Minggu, 15 November 2009

BUMI DAN LANGIT

“Kami sudah muak dengan semua penindasan ini!” kata seorang gadis kurus yang duduk tepat di depanku. Kaosnya bertuliskan kata-kata lucu dan sudah tampak kumal. Koas yang terlalu besar bagi tubuhnya yang kurus.
“Upah tidak naik tapi perlakuan semakin kasar.” Timpal gadis lain yang duduk tidak jauh dari pintu sambil mengusap keringat yang meleleh di dahinya. Udara panas membekap kami. Ruang ukuran 3X3 m ini tidak cukup bagi sekian banyak orang dengan hati yang dibakar marah. Kami duduk melingkar mengisi setiap jengkal ruang yang tersedia. Berdempet. Tubuh kami menyentuh tubuh yang lain menambah rasa panas.

“Apakah kalian pernah menemui pimpinan untuk membicarakan ini?” tanyaku
“Sudah!” jawab gadis yang rambutnya dipotong pendek.
“Dua teman kami yang mempertanyakan kenaikan UMR akhirnya di PHK dengan alasan tidak jelas.” Kata gadis yang lain.
“Saat ini memang situasi dan kondisi ekonomi sedang sulit.” Kataku berusaha mendinginkan suasana. “Kalian semua tahu bahwa kita masuk dalam krisis global.”
“Aku rasa itu tidak bisa dijadikan alasan, sebab pabrik kami masih terus ekspor.” Bantah gadis yang memakai kaos bertulisan lucu. “Kami bukan menuntut UMR tahun ini, tapi cukuplah bagi kami bila ada sedikit kenaikan upah.”
“Upah mereka masih jauh dibawah UMR,” kata pemuda yang duduk disebelahku. Dia mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. Aku mengerutkan kening.
“Benar,” kata gadis berkaos itu mencoba menyakinkan aku. “Kami ini hanya mendapat Rp 600.000 padahal UMR 2009 kan Rp 948.500. Apakah salah bila kami meminta tambahan upah?”
“Berapa yang kalian tuntut?” tanyaku
“Kami menuntut upah lembur, sebab sering kami harus lembur tapi tidak mendapat upah lembur. Katanya uang sebesar itu sudah termasuk semuanya.”
“Dalam situasi krisis seperti ini dimana biaya hidup menjadi sangat tinggi, kami semakin tidak mampu hidup dengan upah sebesar itu.” kata seorang perempuan setengah baya. Dia adalah orang yang sudah lama bekerja di perusahaan itu. “Kami ini sudah menghemat sedemikian rupa tapi tetap saja tidak cukup.” Aku menghela nafas trenyuh. Kulihat wajah-wajah kusam disekelilingku. Mata-mata putus asa menatapku penuh harap. Aku gelisah.

“Lalu apa yang bisa aku lakukan?” tanyaku. Kutatap satu demi satu wajah yang duduk melingkar. Wajah yang kuyu dan putus asa. Mata-mata memancarkan rasa kecewa. Gelora kemarahan yang mengiringi setiap kata yang terlontar dari mulut-mulut kering.
Sampean menjadi mediator kami.” Kata salah satu dari mereka setelah sesaat terdiam. Dengung kata setuju berkeliling dari satu mulut ke mulut yang lain.
“Kami sudah aksi tapi selalu gagal bahkan dipreser oleh aparat,” seorang pemuda yang duduk di sebelahku menjelaskan. Dia sudah agak lama membantu kawan buruh perempuan yang bekerja di pabrik ini. “Kawan-kawan sudah capek dan ketakutan sebab mereka dipreser sampai tempat kos-kosan.”
“Bagaimana dengan jalur hukum?”
“Sistem hukum perburuhan tidak memihak buruh!” kata seorang gadis yang duduk tidak jauh dariku. “Aturan hukum saat ini buruh harus membela dirinya sendiri. Bagaimana kami yang tidak belajar hukum harus membela diri kami dan berhadapan dengan pakar hukum yang mewakili pengusaha?”
“Masuk ruang pengadilan saja kami sudah takut.” Sambung yang lain. “Apalagi harus berhadapan dengan para pakar hukum. Jelaslah kami akan kalah!” katanya berapi-api. Beberapa gadis tertawa masam.

Suara-suara lirih memenuhi ruang yang pengap. Aku meneguk sedikit air dari gelas air kemasan. Rasa sejuk menjalar di tenggorokanku. Dua jam lalu aku masih duduk di tempat yang nyaman. Menikmati makanan enak di ruang ber AC yang sejuk. Gelak tawa mengiringi satu demi satu makanan mahal masuk ke dalam mulutku. Kini aku duduk berdesakan di rumah salah satu kawan buruh yang gelisah sebab beberapa teman mereka di PHK akibat menuntut kenaikan upah. Sebuah loncatan dari surga yang penuh kenyamanan ke dunia yang penuh perjuangan dan penderitaan.

“Mengapa aku harus menjadi mediator?” tanyaku.
Sampean pasti kenal dengan pemilik perusahaan ini.” Kata pemuda di sebelahku sambil menghembuskan asap rokok. Kabut asap bergulung-gulung memenuhi ruang.
“Siapa?”
“Pak Thomas Jayakusuma.” Aku menatap ke arah gadis yang menyebutkan nama itu.
“Thomas Jayakusuma?” aku mengulang nama itu. Ah tidak mungkin, kataku dalam hati.
“Benar.” Sahut salah satu gadis ketika melihatku meragukan nama yang disebutnya. “Sampean mengenalnya bukan?” Aku menganggukkan kepala lemah. Sebersit rasa kecewa menyeruak di dada. Di kota ini berapa orang bernama Thomas Jayakusuma yang mempunyai perusahaan sepatu?

Seraut wajah melintas di mataku. Seorang pria setengah baya. Penampilannya rapi. Murah senyum dan sabar. Bila berbicara selalu memilih kata-kata yang sopan dan diucapkan dengan nada yang lembut. Belum pernah aku mendengarnya berkata keras. Ada rasa sesak mengganjal di dada. Aku sering bertemu dengannya pada hari minggu di gereja. Dia aktif dalam berbagai organisasi Gereja dan banyak menyumbangkan dananya untuk aneka keperluan Gereja. Aku juga mengenal keluarganya dengan baik. Beberapa kali mereka mengajakku makan di sebuah rumah makan yang cukup besar dan mahal. Pernah sekali aku dan seorang teman diajak keluarga ini makan. Tanpa sengaja aku melihat bon tagihan. Mataku terbelalak melihat deretan angka yang tertera. Suatu jumlah yang mendekati dua kali lipat UMR.

Aku menarik nafas dalam. Kuteguk lagi sedikit air dari gelas air kemasan untuk membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba menjadi kering. Bagaimana mungkin orang yang kuanggap baik selama ini ternyata kini aku mendengar cerita yang jauh berbeda? Kawan-kawan buruh memintaku menemuinya untuk menjadi mediator. Aku tidak mampu membayangkan duduk berhadapan dalam posisis berseberangan. Kupandang langit-langit tempat kost yang buram oleh asap rokok yang mengepul dari mulut beberapa teman.

Suara para kawan buruh berdengung bagai lebah yang terbang mengelilingi kepalaku. Mereka berbicara satu dengan yang lain. Tidak ada satu perkataan pun yang masuk dalam otakku yang sedang bergulat. Udara rumah kost menjadi semakin panas. Kuteguk sisa air di gelas air kemasan sampai tetes terakhir. Tenggorokanku masih terasa sangat kering.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger