Seorang teman mengkritik tulisanku yang berjudul “Apakah Allah harus dibela”. Dia mengatakan bahwa kita harus membuat laskar yang kuat agar disegani oleh agama lain. Kita sudah bosan ditindas dan diperlakukan tidak adil. Maka kini saatnya kita harus bangkit dan melawan. Apa yang ditulisnya membuatku sejenak merenung kembali. Apakah memang harus dibuat laskar untuk melawan para perusuh dan penindas? Selama ini memang banyak orang Katolik yang terpaksa “menyembunyikan” identitas kekatolikannya agar tidak ditindas. Apalagi orang keturunan Tionghoa yang beragama Kristen mereka lebih parah lagi, sebab mengalami double minoritas sehingga kerap diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang. Mereka lebih suka mencari jalan damai dan mengalah daripada harus berhadapan dengan orang-orang yang menindasnya. Mereka harus sering menahan emosi ketika diperlakukan tidak adil, sebab bila mereka berani melawan maka urusan akan semakin panjang dan melebar kemana-mana.
Inilah gambaran kemiskinan di negara kita. Kemiskinan bukan dalam segi materi tapi segi kesetaraan sebagai manusia yang bermartabat. Kebebasan sebagai manusia merdeka. Meski negara kita sudah memproklamirkan kemerdekaan sejak 1945 tapi kemerdekaan belum dirasakan oleh semua rakyat Indonesia. Masih banyak rakyat yang ditindas, diperas dan diperbudak oleh sesamanya seperti ketika jaman penjajahan Jepang dan Belanda. Pihak yang berkuasa dalam bidang agama dan pemerintahan bertindak seperti tuan-tuan yang harus ditaati apa saja kemauannya meski kemauan itu berlawanan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Kita pun sering mengikuti apa saja kemauan mereka dan berusaha menyenangkan mereka demi keselamatan diri. Atas nama menjaga keamanan maka aparat memaksa gereja untuk memberikan sedikit uang pada saat Paskah dan Natal, padahal pada hal itu tidak dilakuan saat lebaran. Demi keamanan pun kita memberi uang. Inilah perbudakan. Seorang budak akan berusaha menyenangkan tuannya yaitu orang-orang yang berkuasa.
Yesus datang ke dunia untuk menghapus perbudakan terselubung. Dia berdiri dipihak kaum miskin dan tertindas atau orang-orang yang dimiskinkan oleh masyarakat. Yesus membangun masyarakat baru yang bebas dari perbudakan. Semua manusia setara sebab semua manusia adalah citra Allah. “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yoh 15:15). Komunitas baru ini mengajarkan kesetaraan. Rasul Paulus lebih memperjelas maksud Yesus “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.” (1Kor 12:13).
Budaya rakyat tertindas adalah budaya pasif yaitu yang menerima saja situasi hidup yang tidak adil. Tidak mau terlibat dalam aneka urusan masyarakat yang dirasa dapat membuatnya semakin tertindas. Atau budaya bergantung yaitu menyerahkan semua urusan pada penguasa. Dia mengikuti saja apa yang dikatakan atau dikehendaki oleh penguasa meski dalam hatinya dia berontak marah. Lebih parah lagi menyerah dan tidak berani mengambil resiko perjuangan. Seperti bangsa Israel setelah keluar dari Mesir, mereka mengeluh karena kesulitan makan di padang gurun. Maka mereka mengatakan pada Musa lebih baik menjadi budak di Mesir dari pada harus berjuang.
Yesus melawan ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat. Dia tidak membentuk laskar untuk melawan dengan senjata meski para murid mengira akan ada revolusi bersenjata, maka Petrus membawa pedang ketika masuk Yerusalem. Perlawananan Yesus dengan membuat budaya baru sebagai budaya tandingan yang berbeda dengan budaya penindasan yang ada dalam masyarakat. Yesus pun dengan berani mengkritik perilaku para penguasa yang tidak adil (Mat 23:1-36). Bila kita mengikuti Yesus maka perjuangan tidak dengan membentuk laskar untuk menyerang tapi membuat budaya tandingan dan berani menyatakan protes atas ketidakadilan. Ini butuh pengurbanan.
Inilah gambaran kemiskinan di negara kita. Kemiskinan bukan dalam segi materi tapi segi kesetaraan sebagai manusia yang bermartabat. Kebebasan sebagai manusia merdeka. Meski negara kita sudah memproklamirkan kemerdekaan sejak 1945 tapi kemerdekaan belum dirasakan oleh semua rakyat Indonesia. Masih banyak rakyat yang ditindas, diperas dan diperbudak oleh sesamanya seperti ketika jaman penjajahan Jepang dan Belanda. Pihak yang berkuasa dalam bidang agama dan pemerintahan bertindak seperti tuan-tuan yang harus ditaati apa saja kemauannya meski kemauan itu berlawanan dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Kita pun sering mengikuti apa saja kemauan mereka dan berusaha menyenangkan mereka demi keselamatan diri. Atas nama menjaga keamanan maka aparat memaksa gereja untuk memberikan sedikit uang pada saat Paskah dan Natal, padahal pada hal itu tidak dilakuan saat lebaran. Demi keamanan pun kita memberi uang. Inilah perbudakan. Seorang budak akan berusaha menyenangkan tuannya yaitu orang-orang yang berkuasa.
Yesus datang ke dunia untuk menghapus perbudakan terselubung. Dia berdiri dipihak kaum miskin dan tertindas atau orang-orang yang dimiskinkan oleh masyarakat. Yesus membangun masyarakat baru yang bebas dari perbudakan. Semua manusia setara sebab semua manusia adalah citra Allah. “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.” (Yoh 15:15). Komunitas baru ini mengajarkan kesetaraan. Rasul Paulus lebih memperjelas maksud Yesus “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.” (1Kor 12:13).
Budaya rakyat tertindas adalah budaya pasif yaitu yang menerima saja situasi hidup yang tidak adil. Tidak mau terlibat dalam aneka urusan masyarakat yang dirasa dapat membuatnya semakin tertindas. Atau budaya bergantung yaitu menyerahkan semua urusan pada penguasa. Dia mengikuti saja apa yang dikatakan atau dikehendaki oleh penguasa meski dalam hatinya dia berontak marah. Lebih parah lagi menyerah dan tidak berani mengambil resiko perjuangan. Seperti bangsa Israel setelah keluar dari Mesir, mereka mengeluh karena kesulitan makan di padang gurun. Maka mereka mengatakan pada Musa lebih baik menjadi budak di Mesir dari pada harus berjuang.
Yesus melawan ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat. Dia tidak membentuk laskar untuk melawan dengan senjata meski para murid mengira akan ada revolusi bersenjata, maka Petrus membawa pedang ketika masuk Yerusalem. Perlawananan Yesus dengan membuat budaya baru sebagai budaya tandingan yang berbeda dengan budaya penindasan yang ada dalam masyarakat. Yesus pun dengan berani mengkritik perilaku para penguasa yang tidak adil (Mat 23:1-36). Bila kita mengikuti Yesus maka perjuangan tidak dengan membentuk laskar untuk menyerang tapi membuat budaya tandingan dan berani menyatakan protes atas ketidakadilan. Ini butuh pengurbanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar