bertanya sebab mereka hanya tahu negaranya dan belum pernah ke Indonesia. Pandangan mereka seperti kecoak di kamar mandi. Mereka merasa hebat seperti bola tenis diantara kelereng.

Seorang ketua RW dilihat sebagai orang penting oleh warga RWnya tapi dia dilihat tidak penting bila hadir dalam pertemuan para camat. Dengan memahami kerelatifan maka kita menjadi sadar bahwa sebetulnya apa yang ada pada kita, baik jabatan, status sosial, kekayaan, ide dan sebagainya adalah relatif. Memang jabatan, kekayaan dan sebagainya merupakan mekanis yaitu yang tetap. Sebagai ketua RW memang orang itu adalah ketua RW dengan tugas dan tanggungjawab tertentu. Jabatan ketua RW adalah mekanis. Tetap dan ada aturannya. Tapi di dunia ini yang sering menjadi ukuran adalah bukan sistem mekanis melainkan perasaan. Kesadaran akan kerelatifan membuat kita rendah hati, sebab apa yang ada pada kita bukanlah sesuatu yang mutlak. Apa yang hebat menurut kita ternyata dilihat sederhana oleh orang lain. Kesadaran ini akan membuat kita berani terbuka terhadap apa saja yang ada di luar diri kita dan menerimanya dengan senang hati. Tidak menutup diri dan merasa diri paling dalam segala hal. Bila kita tetap mengukuhi bahwa kitalah yang paling dalam segala hal, maka kita tidak ubahnya seekor kecoak yang ada di kamar mandi.

Senin, 19 Oktober 2009

PERSEMBAHAN

Ketika orang Majus melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.” (Luk 2:10-11)

Orang Majus adalah para ahli astronomi yang percaya bahwa seorang raja besar akan lahir setelah mereka melihat bintang besar di langit. Mereka berjalan jauh dari tempat asalnya untuk mencari Sang Raja yang baru lahir. Akhirnya mereka sampai di Betlehem dan menemukan Yesus. Mereka lalu mempersembahkan apa yang mereka bawa kepada Yesus. Persembahan para majus adalah sebagian kecil persembahan yang mereka bawa. Persembahan mereka yang terbesar adalah keberanian mereka untuk meninggalkan segalanya agar dapat bertemu dengan Yesus.

Persembahan adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang dihormatinya tanpa keinginan untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri. Mereka memberi dengan suka cita demi kebahagiaan orang yang dihormatinya. St. Paulus mengingatkan bahwa persembahan yang terbesar adalah tubuh kita, seperti Yesus yang sudah mempersembahkan diriNya sebagai kurban untuk keselamatan manusia. “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Rm 12:1)

Ibu Teresa menulis “Penyangkalan total artinya memberikan diri sepenuhnya kepada Allah karena Allah telah memberikan diriNya kepada kita. Jika Allah yang tidak berhutang apapun kepada kita, bersedia memberikan diriNya kepada kita, pantaskah kita menanggapinya hanya dengan memberiNya sebagian dari diri kita?... Kami memberikan diri kami kepadaNya dan Allah menjadi milik kami, dan sekarang kami tidak mempunyai apa-apa selain Allah. Hadiah yang diberikan Allah kepada kami sebagai imbalan atas penyangkalan diri sendiri adalah diriNya sendiri.”

Bagi Ibu Teresa pelayanan adalah suatu pemberian diri kepada Allah yang ada dalam diri kaum miskin. Pemberian diri adalah menyerahkan seluruh hidup, pikiran, tenaga dan hati kita kepada kaum miskin demi kebahagiaan mereka. Kita menyerahkan tanpa menuntut balas dan dengan suka cita. Untuk itu dibutuhkan semangat penyangkalan diri seperti Yesus yang meskipun Allah namun rela melayani manusia yang rendah dan penuh dosa.

Namun hal ini tidak mudah. Kita sering ingin memiliki diri kita bagi diri sendiri. Kita ingin mempertahankan siapa diri kita adanya. Bila kita seorang pejabat yang biasanya dilayani sangat sulit untuk memberikan diri sebagai pelayan, sebab kita punya kecenderungan ingin menunjukkan siapa diri kita. Maka kita perlu keluar dari diri kita dengan melepaskan segala status, kekayaan, jabatan dan sebagainya dan menjadi hamba dari kaum miskin. Seperti orang majus yang meninggalkan negeri dan seluruh kehidupannya untuk bertemu Yesus.

Penyangkalan diri bukan hanya melepaskan apa yang melekat dalam diri kita melainkan juga membiarkan Allah yang berkarya dalam diri, sehingga bila kita melakukan sesuatu bukan lagi kita yang berbuat melainkan kehendak Allah sendiri. Dengan demikian kita tidak akan kagum dan bangga dengan apa yang telah kita lakukan, sebab Allahlah yang telah melakukan dalam diri kita. Kita pun tidak akan kecewa bila apa yang kita lakukan tidak membuahkan hasil, sebab kita hanya sebagai saluran karya Allah dalam hidup. Kita mampu menyerahkan seluruh karya kita pada Allah. Maka tidak heran bila St. Paulus mengatakan bahwa itulah ibadah sejati. Dalam beribadah bukan hanya kita menyembah Allah melainkan kita juga dikuasai oleh Allah.

Semangat penyangkalan diri hanya dapat dimiliki oleh orang yang rendah hati yaitu sikap yang menyadari bahwa kita tidak memiliki apa-apa selain Allah yang ada dalam hati kita. Kesadaran bahwa kita tidak mampu melakukan apa-apa selain tindakan dimana Allah berkenan. Bila kita mampu mempunyai sikap rendah hati dan penyangkalan diri, maka kita tidak takut untuk melakukan segala sesuatu dan tidak mudah kecewa atau bangga akan segala sesuatu.

SEBUAH MOBIL VW DI TEMPAT PARKIR


Pak Dul berlari kecil. Dia sudah mengerahkan seluruh kecepatan larinya tapi kakinya yang tua tidak mampu lagi membawa tubuhnya yang semakin menggelembung. Nafasnya sudah hampir putus tapi jarak yang hanya beberapa meter seolah menjadi track yang panjang. Jemari tangan kirinya yang sebesar sosis memegangi topi satpam yang kekecilan di kepalanya. Keringat yang beraneka warna membasahi wajahnya.
“Cepat!” bentak seorang berpakaian rapi yang berdiri dekat sebuah mobil sedan tua warna biru langit. Di kap depan ada lambang VW.
“Ini mobil siapa?” teriak orang itu sambil menggebrak kap mobil VW di sebelahnya. Pak Dul yang masih mengatur nafas wajahnya menjadi pucat. Matanya terbelalak seperti mata ikan koki. Dia terkejut bagaimana mungkin ada mobil parkir di tempat ini. Disini biasanya terparkir mobil sedan BMW hitam.
“Kamu ini gimana sih jadi satpam aja gak becus!” gelegar suara orang itu membuat wajah Pak Dul seputih mayat. “Mobil siapa ini!” bentaknya sekali lagi.
“Maaf pak saya tidak tahu.” Jawab Pak Dul tergagap-gagap.
“Bagaimana kamu tidak tahu? Lalu apa tugasmu hah!”
“Saya baru saja aplosan Pak,”
“Siapa sebelum kamu.”
“Somad Pak.”
“Panggil Somad.”
“Dia sudah pulang Pak,”
“Aku tidak peduli dia mau pulang atau ke mana. Yang penting panggil dia.” Mata orang itu melotot seolah ingin melihat lebih jelas Pak Dul yang ada dihadapannya. Pak Dul segera mengeluarkan HP yang dibelinya beberapa waktu lalu dari seorang pencopet di terminal. Dia pencet-pencet HP berusaha mencari nomor Somad. Tapi jemarinya yang gemuk tidak mampu menemukan nomor Somad. Seingatnya kemarin sudah disave sama Somad tapi mengapa sekarang tidak ada? Keluhnya dalam hati.
“Kamu bisa apa tidak pakai HP!” bentak orang itu tidak sabar melihat Pak Dul hanya pencet sana pencet sini. “Kalau gak bisa pakai HP bilang dong.” Kata orang penuh penghinaan. Pak Dul semakin bingung. Ya ini nomor Somad, kata dalam hati sedikit lega. Dia pencet nomor Somad. Tut..tut…tut.. tidak ada jawaban.
“Maaf tidak bisa dihubungi Pak,”
“Coba sini aku yang menghubungi.” Kata orang itu. Dia langsung mengambil HP dari tangan Pak Dul. “Mana nomornya Somad.”
“Itu pak di dalam HP.”
“Aku udah tahu bodoh, kalau nomor itu ada dalam HPmu.” Bentak orang itu semakin jengkel. Ingin rasanya dia meremas tubuh Pak Dul menjadi sebuah gumpalan. Tangan orang itu bergerak mencari nama Somad di dalam memori HP. Hanya beberapa detik dia sudah mencoba menghubungi Somad. Tapi tidak ada jawaban.
“Dasar satpam brengsek semua.” Gerutu orang itu. “Udah kamu cepat ke rumah Somad dan suruh dia kemari.”
“Saya tidak tahu rumahnya Pak.”
“Sebetulnya yang kamu tahu itu apa sih!” kata orang itu jengkel. “Dasar satpam goblok. Kalau kupecat baru tahu rasa kamu!” Mata orang itu berkeliling.
“Hei sini kamu!” teriaknya pada seorang anak muda yang sedang membersihkan halaman. Anak muda itu segera berlari. Dalam hitungan detik dia sudah ada dihadapan lelaki itu.
“Kau tahu ini mobil siapa?”
“Maaf pak tidak saya tidak tahu.”
“Bagaimana mungkin semua orang tidak tahu ini mobil siapa.” Orang itu makin geram. “Kamu tadi dimana ketika ada orang memarkir mobil disini?”
“Saya dari tadi di sana Pak.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah ujung halaman.
“Harusnya kamu lihat kan siapa saja yang masuk halaman parkir ini.”
“Maaf pak itu bukan tugas saya.”
“Apa kalau bukan tugasmu maka kamu tidak peduli?” bentak orang itu. Keringat mulai meleleh di wajah dan tubuhnya. Bajunya yang rapi basah oleh keringat. Anak muda itu menundukkan kepalanya. Matanya menghitung jumlah lidi yang terikat menjadi sapu. Hatinya jengkel tapi dia berusaha untuk diam. Mulutnya dikunci rapat. Segala sumpah serapah ditekan dalam hati yang mendidih. Dia sadar sebagai pegawai outsourcing maka kesalahan sedikit saja bisa membuat hilangnya pekerjaan.
“Ada apa Pak?” sebuah suara cerah memecah kebekuan. Seorang gadis cantik berdiri di dekat mereka. Pakaiannya rapi. Baunya harum.
“Ini ada mobil yang parkir di tempat bos Bu” jawab orang itu sopan. Meski dia lebih tua tapi memangil “ibu” pada gadis yang lebih muda. Gadis itu menatap lelaki itu sejenak.
“Mobil siapa?” Tanyanya. Matanya yang indah dibentengi kaca mata dengan gagang agak besar.
“Itulah masalahnya Bu, Dul dan anak ini tidak tahu siapa yang memparkir mobil itu disini” jawab lelaki itu sambil mengusap peluh di dahi. Matanya yang garang tidak berani menatap gadis di hadapannya.
“Harusnya kamu bisa membina pegawai dengan lebih baik lagi, sehingga mereka tahu tanggungjawab.” Kata gadis itu dalam nada rendah tapi penuh kejengkelan. “Mosok soal parkir saja tidak mampu menyelesaikan? Bila bos datang lalu mobilnya mau diparkir dimana?”
“Ya bu saya akan usahakan membereskan masalah sebelum bos datang.” Jawabnya dengan mengangguk-anggukkan kepala dengan sangat sopan.
“Bapak ini bagaimana sih.” Nada gadis itu mulai meninggi. “Ini jam berapa? Sebentar lagi bos datang! Coba pikirkan dong cara yang cepat agar mobil ini tidak lagi ada disini.” Gadis itu pun pergi meninggalkan mereka diringi tatapan penuh kejengkelan dari lelaki itu. Tangan lelaki itu menggebrak kap mobil VW kuno yang masih diam membisu. Dia merasa tersinggung ditegur di hadapan bawahannya.
“Ada apa Nan?” sebuah suara terdengar di teras kantor. Langkah gadis itu berhenti di hadapan seorang lelaki setengah tua yang sedang bergegas hendak keluar kantor.
“Itu Pak,” kata gadis itu menunjuk ke arah mobil VW. “Ada mobil terparkir di tempat parkir mobil bos.” Lelaki itu sejenak menatap 3 orang yang masih berdiri di sekitar mobil VW tanpa tahu apa yang dilakukan.
“Bagaimana mungkin ada mobil bisa parkir disitu?” tanyanya jengkel. “Apa tanda larangan parkir disana masih ada?”
“Keliatannya masih Pak.”
“Kamu ini gimana sih? Kok keliatannya.” Kata lelaki itu ketus.
“Masih ada Pak,” kata lelaki yang dekat mobil VW dengan agak keras.
“Sekarang kamu cari siapa yang memiliki mobil itu.” kata lelaki itu kepada gadis yang tertunduk di hadapannya. Lelaki itu segera bergegas pergi. “Cepat sebab sebentar lagi bos datang!” perintahnya sambil terus berjalan. Gadis itu pun segera masuk ke gedung kantor. Pikirannya bergerak cepat bagaimana menemukan pemilik mobil itu dalam waktu yang cepat. Keringat dingin membasahi punggungnya. Bila sampai pemilik mobil itu tidak ditemukan sampai bos datang pasti dia akan kena damprat dari lelaki itu lagi. Tiba-tiba gadis itu berbalik ke arah tiga orang yang masih berdiri dekat mobil VW.
“Kalian cari mobil siapa saja untuk menarik mobil VW itu. Cepat!” perintahnya. Kini lelaki itu menjadi kebingungan. Dia harus mencari mobil siapa. Di dekat situ memang ada beberapa mobil parkir berderet rapi. Semua milik atasannya. Bagaimana mungkin dia akan meminjam mobil atasannya untuk menarik mobil VW ini?
“Ayo cepat cari mobil sana,” gadis itu mengulang perintahnya.
“Ya Bu,” kata lelaki itu. Dia mengeluarkan HP berusaha mencari siapa pimpinannya yang biasanya baik hati sehingga memperbolehkan mobilnya untuk menarik mobil VW ini? Beberapa detik berlalu. Tidak ada satu namapun yang memungkinkan untuk dimintai tolong. Lelaki itu menjadi semakin geram.
“Aku memintamu untuk menarik mobil ini, bukan memainkan HP.” Suara gadis itu makin keras. Dia jengkel melihat lelaki itu hanya mencari-cari nama di HP.
“Ya bu.” Keringat membasahi tubuh lelaki itu. Panasnya matahari pagi tidak mampu mengalahkan gelegak kemarahan dalam hatinya.

