Senin, 28 Februari 2011

KETERLEKATAN

Suatu hari aku diajak seorang teman untuk datang ke sebuah resepsi perkawinan di sebuah tempat yang sangat mewah. Sebetulnya aku enggan datang ke pesta, sebab aku merasa asing ditengah orang-orang yang rapi dan berpakaian bagus serta acara yang menurutku sangat membosankan. Tapi karena ajakan dan demi menghargai orang yang menikahkan anaknya aku terpaksa hadir. Ketika kami berjalan dari tempat parkir ke gedung pesta, baju temanku terkait sebuah ranting bunga kering sehingga ada sedikit lubang di bahunya. Dia menjadi gelisah dan mengatakan ingin pulang untuk ganti baju. Aku memaksa untuk terus saja masuk ke ruang pesta. Bila ganti baju dan kembali lagi ke tempat itu maka akan memakan waktu yang lama. Temanku memaksa untuk pulang. Aku pun berteguh agar terus ke gedung sebab lubang itu tidak akan terlihat oleh siapa pun kecuali ada orang yang sangat memperhatikan bahunya.

Temanku kuatir lubangnya di bajunya akan mengurangi penampilannya. Dia kuatir akan penilaian orang. Dalam hidup kita mempunyai banyak hal yang ada dalam diri kita. Hal itu dapat merupakan hasil yang kita perjuangkan misalnya kekayaan, prestasi, jabatan, penampilan dan sebagainya. Ada pula yang sudah ada sejak lahir seperti wajah yang tampan, talenta, kepandaian dan sebagainya. Semua itu ingin dipertahankan sekuat tenaga. Sebetulnya inilah mammon. Bagiku mammon bukan hanya uang atau materi saja tapi sesuatu yang kita miliki. Sesuatu yang dapat membuat kita meninggalkan atau mengabaikan Tuhan demi apa yang ada pada kita. Seorang pernah sharing bahwa dia terpaksa meninggalkan iman Katolik, sebab bila dia terus mempertahankan imannya maka dia tidak akan naik jabatan. Atau orang meninggalkan imannya demi menikah dengan pacarnya yang beragama lain dan sebagainya.

Orang bisa tidak terlekat bila dia mempunyai semangat miskin. Semangat miskin belum tentu dia seorang miskin. Semangat miskin bila seseorang tidak lagi terlekat pada aneka hal yang ada padanya, seperti orang miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Orang yang bersemangat miskin hanya bergantung dan terlekat pada Tuhan saja. Dia berani melepaskan segalanya demi Tuhan dan percaya bahwa Tuhan akan melindungi dirinya. Orang yang bersemangat miskin dia tidak akan kuatir dalam segala hal, sebab Tuhan tidak akan melupakannya. “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau.” (Yes 49:15).

Orang yang tidak terlekat dia akan menjadi orang bebas. Temanku yang terlekat pada penampilannya dia menjadi orang yang tidak bebas. Dia takut dilihat orang. Bila dia melihat orang tersenyum maka dia menduga bahwa orang itu telah melihat lubang di bahunya. Pesta yang sebetulnya menjadi tempat yang menyenangkan berubah menjadi tempat yang membuatnya menderita. Kemana saja dia bergerak seolah ada orang yang memperhatikan lubang di bahunya. Dia terlekat pada penampilannya. Yesus adalah manusia bebas. Meski Dia tahu bahwa pada hari sabat orang tidak boleh bekerja tapi Dia melakukan perbuatan yang dianggap melanggar hari sabat. Dia bebas makan tanpa cuci tangan meski hal itu melanggar adat dan sebagainya.

Anthony de Mello menulis, dimana ada cinta disitu ada ketidakteraturan. Apa yang ditulisnya menggambarkan secara tepat sikap Yesus. Dia menjunjung kasih sehingga membuat sesuatu yang teratur menjadi tidak teratur. Dia mendobrak batasan yang dibuat oleh manusia yaitu keterlekatan pada suku, budaya, adat, aturan agama dan sebagainya. Baginya hanya satu yang harus dilakukan yaitu memuliakan Allah. Dia pun tidak peduli terhadap penilaian orang tentang diriNya. Sedangkan kita berusaha mempertahankan apa yang ada atau berusaha meraih sebanyak mungkin segalanya agar dipuji orang lain. Bagi Yesus kemuliaan diberikan oleh Allah. “Jikalau Aku memuliakan diri-Ku sendiri, maka kemuliaan-Ku itu sedikit pun tidak ada artinya. Bapa-Kulah yang memuliakan Aku.” (Yoh 8:54). Maka bila kita hanya mencari kemuliaan dari Allah maka kita tidak akan kuatir dengan segala hal yang ada pada diri kita.

Jumat, 25 Februari 2011

PEMULUNG DAN ANAK JALANAN

Aku berdiri di halaman museum Fatahilah yang sangat luas dan ramai sambil memotret museum Fatahilah dan gedung-gedung di sekitarnya pada malam hari. Ketika sedang memotret datang sepasang suami istri yang bekerja sebagai pemulung menghampiriku. Dia meminta agar aku memotretnya. Dia melakukan beberapa pose. Aku tersenyum geli melihat gayanya. Setelah meminta dipotret dia lalu bercerita tentang sulitnya hidup yang dialami di tengah hiruk pikuknya kota Jakarta. Dia adalah penduduk asli Jakarta yang kalah bersaing dengan para pendatang yang banyak menyerbu kota. Dia lahir dari keluarga miskin yang tidak mempunyai apa-apa selain tanah warisan yang akhirnya diambil alih oleh penguasa dengan alasan itu tanah negara. Kemiskinan membuatnya tidak mampu mengenyam bangku sekolah seperti yang diharapkanya. Setelah lulus SD dia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dia bekerja apa saja dan sampai akhirnya menekuni sebagai pemulung di sekitar kota tua.

Pasangan pemulung itu adalah salah satu potret kecil masyarakat Indonesia. Kaum miskin yang setiap tahun semakin bertambah banyak meski pemerintah berpendapat sebaliknya. Menurut data yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini kaum miskin sekitar 30,2 juta atau sekitar 12% lebih dari jumlah penduduk Indonesia padahal menurut WHO ada 70 juta lebih. Mereka hidup remah-remah kaum kaya. Pemulung itu bercerita dengan wajah berseri-seri bahwa istrinya sedang hamil 5 bulan. Aku membayangkan bagaimana nanti bila istrinya melahirkan? Dari mana dia mendapatkan dana untuk biaya rumah sakit? Seorang teman pernah berkata dengan nada sinis bahwa sebaiknya orang miskin tidak mempunyai anak. Untuk hidup sendiri saja sudah sulit mengapa mereka nekad mempunyai anak? Bagaimana dengan pendidikan anak-anak mereka? Aku membantah pendapat itu. Bagiku kaum miskin juga berhak mempunyai anak sedangkan pendidikan anak-anak mereka adalah tanggungjawab pemerintah.

Di sekitarku ada banyak anak-anak kecil yang tidak sekolah. Ketika aku duduk mereka pun duduk di sekitarku. Ada 16 anak mulai dari umur 5 tahun sampai 15 tahun. Tidak ada satupun yang sekolah. Beberapa dari mereka drop out SD sedangkan yang lain tidak sempat mengenyam bangku sekolah sebab tidak mempunyai biaya. Ketika kutanya bukankan sekolah gratis? Mereka mengatakan memang sekolah gratis tapi harga buku sangat mahal dan mereka tidak mampu membeli buku dan membayar uang iuran lain. Kini mereka menghabiskan hari-harinya dengan mengemis dan bermain di halaman museum. Anak pasangan pemulung itu apakah akan menjadi bagian dari anak-anak ini? Anak-anak yang kehilangan masa depannya karena tidak mampu bersaing dengan para pendatang yang semakin memenuhi Jakarta.

Dalam UUD 1945 pasal 34 jelas tertulis (1) fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Bila apa yang tertulis dalam UUD ini dijalankan tentu tidak ada pemulung dan anak-anak yang berkeliaran seharian di halaman museum ini. Anak-anak tentu akan menikmati bangku sekolah dan pemulung ini tidak akan kuatir bila nanti istrinya harus melahirkan sebab ada jaminan kesehatan dari pemerintah. Tapi sayangnya apa yang tertulis dalam UUD ini masih sekedar tulisan yang mungkin sudah tidak pernah dilihat, dibaca dan dijabarkan dalam langkah-langkah strategis.

Malam semakin larut. Pasangan pemulung itu pergi pulang ke gerobak mereka. Anak-anak masih berkeliaran meminta uang pada para pengunjung dengan alasan untuk makan. Mereka menjadi sisi lain wajah Jakarta. Wajah yang memancarkan kemewahan sehingga menarik banyak orang untuk datang tapi menyimpan wajah kumal yang membuat orang mengelus dada. Keduanya hidup berdampingan seperti bangunan kantor pos yang megah dan gedung rusak di sebelahnya di depan museum Fatahilah.

Kamis, 24 Februari 2011

KEMESRAAN PASANGAN PEMULUNG


Aku sedang menikmati keramaian di halaman museum Fatahilah sambil memotret suasana malam. Tiba-tiba dihadapanku berdiri sepasang pemulung. Aku tersenyum padanya. Dia pun tersenyum padaku. Lalu memintaku untuk memotretnya. Dia lalu memeluk istrinya yang ternyata seorang perempuan bisu tuli, sehingga hanya mampu tersenyum dan mengatakan sesuatu yang tidak kupahami. Pasangan itu mengambil pose sangat mesra. Bahkan tanpa malu mereka saling mencium satu dengan yang lain dan memintaku memotret saat mereka berciuman seperti saat upacara pernikahan. Aku tersenyum melihat polah tingkah mereka dan memotret. Setelah beberapa kali kupotret maka aku tunjukkan hasilnya pada mereka. Wajah mereka sangat bahagia melihat hasil foto di layar kamera. Mereka memintaku untuk mengirimkan foto mereka bila jadi nanti. Mereka setiap hari berada di sekitar halaman museum Fatahilah. Tidur mereka di gerobak dekat bangunan tua yang hampir runtuh.

Pemulung itu dengan bangga bercerita bahwa mereka menikah resmi di KUA. Saat ini istrinya sedang hamil 5 bulan. Dia menceritakan beratnya mencari nafkah pada saat ini. Sampai malam ini mereka belum mendapatkan uang sama sekali dan belum makan. Cerita seperti ini sudah sering kudengar ketika masih berteman dengan anak-anak jalanan di rumah singgah. Meski mereka punya uang tapi sering bercerita bahwa belum makan seharian. Nanti setelah kubelikan makanan, maka mereka baru mengeluarkan uang mereka untuk membeli yang lain. Pemulung ini bercerita dengan wajah gembira seolah tanpa beban sama sekali. Istrinya pun kadang tersenyum mendengarkan cerita suaminya. Aku tidak tahu apakah dia memahami apa yang dikatakan oleh suaminya. Akhirnya aku memberi sedikit uang yang ada dalam tasku.

Melihat kemesraan yang dimiliki pasangan pemulung ini aku menjadi teringat kasus-kasus rumah tangga yang masih belum mampu kuselesaikan atau masih dalam proses pemulihan. Setiap bulan selalu ada saja pasangan yang menyatakan ingin cerai atau ribut hebat dengan pasangannya. Angka perceraian setiap tahun semakin meningkat. Menurut Tempo Interaktif kasus perceraian di Banyuwangi meningkat tajam dari 3726 kasus di tahun 2008 menjadi 5095 kasus di tahun 2009 atau terjadi peningkatan 1368 kasus. Menurut Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jogjakarta yang dimuat Suara Merdeka pada tahun 2008 ada 1222 kasus, sedang tahun 2009 ada 1249 kasus dan tahun 2010 ada 1809 kasus. Di daerah-daerah lain pun angka perceraian meningkat antara 10%-20%. Secara keseluruhan di Indonesia pertahun angka perceraian sekitar 200.000 kasus dari 2 juta perkawinan atau 10%. Sebuah angka yang cukup tinggi.

Ada banyak alasan mengapa orang memilih cerai. Beberapa orang berpendapat bahwa pemicu perceraian adalah masalah ekonomi, meski di Situbondo ada fenomena baru yaitu maraknya kasus perceraian disebabkan oleh SMS. Menurut Kompas mengutip pernyataan Suryadharma Ali, menteri negara Koperasi dan UKM, bahwa infotaiment menjadi pemicu perceraian. Jadi ada berbagai macam hal yang dapat menjadi pemicu perceraian. Tapi bagiku semua itu disebabkan hilangnya kasih diantara suami istri dan menguatnya egoisme, sehingga setiap orang hanya memikirkan dirinya sendiri.

Pasangan pemulung ini dapat menjadi contoh bagi banyak orang bahwa kemesraan dapat dijaga dan dipertahankan meski hidup mereka masih jauh dari kemapanan dan kenyamanan. Mereka bisa menerima situasi hidup dengan penuh syukur dan bangga akan pasangannya. Si istri bangga terhadap suaminya meski tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak sedangkan si suami bangga pada istrinya yang mengandung anak mereka. Mereka tidak hidup dalam mimpi tentang keindahan dan kemudahan hidup seperti yang ditayangkan sinetron. Mereka hidup secara nyata dalam penderitaan dan mampu menerima satu dengan yang lain. Kemesraan dapat tumbuh bila ada kasih yang mau menerima pasangan apa adanya. Kasih yang mampu melihat pasangannya sebagai berkah dari Allah. Kasih yang mampu menerima pasangannya apa adanya, bukan menuntutnya untuk menjadi seperti yang dia inginkan.

Selasa, 22 Februari 2011

KUATIR


Seorang teman bercerita tentang beratnya hidup pada jaman ini. Dia bercerita panjang lebar tentang segala kecemasannya. Padahal aku tahu bahwa dia termasuk orang yang ekonominya telah mapan. Anak-anaknya pun sekolah di sekolah yang termasuk bagus dan mahal. Tapi mengapa dia masih merasakan banyak kekuatiran sehingga merasa tertekan? Ketika mengantar orang itu sampai halaman, seorang tukang becak yang biasa mangkal di depan gereja menyapaku. Aku pun datang padanya dan berbasa basi sejenak. Di sebelah becaknya ada teman tukan becak yang sedang menikmati tidur siang. Tidurnya sangat pulas. Dia tidak terganggu kendaraan yang lalu lalang. Aku dan bapak tukang becak yang menyapaku melihat orang itu sambil tersenyum.

Ada perbedaan besar antara tamu yang datang padaku dengan tukang becak itu. Satu orang sering cemas meski sudah mempunyai banyak hal sedangkan yang lain tenang menikmati hidupnya. Bagiku orang yang dapat tidur pulas seperti itu pasti pikirannya tenang. Bila orang dalam pikirannya penuh dengan kegelisahan pasti dia tidak dapat tidur nyenyak bahkan mungkin tidak bisa tidur meski badannya capek. Maka tidak ada orang yang memaksa tidur dengan meminum obat tidur. Tukang becak itu dapat tidur tanpa merasa takut miliknya akan dirampas atau diambil orang. Satu-satunya kekayaan yang ada padanya hanya becak yang ditidurinya. Sedangkan orang yang mempunyai banyak hal sering takut ada orang yang akan mengambil apa yang dimilikinya.

Dalam pikiranku melintas bahwa kekuatiran disebabkan orang terlekat pada barang atau impian atau cita-cita. Dalam buku berjudul “Ketika Mimpi-Mimpi Tak Terwujud” karangan Harold S Kushner, ditulis bahwa semakin orang mempunyai banyak impian semakin dia mudah gelisah dan kuatir akan impian yang tidak terwujud. Orang boleh saja mempunyai impian dan mengejar impian-impian itu tapi bukan berarti impian itu menguasai diri. Orang menjadi tidak bahagia sebab dirinya penuh impian atau impian yang diraihnya ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Ketika akan pergi ke sebuah tempat rekreasi yang belum pernah dikunjungi orang dapat membayangkan keindahan taman rekreasi itu dan membayangkan apa saja yang akan dilakukannya. Tapi ternyata sesampainya di taman rekreasi ternyata taman itu tidak seindah yang dibayangkan. Dia menjadi kecewa. Selain itu orang sering gelisah apakah dia akan mampu meraih apa yang diimpikan atau tidak. Semakin banyak impian yang ingin diraih semakin banyak kecemasan dan kegelisahan yang tumbuh dalam diri.

Beberapa kali Yesus bersabda “jangan kuatir,”, sebab kekuatiran tidak akan menambah apapun dalam hidup kita. “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya.” (Mat 6:27). Kekuatiran dapat timbul sebab kita ingin segalanya terjadi seperti yang kita inginkan padahal kita tahu bahwa segalanya bisa terjadi diluar yang kita inginkan. Ada hal-hal diluar perhitungan kita yang dapat muncul tanpa kita duga. Maka Yesus menghendaki agar kita berserah pada Allah. "Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku.” (Yoh 14:1). Kekuatiran juga disebabkan kita tidak ingin kehilangan apa yang kita miliki atau kita inginkan. Semakin banyak yang kita miliki semakin banyak kekuatiran dalam hati. Tukang becak tidak memiliki apa-apa maka dia tidak kuatir akan banyak hal.

Orang tidak merasa kuatir bila dia mempunyai semangat miskin. Hal ini bukan dia tidak memiliki apa-apa melainkan dia melihat apa yang dimilikinya sebagai bukan miliknya melainkan milik Allah yang dapat diambil setiap saat. Dia menyerahkan diri sepenuhnya pada kehendak Allah yang mengatur hidupnya bukan dia yang mengatur Allah agar memenuhi apa yang menjadi kehendaknya. Dia memiliki segala sesuatu tapi tidak menjadikan miliknya itu sebagai yang dibanggakan, sebab semua adalah milik Allah. Kalau dia tidak memiliki segala sesuatu atau sedang dalam penderitaan maka dia tetap dapat berharap bahwa Allah akan menolongnya. “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Mat 6:34)

Senin, 21 Februari 2011

TOLAK KOMPROMI

Alinea pertama mukadimah UUD 1945 tertulis, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Inilah pokok pikiran yang akan menjiwai seluruh isi undang-undang. Para bapa bangsa yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada 29 April 1945 membuat rancangan UUD. Naskah pembukaan UUD dikukuhkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 lalu disahkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945. Dengan demikian pembuatan UUD ini melalui proses panjang dan disemangati oleh semangat kemerdekaan yang masih menggelora di dalam hati setiap anggota.

Aku membayangkan saat itu para bapa bangsa yang mengalami pahit getirnya menjadi orang jajahan, berdiskusi dengan penuh semangat. Mereka menjadikan kemerdekaan sebagai titik tolak pembuatan UUD. Kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, sebab mereka ingin menghapus penjajahan antar bangsa. Hal ini bukan berarti mengabaikan manusia atau pribadi, sebab kemerdekaan adalah hak setiap pribadi. Dalam Universal Declaration of human rights yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948 dan disetujui oleh 48 negara menegaskan bahwa ada 4 kebebasan manusia yaitu bebas untuk mengemukakan pendapat, bebas untuk mempunyai kepercayaan atau agama, bebas untuk memiliki dan bebas dari ketakutan. Pengalaman pahit sebagai bangsa terjajah, yang dihilangkan martabatnya sebagai manusia yang setara maka para bapa bangsa juga menuntut agar semua bentuk penjajahan dihapus dari muka bumi, sebab tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Setelah 66 tahun memproklamasikan diri sebagai negara merdeka ternyata harapan para bapa bangsa tentang kemerdekaan masih menjadi sebuah harapan yang perlu diperjuangan. Penindasan dan perampasan kemerdekaan atas nama agama, suku, ras dan golongan masih terus terjadi. Di sebuah kota semua anak sekolah harus memakai pakaian tertentu atas dasar agama. Penindasan dan perlakuan tidak adil masih sering terjadi terhadap kaum minoritas. Banyak orang masih dihantui rasa takut sebab berbeda suku dan ras. Di beberapa daerah orang masih belum bebas memilih agama atau menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, dan masih banyak lagi kasus kekerasan dan penghilangan kemerdekaan seseorang atau melanggar hak asasi.

Dalam UUD 45 sendiri ada pasal-pasal yang merupakan penjabaran dari penghargaan terhadap hak asasi manusia. Pasal 27 tentang kesetaraan dalam bidang hukum. Pasal 28 tentang kemerdekaan untuk berkumpul dan berpendapat. Pasal 29 tentang kebebasan untuk beragama. Pasal 31 tentang pendidikan bagi semua bangsa. Pada tahun 2000 dibuat amandemen hak asasi manusia yang memperluas kemerdekaan seseorang. Tapi hukum dan aturan ini masih sering kali belum menyentuh masyarakat secara luas. Terjadinya kekerasan dengan yang disebabkan perbedaan agama, ras, suku dan golongan masih terus terjadi.

Penindasan dan segala bentuk perampasan kemerdekaan akan terus berlangsung bila orang yang ditindas atau diperlakukan tidak adil mengambil jalan kompromi. Sering kali dengan alasan minoritas orang berusaha mencari jalan “damai” yang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah. Kita pun sering mencari aman dengan melakukan kompromi. Seharusnya kita berani menolak kompromi. Penindasan tetap penindasan yang harus dilawan oleh siapa saja, entah itu minoritas atau mayoritas. Memang orang akan menganggap bahwa ini berarti bunuh diri, tapi sebenarnya inilah sebuah perjuangan. Menolak untuk melakukan kompromi berarti memperjuangkan kebenaran dan keadilan melalui seruan-seruan protes atau mencari keadilan melalui jalur hukum atau kita tetap mempertahankan kebenaran universal, bukan kebenaran menurut diri sendiri melainkan kebenaran untuk menjunjung hak asasi manusia. Bila perjuang tidak kita mulai, maka selamanya penindasan akan terus terjadi dan kita mungkin akan menjadi kurbannya.

Rabu, 16 Februari 2011

PERLAWANAN YESUS

Seorang teman mengkritik tulisanku yang berjudul “Apakah Allah harus dibela”. Dia mengatakan bahwa kita harus membuat laskar yang kuat agar disegani oleh agama lain. Kita sudah bosan ditindas dan diperlakukan tidak adil. Maka kini saatnya kita harus bangkit dan melawan. Apa yang ditulisnya membuatku sejenak merenung kembali. Apakah memang harus dibuat laskar untuk melawan para perusuh dan penindas? Selama ini memang banyak orang Katolik yang terpaksa “menyembunyikan” identitas kekatolikannya agar tidak ditindas. Apalagi orang keturunan Tionghoa yang beragama Kristen mereka lebih parah lagi, sebab mengalami double minoritas sehingga kerap diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang. Mereka lebih suka mencari jalan damai dan mengalah daripada harus berhadapan dengan orang-orang yang menindasnya. Mereka harus sering menahan emosi ketika diperlakukan tidak adil, sebab bila mereka berani melawan maka urusan akan semakin panjang dan melebar kemana-mana.

Inilah gambaran kemiskinan di negara kita. Kemiskinan bukan dalam segi materi tapi segi kesetaraan sebagai manusia yang bermartabat. Kebebasan sebagai manusia merdeka. Meski negara kita sudah memproklamirkan kemerdekaan sejak 1945 tapi kemerdekaan belum dirasakan oleh semua rakyat Indonesia. Masih banyak rakyat yang ditindas, diperas dan diperbudak oleh sesamanya seperti ketika jaman penjajahan Jepang dan Belanda. Pihak yang berkuasa dalam bidang agama dan pemerintahan bertindak seperti tuan-tuan yang harus ditaati apa saja kemauannya meski kemauan itu berlawanan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Kita pun sering mengikuti apa saja kemauan mereka dan berusaha menyenangkan mereka demi keselamatan diri. Atas nama menjaga keamanan maka aparat memaksa gereja untuk memberikan sedikit uang pada saat Paskah dan Natal, padahal pada hal itu tidak dilakuan saat lebaran. Demi keamanan pun kita memberi uang. Inilah perbudakan. Seorang budak akan berusaha menyenangkan tuannya yaitu orang-orang yang berkuasa.

Yesus datang ke dunia untuk menghapus perbudakan terselubung. Dia berdiri dipihak kaum miskin dan tertindas atau orang-orang yang dimiskinkan oleh masyarakat. Yesus membangun masyarakat baru yang bebas dari perbudakan. Semua manusia setara sebab semua manusia adalah citra Allah. “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yoh 15:15). Komunitas baru ini mengajarkan kesetaraan. Rasul Paulus lebih memperjelas maksud Yesus “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.” (1Kor 12:13).

Budaya rakyat tertindas adalah budaya pasif yaitu yang menerima saja situasi hidup yang tidak adil. Tidak mau terlibat dalam aneka urusan masyarakat yang dirasa dapat membuatnya semakin tertindas. Atau budaya bergantung yaitu menyerahkan semua urusan pada penguasa. Dia mengikuti saja apa yang dikatakan atau dikehendaki oleh penguasa meski dalam hatinya dia berontak marah. Lebih parah lagi menyerah dan tidak berani mengambil resiko perjuangan. Seperti bangsa Israel setelah keluar dari Mesir, mereka mengeluh karena kesulitan makan di padang gurun. Maka mereka mengatakan pada Musa lebih baik menjadi budak di Mesir dari pada harus berjuang.

Yesus melawan ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat. Dia tidak membentuk laskar untuk melawan dengan senjata meski para murid mengira akan ada revolusi bersenjata, maka Petrus membawa pedang ketika masuk Yerusalem. Perlawananan Yesus dengan membuat budaya baru sebagai budaya tandingan yang berbeda dengan budaya penindasan yang ada dalam masyarakat. Yesus pun dengan berani mengkritik perilaku para penguasa yang tidak adil (Mat 23:1-36). Bila kita mengikuti Yesus maka perjuangan tidak dengan membentuk laskar untuk menyerang tapi membuat budaya tandingan dan berani menyatakan protes atas ketidakadilan. Ini butuh pengurbanan.

Selasa, 15 Februari 2011

APAKAH ALLAH HARUS DIBELA?


Seorang bertanya padaku kenapa Gereja Katolik tidak membuat laskar yang kuat sehingga bisa untuk melawan laskar dari agama lain yang mengganggu ketentraman Gereja? Ada juga teman yang mengatakan bahwa di suatu tempat ada laskar Gereja yang siap membela dan mempertahankan Gereja bila ada gangguan dari agama lain. Mendengar semua itu aku hanya termenung prihatin. Aku bayangkan bila setiap agama mempunyai laskar yang siap membela agamanya masing-masing maka memungkinkan terjadinya benturan antar laskar akan terjadi. Bila terjadi benturan maka akan ada kurban entah nyawa atau harta. Apakah Yesus menghendaki umatnya perang demi membela agamanya? Yesus sendiri ketika ditangkap Dia tidak ingin dibela siapa-siapa. Kalau Dia mau maka Dia akan menurunkan bala tentara surgawi.

“Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Mat 5:39). Ajaran Yesus yang dikumpulkan oleh Matius dalam Kotbah di Bukit sudah jelas bagaimana kita harus bersikap terhadap para musuh atau orang yang membenci kita. Yesus secara tegas melarang kita untuk melawan atau membalas setiap orang yang berusaha atau menyakiti kita. Sebaliknya kita harus mengasihi mereka dan mendoakan mereka. Ajaran ini sangat sulit dilakukan sebab bila kita melakukan maka kita akan dianggap penakut, pengecut, atau lemah sehingga kita akan terus menerus menjadi bulan bulanan oleh para orang yang membenci kita.

Ketakutan ini yang membuat kita ingin menunjukkan siapa diri kita dengan membalas atau menyerang orang yang kita anggap musuh. Ketika masih berteman dengan anak-anak jalanan aku sering kali berusaha menenangkan anak-anak yang ingin menyerang atau membalas dendam teman mereka sendiri atau anak jalanan dari daerah lain yang berusaha mengusik keberadaan mereka. Mereka mengatakan bila tidak diserang maka anak dari daerah lain akan menguasai daerahnya. Atau bila temannya tidak dihajar maka mereka akan terus melakukan perbuatan yang tidak nyaman pada dirinya. Dengan demikian kekerasan yang mereka lakukan bersumber dari ketakutan yang muncul dalam diri. Demikian pula kekerasan yang dilakukan yang berdasarkan agama muncul dari ketakutan. Orang agama tertentu merasa takut bila umatnya berpindah ke agama lain, sehingga mereka berusaha menyerang agama tersebut. Atau orang takut bila Allahnya dihina oleh orang lain, sehingga mereka menyerang orang itu.

Yesus mengajarkan agar kita menjadi orang yang bebas dari rasa takut kecuali takut pada Allah. “Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” (Mat 10:28) Bila kita hanya takut pada Allah maka apa yang kita lakukan adalah mentaati kehendak Allah. Hampir semua agama mengatakan bahwa Allah mereka mengajarkan damai dan kasih, maka bila mereka melakukan kekerasan meskipun demi nama Allah berarti mereka telah melanggar perintah Allah. Mereka tidak takut pada Allah melainkan hanya takut pada manusia yang dianggap dapat mengusik keberadaan mereka.

“TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar.” (Mzm 27:1) Apa yang ditulis oleh pemazmur menunjukkan sikap orang beriman. Orang yang tidak takut akan segala hal sebab Allah akan melindunginya. Tapi sering iman hanya diartikan sebagai pengakuan akan Allah, tapi tidak dalam penyerahan diri seutuhnya pada Allah. Akibatnya timbul rasa takut yang berkembang pada sikap menyerang orang lain. Hal yang lebih memprihatinkan ialah bila beriman disempitkan dalam membela Allah. Bagaimana mungkin kita yang lemah membela Allah yang Maha? Bukankah Allah mampu menjungkir balikkan orang yang melawanNya? Maka bagiku tidak perlu membuat laskar pembela iman atau sebagainya. Bila Allah berkehendak melawan orang yang menyerangNya, maka Dia tidak membutuhkan bantuan kita.

Senin, 14 Februari 2011

BELAS KASIH AKTIF

Injil Markus menceritakan suatu ketika ada 4 ribu orang lebih mengikuti Yesus dan mereka kelaparan sebab sudah 3 hari bersama Yesus. Melihat mereka yang kelelahan Yesus merasa kasihan. Dia sadar bahwa tidak mungkin menyuruh mereka pulang, sebab dapat pingsan atau mati di jalan akibat kelaparan. Maka Dia bertanya pada para rasul apakah ada makanan bagi orang-orang itu. Para rasul hanya mempunyai 7 potong roti. Mereka tidak mungkin memberi makan 4 ribu orang hanya dengan 7 potong roti. Hal ini bukan karena mereka pelit tapi mereka mendasarkan pada perhitungan manusia. Roti yang mereka miliki saja belum tentu cukup untuk diri mereka sendiri. Maka Yesus membuat mujijat pergandaan roti. Dari 7 roti dan beberapa ikan Dia mampu memberi makan minimal 4 ribu orang dan masih tersisa banyak.

Orang-orang itu mengikuti Yesus atas inisiatif mereka sendiri. Mereka tahu bahwa di sekitar situ tidak ada warung. Mereka juga tahu bahwa Yesus dan para murid tidak membawa bekal makanan yang cukup bagi mereka. Seharusnya mereka segera pulang sebelum persediaan makanan yang mereka bawa menjadi habis. Tapi mereka tidak melakukan hal itu. Dengan demikian jika mereka kelaparan itu merupakan resiko yang sudah diketahuinya. Apakah mereka percaya bahwa Yesus mampu mengatasi masalah ini? Ataukah mungkin mereka adalah orang pelit yang bergantung pada orang lain sehingga bila ada orang yang makan siapa tahu mereka juga akan diberi? Atau mereka adalah orang miskin yang tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti Yesus meski harus mati kelaparan? Kita dapat mengajukan pertanyaan lain terkait keputusan orang-orang itu mengikuti Yesus sampai 3 hari.

Orang-orang itu tidak meminta agar Yesus melakukan sesuatu agar mereka tidak mati kelaparan. Mereka diam dan hanya mendengarkan ajaran Yesus. Situasi hampir sama dengan situasi antara Lazarus dan orang kaya, tapi berbeda dalam tindakan akhirnya. Lazarus yang miskin diam dekat orang kaya. Dia tidak protes atau meminta belas kasihan dari orang kaya itu. Dia hanya memunguti remah-remah roti yang jatuh dari meja orang kaya. Tapi orang kaya itu tidak peduli pada Lazarus meski dia mempunyai makanan berlimpah. Sedangkan Yesus tidak mempunyai makanan tapi Dia peduli. Yesus mempunyai belas kasih sedangkan orang kaya itu tidak memilikinya.

Belas kasih dapat menjadi kekuatan besar dari seseorang untuk mendorongnya terlibat dalam penderitaan atau masalah sesama. Belas kasih yang dimiliki Yesus mendorong untuk bertindak atau belas kasih aktif, bukan hanya sekedar rasa prihatin atau belas kasih pasif. Orang yang memiliki belas kasih aktif belum tentu seorang yang memiliki sesuatu untuk dibagikan. Dia dapat juga orang miskin yang tidak mempunyai apa-apa untuk dibagikan seperti Yesus yang tidak punya roti sedikitpun. Dari kekurangannya dia ingin terlibat dan berbagi dengan orang yang dianggapnya lebih membutuhkan.

