Senin, 21 Februari 2011

TOLAK KOMPROMI

Alinea pertama mukadimah UUD 1945 tertulis, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Inilah pokok pikiran yang akan menjiwai seluruh isi undang-undang. Para bapa bangsa yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk pada 29 April 1945 membuat rancangan UUD. Naskah pembukaan UUD dikukuhkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 lalu disahkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 29 Agustus 1945. Dengan demikian pembuatan UUD ini melalui proses panjang dan disemangati oleh semangat kemerdekaan yang masih menggelora di dalam hati setiap anggota.

Aku membayangkan saat itu para bapa bangsa yang mengalami pahit getirnya menjadi orang jajahan, berdiskusi dengan penuh semangat. Mereka menjadikan kemerdekaan sebagai titik tolak pembuatan UUD. Kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, sebab mereka ingin menghapus penjajahan antar bangsa. Hal ini bukan berarti mengabaikan manusia atau pribadi, sebab kemerdekaan adalah hak setiap pribadi. Dalam Universal Declaration of human rights yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948 dan disetujui oleh 48 negara menegaskan bahwa ada 4 kebebasan manusia yaitu bebas untuk mengemukakan pendapat, bebas untuk mempunyai kepercayaan atau agama, bebas untuk memiliki dan bebas dari ketakutan. Pengalaman pahit sebagai bangsa terjajah, yang dihilangkan martabatnya sebagai manusia yang setara maka para bapa bangsa juga menuntut agar semua bentuk penjajahan dihapus dari muka bumi, sebab tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Setelah 66 tahun memproklamasikan diri sebagai negara merdeka ternyata harapan para bapa bangsa tentang kemerdekaan masih menjadi sebuah harapan yang perlu diperjuangan. Penindasan dan perampasan kemerdekaan atas nama agama, suku, ras dan golongan masih terus terjadi. Di sebuah kota semua anak sekolah harus memakai pakaian tertentu atas dasar agama. Penindasan dan perlakuan tidak adil masih sering terjadi terhadap kaum minoritas. Banyak orang masih dihantui rasa takut sebab berbeda suku dan ras. Di beberapa daerah orang masih belum bebas memilih agama atau menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, dan masih banyak lagi kasus kekerasan dan penghilangan kemerdekaan seseorang atau melanggar hak asasi.

Dalam UUD 45 sendiri ada pasal-pasal yang merupakan penjabaran dari penghargaan terhadap hak asasi manusia. Pasal 27 tentang kesetaraan dalam bidang hukum. Pasal 28 tentang kemerdekaan untuk berkumpul dan berpendapat. Pasal 29 tentang kebebasan untuk beragama. Pasal 31 tentang pendidikan bagi semua bangsa. Pada tahun 2000 dibuat amandemen hak asasi manusia yang memperluas kemerdekaan seseorang. Tapi hukum dan aturan ini masih sering kali belum menyentuh masyarakat secara luas. Terjadinya kekerasan dengan yang disebabkan perbedaan agama, ras, suku dan golongan masih terus terjadi.

Penindasan dan segala bentuk perampasan kemerdekaan akan terus berlangsung bila orang yang ditindas atau diperlakukan tidak adil mengambil jalan kompromi. Sering kali dengan alasan minoritas orang berusaha mencari jalan “damai” yang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah. Kita pun sering mencari aman dengan melakukan kompromi. Seharusnya kita berani menolak kompromi. Penindasan tetap penindasan yang harus dilawan oleh siapa saja, entah itu minoritas atau mayoritas. Memang orang akan menganggap bahwa ini berarti bunuh diri, tapi sebenarnya inilah sebuah perjuangan. Menolak untuk melakukan kompromi berarti memperjuangkan kebenaran dan keadilan melalui seruan-seruan protes atau mencari keadilan melalui jalur hukum atau kita tetap mempertahankan kebenaran universal, bukan kebenaran menurut diri sendiri melainkan kebenaran untuk menjunjung hak asasi manusia. Bila perjuang tidak kita mulai, maka selamanya penindasan akan terus terjadi dan kita mungkin akan menjadi kurbannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger