Rabu, 31 Desember 2008

SINDROM INFERIOR

Temanku bercerita kalau dia sedang suntuk sebab baru saja dimarahi oleh atasannya. Memang dia bersalah tidak cepat menyampaikan informasi padanya soal data. Tapi sebetulnya kesalahan itu tidak fatal dan merugikan perusahaan. Akhirnya dia dan atasannya dipanggil oleh pemimpin perusahaan dan ternyata pemimpin perusahaan tidak marah. Dia hanya ingin masalah itu selesai tanpa harus ada pertentangan. Pertemuan itu hanya mengambil waktu beberapa menit saja, sebab pemimpin perusahaan sudah tahu duduk masalahnya. Hal yang membuat temanku jengkel adalah sikap atasannya yang mengatainya dengan kata-kata kasar dan menyakitkan.

Aku mengatakan pada temanku mungkin atasannya sedang suntuk di rumah dan tidak berani marah pada istrinya sehingga diungkapkan pada bawahannya. Atau memang dia hanya ingin marah, sehingga ada saja alasan baginya untuk marah meski sebetulnya tidak ada masalah yang layak untuk membuatnya marah. Temanku bercerita bahwa dulu ketika belum menjadi atasan dia orang yang baik padanya. Tapi setelah menjadi atasan dia berubah sikapnya. Segala kebaikan yang dulu pernah ada tidak tampak lagi.

Apa yang menimpa sang atasan itu memang kerap terjadi dalam pergaulan. Seorang yang dulu kelihatannya baik ternyata setelah mempunyai kekuasaan menjadi orang yang arogan dan sewenang-wenang. Dalam budaya Jawa ada pepatah kere munggah bale. Pepatah ini biasanya diterapkan pada perubahan sikap seseorang yang semula miskin lalu menjadi kaya. Dia menjadi sombong dan sewenang-wenang. Dia lupa bahwa dulu dia pernah miskin dan tidak berdaya. Sikap ini melanda banyak orang.

Mengapa dapat terjadi perubahan sikap? Mungkin ketika miskin dia dulu diperlakukan tidak adil oleh sesamanya sehingga ketika dia sedikit mempunyai kekuasaan maka dia membalas pada orang lain apa yang pernah dialaminya. Bagiku orang semacam ini adalah orang sakit yang perlu penyembuhan batin. Dia mempunyai luka-luka batin yang dalam dan tidak pernah disadarinya. Luka batin yang parah adalah luka yang dialami ketika dia masih kanak-kanak. Film sejenis “Silence of the Lamb” menggambarkan kekejian seseorang akibat dilecehkan pada masa kanak-kanaknya. Namun seseorang mampu menutupi luka batinnya saat dia masih membutuhkan orang lain atau tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan. Dia memakai topeng kebaikan sehingga orang melihatnya baik. Tapi setelah dia yakin bahwa saat ini dia mempunyai kekuasaan maka segala topeng itu terlepas dan tampak wujud aslinya yang penuh dendam.

Seorang teman mengatakan bahwa sebenarnya orang Jawa itu tipe inferior, sehingga ketika dia mempunyai kekuasaan berubah menjadi superior. Orang semacam ini sangat berbahaya sebab dia dapat berlaku kasar. Dia juga ingin menunjukkan kekuasaannya dalam aneka cara. Dulu aku pernah ikut bela diri, ketika baru bisa beberapa jurus dasar saja, dalam diriku ada kebanggaan dan keberanian. Kalau melihat ada teman yang kuanggap menyebalkan dan bertentangan denganku, ingin sekali rasanya memukulnya supaya dia tahu bahwa aku mampu bela diri. Hal yang sama juga dialami oleh beberapa teman. Jadi kami ini termasuk orang inferior.

Seorang pemimpin yang terkena “sindrom” kere munggah bale sebetulnya perlu refleksi dan menyadari bahwa kekuasaan bukanlah sarana untuk pembuktian diri, melainkan untuk melayani dan melindungi orang lemah. Namun pada umumnya orang semacam ini sulit untuk mendengarkan dan melihat kebawah, situasi yang ingin dia tinggalkan dan lupakan. Dia hanya bangga dengan kekuasaanya dan melihat ke atas bahwa dia orang yang paling berkuasa. Aku katakan pada temanku, bila suatu saat dia naik jabatan maka hal yang paling penting harus diingat adalah sebelum sampai puncak dia harus melalui anak tangga terbawah. Kalau hal itu lupa maka dia juga akan terkena “sindrom” kere munggah bale

Selasa, 30 Desember 2008

KETIDAKSEIMBANGAN HIDUP

Pemuda itu wajahnya tampak kuyu ditekan aneka beban kehidupan. Dia kukenal beberapa tahun yang lalu, ketika dia masih kuliah. Ketika aku pindah tempat kami tidak pernah bertemu lagi. Tiba-tiba siang ini dia muncul di tempatku. Dia bercerita kalau sekarang sudah menikah dan punya anak satu. Memang pernikahannya kurang dipersiapkan secara matang. Dia menyesal telah bertindak ceroboh pada saat pacaran sehingga pacarnya hamil. Akibatnya dia dan pacarnya putus kuliah dan harus bekerja untuk menghidupi keluarga mereka, sebab kedua orang tua mereka tidak menyetujui keputusan mereka untuk menikah. Berbekal ijasah SMA maka dia berusaha mendapatkan pekerjaan apa saja asal dapat untuk memenuhi biaya hidup bersama istri dan anaknya. Akhirnya dia bekerja di sebuah rumah makan. Kini anaknya sakit dan dia tidak mempunyai biaya sedikit pun, sebab gajinya dan gaji istrinya yang bekerja di sebuah perusahaan hanya cukup untuk biaya makan dan kontrak sebuah kamar. Tidak ada sisa uang setiap bulannya.

Aku pernah sekali makan di tempanya bekerja. Sebuah restoran steak dan aneka makanan lain yang aku lupa namanya. Harga makanan disana cukup mahal. Ada beberapa makanan yang harganya diatas 100 ribu rupiah per porsi. Satu gelas es lemon tea harganya sama dengan 20 gelas kopi yang biasa aku minum bersama teman-teman di tepi jalan. Tapi dibalik kemewahan itu ternyata gaji karyawannya sangat minim. Temanku bercerita bahwa gajinya masih di bawah UMR. Kalau kuhitung gajinya sebulan sama atau mungkin tidak sampai harga 5 porsi steak. Padahal setiap malam ada banyak orang yang makan disana.

Betapa besar jurang antara orang yang datang untuk makan dan karyawan yang melayaninya. Ketika aku makan disana kulihat ada banyak orang yang tidak menghabiskan makannya. Bila sisa makanan dihargai mungkin bisa mencapai puluhan ribu rupiah setiap harinya tapi semua itu dibuang. Padahal para pegawai yang melayani dan membuang makanan itu adalah orang miskin yang gajinya hanya beberapa porsi steak saja. Andaikan aku menjadi mereka bagaimana perasaan hatiku? Di rumah anakku sakit dan tidak mempunyai biaya, sedangkan di tempat kerjaku ada banyak orang tanpa merasa bersalah membuang makanan yang harganya sangat mahal.

Ketika aku ceritakan masalah temanku pada seseorang yang terbiasa makan di tempat semacam itu, dia mengatakan itu hak seseorang untuk makan di tempat seperti itu. Sebetulnya mereka juga tidak ingin membuang makanan, tapi karena perut sudah kenyang, maka makanan tidak dihabiskan. Itu wajar saja. Mendengar penjelasan itu aku menjadi tertegun. Betapa dalamnya kesenjangan dan minimnya solidaritas di jaman ini. Ada sebagian orang yang kenyang dan dia mampu membeli banyak makanan sampai tidak termakan, sedang di sisi lain ada orang yang sangat membutuhkan makanan tapi tidak mempunyai uang untuk membeli makanan.

Memang tidak ada salahnya bila ada orang membuka restoran dengan harga makanannya sangat mahal, sebab ada bahan makan yang diimport sehingga harganya sangat mahal. Tapi mengapa gaji karyawannya masih dibawah UMR? Memang ketika masuk dia sudah tahu bahwa kerja di tempat itu gajinya cukup kecil. Pemilik restoran tidak pernah memaksa temanku untuk bekerja di tempat usahanya. Temanku menerima pekerjaan itu sebab dia terdesak daripada tidak ada pekerjaan sama sekali. Pada jaman ini mencari pekerjaan sangat sulit sekali, maka apapun pekerjaan yang ditemui akan dijalani sejauh ada penghasilan untuk biaya hidup. Jika boleh memilih temanku pasti tidak akan mau bekerja disana dengan gaji sekecil itu. Tapi dia terpaksa menerima. Penghasilan sekecil apapun sangat berguna bagi hidupnya.

Orang yang datang dan membelipun tidak salah, sebab mereka punya uang dan ingin makan enak. Uang itu diperolehnya dengan kerja keras. Maka kalau hanya mencari salah siapa pasti tidak akan ketemu. Dalam hal ini aku hanya berpikir bagaimana soal solidaritas? Orang dapat melakukan apa saja yang ingin dilakukan asal tidak melanggar hukum positip. Tapi bukankah masih ada suara hati nurani? Sebuah hukum yang telah diletakkan oleh Tuhan dalam hati setiap orang. Bahkan ada yang berpendapat bahwa hati nurani adalah suara Tuhan sendiri. Maka selain orang berpedoman pada hukum positip atau hukum negara, maka perlu juga mendengarkan hati nuraninya.

Namun persoalannya apakah hati nurani masih peka? Tidak jarang hati nurani menjadi bebal bahkan mati, sehingga orang tidak mampu lagi mendengar suara hati yang katanya adalah suara Tuhan. Bila orang masih mampu mendengarkan suara hati, maka kondisi yang tidak seimbang dalam kehidupan seperti kasus temanku ini tidak akan terjadi. Orang akan rela memberikan sedikit apa yang dimiliki untuk sesamanya. Pengusaha berani memberikan upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup yang layak. Orang tidak mudah membuang begitu saja makanan, sebab dihadapannya dan yang membersihkan sisa makanannya adalah orang miskin yang hanya mampu membau makanan itu.

Jumat, 26 Desember 2008

TERMINATOR


Pada saat selesai menonton film The Terminator I sekitar tahun 1984, aku bersama teman-teman ribut berdiskusi mengenai film itu. Film Terminator mengkisahkan pada tahun 2019 mesin berperang melawan manusia. Pahlawan manusia adalah John Connor. Para mesin mengirim seorang robot yang diperankan oleh Arnold Schwarzenegger untuk membunuh Sarah Connor yang diperankan oleh Linda Hamilton agar tidak melahirkan John Connor. Namun manusia juga mengirim Kyle Reese yang diperankan oleh Michael Biehn. Akhirnya Sarah Connor selamat dari usaha pembunuhan. Lepas dari persoalan akting dan serunya film kami ribut berdiskusi mengenai mungkinkah suatu saat manusia dikuasai oleh mesin? Ciptaan menguasai pencipta? Diskusi kami tidak berujung, sebab kami bukan ahli tehnologi sehingga tidak mampu meramalkan perkembangan tehnologi di masa depan.

Saat ini sudah tahun 2008 dengan demikian tahun 2019 kurang sebelas tahun lagi. Apakah dalam sebelas tahun ke depan manusia sudah mampu membuat robot yang berpikir sehingga dapat menentukan diri sendiri. Robot yang mempunyai perasaan sehingga dapat berlaku keji dan ingin menguasai? Jika melihat perkembangan komputer dan tehnologi lain yang sangat pesat penciptaan robot yang dapat berpikir tinggal menunggu waktu. Beberapa ahli sudah mampu membuat robot yang semakin lama semakin canggih. Tapi semua robot masih bergantung pada manusia. Bila dia rusak maka tidak mampu memperbaiki dirinya sendiri.

Apakah aku akan mengalami jaman mesin yang menguasai manusia? Bila berpatok pada flm Terminator maka kemungkinan aku masih bisa mengalami jaman itu. Tapi bila ramalan dalam film itu salah dan masih perlu berpuluh tahun lagi untuk membuat robot seperti Terminator, maka aku tidak akan mengalami masa mengerikan itu. Tapi aku pikir ternyata jaman Terminator sudah terjadi pada saat ini, meski banyak orang tidak menyadari itu. Saat ini secara perlahan mesin sudah mulai menguasai manusia namun manusia tidak sadar bahwa dia sudah dikuasai oleh mesin bahkan diperbudak olehnya.

Bagiku ada banyak mesin yang menguasai manusia dan yang paling sangat mencolok adalah HP. Hampir semua penduduk di Indonesia memiliki HP. Mulai dari anak SD bahkan TK sampai nenek dan kakek banyak yang mengenggam HP setiap harinya. Kemana saja mereka pergi kotak kecil itu tidak akan tertinggal. Mungkin lebih tenang ketika sadar bahwa kunci rumah tertinggal daripada HP yang tertinggal. Orang sangat bergantung pada HP dan seolah HP adalah segalanya. Pernah suatu hari aku bersama beberapa teman makan di sebuah rumah makan yang kecil dan penuh sesak. Kami dapat meja dekat pintu. Setelah makan aku iseng melihat orang yang keluar masuk rumah makan. Maka aku mengajak temanku untuk menghitung berapa orang yang keluar ruangan itu sedang telpon dan berapa yang tidak. Ternyata hampir 80% orang yang keluar rumah makan itu melakukan aktifitas dengan HP nya. Entah kirim SMS atau telpon. Seolah ada keharusan untuk melakukan aktifitas dengan HP nya.

Keterlekatan manusia pada HP sedemikian erat. Mereka mengaktifkan HP dimana saja, entah pada waktu luang bahkan dalam acara-acara resmi dan sakral. Dalam rapat tidak jarang terdengar bunyi HP. Dalam perayaan ekaristi dimana manusia seharusnya berdoa juga terdengar bunyi HP atau orang sibuk berkirim SMS atau aktif menelpon, sehingga di beberapa gereja diberi tanda agar HP tidak diaktifkan bahkan ada yang memasang alat untuk mengacak signal. Sebuah surat kabar memberitakan bahwa biaya untuk pembelian pulsa di Jogjakarta, yang dikenal sebagai kota pelajar dan mahasiswa, ternyata jauh lebih besar daripada biaya pembelian buku. Bagiku HP bukan lagi alat yang mempermudah manusia untuk berkomunikasi melainkan alat yang sudah menguasai manusia. Secara tidak sadar manusia dibuat bergantung pada HP. Dia tidak lagi mampu menjadi manusia yang bebas. Bila dia adalah manusia bebas maka dia tidak gelisah ketika tidak ada HP atau tidak merasa harus mempunyai HP atau tidak harus mengaktifkan HP dimana saja berada. Namun kenyataannya tidak. Banyak orang lebih memilih mengurangi apa saja demi memiliki HP bahkan tega melakukan tindak kekerasan demi memiliki HP. Ternyata secara tidak sadar jaman Terminator sudah terjadi meski baru tahun 2008.

DIMANAKAH KAU TUHAN?

Seorang teman bercerita tentang hidupnya yang sarat ketidakadilan. Dia mengeluh mengapa sejak kecil hidupnya sarat penderitaan dan ketidakadilan? Dimana Tuhan saat dia diperlakukan sewenang-wenang? Bila Tuhan Mahaadil mengapa semua itu bisa terjadi? Pertanyaan tentang Tuhan pada menderita bukan kali ini aja aku dengar. Entah sudah berapa kali aku mendengar orang mempertanyakan dimana Tuhan saat dia mengalami penderitaan yang bukan karena kesalahannya? Dimana Tuhan ketika ada orang berbuat jahat dan menindas sesamanya?

Beberapa penulis pasca perang dunia II juga membuat refleksi atas ketidakberadaan Tuhan ketika Nazi melakukan genoside terhadap orang Yahudi. Apa salah mereka? Dalam Kitab Suci Tuhan bersabda bahwa umat Israel adalah bangsa pilihanNya yang akan dilindungiNya. Tapi mengapa Dia membiarkan Nazi membunuh ribuan orang Yahudi dalam kamp tawanan? Teriakan ditinggalkan Tuhan juga dialami Yesus ketika di salib. Dia berteriak dimana Allah? Memang penderitaan yang dialami oleh orang yang sadar bahwa dirinya tidak bersalah jauh lebih menyakitkan daripada penderitaan yang dialami oleh orang yang sadar bahwa dia bersalah. Seorang maling dipukuli oleh orang kampung dia merasa hal itu sudah konsekwensi yang harus diterima. Tapi kalau ada orang jalan lalu dikeroyok tanpa tahu mengapa dia dikeroyok, maka akan muncul pertanyaan dimana Tuhan saat itu? Maka tidak jarang orang mengkaitkan penderitaan dengan dosa. Banyak orang berusaha melepaskan penderitaan dengan berdoa mohon ampun atas dosa-dosanya bahkan dosa nenek moyangnya.

Dalam penderitaan orang mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan. Bila orang itu sungguh teguh imannya maka dia akan semakin bertaut pada Tuhan, tapi bila tidak teguh maka dia akan meninggalkan Tuhan. Percuma percaya pada Tuhan bila Dia tidak ada saat dibutuhkan. Kemanakah Tuhan pada saat orang menderita? Tuhan selalu ada dan melihat semua yang terjadi di dunia. Dalam kitab Ayub, Tuhan mengijinkan setan untuk mencobai Ayub. Penderitaan membuat Ayub mulai mempertanyakan Tuhan dan keberadaanNya. Apakah ketika Ayub hidup makmur dia tidak pernah mempertanyakan Tuhan? Tampaknya tidak. Dia memang orang saleh dan dia yakin bahwa Allah adalah penyelamatnya. Tapi dalam penderitaan keyakinannya mulai goyah. Keyakinan bahwa Allah yang baik dan adil berbenturan dengan kenyataan hidup yang tidak adil.

Orang mempertanyakan keberadaan Tuhan sebab melihat Tuhan dari satu sudut yaitu sudut positip. Sejak kecil dan mengenal agama sudah ditanamkan dalam diri seseorang Tuhan yang positip. Tuhan Mahabaik, Mahamurah dan sebagainya. Apakah Tuhan hanya dalam sisi positip? Bila Tuhan adalah sempurna maka dalam Dia tidak hanya ada positip tapi juga negatif yaitu Mahapelit, Mahajahat dan sebagainya. Tapi siapa orang yang berani menyatakan bahwa Allah itu Mahajahat dan Mahatidakadil? Tentu ini akan dilawan oleh orang yang mengaku beriman, sebab pemahaman itu tidak ada dalam Kitab Suci. Lebih jauh lagi penderitaan membuat orang konflik dengan dirinya. Keyakinan Tuhan yang positip berbenturan dengan realita penderitaan. Akibatnya dia mempertanyakan dimana Tuhan ketika penderitaan itu terjadi?

Tuhan adalah pribadi yang bebas. Dia bebas memberi dan bebas mengambil. Namun orang sulit menerima bila Tuhan mengambil. Bagaimana dia akan memuji Tuhan bila Tuhan mengambil apa yang dimilikinya? Dalam hal ini kita sering memaksa Tuhan untuk menjadi atau melakukan seperti yang kita inginkan. Iman adalah kepasrahan pada Tuhan. Menyerahkan seluruh hidup pada kehendakNya. Ayub ketika menerima penderitaan dia berdoa pendek, Tuhan memberi dan Tuhan mengambil, terpujilah Tuhan. Yesus pun memberi kebebasan pada Allah dalam doa di taman Getsmani. "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Kepasrahan inilah yang membuat manusia tenang dan sungguh menampakkan imannya pada Tuhan.

Rabu, 24 Desember 2008

NATAL DAN KESEPIAN

Suasana Natal sudah menebar di segenap tempat. Mall dan beberapa gedung semarak oleh hiasan Natal. Beberapa penjual mengadakan obral dengan teman Natal. Di beberapa tempat penjualan pelayannya memakai topi mirip Santa Klaus. Banyak hal dikaitkan dengan Natal meski sebetulnya ada kesan pemaksaan. Natal memang hari besar bagi umat Kristen, meski sebetulnya yang terpenting bagi iman umat adalah Paskah, sebab tanpa kebangkitan sia-sialah pengurbanan Yesus. Namun gema Natal jauh lebih berkumandang meriah dibandingkan Paskah.

Beberapa orang mengajakku untuk membagikan nasi bungkus pada malam Natal. Mereka ingin berbagi kasih kepada orang miskin, sehingga orang miskin pun dapat merayakan Natal. Tawaran itu kutolak dengan halus sebab aku kurang suka dengan aktifitas semacam itu. Entah mengapa pada tahun-tahun terakhir kegiatan itu semakin marak dan beberapa orang menceritakannya dengan penuh kebanggaan. Apakah nasi bungkus sudah mampu membahagiakan orang miskin yang tertidur di tepi jalan? Apakah anak-anak jalanan dan tukang becak yang menerima nasi bungkus sudah merasakan makna kehadiran Yesus di dunia?

Aku pernah mengalami beberapa kali Natal yang membuatku bergolak. Salah satunya adalah ketika aku masih SMA. Keluargaku bukanlah orang Kristen. Maka aku berangkat ke gereja untuk merayakan Natal sendirian. Sepulang dari gereja aku tidak tahu harus merayakan Natal dengan siapa, sebab hampir semua temanku bukan orang Kristen juga. Beberapa teman Gereja sudah mempunyai acara dengan keluarga atau teman yang lain. Ketika di dalam gereja aku merasakan kemeriahan Natal, tapi begitu keluar dari gereja semua kemeriahan itu sirna. Aku merasa sepi dan sendiri. Aku membayangkan kalau sampai rumah pasti semua keluargaku sudah tidur. Disana juga tidak ada secuilpun hiasan Natal.

Dalam pikiranku mulai bertanya apakah aku sekarang sedang merayakan Natal? Sambil menyusuri jalan yang telah lengang, aku membayangkan bahwa mungkin beginilah rasanya ketika Yosep dan Maria menyusuri jalanan menuju Betlehem. Sepi dan tidak ada orang yang mau membukakan pintu untuk menerimanya. Kesepian dan ketidakberkawanan inilah mungkin suasana Natal yang sesungguhnya, meski sekarang semua sudah berubah. Natal penuh dengan keramaian dan kemeriahan. Akulah orang yang sedang merayakan Natal, kata hatiku untuk menghibur diri.

Natal bukanlah saat untuk membuat sebuah kemeriahan dan keramaian, sebab dengan demikian Natal telah dihilangkan dari kenyataannya saat itu. Segala pesta dan kemeriahan telah menghilangkan rasa sepi dan ketidakberkawanan Yosep dan Maria. Kita tidak lagi diajak merasakan keterasingan dan ketiadaan harapan. Mungkin kita dapat saja berpendapat bahwa kelahiran Yesus perlu dirayakan, sebab Natal adalah tanda keselamatan sudah datang. Kita bersuka cita menerima kedatangan Yesus. Tapi apakah kita sudah menerima Yesus dalam hidup kita? Apakah kita sudah membuka hati untuk Yesus? Bila kita telah menerima Yesus dalam hidup kita, maka kehidupan kita akan berubah. “tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku (Gal 2:20). Bila kita siap untuk membuka diri terhadap Yesus apakah kita juga sudah membuka diri terhadap orang-orang yang kesepian dan tidak berkawan? Saat ini masih banyak Yesus yang kesepian dan kesulitan untuk menemukan pintu yang terbuka bagi DiriNya dan banyak orang bersuka cita mengenang Yesus yang lahir dalam kesepian dan ketidakberkawanan.

Senin, 22 Desember 2008

HARI IBU

Rasanya sungguh tepat bahwa negara kita mempunyai hari khusus sebagai hari ibu. Di berbagai belahan dunia juga ada hari khusus yang ditetapkan sebagai hari ibu. Memang ada perbedaan antara latar belakang penetapan hari ibu dari belahan dunia Barat dengan negara kita. Di beberapa negara Eropa hari ibu dirayakan pada bulan Maret sebab dikaitkan dengan perayaan dewi Rhea yang merupakan ibu dari para segala dewa dalam mitologi Yunani. Di Amerika dan beberapa negara lain hari ibu dirayakan pada bulan Mei sebab dikaitkan dengan Julia Ward Howe yang menggerakan perempuan untuk menentang perang saudara pada tahun 1870. Di negara kita hari ibu dikaitkan dengan konggres perempuan yang dilaksanakan pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Jogjakarta. Pada saat itu ada beberapa organisasi perempuan yang berkumpul untuk menentang penjajahan Belanda. Tanggal 22 Desember resmi menjadi Hari Ibu diputuskan oleh presiden Soekarno melalui sebuah dekrit pada tahun 1959.

Terlepas dari latar belakang munculnya Hari Ibu yang terkait dengan politik perjuangan, namun memang sudah selayaknya ada peringatan Hari Ibu. Memang Hari Ibu di negara kita masih kurang gemanya. Bahkan banyak orang yang lupa akan hari peringatan ini. Sebetulnya pada Hari Ibu semua ibu dibebaskan dari tugas hariannya. Dia bisa sehari beristirahat dan menikmati kemanjaan yang diberikan oleh keluarganya. Namun hal ini pun jarang terjadi, bahkan mungkin tidak pernah.

Kurang antusiasnya merayakan Hari Ibu mungkin disebabkan belum sadarnya banyak orang akan peran vital seorang ibu dalam kehidupannya. Banyak orang masih menganggap remeh pekerjaan rumah tangga atau biasanya juga disebut sebagai pekerjaan domestik. Dalam beberapa budaya Timur ada pembagian tugas antara seorang ayah dan ibu. Ayah adalah pekerja di luar rumah sedangkan ibu bekerja di dalam rumah. Pekerjaan di luar rumah menghasilkan materi atau uang sedangkan pekerjaan di dalam rumah tidak menghasilkan uang, sehingga kurang diperhitungkan. Namun sebenarnya pekerjaan seorang ibu jauh lebih berat daripada pekerjaan seorang ayah. Seorang ibu sudah harus mulai bekerja sebelum ayah memulai pekerjaannya dan seorang ibu masih harus terus bekerja setelah ayah sudah menikmati saat istirahatnya.

Selain itu mungkin karena hampir di semua negara yang menganut budaya Timur sangat didominasi oleh sistem patriakal sehingga peran ibu kurang dihargai. Kurangnya penghargaan terhadap perempuan maka banyak aturan dan perilaku yang kurang memperhatikan kaum perempuan bahkan ada perilaku dan aturan yang merugikan kaum perempuan. Hal ini memunculkan gerakan emansipasi perempuan. Meski di berbagai belahan dunia gerakan ini sudah sering dibicarakan dan dicanangkan namun gemanya masih terlalu lemah. Saat ini sudah banyak ibu yang bekerja di luar rumah, namun meski dia sudah mampu menghasilkan uang, yang seharusnya juga dihargai seperti ayah, tetapi mereka tetap harus berperan sebagai ibu yang bekerja di dalam rumah. Akibatnya peran ibu pada jaman ini sangat berat sebab dia merangkap sebagai pekerja di dalam rumah sekaligus di luar rumah.

Mengingat masih banyaknya ketidakadilan bagi ibu maka ada baiknya Hari Ibu bukan hanya sekedar diperingati melainkan dirayakan secara sungguh dimana kaum ibu dapat bebas dari pekerjaan rutin. Terlebih dari itu senantiasa diadakan sosialisasi dan pendidikan bagi setiap generasi akan beratnya peran seorang ibu, sehingga meski Hari Ibu sudah dilewati namun peran ibu tetap dihargai.

MENGAPA HARUS HORMAT PADA IBU?

Seorang kaum muda mengeluh tentang ibunya. Dia sudah tua dan sakit-sakitan. Setiap hari sering marah dan ada saja hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk marah. Setelah beberapa saat dia mengungkapkan kekesalan hatinya akhirnya dia terdiam. Aku pun hanya diam. Dia memintaku untuk menjawab segala masalahnya. Aku berkata bahwa sebetulnya dia harusnya bersyukur sebab masih mempunyai ibu. Sedangkan aku dan banyak orang sudah tidak mempunyai ibu lagi. Dia menjawab lebih baik tidak mempunyai ibu yang selalu membuat hatinya panas. Aku tertunduk kecewa.

Anak muda itu bukan satu-satunya anak atau orang yang jengkel dan tidak suka pada ibunya. Bahkan tidak jarang aku mendengar ada orang yang membenci ibunya sehingga tega membunuhnya. Betapa mengerikan orang-orang semacam ini. Bagiku mereka adalah orang yang tidak bisa membalas budi dan tidak memahami sebuah pengurbanan panjang dari seseorang.

Bagiku seorang ibu adalah seorang yang mempunyai keberanian. Dia berani menerima anaknya apa adanya. Ketika mengandung dia tidak pernah tahu bagaimana rupa anak yang akan dilahirkan. Dia tidak tahu apakah janin ini akan tampan atau jelek. Pandai atau bodoh. Nakal atau baik. Tapi seorang ibu berani menerima calon anaknya meski masih sangat gelap baginya. Bahkan tidak jarang calon anak itu sangat diharapkan dan dibanggakan. Selama 9 bulan lebih dia membawa anak itu dalam kandungannya. Kemana saja dan apa saja yang dia kerjakan anak itu tidak pernah dilepaskannya. Dia mengalami kesulitan beraktifitas akibat beban tambahan yang ada dalam perutnya. Ketika anak itu lahir seorang ibu harus berani menyerahkan nyawanya. Dia tidak peduli apakah dia akan meninggal atau hidup asal anaknya dapat lahir. Inilah keberanian seorang ibu. Dia berani menerima anaknya dalam gelap dan berani menyerahkan tubuh bahkan nyawanya bagi anaknya. Ketika sudah lahirpun seorang ibu berani mengambil dan mengakui bahwa itu anaknya. Dia merawatnya siang malam tanpa mengenal lelah. Masih banyak lagi yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya.

Bila orang menyadari akan segala kurban ini tentu dia akan menaruh hormat, sebab dia tidak akan mungkin membalas semua itu. Dia tidak akan mampu membalas air susu ibu. Tidak akan mampu membalas menggendong ibunya sepanjang hidup. Bila sekarang dia menganggap ibunya sangat menjengkelkan apakah ketika dulu dia tidak pernah menjengkelkan ibunya yang harus terbangun pada tengah malam dalam tubuh yang kelelahan hanya karena anaknya menangis. Atau terpaksa merelakan waktu istirahatnya untuk menggendong anaknya yang sedang sakit dan masih banyak lagi kurban yang telah diberikan pada anaknya.

Seorang ibu adalah orang yang berpikir positip terhadap anaknya. Tidak ada ibu yang menimang anaknya dan mengatakan bahwa anaknya adalah orang paling bodoh seduni, orang paling jelek, paling nakal dan hal negatif lain. Apapun bentuk dan wujud anaknya seorang ibu akan menimang dan mengatakan bahwa dia adalah yang terbaik. Mengapa sekarang seorang anak tidak menimang ibunya dan mengatakan bahwa dia adalah yang terbaik meski wujudnya sudah tua dan sikapnya mungkin tidak sesuai dengan yang diharapkannya?

Kejengkelan anak muda itu disebabkan dia tidak mampu melihat akan kebaikan yang telah dia terima dari ibunya yang tidak mungkin dia balas. Dia hanya mengingat akan keburukan ibunya dan keinginannya agar ibunya seperti yang dia harapkan. Akibatnya yang muncul dalam hati adalah kemarahan dan kejengkelan bahkan kebencian. Seandainya dia sadar akan pengurbanan ibunya mungkin dia tidak akan marah.

Minggu, 21 Desember 2008

BELAJAR DARI SALIB

Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya..Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.” (1Ptr 2:21.24)

Yesus mengurbankan diri secara total demi menyelamatkan manusia. Allah dapat menyelamatkan manusia melalui berbagai cara. Para nabi datang membawa ajaran dan seruan pertobatan agar manusia kembali pada Allah dan mentaati perintahNya. Allah pun pernah memusnahkan manusia melalui air bah pada jaman Nuh, sehingga hanya menyisakan Nuh dan keluarganya yang dianggap sebagai orang baik. Allah juga pernah menurunkan hujan api di Sodom dan Gomora pada jaman Abraham, sebab Abraham tidak menemukan orang baik. Namun akhirnya Allah mengurbankan diri. Inilah puncak keselamatan.

Mengapa harus mengurbankan diri? Menurut penulis surat Petrus pengurbanan Yesus juga sebagai bentuk keteladanan bahwa bila orang ingin menyelamatkan sesamanya maka dia harus mengurbankan diri. Tidak ada keselamatan tanpa kurban. Demikian pula dengan kita saat ini. Bila kita ingin menyelamatkan sesama maka kita dituntut untuk berkurban baginya. Misalnya saja kita mengunjungi orang sakit, maka kita harus meluangkan waktu, tenaga, dana dan sebagainya. Inilah kurban bagi kita bagi sesama. Semakin besar keselamatan yang ingin kita berikan pada sesama semakin besar kurban yang harus kita lakukan.

Dalam kata sambutannya saat menerima penghargaan Discovery Award pada 13 Juni 1981 Ibu Teresa mengatakan, “Bila kita memandang salib, kita menyadari betapa besar kasih Yesus terhadap kita. Bila kita memandang tabernakel, kita menyadari betapa besar cintaNya kepada kita saat ini. Itulah sebabnya mengapa penting sekali bagi kita untuk belajar berdoa, jika kita memang ingin mencintai dan dicintai.” Ibu Teresa menganjurkan kepada para suster dan kita untuk beradorasi dan meditasi di depan tabernakel. Dalam adorasi kita diajak untuk merenungkan kasih Yesus kepada kita sehingga mengurbankan diri dan menjadi hosti yang kecil dan sederhana demi keselamatan manusia. Dalam adorasi kita dapat merasakan cinta Yesus yang mendorong kita untuk semakin mencintai sesama.

Dunia saat ini penuh dengan penderitaan. Setiap hari kita melihat ada banyak penderitaan di sekitar kita. Hal ini disebabkan semakin banyak orang yang enggan untuk berkurban bagi sesama sebaliknya semakin banyak orang yang tega menindas dan memperlakukan sesamanya dengan sewenang-wenang. Saat ini sulit dicari orang Samaria yang baik hati. Orang yang berani meninggalkan kepentingannya demi keselamatan orang lain. Orang jaman ini cenderung egois dan individualis, sehingga dia hanya berpikir demi kepentingannya dan tidak peduli pada sesama. Orang rela melakukan apa saja demi kepentingannya dan kenikmatannya. Orang tetap berpesta meski ada ribuan bahkan jutaan orang yang tidak dapat makan. Mereka tidak peduli akan keadaan sesamanya, sebab bagi mereka itu bukan urusannya.