Belas kasih aktif tumbuh dari orang yang peka akan situasi disekitarnya. Dia dapat merasakan atau menangkap penderitaan atau masalah sesamanya meski itu tidak terungkap dalam kata-kata. Untuk itu dibutuhkan semangat untuk hidup demi sesama. Perhatian tidak hanya ditujukan pada diri sendiri tapi juga pada sesama. Pada jaman ini orang sering sibuk dengan dirinya sendiri sehingga tidak mampu menilai situasi yang ada di sekitarnya. Atau orang hanya melihat penderitaan diri sehingga tidak mampu melihat penderitaan sesama. Yesus pun mungkin lapar setelah selama 3 hari mengajar. Yesus sering sangat sibuk melayani “Maka datanglah orang banyak berkerumun pula, sehingga makan pun mereka tidak dapat.” (Mrk 3:20). Tapi meski lelah Dia tetap memperhatikan kebutuhan orang lain. Sering orang enggan terlibat dalam penderitaan sesama sebab dia merasa sudah menderita atau tidak mempunyai waktu lagi atau dia merasa tidak memiliki sesuatu untuk dibagikan. Yesus pun tidak memiliki roti untuk dibagikan, maka Dia melibatkan para murid. Belas kasih aktif bukan hanya ingin berbuat tapi juga mendorong orang lain untuk berbuat bagi sesama, sehingga dari yang sedikit yang kita miliki dapat menjadi berlipat bila semakin banyak orang yang terlibat.

Sabtu, 12 Februari 2011

INDAHNYA PERBEDAAN

Akhir-akhir ini negara kita diguncang oleh tindak kekerasan sekelompok orang karena masalah agama. Kekerasan karena semacam ini bukanlah hal baru dalam negara kita. Sudah terjadi berulang-ulang dan tidak ada penyelesaian yang tuntas. Kasus Poso, Ambon dan sebagainya. Memang kekerasan itu pernah sampai ke meja pengadilan dan memakan kurban yaitu Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu yang ditangkap pada bulan Juli dan Agustus 2000. Mereka dijatuhi hukuman mati pada April 2001 lalu dieksekusi pada 22 September 2006. Hukuman mati ini menyisakan kontroversi, sebab memang tampaknya pemerintah hanya ingin memuaskan satu kelompok saja. Selebihnya biasanya diselesaikan dengan pertemuan damai dan membuat perjanjian tidak akan saling menyerang meski kurban nyawa dan harta cukup banyak. Kita saat ini hanya mampu menunggu apakah kekerasan terakhir yang terjadi di Banten dan Temanggung akan berakhir di meja persidangan atau hilang begitu saja.

Suatu sore aku mengobrol dengan seorang bapak tua yang biasa kami panggil abah. Umurnya sudah hampir 60 tahun. Jenggotnya banyak yang memutih. Ada dua lingkaran hitam di dahinya. Sambil minum kopi di warung tempat biasanya kami ketemu, kami berdiskusi tentang video yang menayangkan kekerasan dalam kerusuhan di Cikeusik, tanggal 6 Februari lalu. Abah mengatakan bahwa dia sangat sedih melihat kejadian itu. Baginya itu bukan tindakan kaum beriman tapi binatang. Abah menyesalkan bahwa banyak orang yang belum faham kitab suci tapi sudah merasa faham atau menafsirkan kitab suci dari sudut kepentingan mereka. Misalnya kata jihad atau perjuangan yang sering disempitkan dengan menyerang orang lain. Padahal perjuangan itu sangat luas. Orang ikut menyiram rumah yang sedang terbakar saja dia sudah melakukan jihad. Tapi karena ada kepentingan kekuasaan dan uang maka jihad menjadi salah kaprah.

Banyak orang menduga bahwa kerusuhan yang terjadi di Temanggung dan Cikeusik itu bukan murni soal agama tapi ada yang menunggangi dan menggerakkan. Bila memang demikian maka latar belakangnya pasti uang atau kekuasaan. Aku ketika berkumpul dengan teman-temanpun pernah diserang oleh sekelompok orang yang menyatakan diri sebagai kaum agamawan. Mereka dengan beringas menyerang kami. Beberapa waktu kemudian salah satu penyerang bergabung dalam kelompok kami. Ternyata dia adalah seorang preman yang dibayar Rp 75.000.

Terlepas dari soal orang agamawan bayaran, tapi ketegangan antar agama memang masih terjadi di negara kita. Para tokoh agama sudah sering berkumpul mengadakan dialog-dialog formal di hotel atau tempat pertemuan tapi kerusuhan di akar rumput masih saja terus terjadi. Hal ini disebabkan pertemuan itu berhenti di ruang pertemuan dan belum sampai pada akar rumput. Dalam pertemuan yang terjadi lebih pada basa basi tanpa membangun persahabatan yang nyata. Orang hanya sibuk memuji dan membuat slogan “agamamu agamamu, agamaku agamaku” atau lainnya. Tapi di luar ruang pertemuan benteng-benteng kuat dibangun kembali.

Aku dan abah tidak pernah bertemu dalam forum resmi untuk mendiskusikan ajaran agama yang jelas berbeda. Kami biasa duduk di warung kopi menikmati segelas kopi seharga Rp 2500 sambil mengobrol kian kemari. Dalam obrolan itu kami tidak saling sungkan untuk mengolok agama masing-masing tanpa ada rasa sakit hati apalagi ingin membunuh. Kami menyadari bahwa sejarah agama kami punya lembaran-lembaran hitam yang tidak perlu diulang. Kesadaran ini membuat kami tidak menjadi sombong dan merasa diri paling benar. Selain itu kesadaran bahwa kami sama-sama manusia yang harus saling menghormati membuat kami berusaha menghormati satu dengan yang lain apapun pilihannya. Dari sinilah muncul rasa persahabatan. Abah dan aku sudah yakin akan pilihan agama kami, maka kami tidak takut akan pindah agama meski melihat kelemahan agama kami. Seandainya semua orang yakin akan agamanya dan menyadari bahwa semua manusia semartabat, maka tidak akan ada lagi kerusuhan berdasarkan agama. Kita bisa hidup damai dalam aneka perbedaan

Kamis, 10 Februari 2011

DISKRIMINASI

Sudah beberapa saat aku duduk menanti giliran untuk transaksi di sebuah bank. Lalu ada seorang pria duduk di bangku sebelah. Tidak berapa lama kemudian seorang gadis muda datang menghampiri pria itu dan menawarinya minuman. Pria itu dengan sopan menolak tawarannya. Di ruang tunggu bank ini memang setiap nasabah yang datang dapat mengambil minuman dan makanan kecil yang telah disediakan atau diambilkan oleh pegawai. Hal yang membuatku heran adalah kenapa aku yang duduk sejak tadi tidak ditawari minuman? Padahal pegawai itu mondar mandir di sekitarku sambil membawa minuman yang diminta oleh para nasabah. Ketika hal ini kuceritakan pada seorang teman dia mengatakan sebab pegawai itu tidak yakin bahwa aku nasabah disitu, sebab penampilanku tidak meyakinkan sebagai nasabah di bank itu.

Sering kali orang menilai orang lain dari apa yang tampak atau dari penampilannya. Pengalaman diabaikan seperti ini sering kualami, sebab aku memang tidak biasa tampil atau berdandan berlebihan. Beberapa kali aku mau membeli barang di sebuah toko pun sering diabaikan oleh pegawai toko itu, sebab mereka mengira aku hanya akan melihat-lihat saja dan ini membuang waktu mereka. Padahal belum tentu orang yang berpenampilan bagus akan membeli barang di toko tersebut. Terjadinya perbedaan dalam memperlakukan seseorang menunjukkan bahwa masih adanya diskriminasi dimana ada orang yang dipandang lebih dibanding yang lain.

Dalam Wikipedia diskriminasi dijabarkan sebagai berikut, Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain. Diskriminasi yang sering menimbulkan masalah besar adalah akibat SARA. Komnas HAM dalam UU no 40/2008 menegaskan penghapusan diskriminasi akibat SARA, sebab melanggar hak asasi manusia. Sebetulnya PBB sejak 20 November 1963 telah mengeluarkan deklarasi penghapusan diskriminasi. Deklarasi ini ditegaskan kembali pada tahun 1993. Pada tahun 1998 pemerintah Indonesia melalui TAP MPR XVII/MPR/1998 memberi kekuatan hukum dan menjadikan undang-undang.