Sebuah mobil station wagon berwarna hitam memasuki halaman parkir. Lelaki itu hafal dengan plat mobil ini. Hatinya sedikit lega. Dia segera berjalan cepat menghampiri mobil itu dan berusaha menghentikannya.
“Ada apa?” sebuah wajah muncul di balik kaca jendela yang sudah diturunkan.
“Maaf pak apakah bapak bisa membantu saya?” tanyanya sopan.
“Membantu apa?”
“Kita sedang ada masalah Pak,”
“Masalah apa?”
“Itu lho Pak,” kata lelaki itu menunjuk ke arah VW tua. “Ada sedan butut berani parkir di tempat parkir bos.”
“Mobil siapa itu?” tanya lelaki itu dengan suara geram. “Apa dia tidak melihat tulisan di papan itu sehingga asal main parkir aja. Dasar orang goblok!” Lelaki di dekat kaca hanya diam sambil memandang penuh harap.
“Lalu kamu mau apa?”
“Menurut Bu Nan, mobil itu ditarik saja dan dipindahkan ke parkir bawah.”
“Apa kamu sudah mendorongnya?”
“Belum pak.”
“Suruh orang-orang itu mendorong.” Lelaki itu menunjuk pada pak Dul dan anak muda pembersih rumput. “Mosok hal gitu aja tidak tahu,” lelaki itu segera ke tempat pak Dul dan anak muda pembersih halaman.
“Kenapa kalian pada bengong?” tanyanya dengan nada keras. “Ayo kalian dorong.” Kedua orang itu langsung meloncat ke arah belakang mobil yang dekat tembok. Mereka berdua berusaha mendorong. Ternyata mobil itu tidak bergerak.
“Mobilnya dihandrem pak.” Kata pak Dul dengan nafas terengah-engah.
“Dasar orang goblok hanya menyusahkan orang saja.” Gerutu lelaki dalam mobil. “Udah sekarang kalian cari tali dan ikat mobil itu ke mobil ini.”
Segera pak Dul berlari ke pos satpam. Dia pernah melihat ada tali tergeletak di sana. Semoga saja tali itu masih belum dijual oleh temannya. Dalam waktu sekejap pak Dul sudah berlari kembali ke arah mobil VW dengan tali ditangannya. Dia segera jongkok di belakang mobil station wagon dan mencari tempat untuk mengikatkan talinya.
“Hati-hati jangan sampai mobilku beset.” Teriak lelaki dari dalam mobil. Pak Dul sangat berhati-hati mengikat tali di bawah mobil station wagon yang katanya harganya hampir satu milyard ini. Pemuda pembersih halaman mengikatkan ujung tali yang lain ke bawah bemper mobil VW tua. Setelah berkutat beberapa menit semua beres. Lelaki dalam mobil station wagon mulai menjalankan mobilnya. Dia menginjak gas agak keras agar ada kekuatan untuk menarik mobil itu. Perlahan mobil VW itu bergerak.
“Hai kalian tahan mobil butut itu agar tidak menabrak mobilku.” Teriakknya memberi perintah kepada siapa saja yang ada di situ. Bergegas semua orang berusaha mengatur kecepatan mobil VW itu agar tidak menabrak mobil station wagon.

“Hai mau dibawa kemana mobil itu?” teriak seseorang dari teras.
“Mau diparkir disana Bu,” kata lelaki yang mobilnya digunakan untuk menarik VW
“Kenapa?” tanya perempuan itu dengan wajah pucat. Di sampingnya berdiri seorang pemuda dengan tampang kucel melihat semua itu dengan mata terheran-heran.
“Salah parkir Bu,” jawab lelaki itu sopan meski yang dihadapinya jauh lebih muda darinya. Tapi perempuan itu adalah sekretaris dan orang kepercayaan bos.
“Kamu ini gimana sih.” Kata perempuan itu, “Ayo cepat kembalikan kesana.” Katanya sambil menunjuk ke arah tempat parkir semula.

Mendengar itu semua orang menjadi heran. Mereka bingung. Lelaki dalam mobil station wagon segera menginjak rem. Tapi mobil VW tetap menggelinding perlahan mengarah ke mobilnya. Pak Dul dan anak muda itu berusaha menghentikan. Tiba-tiba terdengar suara brak. VW itu menabrak station wagon meski tidak keras.

“Aduh gimana sih kalian ini.” Kata perempuan itu. Dia setengah berlari menuju ke arah VW yang sudah berhenti. Dia segera meneliti apakah ada kerusakan atau tidak di VW itu. Jemarinya yang lentik dan terawat mengelus kap VW untuk merasakan apakah ada yang penyok atau tidak.
“Ayo sekarang kembalikan ke tempatnya.” Suaranya rendah tapi penuh tekanan dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya yang bergincu merah darah. Semua orang saling menatap penuh kebingungan.
“Cepat! Tunggu apa lagi?” perintahnya. Matanya melotot kepada semua orang.