Agar dapat melakukan kurban kita dituntut untuk memiliki hati yang penuh belas kasih kepada sesama dan keberanian untuk meninggalkan diri atau pengosongan diri. Hati yang dipenuhi oleh belas kasih mendorong kita berani untuk mengabaikan aneka kepentingan diri sendiri dan hanya memusatkan perhatian pada kepentingan sesama. Hal ini tidak mudah, sebab kita ingin hidup kita bahagia dan nyaman. Kurban adalah pemberian yang pasti akan mengurangi apa yang kita miliki. Mengunjungi orang sakit dapat mengurangi waktu kita untuk urusan pribadi. Memang banyak orang melakukan pelayanan namun dalam melakukannya masih sering mendasarkan tindakan diri pada untung rugi dan kepentingan sendiri. Mereka melakukan pelayanan hanya demi sebuah prestise dan kebanggaan diri sendiri. Akibatnya sering terjadi pertengkaran dengan teman sepelayanan, kecewa sebab yang dilayani tidak hidup sesuai dengan yang diharapkan dan sebagainya. Akibatanya banyak karya pelayanan yang berhenti atau bubar.

Bila kita ingin berkurban maka kita harus berani melupakan kepentingan diri sendiri. Kekuatan kita untuk memiliki semangat kurban seperti ini adalah bila kita mau setiap saat merenungkan kurban salib. Kita menyadari bahwa Yesus sudah mengurbankan diri terlebih dahulu secara total. Bahwa Yesus sudah memberikan keteladanan bagaimana seharusnya menyelamatkan manusia. Semakin sering kita meditasi atau adorasi di depan tabernakel dan salib semakin kuat belas kasih dan semangat berkurban. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk sesering mungkin hening di depan tabernakel untuk merasakan kasih Tuhan kepada kita, sehingga dapat memberikan kekuatan kepada kita untuk berani berkurban.

MARIA BUNDA PENOLONG

Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm 11:36)

Umat Kristen di Roma semula dibangun oleh orang Yahudi, tapi karena mereka diusir dari Roma, maka tinggallah umat Kristen bukan Yahudi yang masih bertahan di Roma. Mereka adalah kelompok minoritas dan banyak mendapatkan tekanan. Maka St. Paulus berusaha meneguhkan mereka agar tetap setia dan meletakkan Yesus sebagai pusat hidupnya. St. Paulus mengingatkan bahwa apa saja yang mereka terima semua berasal dari kemurahan hati Yesus, maka semua harus dikembalikan pada Yesus.

Sebetulnya apa yang ditulis oleh St. Paulus juga ditujukan kepada kita. Hidup kita adalah anugerah dari Allah. Apa yang kita miliki saat ini semua berasal dari Allah. Memang kita pun berusaha untuk mencapai apa yang ada saat ini. Kita pun berjuang untuk dapat mempertahankan kehidupan. Namun semua itu akan sia-sia bila Allah tidak berkenan. Kesadaran akan segala sesuatu yang kita alami berasal dari Allah, maka kita pun hendaknya mengembalikan kepada Allah bila Allah memintanya kembali. Kita dianugerahi Allah tenaga yang cukup, maka kita harus memberikan tenaga kita bila Allah membutuhkannya. Kita pun telah menerima Yesus dalam hidup kita. Dia tidak ada diluar diri, melainkan Dia ada dalam diri kita. Bila kita menerima hosti maka kita bersatu secara penuh dengan Yesus secara nyata. Dia hidup dalam diri kita dan menggerakkan kita.

Ketika akan menerima hadiah Magsaysay, sebuah hadiah tertinggi yang diberikan oleh pemerintah Philipina kepada orang yang dianggap hebat, Ibu Teresa selama di Manila tinggal di rumah suster Puteri Kasih. Dia menulis surat kepada Rm. Neuner “For me please pray, Would that I could tell but that too is empty and it seems to me I have nothing to tell you, I wonder what He gets from all this when there is nothing in me. I had to go to Manila for the Magsaysay award. It was one big sacrifice. Why does He give all these but Himself. I want Him, not His gifts or creatures. I must not write like this for it takes from the joy of letting God be free with me. I am not only willing but also happy to be at His disposal. Let Him taka all, even Himself if this increases His pleasure, in return I ask to make my Sisters holy.” Dari tulisan ini kita dapat melihat betapa rendah hatinya Ibu Teresa. Baginya sudah merasa cukup akan hadiah yang diberikan oleh Yesus pada manusia yaitu diriNya. Ibu Teresa hanya mengingkan Yesus bukan yang lain.

Bila kita telah hidup dalam Yesus dan menyadari akan karya Yesus dalam hidup kita, maka kita tidak lagi digelisahkan oleh aneka penghargaan yang diberikan oleh manusia. Dalam melakukan segala sesuatu kita tidak peduli lagi apakah yang kita lakukan dihargai oleh manusia atau tidak, sebab kita melakukan demi Yesus. Hanya Yesus yang menjadi pusat segala aktifitas kita. Tapi hal ini tidak mudah. Kita masih sering melakukan sesuatu agar dihargai oleh sesama. Salah satu ciri jaman ini adalah persaingan prestasi. Maka pelayanan pun dapat dijadikan sebagai sarana untuk bersaing dengan sesamanya dan mencari prestasi. Akibatnya tidak jarang dalam pelayanan kita dapat menemukan orang yang bertengkar, tersinggung, marah pada sesama dan akhirnya meninggalkan pelayanan itu. Banyak orang menjadi kecewa sebab apa yang dilakukan tidak dihargai oleh sesamanya.

Pelayanan bukanlah sarana mencari kepuasan diri atau penghargaan diri. Pelayanan adalah pemberian diri kepada Yesus yang telah menyelamatkan. Pusat perhatian kita adalah Yesus yang membutuhkan kita. Pelayanan adalah saat kita membalas cinta kasih Yesus yang telah mengurbankan diri. Untuk itu sebelum melayani hendaknya kita merefleksi diri. Melihat karya Allah dalam diri. Semakin kita menyadari akan kasih Allah yang telah kita terima maka semakin besar pula semangat kita untuk melayani. Pelayanan adalah membagi kasih pada sesama yang membutuhkan. Agar kita mampu berbagi kasih, maka kita harus mengalami kasih terlebih dahulu. Kasih yang terbesar adalah kasih Allah yang tidak berkesudahan.

Kasihlah yang menggerakkan kita untuk melayani, sebab tanpa kasih pelayanan kita hanya menjadi aksi sosial, dimana kita menolong orang miskin hanya karena tuntutan moral bukan perwujudan kasih pada sesama. Oleh karena pelayanan adalah perwujudan kasih kepada Allah, maka kita tidak akan gentar bila dikritik oleh sesama bahkan dijauhi oleh sesama karena melakukan pelayanan. Pusat perhatian kita adalah Allah bukan manusia. Memang kita membutuhkan pujian. Kita senang bila apa yang kita lakukan dikagumi orang. tapi pujian bukan menjadi pusat perhatian, sebab kita sudah dipuaskan oleh pujian yang nantinya akan kita terima bila Yesus datang untuk kedua kali.

MARIA BUNDA PENOLONG

Mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus.” (Kis 1:14)

Maria sangat berperan dalam karya keselamatan. Dengan berani dia menerima tawaran malaikat untuk mengandung Yesus meski dia masih dalam status tunangan Yusuf meski sebagai orang Yahudi dia tahu bahwa perempuan yang mengandung diluar nikah akan dirajam sampai mati. Maria mendampingi Yesus sampai dibawah kaki salib dan akhirnya Maria tetap mendampingi para murid pada Gereja perdana. Maka tidak heranlah bila Gereja Katolik menempatkan Maria pada tempat yang tinggi. Sampai saat ini masih banyak mujijat yang diperoleh oleh orang yang berdoa kepada Maria. Tidak terhitung penampakan Maria untuk meneguhkan manusia ketika dunia sedang dalam penderitaan. Maria senantiasa menolong manusia.

Ibu Teresa juga sangat percaya akan pertolongan Maria pada saat sulit. Dia menceritakan pengalamannya ketika menghadiri misa yang dipimpin oleh Paus Yohanes Paulus II di halaman St. Petrus pada tahun 1984. Saat itu banyak orang yang hadir termasuk sekelompok suster-suster MC, tiba-tiba turun hujan. Ibu Teresa mengatakan pada para suster “Mari kita berdoa novena memorare pada Bunda Maria agar hujan berhenti.” Ketika para suster sedang berdoa memorare untuk kedua kalinya hujan turun dengan lebatnya. Maka kami berdoa mengulang tiga kali, empat kali, lima, enam, tujuh dan delapan kali dan payung-payung mulai ditutup. Ketika kami menyelesaikan doa yang kesembilan ternyata hanya payung kami yang masih terbuka. Kami berdoa sedemikian tekun sehingga tidak memperhatikan cuaca. Ternyata hujan sudah berhenti. Demikian pula ketika Ibu Teresa akan membangun rumah induk MC maka dia berjanji pada perawan Maria untuk berdoa 85.000 kali memorare. Dia juga mengajarkan kepada banyak orang untuk berdoa memorare kepada perawan Maria.

Maria adalah sosok orang yang sangat peduli. Ketika dia mendengar bahwa Elisabet yang sudah tua sedang mengandung maka dia bergegas ke rumah Elisabet yang cukup jauh. Selama beberapa bulan dia tinggal di rumah Elisabet untuk membantunya, padahal saat itu dia juga sedang mengandung Yesus. Ketika dia hadir di pesta perkawinan di Kana dan ternyata mereka kehabisan anggur, maka Maria berusaha meminta pada Yesus untuk melakukan sesuatu agar penyelenggara pesta tidak malu. Yesus menegurnya bahwa waktuNya belum tiba, namun Maria tetap percaya bahwa Yesus akan menolong maka dia mengatakan kepada para pegawai agar mereka menjalankan apa yang diperintahkan oleh Yesus dan terjadilah mujijat. Dalam kisah ini tampak bahwa Maria sangat percaya pada Yesus.

Kepedulian Maria akan penderitaan manusia membuat banyak orang yang berdoa memohon sesuatu dengan perantaraannya. Ribuan orang memberi kesaksian telah mengalami mujijat karena berdoa dengan perantaraan Maria. Sebetulnya kesucian Maria bukan karena dia peduli pada penderitaan manusia, melainkan karena imannya kepada Yesus. Dia sering tidak memahami akan tindakan Yesus atau apa yang dikatakan mengenai Yesus, namun semua itu disimpannya dalam hati dan direnungkannya. Maria adalah seorang kontemplatif yang berusaha merenungkan setiap peristiwa dalam hidupnya.

Dalam pelayanan dan hidup tidak jarang kita memasuki saat-saat gelap dimana kita tidak memahami akan peristiwa hidup. Tidak jarang kita mengalami kekecawaan dan putus asa. Pada saat inilah hendaknya kita menyerahkan diri pada Maria. Kita memohon bantuannya untuk mengatasi masalah yang sedang kita hadapi. Kepercayaan bahwa Maria akan senantiasa menolong membuat kita senantiasa mempunyai harapan dan keberanian untuk terus melangkah meski tampaknya sangat sulit. Namun sebenarnya yang dapat menolong bukanlah Maria melainkan Yesus. Maria adalah pengantara antara kita dengan Yesus. Bila kita berdoa pada Maria, maka Maria akan berdoa bersama kita untuk membawa permohonan kita pada Yesus. Dengan demikian Yesuslah pusat iman kita bukan Maria.