Diskriminasi adalah sebuah tindakan yang sudah tua. Sejak jaman Yesus telah terjadi diskriminasi dimana orang tidak menghargai sesamanya karena mereka berbeda suku, agama dan kelompok. Yesus berusaha membongkar tembok itu. Dalam perumpamaan orang Samaria yang baik hati jelas sekali Yesus hendak mengatakan bahwa semua orang adalah sesama bagi dirinya. Mereka mempunyai martabat yang sama. Orang Yahudi meyakini bahwa keselamatan hanya untuk mereka, maka Yesus menyatakan bahwa keselamatan juga terbuka untuk bangsa-bangsa lain. "Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Yakub di dalam Kerajaan Sorga, sedangkan anak-anak Kerajaan itu akan dicampakkan ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi." (Mat 8:11-12).

Negara kita akan terus tidak akan aman dan tidak akan ada keadilan bila diskriminasi tetap ada. Orang masih disempitkan dalam kelompoknya sehingga merendahkan dan memperlakukan sesamanya sewenang-wenang. Semua manusia adalah gambaran diri Allah yang semartabat meski ada perbedaan warna kulit, pilihan keyakinan dan lainnya. Tapi perbedaan itu tidak menghilangkan hakekat manusia sebagai ciptaan Allah yang berhak mendapat perlakuan yang sama di segala bidang dan bebas mengembangkan dirinya. Orang pun bebas mengekspresikan diri dan memilih yang terbaik bagi dirinya. Meski semua itu harus ada batasan-batasan agar tidak menganggu orang lain dan ada kesepakatan bersama yang dilindungi oleh hukum. Batasan ini dibuat agar orang tetap menghormati dan menghargai sesamanya sebagai sesama manusia yang bermartabat. Bila semua orang mau menghargai sesamanya, maka diskriminasi tidak akan ada lagi.

Rabu, 09 Februari 2011

SIMEON DAN EKARISTI


Dalam Injil Matius digambarkan seorang saleh yang bernama Simeon. Dia menantikan Mesias dan mendapat anugerah dari Allah bahwa dia tidak akan mati sebelum melihat Mesias. Dia pun dikuasai oleh Roh Kudus. Ketika dia melihat Yesus dalam gendongan Maria, Simeon sangat suka cita sebab masa penantiannya sudah selesai. Dia siap untuk mati sebab dia sudah melihat apa yang dinantikan yaitu pembawa keselamatan bagi seluruh dunia. Apa yang diharapkan oleh Simeon merupakan harapan seluruh bangsa Israel yaitu kedatangan Mesias yang akan menegakkan kembali tahta Daud. Harapan ini muncul menguat ketika mereka dalam pembuangan Babel. Tapi Simeon memperluas makna Mesias bukan hanya untuk bangsa Yahudi, tapi Mesias adalah terang bagi seluruh bangsa “sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa” (Luk 2:30-31)

Kita saat ini tidak lagi menunggu keselamatan yang dijanjikan Allah, sebab Yesus telah hadir. Yesus telah menunjukkan keselamatan yang dibawaNya dalam kehidupan umat Israel yang kemudian tersebar ke seluruh dunia. Kita telah melihat keselamatan bahkan telah menerima keselamatan itu. Seharusnya kita jauh lebih bahagia dibandingkan Simeon, sebab dia baru sebatas melihat bayi Yesus sedangkan kita sudah menerima keselamatan yang dibawaNya. Kita sudah menikmati kepenuhan janji Allah yang dinantikan oleh umat Israel. Tapi sungguhkah kita lebih bahagia daripada Simeon?

Tidak jarang orang Katolik merasa hidupnya tidak bahagia menjadi Katolik atau ada juga yang hambar. Dia mengikuti perayaan sakramen dan berdoa tapi tidak ada kebahagiaan seperti yang dirasakan oleh Simeon. Akibatnya dia mengalami kejenuhan dan semua menjadi rutinitas belaka. Doa-doa yang diucapkan hanya sekedar di mulut tapi tidak melibatkan hati. Ketika bernyanyi pun dia kehilangan kegembiraan. Dalam mengikuti perayaan sakramen dia hanya merasa sebagai kewajiban, sehingga ketika pulang dia merasa tidak mendapatkan apa-apa. Atau dia menghabiskan waktu dalam misa di gereja untuk melakukan hal-hal lain yang seharusnya dilakukan di luar gereja.

Mungkin hal ini disebabkan mereka telah kehilangan kerinduan seperti yang dimiliki Simeon. Kerinduan yang kuat mampu mengarahkan semua perbuatan, tindakan dan rasa pada terpenuhinya hal yang dinantikan itu. Seorang anak kecil yang ditinggal ibunya pergi maka dia akan menantikan dengan penuh kerinduan kedatangan ibunya. Ketika melihat ibunya datang maka dia akan menyongsong ibunya dengan penuh suka cita. Suka cita semacam itulah yang ada dalam diri Simeon. Suka cita terpenuhinya kerinduan yang sangat mendalam. Kita tidak merasakan kerinduan yang kuat untuk menantikan penyelamatan seperti yang dirasakan oleh Simeon.

Ekaristi adalah sakramen keselamatan. Dalam sakramen itu Yesus hadir bukan hanya secara Roh yang menyatukan umat sebagai tubuh dan Dia sebagai kepala, tapi juga secara fisik dalam wujud Tubuh dan DarahNya dalam hosti. Kehadiran Yesus ini tidak menjadi kerinduan lagi, sebab kita sudah sering bahkan mungkin tiap hari menerima hosti. Hilangnya kerinduan ini membuat hati kita menjadi hambar saat mengikuti ekaristi atau menerima hosti. Ada orang yang setiap pagi mengikuti ekaristi dengan alasan bila tidak mengikutinya maka dia merasa ada sesuatu yang hilang. Ekaristi menjadi bagian dari rutinitas kehidupannya sehari-hari, sehingga dia tidak merasakan suka cita yang besar. Hal ini berbeda dengan umat di desa terpencil yang jarang sekali ada perayaan ekaristi. Ketika menerima hosti seorang ibu berderai air matanya karena bahagia. Dia sangat merindukan mengikuti ekaristi tapi jarang sekali ada imam maka ketika ada imam datang dan merayakan ekaristi ibu ini sangat suka cita. Hal ini bukan berarti kita yang dapat mengikuti ekaristi setiap hari tidak perlu mengikutinya lagi, melainkan perlu adanya perubahan sikap batin. Kita sudah membangun kerinduan untuk menerima Yesus sejak berangkat dari rumah, sehingga ada semangat dan suka cita untuk mengikuti ekaristi dan menerima Yesus dalam hidup kita. Kerinduan ini akan membuat mengalami suka cita seperti yang dialami oleh Simeon.

Selasa, 08 Februari 2011

SAYA BUKAN ORANG BERDOSA

Seorang datang padaku. Dia mengatakan bahwa akan pergi berziarah ke Israel. Dia mengatakan bahwa romo pembimbing ziarah menyarankan agar dia mengaku dosa terlebih dahulu sehingga ketika di tanah suci hatinya pun sudah suci. Aku anggap saran romo ini cukup bagus. Ketika berjalan ke ruang pengakuan orang itu mengatakan bahwa dia bingung mau mengaku apa, sebab dia merasa tidak berdosa. Sambil tersenyum kukatakan ya sebaiknya tidak perlu mengaku dosa bila merasa tidak punya dosa. Tapi orang itu memaksa sebab itu syarat yang harus dilakukan. Dia mengatakan sejak baptis sekitar 25 tahun lalu sekalipun dia belum pernah mengaku dosa sebab dia yakin bahwa baptis telah menghapus semua dosanya. Setelah baptispun dia merasa bahwa tidak pernah berbuat dosa lagi. Akhirnya orang itu aku doakan dan berkati.

Sebetulnya mendengar pernyataan orang itu aku tertawa dalam hati. Bagiamana orang dapat mengatakan bahwa dia tidak berdosa? Tetapi aku hargai kejujurannya itu, sebab memang sering orang merasa bahwa dia tidak berdosa. Saat menjelang Paskah atau Natal banyak orang mengaku dosa. Banyak dari mereka datang ke ruang pengakuan hanya karena kewajiban atau menjalankan ritus atau kebiasaan atau yang lainnya tapi tidak berdasarkan kesadaran bahwa dirinya adalah orang berdosa yang membutuhkan pengampunan. Akibatnya mereka bingung akan dosanya atau sibuk mencari-cari dosa bahkan ada pula yang menceritakan dosa orang lain. Karena orang tidak sadar akan dosanya, maka jumlah umat yang menerima sakramen pengakuan dosa menjelang Paskah dan Natal sangat sedikit. Seorang teman mengatakan bahwa dia dan 3 imam lain menerima kira-kira 100 umat yang mengaku dosa dalam satu malam saja. Jika demikian dalam satu hari ada 400 umat yang mengaku dosa. Bila pengakuan dosa dilakukan selama 4 hari maka ada 1600 umat yang mengaku dosa. Padahal jumlah umat di paroki itu sekitar 10.000 lebih, jadi yang mengaku dosa belum mencapai 20%.

Orang tidak menyadari bahwa dirinya berdosa sebab dia sudah terbiasa melakukan dosa, sehingga dia tidak merasakan dosa lagi. Hatinya sudah kehilangan kepekaan akan dosa, sehingga bila berbuat dosa dia menganggapnya hal biasa atau wajar. Apalagi bila orang beranggapan bahwa pengakuan dosa hanya dilakukan menjelang Natal atau Paskah, maka banyak dosa yang tidak diingatnya lagi. Ada pula orang yang hanya merasa berdosa bila dia melanggar 10 perintah Allah yang diberikan pada Musa. Padahal oleh Yesus 10 perintah Allah dijabarkan lebih luas. “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” (Mat 5:21-22). Dengan demikian bila kita mengikuti ajaran Yesus dalam kotbah di bukit maka sebetulnya kita mempunyai banyak dosa yang membutuhkan pengampunan dari Allah.

Dosa juga bukan karena kita aktif atau melakukan sebuah tindakan yang melanggar perintah Allah, tapi juga karena kita pasif atau tidak melakukan perintah Allah. Dalam kisah orang kaya dan Lazarus, orang kaya itu tidak melanggar perintah Allah. Tapi dia tidak melakukan belas kasih pada sesama, maka dia dihukum oleh Allah. Begitu juga seorang kaya yang merasa bahwa dia sudah menjalankan semua perintah Allah tapi dia tidak berani melepaskan hartanya maka dia tidak dapat masuk dalam Kerajaan Surga (Luk 18:18-25). Dengan demikian sebetulnya kita semua adalah orang berdosa.

Untuk memiliki kesadaran akan dosa kita membutuhkan sikap rendah hati. Menyadari akan kelemahan diri yang mudah tergoda oleh bujukan iblis yang dapat menjauhkan kita dari Allah dan sesama. Selain itu perlu waktu untuk merefleksi diri sejauh mana kita telah melawan kasih Allah dan sesama. Masalahnya kita sering tenggelam dalam kesibukan sehingga tidak mempunyai waktu untuk refleksi diri, sehingga kita tidak sadar bahwa kita telah melakukan berbuat melawan kasih kepada Allah dan sesama.

Sabtu, 05 Februari 2011

HEMAT....

Akhir-akhir ini ada iklan sebuah provider telepon selular yang menekankan hidup hemat. Bila tidak salah sudah ada dua versi iklan bagaimana orang hidup hemat. Sepintas iklan ini cukup lucu, tapi bisa memberikan ajaran yang keliru soal hidup hemat. Dalam versi iklan yang kedua, ditayangkan seorang pemuda yang menyemprotkan parfum di tubuhnya, padahal parfum itu ada dalam deretan rak sebuah toko. Dia tidak membelinya. Dia pun sambil sibuk menelpon mengambil makanan dan minuman milik teman-temannya dengan alasan hemat. Sikap pemuda itu menyesatkan bagi pemirsa. Memakai parfum yang ada di toko tanpa membeli sama saja dengan mencuri, kecuali bila parfum itu menjadi tester yang biasanya ditawarkan oleh seorang SPG atau ada tulisan tester di botol parfum. Mengambil makanan orang tanpa permisi juga merupakan ajaran yang tidak sopan. Apalagi memakan dan meminum milik orang lain yang sudah dimakan atau diminum dapat menularkan penyakit.

Kita memang harus hidup hemat. Beberapa tahun lalu ketika negara sedang mengalami krisis ekonomi kita sering mendengar slogan kencangkan ikat pinggang. Slogan itu meminta semua warga untuk memperketat pengeluaran agar krisis ekonomi segera dipulihkan. Dengan demikian negara mengajak penduduk untuk hemat bukan sekedar tidak belanja tapi mempunyai tujuan bersama yaitu mencapai kesejahteraan bersama, meski dalam realitanya hanya rakyat miskin yang harus mengencangkan ikat pinggang sedangkan para penguasa negara tetap menjalankan hidup boros seperti sedia kala.

Hemat adalah salah satu nilai yang ada dalam masyarakat dan diajarkan sejak masih anak-anak. Ada orang yang memberikan pengertian bahwa hidup hemat adalah hidup yang sederhana. Dia boleh membeli apa saja tapi yang sungguh dibutuhkan. Tapi saat ini banyak orang membeli sebab dia punya uang bukan karena dia membutuhkan. Orang membeli komputer yang canggih tapi dia hanya mampu menggunakan untuk membuat tulisan atau mendengarkan lagu, maka dia disebut tidak hemat. Sebaliknya orang membeli lampu dengan merk terkenal dan cukup mahal dia dapat disebut hemat sebab lampu itu awet dan tidak membutuhkan energi listrik yang besar.

Hidup hemat juga dapat diartikan orang yang merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Perkembangan tehnologi sangat cepat sehingga setiap saat muncul produk baru. Bila kita terus menerus mengikuti perkembangan tehnologi maka tidak akan pernah berhenti untuk membeli. Apa yang terhebat pada hari ini besok sudah ada yang lebih hebat lagi. Maka perlu merasa cukup dengan apa yang ada pada kita. Seorang teman mengatakan bahwa sudah hampir 5 tahun dia tidak pernah ganti HP, sebab baginya HP yang dimiliki masih berfungsi dengan baik. Dia merasa cukup dengan HP yang dimiliki. Orang yang merasa cukup maka dia mampu mengendalikan pengeluarannya. Tapi ada banyak orang yang tidak pernah merasa cukup dan puas dengan apa yang dimiliki. Dia sudah memiliki rumah satu lalu beli lagi meski akhirnya dibiarkan begitu saja tanpa pernah ditinggali. Orang membeli pakaian meski pakaian yang dimiliki masih banyak yang cukup bagus, hanya karena ada model terbaru maka dia membeli.

Maka agar dapat hidup hemat kita harus mampu mengendalikan diri. Memperhitungkan setiap pengeluaran. Hidup hemat bukan berarti pelit yaitu sikap yang berusaha sedikit mengeluarkan demi menumpuk kekayaan. Iklan provider telepon selular yang sering muncul pada saat ini tentang hidup hemat sebetulnya mengajarkan hidup pelit. Dia tidak mau mengeluarkan uang dan merasa lebih baik meminta pada orang lain. Bila hidup hemat tujuannya hanya mengumpulkan uang bagi diri sendiri, maka dapat dikatakan bahwa orang semacam itu adalah orang yang egois. Terlalu memusatkan pada kenyamanan diri. Dia seperti orang kaya yang ingin membuat lumbung untuk menyimpan hasil panennya sehingga dia dapat menikmati hidup pada masa tuanya (Luk 12:16-21). Hidup hemat mempunyai tujuan yang mulia yaitu demi kesejahteraan bersama. Kita memperhitungkan setiap pengeluaran agar ada yang dapat berbagi dengan sesama yang lebih membutuhkan. Disinilah manfaat dan nilai dari hidup hemat.

Selasa, 01 Februari 2011

DEBAT TENTANG DOGMA

Aku tidak tahu mengapa seorang teman suka sekali mengajakku untuk berdebat soal dogma. Dia mengaku pengikut Kristus yang setia dan mengatakan bahwa dia sudah membaca Kitab Suci mulai kitab Kejadian sampai kitab Wahyu. Dia pun merasa bahwa hidupnya sudah berdasarkan Sabda Allah yang ada dalam Kitab Suci. Terkadang aku mengabaikan apa yang dia tanyakan atau pernyataan-pernyataan yang memojokkan iman Katolik, tetapi kadang kala aku juga merasa tertantang untuk menjawab dan mematahkan argumen-argumennya. Semua perdebatan tidak pernah mencapai satu titik temu, sebab kami memandang Yesus dari sudut yang berbeda. Apalagi semua pernyataan atau pertanyaan muncul dari sikap pengadilan bukan sebuah keingintahuan atau untuk memperdalam pengetahuan tentang iman.