Tiba-tiba anak muda yang keluar kantor bersamanya berjalan ke arah VW itu. Tubuhnya yang atletis dibungkus kaos yang tak layak di kantor ini. Dari saku celananya jeans yang agak lusuh dia mengeluarkan sebuah kunci kontak. Wajahnya tampak tidak senang. Dia membuka pintu VW itu dan duduk di belakang kemudi.

“Pak Dul, kamu lepas talinya. Cepat!” bisik perempuan itu. Pak Dul segera menguraikan ikatan tali yang mengikat VW. Dalam hitungan detik tali sudah terlepas.

“Maaf ya Frans,” kata perempuan itu sambil membungkuk hormat pada pemuda yang sudah duduk dibalik kemudi. Pemuda itu hanya tersenyum kecut. Perempuan itu lalu berdiri tegak. Pandangannya mengarah kesemua orang yang berdiri bengong disana. “Frans adalah putra Pak Sudikarma yang akan menggantikan beliau di kantor ini.”

Perkataan itu bagaikan hantu yang tiba-tiba muncul dari balik VW. Wajah semua orang menjadi pucat. Lelaki yang pertama mengetahui ada VW di parkiran bos segera datang ke arah jendela VW. Sebuah senyum ramah tersungging di bibirnya. Gadis yang sejak tadi hanya berdiri melihat pun bergegas mengikutinya di belakang.
“Maaf pak saya tidak tahu kalau ini mobil bapak,” kata lelaki itu dengan suara sangat ramah. Tangannya menepuk-nepuk body mobil dengan penuh kasih sayang. “VW macam ini sudah sangat jarang,” katanya memuji. “Ini tipe apa Pak?” tanyanya sopan.
“Karmann Ghia type 34.” Jawab pemuda itu acuh.
“Wah mobil antik.” Kata lelaki pemilik station wagon yang juga sudah berdiri di dekat mobil VW yang kini tampak menjadi sangat indah dan mahal. Tanganya mengelus-elus mobil itu. Pak Dul dan anak muda itu menjadi bingung. Kenapa semua orang sekarang menjadi ramah? Lelaki pemilik station wagon mengusap bemper mobil VW dengan kemeja panjangnya yang baru saja keluar dari binatu. Dia tidak ingin ada sisa cat di bemper itu.
“Sudah tidak perlu repot pak,” kata pemuda itu melihat bagaimana bapak itu berusah membersihkan sisa cat mobilnya yang menempel di bemper VW.
“Ah tidak apa-apa kok pak,” katanya diiringi tawa renyah seperti baru saja mendapat kabar kalau jabatannya naik. Mereka kini berdiri tegak di dekat mobil VW dengan wajah berseri. Senyum lebar dan cerah menebar kemana-mana. Pak Dul dan anak muda itu hanya menatap heran. Keringat di wajah mereka mengucur membasahi kulitnya yang berminyak. Mulut mereka ternganga menatap sandiwara satu babak. Sial! Kata pak Dul dalam hati.

Sabtu, 10 Oktober 2009

PEMBERIAN TERBESAR ADALAH DIRI

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Rm 12:1)

Dalam pemahaman sehari-hari ibadat adalah sebuah tata liturgi untuk memuji Tuhan. Ibadah dilakukan sebagai perwujudan terima kasih manusia atas kebaikan Tuhan “Ibadah ini adalah karena mengingat apa yang dibuat TUHAN kepadaku pada waktu aku keluar dari Mesir.” (Kel 13:8). Sebagai perwujudan syukur dan cinta maka dalam ibadah juga dipersembahkan aneka binatang, roti dan hasil bumi.

Yesus adalah kurban persembahan sejati, “hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” (Ef 5:2). Salib telah mengubah tata ibadat Yahudi. Orang Kristen tidak perlu lagi mempersembahkan kurban persembahan sebab sudah dituntaskan oleh Yesus. Hilangnya kurban persembahan bagi Paulus bukan membuat ibadah kita menjadi ringan, sebab kita diminta untuk mempersembahkan diri kita. Bukan berarti kita dikurbankan seperti Yesus melainkan mempersembahkan diri untuk pelayanan. Dengan demikian pelayanan adalah ibadah sebab kita mempersembahkan diri kita. Inilah persembahan yang hidup.

Dalam sebuah kesempatan Ibu Teresa menulis, Saya tidak menginginkan Anda memberikan sesuatu dari kelimpahan Anda. Saya tidak pernah mengijinkan orang untuk menghimpun dana bagi saya. Saya tidak menginginkan itu. Saya ingin Anda memberikan sesuatu dari diri Anda sendiri. Cinta kasih yang Anda sertakan dalam setiap pemberian Anda adalah yang sangat penting.

Pada umumnya orang memberi dari kelimpahan. Maka orang sering berpendapat bahwa untuk mengadakan sebuah aktifitas pelayanan harus ada dana terlebih dahulu. Ibu Teresa menolak itu. Pemberian terbesar adalah pemberian diri yang penuh cinta kepada Tuhan yang tersamar dalam diri orang miskin dan menderita. Tuhan telah memberikan kepada kita aneka anugerah misalnya tenaga, kelengkapan tubuh dan sebagainya. Permberian itulah yang harus kita persembahkan kepada Tuhan. Bila kita hanya memiliki kaki untuk berjalan, maka persembahkan kaki kita untuk berjalan mengunjungi orang yang sakit dan sebagainya. Pelayanan bukan berasal dari kelimpahan melainkan dari kekurangan. Dengan merasa kurang maka kita akan bersandar pada penyelengaraan Ilahi. Ibu Teresa tidak pernah dicemaskan akan kekurangan dana dan barang. Dia bersandar pada penyelengaraan Ilahi. Dengan demikian untuk melayani tidak dibutuhkan harta dan benda yang berkelimpahan, melainkan hati yang tulus dan penuh kasih kepada sesama.

Pelayanan kita adalah sebuah doa bila kita sungguh ingin mempersembahkan apa yang kita miliki untuk Allah sebagai rasa syukur. Anugerah Allah yang terbesar adalah diri kita, maka persembahan terbesar adalah persembahan diri kita. Namun sering kali kita kurang melihat anugerah Allah dalam hidup kita. Kita sering merasa bahwa diri kita kurang. Kita menginginkan yang lebih dari apa yang kita miliki dalam hidup. Ketika kita masih merasa kurang, maka kita enggan untuk memberikan apa yang kita miliki untuk sesama. Kita hanya meminta kepada Allah untuk memberikan apa yang inginkan, sehingga lupa dan tidak melihat ada banyak orang lain yang lebih membutuhkan. Maka agar dapat memberikan diri, kita harus mensyukuri atas apa yang kita miliki dan alami. Kita melihat bahwa semua yang kita miliki dan alami berasal dari kemurahan hati Allah. Dari sini baru kita dapat melakukan pelayanan sebagai doa syukur kepada Allah.