Beberapa orang kecewa sebab permohonannya tidak dikabulkan oleh Tuhan meski sudah berdoa bersama Maria. Terkabulnya doa bukan karena kita berdoa pada Maria, namun karena iman kita pada Yesus. Dalam perkawinan di Kana Maria memohon pada Yesus dan memerintahkan pelayan pesta untuk mentaati perkataan Yesus. Inilah perintah Maria kepada kita. Bukan hanya memohon melainkan juga taat pada sabda Yesus. Dalam hal inilah kita sering lemah. Kita sudah sering membaca kitab suci yang berisi firman Allah tapi seberapa jauh kita sudah mentaati perintahNya? Melaksanakan yang dikehendakiNya?

MEMIKUL SALIB

Ketika mereka membawa Yesus, mereka menahan seorang yang bernama Simon dari Kirene, yang baru datang dari luar kota, lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus.” (Luk 23:26)
Setelah mengalami siksaan semalam suntuk Yesus harus memanggul salib menuju bukit Golgota. Para prajurit takut Yesus akan meninggal sebelum penyaliban, maka mereka memaksa Simon orang Kirene untuk menggantikan Yesus memanggul salib. Kirene adalah sebuah daerah dekat sungai Nil dan termasuk daerah Libya saat ini, dengan demikian Simon bukanlah orang Yahudi. Kisah Simon yang menggantikan Yesus hanya ada dalam Injil Lukas yang juga penulis Kisah Para Rasul. Dalam Kisah Para Rasul ditulis bahwa ada orang Kirene semula tidak percaya pada Yesus. Mereka termasuk yang menghasut orang untuk membunuh Stefanus (Kis 6:9-11) namun akhirnya mereka juga ikut menyebarkan Injil (Kis 11:20). Simon dari Kirene dikatakan berjalan mengikuti Yesus. Ini adalah gambaran kemuridan. Maka mungkin tampilnya sosok Simon orang Kirene adalah untuk menggambarkan bahwa menjadi murid Yesus tidak selalu merupakan sebuah pilihan bebas melainkan terkadang dengan paksaan.

Menjadi murid Yesus bukan untuk menikmati keselamatan namun terlibat dalam karya keselamatan seperti Simon dari Kirene. Membantu Yesus untuk memikul salibNya. Dalam dunia saat ini masih banyak penderitaan. Mereka membutuhkan penyelamat. Kita sebagai pengikut Kristus tidak mungkin diam dan hanya melihat saja. Kita dituntut untuk terlibat, sebab kita adalah penerus karya keselamatan yang dibawa oleh Yesus. Dia mewarisi kepada kita kaum miskin yang membutuhkan keselamatan.

Dalam sambutannya kepada kaum muda di Philadelphia 5 Agustus 1970, Ibu Teresa mengatakan, “Simon dari Kirene mulai mengikuti Yesus ketika dia membantuNya memikul salibNya. Itulah yang kalian, muda mudi, telah lakukan sepanjang tahun ini sebagai lambang kasihmu: ribuan hal yang telah kamu tawarkan kepada Yesus dalam diri yang miskin. Kalian telah menjadi orang Kirene sejati setiap kali kalian melakukan perbuatan seperti itu….Apakah kita siap menghilangkan duka mereka? Apakah kita siap menanggung penderitaan mereka?Apakah kita siap?Atau apakah kita seperti orang sombong yang lewat, yang melanjutkan perjalanannya setelah melihat yang kekurangan?Yesus kembali jatuh. Berapa kalikah kita membangunkan manusia di jalanan yang telah hidup seperti hewan dan ingin mati seperti malaikat? Apakah kita siap membantu mereka bangun?....Dia adalah Yesus dan Dia membutuhkan tangan kalian untuk menyeka wajahNya. Apakah kalian siap melakukannya?Apakah kalian akan pergi begitu saja?”

Ibu Teresa menekankan bahwa kita harus seperti Simon orang Kirene yang menolong Yesus dalam diri orang miskin. Yesus memang berada dalam diri orang miskin, sehingga barang siapa menolong orang yang menderita dia telah melakukan untuk Yesus. Tapi Yesus juga ada dalam diri kita untuk melakukan karya keselamatan. Dengan demikian bila kita melihat ada orang miskin, maka kita diingatkan akan tugas perutusan kita sebagai penerus karya keselamatan dan disisi lain kita diteguhkan bahwa yang kita tolong adalah Yesus sendiri yang sedang membutuhkan pertolongan.

Yesus memanggil kita untuk diutus mewartakan Injil, tapi kita sering kurang sadar atau mengabaikannya. Kita lebih suka mengikuti Yesus untuk memperoleh keselamatan tanpa perjuangan. Kita puas dengan mengikuti sakramen atau berdoa. Padahal mengikuti Yesus adalah berjalan memikul salib seperti Simon dari Kirene. Sering kita enggan melakukan karya kasih sebab kita sibuk dengan diri kita sendiri atau kita merasa bahwa kita masih membutuhkan pertolongan, sehingga memusatkan perhatian pada diri sendiri. Untuk itu perlulah kita melepaskan kesulitan diri dan mulai membuka mata terhadap penderitaan sesama.

Dalam masa Prapaskah biasanya diadakan ibadat jalan salib. Kita diajak oleh Gereja untuk merenungkan kisah sengsara Yesus yang rela menderita demi keselamatan kita. Bila Yesus sudah menyerahkan nyawaNya untuk kita maka apa balasan kita padaNya? Yesus tidak mengenal kita tapi rela mengurbankan diri bagi kita. Inilah yang oleh Ibu Teresa dimaksukan sebagai hutang yang tidak mungkin terbayarkan. Maka sebagai silih atas hutang itu, kita diajak untuk berani menderita bagi sesama yang membutuhkan. Namun di dunia banyak sekali orang yang menderita dan mungkin kita adalah salah satunya. Akibat kita sering melihat penderitaan maka hati kita dapat menjadi tumpul atau tidak peka pada penderitaan kecuali bila penderitaan itu sangat besar misalnya bencana alam yang merenggut banyak kurban. Maka sangat penting bagi kita untuk merefleksikan secara sungguh bila mengikuti ibadat jalan salib.

DASAR TINDAKAN ADALAH KASIH

Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.” (1Kor 13:3)

St. Paulus menekankan bahwa dari aneka keutamaan yang paling besar adalah kasih. Segala perbuatan besar akan sia-sia bila tidak didasarkan atas kasih. St. Paulus menjabarkan apa yang diajarkan oleh Yesus sebagai hukum yang utama dan utama yaitu kasih kepada Allah dan manusia. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kasihlah yang menentukan orang dapat diselamatkan atau tidak. Bila orang mampu melakukan tindakan kasih sekecil apa pun maka dia akan diselamatkan (bdk Mat 25:31-46).

Dalam pidato di Washington DC pada tahun 1974 Ibu Teresa mengatakan, “Demikian juga bagi kita: tidaklah penting apa yang kita kerjakan atau dimana kita berada, selama kita ingat bahwa kita adalah kepunyaanNya, bahwa Yesus dapat berbuat apa saja sesukaNya kepada kita, bahwa kita berhutang kasih padaNya, dan bahwa kita mengasihiNya. Entah kita bekerja bagi orang kaya atau atas nama orang miskin, entah kita bekerja diantara orang-orang kalangan atas atau para pemukim lingkungan kumuh, yang penting hanyalah kasih yang kita tanamkan dalam melaksanakan pekerjaan kita.” Dari kutipan di atas kita dapat melihat bahwa bagi Ibu Teresa yang penting dalam melakukan segala sesuatu adalah kasih bukan dimana kita melakukan atau kepada siapa kita melakukan pelayanan.

Kasih itu harus muncul dari kesadaran akan kasih Allah yang telah menyelamatkan kita. Bagi Ibu Teresa kita telah berhutang kasih pada Yesus yang telah menebus kita melalui kurban salib. Hutang kasih ini tidak akan pernah mampu kita bayar seluruhnya, sebab kita tidak mungkin mampu mengurbankan diri kita demi Yesus, seperti kita tidak mungkin membayar air susu ibu yang telah kita terima waktu bayi atau membayar kasih ibu yang telah mengandung kita, sebab kita tidak mungkin akan mengandung ibu. Kasih Yesus yang telah kita terima hanya dapat kita syukuri dan kita limpahkan pada semua orang yang membutuhkan.

Bila kita memiliki kasih maka kasih itu akan mengalir dari diri kita dimana saja dan kapan saja. Banyak orang berusaha membela kaum miskin dan tertindas dengan melakukan perlawanan terhadap kaum kaya dan penguasa. Sebetulnya tindakan ini bukan tindakan kasih atau yang berdasarkan kasih. Bila dia melakukan dengan tindakan kasih maka dia tidak akan melakukan perlawanan terhadap orang yang kaya atau berkuasa, sebab mereka pun membutuhkan kasih. Semua orang butuh dikasihi tanpa memandang status sosial, kepemilikan dan sebagainya. Melayani kaum miskin bukan untuk melawan kaum kaya, melainkan membantu kaum miskin sadar akan harkat dan martabatnya sebagai ciptaan Allah. Melayani kaum miskin adalah untuk memulihkan kembali mereka yang telah kehilangan martabatnya sebagai manusia.

Ibu Teresa mengingatkan bahwa kemiskinan bukan hanya disebabkan miskin materi melainkan yang jauh lebih parah adalah kemiskinan akibat kekurangan kasih. Miskin kasih dapat menimpa siapa saja. Maka kita pun tidak boleh menghindari kaum kaya, sebab mereka pun dapat menjadi kaum miskin. Namun mereka bukan prioritas utama sebab kita diutus untuk mengasihi orang yang miskin dari yang termiskin.

Memang kita sering tergoda untuk merasa bangga bila melakukan pelayanan yang bagi kaum miskin yang sangat berat. Kita bangga mampu berteman dengan gelandangan. Kita ingin membuat karya besar bagi kaum miskin. Tapi bila kita memahami apa yang dikatakan oleh St. Paulus maka semua adalah sia-sia, sebab bukan karya besar dan kehebatan yang dinilai oleh Allah melainkan apakah dalam melakukan itu didasarkan pada kasih pada kaum miskin atau hanya memuaskan rasa diri kita sendiri. Ibu Teresa mengatakan bahwa bukan besarnya karya yang dihargai oleh Allah melainkan besarnya kasih yang ada dalam karya itu. Maka tersenyum pada sesama dengan penuh kasih itu sudah merupakan karya besar dibandingkan membuat proyek besar namun akhirnya hanya menimbulkan kemarahan dan pertengkaran diantara kita. Atau melakukan sebuah karya besar demi mencari kepuasan dan kebanggaan diri. Tindakan kasih bukan sesuatu yang dibuat-buat atau direncanakan melainkan mengalir begitu saja dari dalam diri kita sebab kita senantiasa menyadari akan kasih Allah kepada kita.

HIDUP DAMAI

Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun.” (Rm 14:19).
Dalam Gereja perdana beberapa kali terjadi gejolak yang menyebabkan perpecahan. Padahal Gereja adalah gambaran Kerajaan Allah di dunia yang mewartakan damai dan hidup penuh kasih. Maka beberapa kali Yesus menegur dan mengingatkan para murid agar mau hidup berdamai. Pada jaman Gereja awali, Paulus juga mengingatkan agar umat mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera.

Dunia mendambakan damai namun hampir setiap hari kita disuguhi berita kekerasan yang menyebabkan perpecahan dalam masyarakat dan menghilangkan damai. Penulis sejarah Romawi pada jaman dahulu kala yang bernama Publius Flavius menulis semboyan bagi para prajurit Romawi, si vis pacem para bellum, untuk menciptakan damai kita harus berperang. Semboyan ini memang sudah tidak didengungkan lagi pada jaman ini, tapi ternyata masih diikuti oleh banyak orang. Masih banyak orang yang tidak suka hidup berdamai. Dalam tubuh Gereja pun masih sering terjadi pertengkaran, bahkan dalam komunitas-komunitas yang ada dalam tubuh Gereja tidak jarang berantakan akibat pertengkaran.