Perdebatan mengenai iman tidak pernah akan habis dan tuntas. Beberapa kali aku mengikuti dialog antar agama dalam forum semacam ini tampaknya ada titik temu. Tapi ini hanya tampak di permukaan saja, sebab setelah dialog semua itu seperti menguap. Orang mulai menyalahkan iman orang lain atau merasa bahwa ajaran agamanya yang paling benar. Maka meski di Indonesia sering diadakan dialog antar agama, tapi ketegangan baik itu yang terwujud menjadi sebuah tindakan ataupun hanya sebatas bisik-bisik penuh kebencian dan perendahan agama lain masih terus terjadi.

Dalam agama Katolik sendiri tidak jarang terjadi ketegangan diantara sesama orang yang mengaku Katolik karena pemahaman praktek iman yang berbeda atau penafsiran ajaran yang berbeda. Hal ini kadang menjadi perdebatan atau pertengkaran terbuka tapi lebih banyak terbatas dalam bisik-bisik dalam kelompok yang sepaham. Adanya ketegangan semacam ini tampaknya sudah ada sejak jaman Gereja perdana. Rasul Paulus berulang kali menegur orang yang saling bermusuhan atau membentuk kelompok-kelompok. “…bahwa ada perselisihan di antara kamu. Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus. Adakah Kristus terbagi-bagi?…” (1Kor 1:11-13). Maka Rasul Paulus mengajarkan bahwa Gereja adalah tubuh Kristus yang tidak terbagi-bagi. Semua menyatu dengan fungsi dan tugas yang berbeda-beda karena ada karunia Roh yang berbeda.

Ketegangan juga terjadi karena penafsiran akan Taurat yang berbeda. Maka Rasul Paulus mengingatkan bahwa tidak perlu kita sibuk berdebat soal Taurat. “Tetapi hindarilah persoalan yang dicari-cari dan yang bodoh, persoalan silsilah, percekcokan dan pertengkaran mengenai hukum Taurat, karena semua itu tidak berguna dan sia-sia belaka.” (Tit 3:9) Iman bukan untuk diperdebatkan melainkan dilaksanakan dalam sikap hidup dan tindakan yang nyata. Berdebat soal iman tidak akan ada habisnya, maka dikatakan sia-sia. Penulis surat Yakobus lebih praktis lagi bahwa iman itu hanya dapat dilihat dari apa yang dilakukan dan sikap seseorang. Bukan hanya sekedar percaya.

Sebetulnya ajaran Yesus sangat sederhana. Hukum utama dan pertama adalah kasih. Orang dapat masuk Kerajaan Surga bila dia mempunyai kasih yang terwujud dalam sikap dan tindakan peduli pada kaum miskin. Tapi dalam perkembangannya iman itu disistematisasikan sehingga menjadi sulit. Ada banyak dogma dan ajaran yang dapat menimbulkan pandangan yang berbeda-beda. Gereja pun terpecah-pecah menjadi berbagai aliran. Orang yang tidak sepaham dianggap bidaah dan disingkirkan. Mereka pun mengecam yang sama. Perpecahan ini menelan banyak kurban nyawa dan harta seperti ketika Gereja Kristen melawan Gereja yang dibentuk oleh Marcion pada tahun 144. Melawan Arianisme pada sekitar tahun 318 dan terus terjadi ketegangan sampai akhirnya Gereja pecah lagi karena protes Luther. Perbedaan pemahaman iman sering kali tidak murni soal iman melainkan ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan lain seperti kekuasaan dan sebagainya. Sebetulnya segala ketegangan dengan alasan apapun sangat merugikan Gereja, sebab menghabiskan energi sehingga melupakan tugas utama dan pertama yaitu kasih kepada orang yang miskin dan menderita.

GARAM DAN TERANG DUNIA

Yesus memberikan dua perumpamaan tentang garam dan terang dan dalam Injil Matius kedua perumpamaan itu diletakkan berurutan. Perumpamaan sangat sederhana tapi sangat dalam maknanya. Yesus memang mengajarkan hal sederhana kepada banyak orang agar mereka dapat memahaminya. Ajaran Yesus tidak langsung dicatat oleh para penulis Injil melainkan diceritakan oleh para rasul kemudian dikumpulkan oleh para penulis Injil untuk disusun menjadi satu buku. Ada kemungkinan kedua perumpamaan tadi dikatakan oleh Yesus secara terpisah, tapi oleh penulis Injil Matius disusun seolah dikataan berurutan. Penempatan kedua perumpamaan yang berurutan juga sangat mengagumkan, sehingga memperjelas dan memperteguh satu dengan yang lain.

Semua orang pada jaman itu tahu bahwa salah satu fungsi garam adalah untuk mengubah rasa dari tawar menjadi enak. Selain itu fungsi garam adalah untuk mengawetkan makanan agar tidak mudah busuk. Sedangkan fungsi terang sudah jelas agar manusia bisa melihat segala sesuatu. Pada akhir perumpamaan Yesus bersabda, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Mat 5:16). Inilah perintah Yesus agar kita berbuat baik sehingga dilihat orang dan mereka memuliakan Bapa yang di sorga. Terang dikaitkan dengan perbuatan baik.

Dengan demikian Yesus menghendaki kita menjadi orang yang mampu menunjukkan perbuatan baik, sehingga orang lain menyadari atau melihat kemuliaan Allah. Tidak semua perbuatan yang tampaknya baik dapat membawa orang sampai melihat atau menyadari kemuliaan Allah, sebab banyak orang berbuat baik hanya sekedar berbuat baik. Ada pula orang berbuat baik untuk menunjukkan kemuliaannya sendiri. Kita sering mendengar orang mampu melakukan penyembuhan atau berbuat mujijat yang mengagumkan, sehingga banyak orang akan berbondong-bondong hadir dimana dia berada. Mereka kagum pada si pembuat mujijat. Memang tidak jarang dalam acara semacam itu nama Allah dikumandangkan. Orang dengan bersemangat memuliakan nama Allah. Tapi apakah mereka akan beriman pada Allah setelah pembuat mujijat itu pergi? Apakah mereka juga mampu membuat orang lain memuliakan Allah?

Beberapa kali Yesus menyembuhkan yang membuat banyak orang memuliakan Allah. Orang buta yang disembuhkan oleh Yesus menjadi orang yang berani melawan para imam dan ahli taurat yang berusaha untuk mempertanyakan kuasa Yesus. Dia pun menjadi percaya pada Yesus. “Katanya: "Aku percaya, Tuhan!" Lalu ia sujud menyembah-Nya.” (Yoh 9:38). Mujijat Yesus mengubah orang itu. Dalam Injil Lukas pun diceritakan hal yang hampir sama. Seorang pengemis buta yang disembuhkan Yesus lalu mengikuti Yesus sambil memuliakan Allah. “Dan seketika itu juga melihatlah ia, lalu mengikuti Dia sambil memuliakan Allah. Seluruh rakyat melihat hal itu dan memuji-muji Allah.” (Luk 18:43). Dia tidak memuliakan Yesus begitu pula rakyat banyak yang melihat hal itu. Mereka tidak memuliakan Yesus.

Perbuatan baik harus seperti garam yang dapat mempengaruhi dan mengubah orang. Banyak orang mengeluh bahwa orang yang dibantunya sekian lama ternyata tidak berubah. Dia menjadi bergantung pada bantuan dan hidupnya tidak berubah. Hal ini disebabkan ketika membantu kita tidak bertujuan memuliakan Allah. Kita hanya merasa kasihan. Bantuan adalah sarana kita untuk membuat orang menyadari belas kasih Allah dalam hidupnya. Hal ini tidak cukup dengan sekedar memberi. Perlu adanya sentuhan pribadi. Dalam melakukan mujijat Yesus sering mengadakan dialog dengan orang yang menderita agar tercipta relasi secara personal. Maka tidak mungkin menolong orang dalam jumlah yang besar. Hanya sekali Yesus menolong orang dalam jumlah yang besar yaitu saat menggandakan roti. Dalam dialog itu Yesus mewartakan Allah dan hadirnya Kerajaan Allah. Hal ini bukan berarti bahwa bantuan menjadi sarana pengkristenan apalagi menunjukkan kehebatan diri. Bantuan kita untuk mengubah orang menjadi mampu bersyukur pada Allah atas segala yang diterimanya melalui kita.

Powered By Blogger