SUKA CITA DALAM PELAYANAN

“Jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.” (Rm 12:8)

Paulus dalam nasehatnya kepada jemaat di Roma, mengingatkan bahwa dalam jemaat ada banyak anugerah yang dapat digunakan untuk mengembangkan Kerajaan Allah. Namun semua itu harus dilakukan dengan tulus hati dan suka cita. Paulus menyadari bahwa orang yang mempunyai karunia dapat merasa lebih dari yang lain. Mereka dapat menjadi sombong. Kerajaan Allah adalah komunitas damai dan suka cita, dimana kasih menjadi dasarnya. Bila ada kesombongan maka Kerajaan Allah tidak akan terbangun. Maka setiap pelayanan hendaknya dilakukan dengan tulus iklas.

Banyak orang yang melakukan pelayanan. Namun sering kali perbuatan baik ini kurang didasari oleh sebuah motivasi yang baik. Motivasi yang baik adalah bila segala pelayanan kita mengarah pada Allah bukan pada manusia. Apa yang kita lakukan demi kemuliaan Allah. Memang ada perbedaan antara Paulus dan Yohanes. Paulus menekankan balasan dari Allah, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2Kor 9:7) sedangkan Yohanes menekankan bahwa pelayanan kita adalah kesadaran akan cinta Allah. “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” (1Yoh 4:19). Namun semua itu mengarahkan kita untuk melakukan pelayanan dengan suka cita dan tulus hati seperti Allah yang telah memberi kepada kita segalanya dengan suka cita dan tulus.

Ibu Teresa menulis, Missionaris Cinta Kasih adalah keluarga yang memiliki cinta kasih, kedamaian dan kegembiraan. Jika Anda tidak mempunyai kedamaian dan cinta kasih di dalam keluarga Anda atau dalam hati Anda sendiri, bagaimana mungkin Anda akan memberikan semua itu kepada orang lain? Cinta yang sejati harus menanggung sakit. Saya berharap Anda akan mempelajari kebenaran itu dalam kehidupan Anda kemudian berbagi kegembiraan dalam cinta kasih. Bila Anda sedang memasak, mencuci pakaian atau bekerja keras di kantor, lakukan semua itu dengan gembira. Itu merupakan cinta kasih Anda kepada Tuhan.

Bagi Ibu Teresa cinta kasih adalah sumber kebahagiaan. Bila semua pelayanan dilakukan berdasarkan cinta kasih maka orang akan melayani dengan bahagia. Maka Ibu Teresa menekankan agar kita memiliki cinta kasih sebelum melakukan pelayanan. Sumber cinta kasih yang besar adalah kesadaran akan cinta kasih Allah yang telah dianugerahkan kepada kita. Memang dapat saja orang kurang memiliki cinta kasih melakukan pelayanan, namun hal itu akan tampak dari segala tindakannya. Dia akan mudah menuntut orang yang dilayani. Dia mudah frustasi dan kecewa kepada orang yang dilayani dan sebagainya. Pelayanannya menjadi kering dan rutinitas belaka.

Pelayanan adalah tindakan cinta kasih kepada Tuhan, bukan hanya sekedar melakukan sebuah tindakan pada manusia yang menderita. Bila kita melakukan demi Tuhan, entah Tuhan akan membalas atau tidak, maka semua itu akan kita lakukan dengan suka cita. Kita akan setia melakukan pelayanan meski apa yang kita kerjakan kurang diterima oleh orang lain atau dicemooh oleh sesama. Kita tidak mudah putus asa dan menyerah oleh aneka rintangan. Kita tidak mengukur besar kecilnya sebuah pelayanan. Di mata Tuhan tidak ada tindakan besar atau kecil melainkan ada cinta kasih dan rasa syukur. Bila pelayanan itu berdasarkan pada Tuhan maka pelayanan itu menjadi sebuah doa.

PEMBERIAN YANG PENUH KASIH

Rata Penuh“Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” (1Yoh 13:16)

Pada Perjanjian Lama sebelum Kristus sudah banyak nabi dan orang suci yang diutus Allah untuk membawa manusia kembali padaNya. Mereka mengaja agar manusia saling mengasihi, berlaku adil terhadap sesama, serta membela kaum miskin dan tertindas. Namun tidak satupun yang mati demi orang yang dibelanya. Yesus bukan hanya mengajar dengan perkataan dan tindakan keselamatan seperti menyembuhkan, memberi makan dan sebagainya, namun Dia menyerahkan diriNya demi keselamatan manusia. inilah puncak kasih Kristus yaitu peristiwa penyaliban. Tidak ada pemberian yang lebih besar daripada pemberian nyawa demi kedamaian dan keselamatan orang lain. Apa yang dilakukan Kristus adalah sebuah wujud keteladanan bagaimana seharusnya kita hidup dan bersikap.

Namun penyerahan nyawa bukanlah segalanya bila tidak didasari oleh cinta. Paulus mengingatkan kita bahwa dari segalanya yang terbesar adalah cinta. “Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.” (1Kor 13:3). Hal ini mengingatkan kita bahwa segala pemberian entah besar atau kecil harus didasari oleh kasih yang besar.

Suatu hari Ibu Teresa menemukan seorang yang sangat mabok di tengah jalan. Tampaknya dia orang yang cukup mampu, tapi saat itu dia sangat mabok, sehingga berdiripun dia tidak mampu. Orang itu dibawa ke rumah penampungan. Disana para suster merawatnya dengan penuh kasih, perhatian dan keramahan. Setelah dua minggu dia berkata pada para suster, “para suster hatiku terbuka. Kini saya menyadari bahwa Tuhan mencintai saya. Saya telah merasakan kasihnya yang lembut. Saya mau pulang.” Sebulan kemudian dia datang lagi membawa cek. Cinta kasih berhasil membawa dia kembali kepada lingkungan keluarganya, ke lingkungan anaknya yang ramah dan istrinya yang sangat mencintainya. Cinta kasih yang Anda sertakan dalam pemberian Anda adalah yang paling penting. Jika Anda ingin berbahagia, jika Anda ingin mempunyai keluarga yang suci, ulurkan tangan Anda untuk melayani dan berikan hati Anda untuk mencintai.