Ibu Teresa menulis, “Kita harus membawa kasih dan suka cita ke dunia jaman sekarang. Kita tidak butuh meriam atau bom untuk membawa damai. Kita hanya butuh kasih dan kemurahan hati. Dan kita juga butuh kesatuan yang mendalam dengan Allah serta doa. Doa yang disertai pengorbanan diri dan pengorbanan yang disertai dengan adorasi.” Ibu Teresa menghedaki semua pengikutnya mampu menciptakan damai dengan memberikan kasih dan suka cita bukan seperti yang diserukan oleh Publius Flavius.

Dengan demikian agar kita mampu hidup berdamai maka syaratnya adalah bahwa kita mempunyai kasih yang bersumber dari kedekatan hubungan kita dengan Allah melalui doa dan meditasi. Semakin kita banyak berdoa dan bermeditasi, maka hati kita akan dipenuhi oleh kasih Allah yang akan memancar di sekeliling kita. Hati kita akan penuh dengan damai sehingga dapat menawarkan damai kepada orang yang ada disekitar kita.

Di negara kita sangat mudah untuk menemukan rumah ibadah. Banyaknya rumah ibadah menunjukkan ada banyak orang yang berdoa dan percaya pada Allah. Namun mengapa di negara kita masih sering terjadi kekerasan? Hal ini disebabkan masih banyak orang yang melepaskan antara kehidupan doa dengan kehidupan sehari-hari. Banyak orang mempunyai jam-jam doa yang ketat dan berdoa dengan tekun, namun mereka kurang mampu membangun hidup damai dengan sesamanya. Hal ini disebabkan adanya keterpisahan antara kehidupan doa dengan kehidupan sehari-hari. Mereka tidak mampu menjadikan kehidupan doanya sebagai dasar dari kehidupannya sehari-hari.

Dalam berdoa kita merenungkan karya Allah dalam hidup kita. Kita mensyukuri atas segala karunia yang dianugerahkan Allah sepanjang hidup. Namun hidup kita tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Ada banyak kepahitan yang kita alami dan menimbulkan luka yang mendalam. Kebencian, dendam, penyesalan dan aneka kepahitan hidup bercampur aduk dalam lubuk hati yang terdalam. Kita ingin menyingkirkan semua itu, namun tidak mampu sebab semua itu menyatu dalam hidup kita. Kita marah dan jengkel akan semua luka dan kepahitan hidup. Kemarahan dan kejengkelan dalam diri kita ungkapkan pada sesama. Akibatnya kita tidak mampu menciptakan damai. Oleh karena itu agar mampu menciptakan damai, kita harus terlebih dahulu berdamai dengan diri sendiri. Kita serahkan seluruh kepahitan hidup pada Allah dalam doa-doa kita. Kita mensyukuri akan semua pengalaman hidup sebagai bagian dari rencana Allah untuk membentuk kita seperti saat ini. Dalam hening kita melihat kasih Allah yang senantiasa menyertai kita sampai saat ini. Kasih Allah yang terbesar adalah mengangkat kita sebagai anaknya melalui kurban salib. Menghapus segala dosa kita dan menyertai kita sampai akhir jaman. Kesadaran akan kasih Allah yang tidak berkesudahan membuat kita mampu menutup segala luka dan kepahitan hidup, sehingga kita akan mampu berdamai dengan diri. Bila kita mampu berdamai dengan diri, maka kita akan mampu berdamai dengan sesama.

PERSEMBAHAN

Ketika orang Majus melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.” (Luk 2:10-11)

Orang Majus adalah para ahli astronomi yang percaya bahwa seorang raja besar akan lahir setelah mereka melihat bintang besar di langit. Mereka berjalan jauh dari tempat asalnya untuk mencari Sang Raja yang baru lahir. Akhirnya mereka sampai di Betlehem dan menemukan Yesus. Mereka lalu mempersembahkan apa yang mereka bawa kepada Yesus. Persembahan para majus adalah sebagian kecil persembahan yang mereka bawa. Persembahan mereka yang terbesar adalah keberanian mereka untuk meninggalkan segalanya agar dapat bertemu dengan Yesus.

Persembahan adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang dihormatinya tanpa keinginan untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri. Mereka memberi dengan suka cita demi kebahagiaan orang yang dihormatinya. St. Paulus mengingatkan bahwa persembahan yang terbesar adalah tubuh kita, seperti Yesus yang sudah mempersembahkan diriNya sebagai kurban untuk keselamatan manusia. “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Rm 12:1)

Ibu Teresa menulis “Penyangkalan total artinya memberikan diri sepenuhnya kepada Allah karena Allah telah memberikan diriNya kepada kita. Jika Allah yang tidak berhutang apapun kepada kita, bersedia memberikan diriNya kepada kita, pantaskah kita menanggapinya hanya dengan memberiNya sebagian dari diri kita?... Kami memberikan diri kami kepadaNya dan Allah menjadi milik kami, dan sekarang kami tidak mempunyai apa-apa selain Allah. Hadiah yang diberikan Allah kepada kami sebagai imbalan atas penyangkalan diri sendiri adalah diriNya sendiri.”

Bagi Ibu Teresa pelayanan adalah suatu pemberian diri kepada Allah yang ada dalam diri kaum miskin. Pemberian diri adalah menyerahkan seluruh hidup, pikiran, tenaga dan hati kita kepada kaum miskin demi kebahagiaan mereka. Kita menyerahkan tanpa menuntut balas dan dengan suka cita. Untuk itu dibutuhkan semangat penyangkalan diri seperti Yesus yang meskipun Allah namun rela melayani manusia yang rendah dan penuh dosa.

Namun hal ini tidak mudah. Kita sering ingin memiliki diri kita bagi diri sendiri. Kita ingin mempertahankan siapa diri kita adanya. Bila kita seorang pejabat yang biasanya dilayani sangat sulit untuk memberikan diri sebagai pelayan, sebab kita punya kecenderungan ingin menunjukkan siapa diri kita. Maka kita perlu keluar dari diri kita dengan melepaskan segala status, kekayaan, jabatan dan sebagainya dan menjadi hamba dari kaum miskin. Seperti orang majus yang meninggalkan negeri dan seluruh kehidupannya untuk bertemu Yesus.

Penyangkalan diri bukan hanya melepaskan apa yang melekat dalam diri kita melainkan juga membiarkan Allah yang berkarya dalam diri, sehingga bila kita melakukan sesuatu bukan lagi kita yang berbuat melainkan kehendak Allah sendiri. Dengan demikian kita tidak akan kagum dan bangga dengan apa yang telah kita lakukan, sebab Allahlah yang telah melakukan dalam diri kita. Kita pun tidak akan kecewa bila apa yang kita lakukan tidak membuahkan hasil, sebab kita hanya sebagai saluran karya Allah dalam hidup. Kita mampu menyerahkan seluruh karya kita pada Allah. Maka tidak heran bila St. Paulus mengatakan bahwa itulah ibadah sejati. Dalam beribadah bukan hanya kita menyembah Allah melainkan kita juga dikuasai oleh Allah.

Semangat penyangkalan diri hanya dapat dimiliki oleh orang yang rendah hati yaitu sikap yang menyadari bahwa kita tidak memiliki apa-apa selain Allah yang ada dalam hati kita. Kesadaran bahwa kita tidak mampu melakukan apa-apa selain tindakan dimana Allah berkenan. Bila kita mampu mempunyai sikap rendah hati dan penyangkalan diri, maka kita tidak takut untuk melakukan segala sesuatu dan tidak mudah kecewa atau bangga akan segala sesuatu.

HITAM PUTIH

Ruang sempit ini menjadi terasa sangat pengap. Aku duduk diantara teman-teman pendamping buruh, para buruh dan beberapa relawan yang bersedia membantu para buruh. Kami sedang mendiskusikan nasib beberapa teman buruh yang baru saja di PHK oleh pemilik perusahaan tempat mereka bekerja. Menurut cerita mereka kasus ini bermula dari seorang buruh yang terlambat masuk kerja lalu di PHK. Beberapa teman buruh berusaha mengadakan pembicaraan dengan pemimpin perusahaan agar PHK itu dibatalkan sebab keterlambatan teman mereka disebabkan masalah yang penting. Salah satu keluarga buruh itu sedang sakit. Tapi perusahaan tetap melakukan PHK sebab buruh itu telah melanggar aturan. Beberapa teman buruh melihat hal itu sebagai sebuah kesewang-wenangan. Lalu mereka mengadakan aksi demo. Akibatnya semua buruh yang terlibat aksi demo turut di PHK. Kini mereka menuntut uang pesangon.

Ketika para buruh tahu bahwa aku adalah seorang Katolik, maka mereka menceritakan bahwa pemilik perusahaan juga orang Katolik. Apakah aku tidak bisa mengingatkan orang itu agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap buruhnya. Mereka memberiku sebuah nama dari pemilik perusahaan. Aku memang belum pernah mendengar nama itu, sebab dia bukan berasal dari paroki tempatku tinggal. Setelah pertemuan aku datang ke paroki yang menjadi tempat tinggal pemilik perusahaan itu. Aku bertanya pada seorang teman aktifis dari paroki tersebut nama orang itu. Dia menjelaskan bahwa orang itu adalah orang yang sangat aktif menggalang umat dan teman-temannya untuk melakukan karya sosial. Dia juga banyak menyumbang gereja dan terlibat dalam kepengurusan Gereja.

Mendengar penjelasan dari temanku aku menjadi heran. Bagaimana seseorang bisa menjadi hitam putih seperti itu. Memang orang tidak bisa dilihat putih dari semua sudut hidupnya. Yesus disatu sisi dipuja oleh rakyat miskin yang merasa diperhatikan dan menikmati belas kasihNya, namun disisi lain Dia dihujat oleh para imam kepala, kaum Farisi dan ahli Taurat sebab Dia dianggap akan merusak tatanan kemapanan yang sudah dibangun oleh mereka. Namun Yesus berpihak pada kaum miskin dan bertindak adil dalam sepanjang hidupNya. Dia berbuat bukan untuk mencari penghargaan atau pujian melainkan karena belas kasih.

Banyak orang berbuat baik bukan karena dia mempunyai belas kasih melainkan karena dia mendapatkan pengakuan dan pujian. Perbuatan baiknya muncul bukan dari belas kasih kepada orang miskin dan menderita melainkan dari rasa ingin diperhitungkan. Akibatnya bisa menjadi hitam putih seperti aktifis Gereja itu. Ibu Teresa dari Kalkuta mengajak semua orang untuk melakukan hal kecil tapi dengan kasih yang besar. Ukuran besar kecilnya sebuah karya adalah belas kasih yang mendasarinya. Ibu Teresa juga mengatakan bahwa kasih itu dimulai dari dalam keluarga. Hal ini memang benar, sebab orang mudah sekali membagi kasih kepada orang-orang yang jauh daripada orang dekatnya. Banyak orang aktif berbagi dengan orang miskin di tepi jalan dan tampaknya sangat mengasihi mereka sedang di rumah dia sulit berbagi kasih. Pemilik perusahaan itu juga mudah sekali berbagi kasih dengan orang jauh tapi tidak dengan buruhnya yang sebetulnya adalah keluarganya juga, sebab perusahaannya dapat menjadi besar juga atas jasa para buruhnya. Inilah salah satu paradoks jaman ini.

Kamis, 18 Desember 2008

ULO


Entah mengapa anak muda itu dipanggil Ulo yang artinya adalah ular. Dia berasal dari Jakarta dan sejak kecil sudah menggelandang di Surabaya. Sekolahnya SD saja tidak tamat. Ada banyak alasan mengapa dia meninggalkan Jakarta dan lari ke Surabaya. Selama beberapa tahun dia tinggal di sebuah rumah singgah tanpa melanjutkan sekolah lagi, sebab faktor usia yang sudah lewat. Pertemanannya dengan para pendamping membuatnya mempunyai pandangan-pandangan baru tentang sosial. Dia pun tidak segan belajar mengenai aliran-aliran kiri meski sering kali bila ada orang berdiskusi dia hanya duduk sebagai pendengar. Kini Ulo sudah bukan anak lagi. Dia sudah menjadi seorang pemuda dan masuk dalam sebuah organisasi.

Ulo bukanlah seorang yang pandai berbicara. Dia lebih banyak diam dan mendengarkan. Namun dia sangat bersemangat dalam bekerja menolong orang miskin. Kini kegiatan Ulo adalah mendampingi orang-orang miskin yang sakit agar mendapatkan biaya pengobatan murah atau gratis dari pemerintah. Hampir setiap hari dia mengantar orang sakit ke rumah sakit pemerintah. Suatu hari dia harus berdebat dengan para pegawai sampai akhirnya dia dipertemukan dengan pemimpin rumah sakit sehingga dia mendapat perhatian khusus. Mendengar ceritanya aku jadi heran bagaimana dia mempunyai keberanian dan dapat meyakinkan orang-orang yang jauh lebih berpendidikan dan pandai daripadanya.

Aku sering kali datang ke rumah sewaan yang ditempatinya. Rumah itu dijadikan rumah transit bagi orang sakit. Semula rumah ini akan dijadikan sekretariat, namun karena ada kebutuhan untuk tempat singgah bagi orang sakit, maka rumah itu sekarang lebih berfungsi sebagai rumah transit daripada sekretariat. Setiap hari ada saja orang sakit parah yang tinggal di rumah itu. Mereka datang dari beberapa daerah yang cukup jauh dari Surabaya. Mereka adalah orang miskin yang sakit parah seperti tumor, kangker dan sebagainya yang membutuhkan pengobatan mahal dan berulang-ulang di rumah sakit. Namun setiap berobat mereka membutuhkan beberapa hari untuk tinggal di Surabaya, maka sangat berat bila mereka harus menginap. Maka mereka tinggal di rumah transit untuk menginap. Selain itu mereka juga sering kali tidak mempunyai uang, maka Ulolah yang mengantar agar mereka mendapatkan perawatan yang layak.

Ulo adalah pemuda sederhana dan tidak berpendidikan, namun dia mempunyai hati bagi sesamanya yang menderita. Dia tidak segan harus berjalan kian kemari untuk mengurus mereka yang sakit, sebab kami belum mempunyai kendaraan yang dapat dipakai sebagai sarana transportasi. Namun semua itu dijalaninya dengan gembira tanpa mengeluh. Dalam dunia yang makin egois seperti saat ini, orang-orang semacam Ulo sangat dibutuhkan. Dia bukan saja mengurbankan tenaga, namun juga pemikiran dan dananya untuk orang lain yang menderita. Dia melakukan semua itu bukan karena ingin jadi lebih melainkan hanya karena kasihan melihat sesamanya yang menderita. Padahal dia sendiri adalah orang menderita yang tidak jelas masa depannya.

SOLIDARITAS

Beberapa tukang becak berkumpul di pinggir jalan. Mereka ribut membicarakan salah satu temannya yang meninggal dunia. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengadakan saweran. Mereka mengambil sebuah kantong plastik hitam dan mulai mengedarkannya dari satu becak ke becak yang lain.Dari hasil saweran terkumpul hampir 400 ribu rupiah. Lalu mereka memutuskan kapan akan berangkat ke tempat duka dan siapa saja yang akan ikut menyerahkan uang itu.

Para tukang becak itu memang sudah lama menjadi anggota paguyuban becak. Dalam proses membangun paguyuban itulah mereka membuat beberapa aturan termasuk untuk yang sakit dan kalau ada yang meninggal dunia. Setiap anggota yang sakit akan mendapat sumbangan dana dari paguyuban demikian pula bila ada yang meninggal. Namun setiap orang juga hendaknya memberikan sedikit dana dengan cara saweran. Berapapun yang terkumpul akan diberikan kepada orang yang menderita asal dilakukan dengan iklas. Mereka pun sepakat dengan aturan itu.

Uang yang ada di kantong hitam beragam besarnya. Ada 1000 an, 5000 an, 10.000 an bahkan 20.000 an. Aku heran melihat uang sebesar itu untuk saweran. Bagi banyak orang uang 20 ribu bukanlah hal yang besar. Sekali makan di restoran siap saji hanya dapat sebuah burger. Namun bagi seorang tukang becak itu adalah jatah makan sehari. Banyaknya angkutan kota dan semakin banyak orang memiliki motor maka becak kurang lagi diminati, sehingga banyak tukang becak kesulitan untuk mencari pelanggan. Sudah sering aku dengar bahwa dari pagi sampai siang kalau dapat 10 ribu saja itu sudah beruntung. Tapi kini dia rela memberikan uang 20 ribu untuk temannya yang meninggal dunia.

Suatu hari Yesus memperhatikan orang-orang yang memasukan uang dalam kotak persembahan. Dia memuji seorang janda miskin yang memasukan uang kecil namun itu merupakan seluruh miliknya. Bagi Yesus janda itu adalah orang yang berani. Dia berani mengiklaskan seluruh miliknya untuk Tuhan. Tukang becak itu tidak ubahnya janda miskin dalam kisah itu. Dia berani memberikan seluruh penghasilannya untuk sesama yang sedang berkabung. Terkadang keberanian ini hanya dimiliki oleh orang miskin dan sederhana. Bukan aku menghina atau merendahkan orang yang memiliki banyak harta, namun selama ini cerita orang yang menyumbangkan sebagian besar hartanya bagi sesamanya yang menderita hanyalah sebuah cerita yang terjadi pada jaman dahulu kala. Sangat sulit ditemukan orang yang berani seperti tukang becak itu.

Memang solidaritas atau kepedulian tidak hanya diukur oleh besar atau kecilnya sebuah sumbangan, namun besar kecilnya hati yang terlibat dalam penderitaan sesamanya. Namun sebagai tolok ukur yang mudah adalah yang dapat dilihat yaitu sumbangan. Para tukang becak dan masih banyak orang miskin lain senantiasa mempunyai hati bagi sesamanya. Mungkin karena mereka juga merasakan penderitaan sehingga mudah tersentuh oleh orang yang menderita. Apakah untuk solidaritas orang harus menderita terlebih dahulu? Aku tidak tahu.

Rabu, 17 Desember 2008

MEMBERI

Seorang anak muda bertanya padaku apakah aku akan ikut dengannya untuk melakukan bakti sosial di sebuah pedesaan yang cukup jauh dari kota tempat kami berada? Aku balik bertanya mengapa untuk melakukan bakti sosial harus sampai jauh ke sebuah desa? Bukankah kaum miskin ada dimana-mana bahkan di depan mata kita? Selain itu bukankah dana yang digunakan untuk akomodasi cukup besar dan bila itu diuangkan dan diberikan pada kaum miskin jauh lebih berguna? Tapi anak muda ini sudah menetapkan akan melakukan bakti sosial ke desa tersebut.

Bakti sosial adalah sebuah tindakan yang sangat terpuji sebab melalui bakti sosial orang rela memberikan sebagian apa yang dimilikinya kepada sesamanya yang sangat membutuhkan. Dalam dunia yang sudah semakin tegas menjunjung egoisme seperti jaman ini kepedulian sesama terhadap saudaranya yang miskin dan menderita terasa semakin berkurang. Orang sibuk mengejar kepentingannya sendiri sehingga lupa ada sesama yang kekurangan, bahkan mungkin kaum miskin juga telah dirugikan oleh sikapnya yang ingin menguasai banyak hal meski sudah mempunyai berlebih.

Bila kita belajar pada Yesus apakah Yesus melakukan bakti sosial? Dia melakukan banyak mujijat bukan hanya karena ada orang miskin dan menderita, melainkan Dia mempunyai tujuan. Segala karya kasih Yesus mempunyai tujuan. Dia menyembuhkan orang pada hari sabat untuk membuka mata orang Yahudi bahwa belas kasih jauh lebih besar dari pada tata aturan yang dibuat manusia. Dia menyembuhkan orang buta supaya dia percaya pada Allah. Dia menyembuhkan anak seorang perempuan Kanaan untuk menunjukkan kepada para muridNya bagaimana beriman itu. Namun segala tujuan bukan untuk diriNya sendiri melainkan Allah. Segala karya kasih Yesus untuk menunjukkan bahwa Kerajaan Allah sudah datang.

Disinilah perbedaan bakti sosial ala Yesus dengan bakti sosial ala kemanusiaan. Bakti sosial ala Yesus adalah bagaimana dalam melakukan karya kasih itu orang semakin menyadari adanya kasih Allah atau mampu membawa orang menderita semakin mencintai Allah. Sedangkan bakti sosial ala karya kemanusiaan tujuannya hanya untuk membantu orang miskin agar tidak menjadi miskin, meskipun kadang hal ini tidak pernah tercapai. Maka bakti sosial ala Yesus tidak hanya bisa datang lalu membagi bantuan setelah itu pulang. Bagaimana orang akan melihat karya Allah kalau hanya bertemu sebentar lalu tidak pernah bertemu lagi? Hal yang sangat memprihatinkan adalah bila bakti sosial menjadi ajang pamer tentang kemurahan hati atau pencarian kebanggaan diri. Mereka hanya menggunakan orang miskin untuk mencari kebanggaan diri sendiri. Dengan demikian mereka sudah memiskinkan orang yang sudah miskin.

MENCARI ALLAH

Bila kita ditanya oleh seseorang bagaimana kita dapat menemukan Allah? Maka hal yang sering dan mudah dikatakan adalah melalui doa atau dalam ibadat-ibadat. Hampir semua orang yang beragama meyakini bahwa doa dan ibadat adalah sarana untuk bertemu dengan Allah, meski selama ibadat dan doa jarang sekali orang sampai bertemu dengan Allah. Maka banyak orang berusaha tekun dan seserius mungkin ketika sedang berdoa atau beribadah. Banyak pula orang sibuk membuat tata ibadah yang khusuk sebab berharap melalui itu orang dapat menemukan Allah.

Apakah Allah hanya dapat ditemukan dalam doa dan ibadah? Dalam Injil Yohanes Yesus bersabda bahwa “Aku di dalam mereka dan Engkau di dalam Aku supaya mereka sempurna menjadi satu.” Yesus adalah dalam diri kita padahal Yesus dan Bapa adalah satu. Dengan demikian dalam diri setiap manusia Allah ada. Bahkan Yesus bersabda Dia ada dalam diri orang yang miskin dan sederhana. Barang siapa mencintai orang miskin, maka dia telah mencintai Yesus. Dengan demikian mencari Allah bukan hanya dalam ibadah dan doa melainkan juga dalam diri sesama. Yohanes dalam suratnya menulis bagaimana mungkin orang dapat mencintai Allah yang tidak nampak bila dia tidak mampu mencintai saudaranya yang nampak.

Sabda Yesus sudah sering kita dengar dan baca. Banyak orang sudah hafal di luar kepala bahwa Allah ada dalam saudara yang miskin. Tapi dalam kehidupan sehari-hari realisasi dari pemahaman itu masih jauh. Hal ini mungkin disebabkan karena kita telah mempunyai konsep bahwa Allah itu besar dan agung. Jauh dan tidak tersentuh. Yesus itu adalah orang Yahudi dengan karakter wajah tertentu, maka dalam drama jalan salib yang sering diadakan dimana-mana, orang yang dipilih sebagai Yesus pasti ada kemiripan dengan Yesus yang ada dalam gambar-gambar yang banyak beredar. Belum pernah sekalipun saya melihat jalan salib dengan Yesus yang disalib adalah kaum miskin dan sederhana yang tampil apa adanya.