Pada jaman ini banyak orang yang memberi. Ketika terjadi gempa di Jogjakarta banyak sekali orang yang berbondong-bondong kesana untuk membantu. Hal ini bukan hanya ketika terjadi di Jogjakarta melainkan dimana-mana. Banyak orang berani memberikan apa yang mereka miliki untuk orang lain. Jika demikian apakah negara kita sudah penuh dengan orang yang saling mencintai? Suatu pemberian bukan tolok ukur sebuah cinta. Ada banyak orang memberi tanpa cinta namun dengan aneka alasan lain. Pemberian cinta adalah pemberian diri yang dapat mengubah seseorang. Ibu Teresa memberikan kasihnya yang terungkap dalam merawat orang mabok. Orang itu merasakan kasih yang besar dan berubah. Dia pun memberi cek agar Ibu Teresa dan para suster memperlakukan orang lain seperti mereka memperlakukan dirinya. Kasih itu mengubah orang. Mengubah bukan berarti hanya mengubah secara fisik misalnya orang miskin menjadi kaya. Namun mengubah untuk lebih bisa saling mengasihi. Kasih yang kita berikan menyadarkan orang akan kasih Allah dan membantunya untuk mampu mengasihi orang lain seperti yang pernah dia rasakan dari kita.

ADORASI

“Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah.” (Luk 6:12)

Beberapa kali Yesus masuk tempat sepi untuk berdoa pada Bapa. Bahkan dalam kesibukanNya dan ketika sangat dibutuhkan banyak orang, Dia pun pergi ke tempat sepi untuk berdoa (Mrk 1:33-37). Apakah Yesus begitu egois sehingga meninggalkan banyak orang untuk berdoa? Berdoa adalah menjalin hubungan dengan Allah. Bagi Yesus menjalin hubungan yang mesra dengan Allah adalah diatas segalanya. Bila dekat dengan Allah maka akan semakin memahami kehendak Allah. Berdoa berarti juga mempersatukan diri dengan Allah, sehingga terbangun satu kesatuan yang erat “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30). Yesus berdoa ditempat-tempat sepi dan sendiri. Dalam keheningan itu Dia dapat berbicara dengan Bapa secara khusus. Dia mencari kehendak Bapa (bdk. Mat 26:37-44).

Dalam dunia ini orang menikmati keramaian. Orang juga terjebak dalam arus jaman yang sibuk, sehingga orang berusaha untuk masuk dalam kesibukan. Orang modern adalah orang yang sibuk. Akibatnya doa dalam hening ditinggalkan. Orang lebih menikmati doa dalam keramaian. Orang pun tidak mempunyai waktu doa, sebab tenggelam dalam kesibukannya. Bila belajar dari Yesus maka kita butuh waktu hening untuk mempersatukan diri dengan Allah sehingga dapat melihat kehendakNya. Adorasi adalah doa hening dimana kita berhadapan dengan Yesus. Melihat belas kasih Yesus yang sedemikian besar sehingga menyerahkan nyawaNya bagi kita. Melihat kesederhanaan Yesus yang siap menjadi roti yang kita santap.

Ibu Teresa menulis, “Kami mempunyai banyak pekerjaan bagi kaum miskin. Kami tidak perlu mengurangi pekerjaan kami untuk dapat mengadakan adorasi itu. Sering kali kesibukan pekerjaan dijadikan alasan bagi banyak orang untuk tidak mengadakan adorasi setiap hari. Saya dapat menceritakan kepada Anda bahwa ada perubahan besar sejak di dalam konggregasi kami ada adorasi setiap hari. Cinta kasih kami kepada Yesus semakin mendalam….Hati Kudus Yesus merupakan pusat cinta kasih kita. Ekaristi merupakan kekuatan kita, kebahagiaan dan cinta kasih kita, kedamaian yang memungkinkan kita menerima Yesus dan kemudian membagikan Dia kepada orang-orang lain,”

Pelayanan kepada kaum miskin membutuhkan energi yang besar. Mengasihi orang menderita membutuhkan kasih yang tulus dan besar. Bagi Ibu Teresa sumber kasih yang besar itu didapatkanya ketika dia mempersatukan diri dengan Allah dalam adorasi dan keheningan. Menurut Ibu Teresa setelah mengadakan adorasi setiap hari, jumlah anggota konggregasinya semakin banyak. Hal ini bukan mujijat adorasi melainkan dengan adorasi dan hening, Ibu Teresa semakin bersatu dengan Allah, sehingga apa yang dikatakan dan dilakukan merupakan cerminan karya Allah yang berbelas kasih.

Dalam hening kita bisa melihat karya kita dalam terang Allah. Kita dapat menilai diri sendiri apakah yang kita lakukan sudah sesuai dengan kehendak Allah? Apakah karya kita sudah mencerminkan kehendak Allah? Terlebih adalah melihat belas kasih Allah dalam hidup kita. Kesadaran belas kasih itulah yang kita wartakan pada dunia. Namun pada umumnya sering kita meremehkan adorasi. Kita menganggap bahwa bertindak belas kasih jauh lebih berguna daripada duduk dalam hening. Padahal bila kita terus bertindak maka akan mengalami kejenuhan. Kita akan mudah marah dan putus asa. Kita akan mengalami kekeringan sebab usaha yang kita lakukan adalah usaha pribadi bukan melaksanakan kehendak Allah.

KITA ADALAH PANCARAN KASIH ALLAH

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa." (Yoh 14:12)

Iman dan perbuatan adalah satu kesatuan. Penulis surat Yakobus mengatakan bahwa seseorang dapat disebut sebagai orang beriman bila dia dapat menunjukkan iman itu dalam perbuatannya (Yak 2:18-20). Dengan demikian tidak cukup seseorang mengaku diri sebagai orang beriman dengan mengatakan bahwa “aku percaya pada Allah,” melainkan harus mewujudnyatakan dalam segala tindakannya. Tindakan iman bukan hanya berdoa atau melakukan aktifitas kerohanian. “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21).

Salah satu syarat bagi orang yang menentap di Indonesia adalah dia harus memeluk sebuah agama. Akibatnya banyak orang terpaksa memeluk agama sebab kuatir akan mendapatkan kesulitan dalam hidupnya. Dia hanya beragama tapi tidak menunjukkan diri sebagai orang beriman. Kalau toh dia menunjukkan imannya hanya menggunakan atribut keagamaan atau mengikuti kewajiban perayaan agama pada hari yang sudah ditentukan. Namun dalam kehidupan sehari-hari tidak mencerminkan keimanannya.

Ibu Teresa menulis bahwa “seorang kerabat Missionari Cinta Kasih adalah pembawa dan cermin dari kasih Tuhan. Kita semua harus mempunyai tekad untuk membawa cinta kasihNya kemana-mana. Mengapa? Karena Yesus pernah bersabda,”Kamu lakukan itu kepadaKu. Ketika Aku lapar, telanjang, tidak mempunyai rumah, dan kesepian. Dan kamu melakukannya untuk Aku.” Itulah sebabnya para Missionaris Cinta Kasih, demikian pula rekan-rekan yang melayani orang-orang sakit, para karyawan, kaum kontemplatif, kaum muda, dan rekan-rekan dokter semuanya disebut sebagai pembawa cinta kasih Tuhan.

Ibu Teresa mengimani Allah yang penuh kasih pada kaum miskin. Iman ini diwujudkan dalam seluruh kehidupannya yang penuh kasih pada setiap orang yang membutuhkan. Setiap keputusan dan perkataannya menunjukkan cinta kasih Allah yang besar pada kaum miskin sehingga setiap orang yang memandang dan bertemu dengannya dapat merasakan kasih Allah yang terpancar dari pribadinya. Bagi Ibu Teresa beriman adalah keberanian untuk mencintai Yesus dengan sepenuh diri. Mencintai Yesus bukan hanya menganggumi tapi berjalan sesuai dengan apa yang diperintahkanNya. Mengerjakan apa yang dikerjakanNya bahkan lebih besar lagi. Pada jaman Yesus tidak ada penyakit AIDS, orang yang mati akibat sistem kasta dan sebagainya. Inilah pekerjaan-pekerjaan besar lain yang diwariskan Yesus kepada para pengikutNya. Inilah tantangannya, sebab orang mudah sekali kagum pada orang yang berbuat baik melainkan enggan untuk menjalankan apa yang dijalankan oleh orang yang dikagumi.

Ibu Teresa juga menghendaki kita menjadi cermin. Cermin adalah sarana seseorang untuk melihat diri sendiri. Maka segala tindakan cinta kasih kita hendaknya mampu membawa orang untuk menyadari akan dirinya sendiri. Menyadari akan siapa dirinya dan perutusan hidupnya. Bila dia seorang beragama maka dia akan menyadari untuk mewujudkan imannya dalam hidupnya. Dengan melihat sikap hidup kita maka orang pun menjadi tergerak untuk melakukan tindakan kasih. Dalam pelayanan, maka tindakan kita menyadarkan pada orang yang kita layani bahwa dia adalah manusia yang bermartabat meski kemiskinan dan penderitaan menimpanya. Dia menyadari bahwa dia adalah ciptaan Allah yang utama.

BELAJAR DARI ANAK KECIL

Yesus bersabda: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (Mat 18:3)

Pada jaman Yesus hidup anak-anak dan perempuan adalah termasuk orang yang menduduki bagian terendah dalam struktur masyarakat akibatnya mereka kurang dihargai. Mereka dianggap orang yang tidak tahu apa-apa. Padahal anak-anak adalah manusia yang masih diliputi oleh pikiran-pikiran yang tulus dan murni. Bila mereka bertindak tanpa didasari oleh motivasi-motivasi tersembunyi. Misalnya mereka memberi sebab memang mereka ingin memberi bukan untuk mencari keuntungan diri sendiri. Sedangkan orang dewasa sering kali melakukan sebuah tindakan dengan aneka motivasi tersembunyi untuk keuntungan diri mereka sendiri.

Anak-anak pun senantiasa bersuka cita dalam aneka masalah hidupnya. Inilah dasar untuk pembangunan Kerajaan Allah, sebab Kerajaan Allah adalah situasi dimana orang dapat mencintai secara tulus dan penuh suka cita. Maka Yesus mengajak para murid untuk belajar dari mereka. Bahkan para murid dituntut untuk bertobat untuk menjadi seperti anak kecil. Hal ini bukan berarti mereka harus menjadi kekanak-kanakan, melainkan meniru ketulusan dan kemurnian sikap anak-anak.

Suatu hari Ibu Teresa memberikan roti kepada beberapa anak miskin. Ternyata ada seorang anak yang tidak memakan roti itu. Ibu Teresa bertanya mengapa roti itu tidak dimakan? Anak itu menjawab, “Ayah saya sakit. Saya lapar sekali, tapi ayah saya sakit, dan saya kira dia akan senang sekali kalau mendapat roti ini.” Dalam renungannya Ibu Teresa menulis, anak itu rela memberikan rotinya agar dapat menggembirakan ayahnya karena mendapat sepotong roti. Kaum miskin itu orang yang berjiwa besar! Mereka tidak memerlukan simpati dari kita. Mereka tidak minta agar kita kasihan pada mereka. Mereka orang-orang yang berjiwa besar.

Kita dapat belajar dari pengalaman Ibu Teresa yang belajar dari ketulusan anak-anak. Meski dia sendiri membutuhkan namun karena terdorong oleh cinta yang besar kepada ayahnya maka dia rela menahan laparnya demi ayahnya. Inilah kebesaran cinta. Cinta yang berani mengurbankan kepentingan-kepentingan diri sendiri demi kebahagiaan orang lain. Inilah kebesaran jiwa seperti Yesus yang berani berkurban untuk manusia.

Dalam dunia saat ini banyak orang melakukan suatu tindakan dengan aneka macam motivasi. Orang memberi dengan motivasi akan menerima kembali. Banyak orang mencari keuntungan bagi dirinya sendiri dari setiap yang dia lakukan bahkan dalam tindakan amal. Keuntungan bukan hanya dalam wujud materi namun juga prestasi, nama baik, kebanggaan diri dan sebagainya. Hal ini tampak adanya banyak orang yang beramal akhirnya menemukan kekecewaan sebab orang yang diberi tidak membalas seperti yang dia inginkan. Akhirnya mereka tidak mau beramal kembali.

Dalam mengasihi dibutuhkan ketulusan dan sikap tanpa pamrih. Kita tidak berpikir mengenai diri kita, melainkan memikirkan orang yang kita beri. Kita tidak menuntut mereka menjadi seperti yang kita inginkan melainkan membiarkan mereka seperti yang mereka inginkan. Tindakan kasih yang kita lakukan bukan untuk membentuk orang menjadi seperti yang kita harapkan. Tindakan kasih adalah untuk membahagiakan orang. Maka Yesus menyerukan pertobatan agar kita menjadi anak-anak yang berjiwa besar. Manusia yang berani berkurban demi orang lain tanpa mempunyai maksud lain selain kebahagiaan orang yang dicintainya.

ANAK DAN KELUARGA

Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh. (Mat 15:28)

Suatu hari Ibu Teresa menemukan anak kecil di jalan. Dia membawa ke rumah dan memberi pakaian yang layak. Tapi anak itu melarikan diri. Ibu Teresa mengutus seorang suster untuk mengikutinya. Ternyata anak itu kembali kepada ibunya yang menjadi pengemis. Ketika ditanya mengapa dia tidak mau tinggal di rumah yang disediakan? Anak itu menjawab bahwa dia tidak dapat berpisah dengan ibunya sebab dia sangat mencintainya. Dari pengalaman ini Ibu Teresa belajar bahwa kebahagiaan seseorang bila dia menemukan cinta dalam keluarga. “Tidak ada anak muda atau gadis muda melarikan diri dari rumah karena tidak mempunyai ini atau itu. Mereka hanya melarikan diri dari rumah yang tidak mempunyai kasih sayang.”