St. Vincentius dalam sebuah suratnya kepada seorang suster dia menulis, “Carilah Allah dalam segala kegiatan dan jangan ragu-ragu, pasti Allah berkenan dengan semua itu.” Kita diajak untuk mencari Allah dalam setiap yang kita kerjakan entah dalam pelayanan atau doa dan ibadah. Pencarian Allah menurut St. Vincentius bukan lagi hanya terpaku dalam kapel atau ruang doa, melainkan di jalan-jalan, di lorong rumah sakit, di gubuk-gubuk kumuh. Maka dalam sebuah suratnya St. Vincentius menulis, kapelmu adalah lorong-lorong rumah sakit dan jalan-jalan kumuh. Bagi saya ini sebuah perjuangan yang mahaberat. Bagaimana mungkin saya menemukan Allah di dalam diri saudaraku atau orang-orang miskin dan gelandangan atau wajah anak jalanan yang sering kali membuat jengkel? Bila kesadaran bahwa Allah ada dalam setiap orang muncul dalam benak saya maka saya mulai bertanya sungguhkah Allah demikian? Mengapa Allah menjengkelkan? Suatu saat Dorothy Day mengeluh kepada Allah mengapa Dia mabuk, terkena TBC, muntah, bau, ngompol dan sebagainya.

Perjuangan menemukan Allah ternyata bukan hal yang mudah apalagi bila kita sadar bahwa Allah tidak hanya ada di tabernakel melainkan ada dalam setiap orang yang kita jumpai.

APAKAH AKU ANAK ALLAH

Seorang ayah mengeluh bahwa dia sudah banyak melayani mengapa sekarang anaknya terjerat masalah narkoba. Saya tahu akan aktifitas bapak ini. Dia aktif di beberapa kelompok doa dan sangat bersemangat mengadakan kunjungan-kunjungan pada orang sakit. Dalam menghadapi masalah ini dia lalu mempertanyakan Tuhan. Mengapa Tuhan tidak memperhitungkan apa yang sudah dia kerjakan? Apa gunanya dia melayani kalau akhirnya anaknya sendiri terkena kasus narkoba?

Mendengar itu aku hanya terdiam. Apapun yang aku katakan bisa salah. Setelah bapak itu pulang baru aku mencoba memahami masalah ini. Andai aku jadi bapak itu pasti aku kecewa. Aku sudah meninggalkan segala kepentinganku untuk Tuhan ternyata hasilnya keluargaku masuk dalam masalah besar. Tidak jarang orang berbuat sesuatu agar Tuhan memberinya berkat. Entah untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Pantaskah aku menuntut Tuhan untuk memberikan berkat pada diriku karena aku telah melakukan apa yang dikehendakiNya? Jika aku menuntut bukankah aku menjadi orang upahan yang bekerja demi upah? Bapa itu mengatakan bahwa dia sudah berusaha menjadi anak Tuhan. Mengapa anak harus menuntut upah? Bukankah anak melakukan kehendak bapanya karena cinta pada bapanya?

Kadang orang memposisikan diri sebagai anak tapi memiliki mentalitas pekerja. Melakukan apa yang dikehendaki Tuhan bukan karena dia cinta tapi karena dia mengharapkan ada balasan yang setimpal dari Tuhan. Bila dia memposisikan diri sebagai anak maka segala yang diberikan oleh Allah, entah itu baik atau buruk, akan diterima dengan suka cita, sebab Allah adalah bapa yang baik.

Yesus dalam Injil Lukas bersabda “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan” Kita adalah hamba Tuhan yang hanya melakukan apa yang dikehendaki Tuhan. Bila Tuhan memberi berkat atau petaka semua itu kita terima dengan penuh syukur. Yesus sudah melakukan banyak hal untuk manusia. Dia mengurbankan waktunya untuk melayani sesama sehingga Dia sampai kekurangan waktu untuk diriNya sendiri. Namun apakah yang Dia terima? Sebuah kematian yang sangat mengerikan dan pengkhianatan dari orang-orang yang pernah ditolongNya. Mengapa Dia tidak protes pada Tuhan sebab Dia telah melakukan banyak hal? Yesus sadar bahwa diriNya adalah Anak Allah, sehingga Dia melakukan karena kecintaan pada BapaNya.

Dalam hal inilah kita perlu belajar untuk memposisikan diri sebagai anak Allah. Banyak orang mengaku sebagai anak Allah sebab dia menerima banyak berkat. Dia bersaksi kepada semua orang akan hal itu. Status anak Allah bukan diukur dari berkat melimpah melainkan dari kepasrahan kepada kehendak Allah dan siap menerima apa saja yang diberi oleh Allah serta tidak menuntut Allah bila dia sudah melakukan segala sesuatu yang menurutnya merupakan kehendak Allah.

APAKAH ALLAH HANYA MELIHAT?

Aku duduk beralas tikar di lorong pasar sambil menikmati kopi mendengarkan cerita dari para kurban lumpur panas akibat pengeboran minyak oleh Lapindo Brantas Inc. Semua cerita membuat hatiku gregetan dan jengkel namun tidak tahu harus berteriak kepada siapa. Ketidakadilan begitu mencolok. Orang desa yang bodoh hanya menjadi obyek pembodohan oleh orang yang dianggap pandai dan bijaksana. Beratus warga desa diminta untuk tanda tangan di atas sebuah kwitansi yang di atasnya tertulis deretan angka yang harus dibayar oleh Lapindo. Namun setelah ditunggu selama dua bulan ternyata uang yang harusnya dibayar ternyata masih belum dibayar. Setelah melakukan aksi menghadang truk yang akan membuat tanggul akhirnya dibayar tidak sesuai dengan angka yang tertulis dalam kwitansi. Mereka protes tapi suara mereka seperti asap rokok yang menguap di kegelapan malam.

Dalam penderitaan yang demikian hebat mereka bertanya harus berbuat apa lagi? Aksi ke Jakarta sudah dan ternyata hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang mencari keuntungan pribadi. Menyurati para pejabat sudah dan tidak ada jawaban yang memuaskan. Bertemu dengan pejabat sudah dilakukan dan hanya mendapatkan janji. Lalu apa yang harus dilakukan lagi? Aku katakan memohon kekuatan dari Tuhan. Mereka menjawab bahwa sudah beberapa lama mereka berdoa tepat tengah malam untuk memohon pendampingan Tuhan agar Tuhan berpihak pada mereka tapi masalah pun tidak kunjung selesai.

Dalam mazmur 35 berisi jeritan orang Israel yang sedang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari sesamanya. Mereka menjerit dan tampaknya Tuhan tidak menjawab maka mereka menulis. “Sampai berapa lama, Tuhan, Engkau memandangi saja? Selamatkanlah jiwaku dari perusakan mereka, nyawaku dari singa-singa muda!” Mereka merasa Tuhan tidak bertindak namun hanya memandang saja. Maka mereka bertanya sampai kapan? Sampai kapan mereka akan terbebas dari penderitaan yang mengerikan ini? Jeritan dari pemazmur itu merupakan jeritan umum bagi orang yang menderita. Mereka berharap Tuhan turut campur tangan.

Apakah Tuhan akan campur tangan dengan membuat semburan lumpur di rumah para penguasa Lapindo? Itu adalah hal mustahil sebab disana tidak diadakan pengeboran minyak. Kadang orang berharap ada mujijat dalam hidup, sebab mujijat diyakini sebagai campur tangan Allah dalam hidup. Namun campur tangan Tuhan tidak hanya melalui sebuah peristiwa melainkan juga melalui kita. Kitalah yang menjadi kepanjangan tangan Allah untuk terlibat dalam penderitaan umat manusia. Kehadiran Gereja ditengah kaum yang sedang menderita merupakan bukti bahwa Allah melibatkan diri. Namun sejauh mana kita mau terlibat dalam penderitaan sesama? Sejauh mana kita mau hadir ditengah orang yang sedang menderita? Inilah tantangan bagi kita sebab sering kali kita menghindari orang yang sedang menderita dengan aneka alasan yang sering kali masuk akal. Gereja enggan terlibat dalam perjuangan rakyat Porong sebab merasa bahwa perjuangan itu berbau politik, sudah banyak yang terlibat, mereka hanya memperbesar masalah dan aneka pendapat lain. Padahal semua itu tidak benar dan aku rasa ini hanya sebuah alasan akan keengganan terlibat dalam penderitaan sesama. Entah sampai kapan rakyat Porong masih harus menunggu sampai Tuhan tidak hanya melihat melainkan terlibat .

Selasa, 16 Desember 2008

DOA PENGEMIS

Banyak orang mengikuti Yesus karena Yesus memberi berlimpah. Hal ini tampak sangat jelas dalam Gereja-Gereja yang mengikuti teologi sukses. Dalam konsep mereka Yesus adalah raja segala raja yang mempunyai segalanya secara berlimpah, maka kalau orang mengikuti Yesus dia akan memperoleh segala sesuatu secara berlimpah. Dalam Gereja Katolik hal ini juga tampak ada. Setiap ada kesaksian dari seseorang, entah ketika ada persekutuan doa atau kesempatan lain, pasti mereka bersaksi bahwa Yesus sudah memberi berlimpah dalam hidupnya. Maka tidak heran bila jarang sekali, bahkan saya tidak pernah mendengar, orang yang masih menderita atau miskin berani memberi kesaksian.

Dalam beragama memang sering dijumpai orang yang bermental pengemis. Allah adalah pribadi yang mempunyai segalanya dan manusia adalah pribadi yang tidak mempunyai segalanya, sehingga manusia hanya bisa meminta pada Allah apa saja yang dibutuhkan olehnya. Doa-doa kita pun penuh dengan permohonan, sehingga dalam Ekaristi yang sebetulnya doa umat sering dikatakan sebagai doa permohonan bahkan kita bukan hanya memohon tapi memerintah Allah sebab banyak kalimat menggunakan kata perintah misalnya “berilah”, “bimbinglah” dan sebagainya serta menghilangkan kata “semoga” yang bermakna permohonan.

Hal kecil saja yang umum terjadi ketika ada pertemuan-pertemuan dan diadakan makan bersama, bila ada orang yang diminta berdoa sebelum makan, maka pada umumnya doanya sebagai berikut, “Ya Allah kami bersyukur atas rejeki yang telah Engkau berikan. Kami teringat akan saudara-saudara kami yang belum dapat makan seperti yang kami terima saat ini. Berilah mereka makanan dan sebagainya..” Bila direnungkan doa semacam ini tampak bagus, tapi aneh. Kita sudah diberi makanan dan rejeki yang berlimpah oleh Allah tapi ternyata kita masih menyuruh Allah untuk memberi pada saudara yang kekurangan dan belum dapat makanan. Mengapa bukan kita yang memberi?

Ibu Teresa dari Kalkuta mengatakan “Yesus aku mencintaiMu bukan apa yang Engkau berikan namun karena apa yang Engkau ambil.” Inilah kehebatan Ibu Teresa. Dia mencintai Yesus bukan sebagai pengemis melainkan sebagai orang yang siap memberikan segalanya pada Yesus. Cinta yang demikianlah yang tidak akan goyah dengan segala yang terjadi dalam hidupnya. Dia tidak akan mudah melarikan diri bila suatu saat datang penderitaan berat yang menimpanya, sebab penderitaan adalah bagian dari keputusan Yesus untuk mengambil sesuatu darinya. Dia rela memberikan segala dan seluruh hidupnya pada Yesus yang hidup dalam diri orang miskin. Dia akan tetap mencintai Yesus seandainya doa-doanya dirasa tidak dikabulkan. Bagaimana dengan kita?
Powered By Blogger