Dalam dunia dewasa ini banyak anak yang kehilangan kasih sayang dari keluarganya. Mereka menjadi anak yang putus asa, mudah menyerang, hidup seenaknya, tidak punya harapan dan sebagainya. Persoalan ini menimpa keluarga tanpa memandang status sosial, ekonomi, suku dan sebagainya. Tidak jarang kasus anak yang putus asa muncul dari keluarga yang dianggap baik oleh masyarakat. Orang tuanya aktif melakukan aktifitas sosial, hidup menggerejanya baik, dalam kehidupan bermasyarakat tidak mempunyai masalah, dan sebagainya, namun ternyata anaknya menjadi anak yang kesepian dan putus asa sehingga melakukan hal-hal yang tidak terpuji.

Dalam Injil seorang perempuan Kanaan rela diusir oleh para murid bahkan dihina oleh Yesus sebab dia memohon terus menerus pada Yesus untuk kesembuhan anaknya yang sedang sakit. Cinta pada anaknya membuatnya mampu bertahan menghadapi segala tantangan. Cinta yang besar membuatnya berserah pada Tuhan. Iman adalah perwujudan cinta pada Tuhan, bila seseorang mampu mencintai anaknya sedemikian besar maka dapat dipastikan dia dapat mencintai Tuhan secara penuh.

Mencintai anak secara penuh sering kali menjadi tantangan dalam dunia dewasa ini. Saat ini banyak orang aktif mengadakan pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin dan menderita. Orang aktif menjalankan ajaran agamanya. Namun mengapa semakin banyak anak yang tumbuh dalam kesepian dan kefrustasian? Hal ini mungkin disebabkan banyak orang lebih memilih mencintai orang diluar keluarga dibandingkan dalam keluarganya sendiri. Memang sangat mudah mencintai orang di luar keluarga sebab hal itu hanya dilakukan sesaat saja. Tidak ada ikatan emosional, sebab lebih pada pelayanan. Kita pun dapat berpura-pura mencintai dan baik. Ada aneka topeng yang kita kenakan. Sebaliknya bila melayani dan mencintai keluarga tidak dapat sesaat saja. Keluarga ada bersama kita. Kita tidak dapat memakai topeng kelemah lembutan, murah hati, senyum dan sebagainya. Kita menjadi diri kita apa adanya. Bila pelayanan di luar kita dapat berusaha menahan diri bila orang yang kita layani tidak sepaham dengan kita, sebab setelah itu kita pergi meninggalkan mereka. Tapi di dalam keluarga kita tidak dapat meninggalkan anak kita meski dia tidak sepaham dengan kita. Disinilah yang menyebabkan timbulnya keinginan melayani diluar tapi melupakan keluarga.

Ibu Teresa menegaskan pelayanan dimulai dari keluarga. Dia berkata “Cinta kasih itu hidup ditengah keluarga.” Dalam keluarga cinta kita diuji. Kita dituntut mencintai setiap pribadi sepenuhnya. Bila kita menemukan cinta dalam keluarga maka kita akan mempunyai akar yang kuat dalam pelayanan kita

MARIA SEBAGAI TELADAN

Tetapi jawab Yesus kepada orang yang menyampaikan berita itu kepada-Nya: "Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?" Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku." (Mat 12:48-50)

Ibu Teresa sangat menganggumi Maria, bukan hanya karena dia adalah ibu Yesus melainkan karena sikap dan teladan Maria. Dalam sebuah tulisannya Ibu Teresa menulis “Panggilan Bunda Maria adalah menerima Yesus ke dalam hidupnya. Dia bersedia menjadi abdi bagi Tuhan. Kemudian bergegaslah dia pergi untuk menyerahkan Yesus kepada St. Yohanes Pemandi dan ibunya.” Bagi Ibu Teresa Maria bukan hanya menerima Yesus dalam hidupnya namun dia juga mendidik Yesus di Nasaret dan membawa Yesus pada orang lain sehingga orang lain memuji Tuhan seperti Yohanes memuji Tuhan dalam kandungan Elisabet.

Maria adalah orang beriman yang pertama. Dia percaya pada Yesus dan segala yang disabdakan oleh Tuhan padanya meski hal itu sangat membingungkannya. Bagaimana mungkin dia yang belum bersuami akan mengandung dan melahirkan seorang putra dari Roh Kudus? Namun dia memposisikan diri sebagai hamba yang taat pada perintah tuannya. Hal yang menganggumkan dari Maria adalah kepeduliannya pada orang lain yang menderita. Ketika mendengar Elisabet mengandung maka dia bergegas ke rumah Elisabet dan membantunya sampai Elisabet melahirkan. Padahal saat itu dia juga sedang mengandung. Maria adalah pelaku firman. Maka ketika Yesus ditanya siapa ibunya? Yesus menjawab ibunya adalah orang yang melakukan firman. Siapakah orang yang hebat menjalankan firman selain Maria, bunda Yesus?

Di dunia ini banyak orang yang memeluk agama dan merasa bahwa dirinya sudah beriman. Sebenarnya iman adalah perwujudan dari penyerahan hidup manusia kepada Tuhan. Dia percaya secara penuh dan utuh akan Tuhan. Kepercayaan ini terungkap dalam sikap hidup dan tindakan nyata. Yakobus mengatakan iman tanpa perbuatan hakekatnya adalah mati. Bila orang mengaku bahwa dirinya orang beragama dan beriman namun hidupnya tidak diwarnai oleh iman itu maka sebetulnya dia bukan orang beriman. Mungkin dia orang beragama namun bukan orang beriman.

Ibu Teresa berusaha mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dia percaya bahwa Yesus akan memberi apa yang dibutuhkannya, maka dia tidak pernah kuatir dalam semua hal, sebab dia percaya bahwa Yesus akan memberikan segalanya pada saat yang tepat. Iman Ibu Teresa juga bersumber dari iman Maria yang siap melayani semua orang. Maria yang menerima Yesus dan membawaNya pada orang lain. Ibu Teresa menulis, “Dewasa ini Yesus mendatangi kita dan kita pun seperti Bunda Maria harus bergegas memberikan Dia kepada orang-orang lain.”

Kita sudah menerima Yesus dalam hati. Maka tugas kita adalah membawaNya kepada setiap orang agar mereka mengenal Yesus dan memujiNya. Membawa Yesus pada orang bukan berarti hendak mengkristenkan. Ibu Teresa menghendaki agar orang mengenal Allah bukan untuk menjadi Kristen. Dengan demikian pelayanan kita harus murni demi menolong orang miskin bukan sebagai sarana untuk mengkristenkan orang yang bukan Kristen. Inilah kemurnian pelayanan.

Powered By Blogger