Rabu, 11 Februari 2009

IMANMU MENYELAMATKAN ENGKAU

Beberapa tahun lalu aku pernah memimpin sebuah lembaga sosial masyarakat yang memiliki beberapa poliklinik. Salah satu masalah poliklinik adalah terjadi penurunan jumlah pasien setiap ada pergantian dokter. Bila ditanya mengapa pasien tidak mau datang lagi, jawaban mereka biasanya hampir sama yaitu bahwa dokter yang baru kurang pandai dan obat yang diberikan tidak manjur. Padahal bila dilihat dari IPKnya tidak semua dokter baru mempunyai IPK lebih rendah. Ada dokter baru yang IPKnya sangat tinggi dan sangat cerdas. Selain itu obat yang diberikan tidak ada bedanya, sebab semua obat yang disediakan poliklinik selalu sama. Pasien merasa tidak cocok dengan dokter baru sebab mereka kurang percaya padanya. Kesembuhan bukan hanya tergantung pada obat dan dokter tapi kepercayaan pada dokter itu.

Beberapa kisah penyembuhan yang terjadi dalam Kitab Suci juga dimulai dari kepercayaan. Naaman seorang perwira yang terkena kusta semula tidak percaya pada saran Elia bahwa dia akan sembuh bila memasukan diri dalam sungai Yordan yang jelek. Semula dia menolak tapi atas saran beberapa penasehatnya akhirnya dia menuruti juga perintah itu dan ternyata sembuh. Yesus pun dalam beberapa kali penyembuhan bersabda imanmu telah menyelamatkan engkau.

Iman adalah kepercayaan pada seseorang atau pribadi yang lebih tinggi dari orang yaitu Tuhan. Namun iman bukan sekedar percaya. Dalam iman ada penyerahan diri secara total dan keyakinan pada yang diimaninya. Dalam Injil ada kisah seorang perempuan yang sakit pendarahan parah. Dia sudah berobat kemana-mana tapi tidak sembuh bahkan semakin parah. Ketika dia mendengar Yesus akan lewat maka dia berkata, “Asal kujamah saja jubahNya, aku akan sembuh.” (Mrk 5:28) Inilah iman itu. kepercayaan yang penuh dan tidak ragu.

Iman adalah kekuatan yang maha hebat sehingga membuat orang berani melakukan sesuatu yang dalam kaca mata manusia biasa dianggap tidak masuk akal. Ketika aku membaca buku karangan Shusaku Endo yang berjudul Silence aku menjadi tertegun. Bagaimana orang-orang Kristen Jepang pada jaman itu dapat tahan mengalami siksaan yang sangat mengerikan dari para penguasanya. Dalam buku itu ditulis bahwa siksaan di Jepang sangat mengerikan bahkan Nero, kaisar Roma yang terkenal sangat keji dan banyak membunuh orang Kristen termasuk St. Paulus, pun tidak pernah memikirkan siksaan yang demikian. Namun mengapa orang-orang Kristen itu mampu bertahan bahkan meminta untuk disiksa dan dibunuh? Imanlah yang menguatkan mereka untuk tetap bertahan dalam siksaan yang sangat mengerikan.

Iman memberikan kekuatan yang tidak terbayangkan pada setiap orang. Bila dia orang beriman maka dia dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Yesus bersabda bahwa bila kita mempunyai iman sebesar biji sesawi saja maka dapat memerintahkan gunung untuk pindah, sebab tidak ada yang mustahil (Mat 17:20). Sering kali orang mempunyai keinginan lalu dia berdoa pada Tuhan, namun akhirnya dia menyerah sebab Tuhan dianggap tidak mengabulkan doa-doanya. Ada juga orang yang putus asa sebab hidup terasa begitu berat dan aneka masalah datang silih berganti. Dia tidak tahu bagaimana mengatasi masalah yang dihadapinya. Bila membaca sabda Yesus di Matius itu apakah sabda itu hanya sebuah penghiburan semu? Apakah Yesus bohong?

Sering kali kita tidak mempunyai iman. Kepercayaan yang kita bangun sering kali runtuh dalam keraguan. Dalam doa kita pun sering ragu dan kuatir Tuhan tidak akan mengabulkan permohonan kita. Kita pun sering percaya tapi tidak beriman, sebab tidak menyertai kepercayaan itu dengan penyerahan diri secara total kepada Allah. Maka Yesus pun bertanya ketika Dia datang lagi masih adakah iman di bumi? (Luk 18:8). Ini sebuah pertanyaan yang tragis, sebab ada jutaan orang yang mengaku percaya padaNya mengapa Dia melontarkan pernyataan itu? Apakah Dia meragukan para muridNya? Ataukah memang ini realitanya bahwa tidak ada iman di bumi pada saat ini?

BERILAH YANG TERBAIK

Suatu saat menjelang lebaran, bapak dan ibu mengajak kami semua untuk berlebaran di rumah nenek. Ini berita yang sangat menggembirakan sebab kami jarang sekali pergi bersama-sama keluar kota. Nenek tinggal di Babat, sebuah kota kecil yang berjarak 73 km dari Surabaya, tempat tinggal kami. Bapak mengatakan bahwa kami akan menginap disana sekitar 4 hari. Beberapa hari menjelang berangkat bapak membagi hadiah lebaran berupa satu stel pakaian baru. Inilah pakaian baruku sepanjang tahun, sebab kami hanya membeli pakaian baru menjelang lebaran kecuali baju seragam sekolah. Gaji bapak sebagai pegawai negeri yang kecil tidak memungkinkan kami membeli pakaian kapan saja yang kami mau. Apalagi prinsip keadilan yang diterapkan oleh ibu bahwa kalau satu beli baju baru maka semua juga harus beli. Padahal kami enam bersaudara, maka anggaran baju baru cukup besar dan berat bagi bapak.

Malam takbir kami rayakan dengan menyalakan petasan. Beberapa tetangga membuat petasan memakai bambu atau tanah yang dilubangi lalu diisi air dan karbit. Suara petasan ini menggelegar dasyat sehingga membuat dinding kayu rumah nenek bergetar. Menjelang dini hari terdengar suara orang berteriak-teriak. Ternyata ada rumah yang terbakar akibat petasan. Dalam sekejap sebuah rumah yang terbuat dari bambu telah menjadi onggokkan arang yang menyala. Semua harta yang ada dalam rumah tidak ada yang dapat diselamatkan. Bersyukur tidak ada yang terluka.

Pagi hari setelah orang-orang selesai menjalankan sholat ied aku dan adik-adik pergi ke makam nenek dan kakek buyut. Ketika pulang ibu mengumpulkan kami semua. Ibu menceritakan akan penderitaan tetangga yang rumahnya terbakar. Dia baru saja datang dari menemuinya. Ibu menyarankan agar kami memberikan pakaian kami untuk anak-anaknya sebab mereka merayakan lebaran, sedangkan kami beragama Katolik sehingga tidak merayakan lebaran. Kasihan mereka tidak berpakaian yang pantas ketika lebaran. Saran ibu hanya kami tanggapi dengan gerutuan. Bagiku salah dia sendiri mengapa membuat petasan besar. Mereka juga tidak aku kenal. Selain itu pakaian yang kubawa hanya beberapa dan itu yang terbagus yang aku miliki.

Sampai siang ibu masih bertanya siapa yang akan memberikan pakiannya kepada mereka? Kebetulan tetangga itu mempunyai beberapa anak yang sepantar dengan kami. Akhirnya ibu membentangkan jariknya yang masih baru di meja tamu. Dia mengatakan siapa yang akan menambah akan ditunggu sampai sore. Ibu pun terus merayu agar kami rela berbagi. Akhirnya satu demi satu kami meletakkan pakaian kami di atas jarik ibu. Sore harinya semua itu diberikan pada tetangga. Sebelum berangkat ibu mengatakan nanti kalau ada rejeki kami akan dibelikan yang baru dan lebih bagus. Bagiku itu sebuah kata hiburan yang tidak akan terwujud. Kami harus menunggu lebaran tahun depan baru dapat baju baru lagi.

Bila mengingat pengalaman itu aku menjadi bersyukur. Aku bersyukur bahwa aku pernah, meski dengan terpaksa, memberikan yang terbaik apa yang aku miliki pada orang lain yang sedang membutuhkan. Aku sering prihatin bila melihat setumpuk pakaian layak pakai yang disumbang orang saat menjelang Natal atau Paskah atau ketika ada bencana. Aku beberapa kali harus membuang tumpukan pakaian yang tidak layak dipakai lagi. Memang sering diumumkan bahwa dibutuhkan pakaian bekas tapi bukan bekas pakaian. Pakaian bekas adalah pakaian yang pernah dipakai, sedangkan bekas pakaian adalah secarik kain yang dulu pernah menjadi pakaian tapi kini sudah tidak bisa disebut pakaian lagi.

Dorothy Day seorang suci dari Amerika mempunyai banyak rumah untuk melayani kaum miskin. Suatu hari ada seorang menyumbangkan cincin berlian yang sangat bagus padanya. Cincin itu lalu diberikan pada seorang perempuan tua yang sangat miskin. Beberapa orang protes mengapa cincin seindah itu diberikannya? Bukankah cincin itu dapat dijual lalu uangnya digunakan untuk membeli makanan atau kebutuhan yang lain? Tapi Dorothy Day menjawab bahwa orang miskin juga ingin tampil cantik dan memiliki barang bagus.

Kadang orang salah menilai orang miskin. Orang mengira bahwa orang miskin tidak perlu memakai pakaian yang bagus, sehingga yang diberikankan adalah pakaian yang dirinya sendiri sudah tidak ingin memakainya atau malu memakainya. Sebetulnya kaum miskin juga sama seperti manusia pada umumnya yang bangga bila memakai pakaian bagus atau memiliki barang bagus. Mengapa kita memberi mereka sesuatu yang sangat buruk dan tidak layak digunakan?

Yesus bersabda bahwa seorang sahabat adalah orang yang berani memberikan nyawanya kepada sahabatnya. Bila nyawa saja sudah diberikan lalu apa artinya barang dan pakaian yang kita miliki? Yesus menghendaki pemberian bukan hanya pada saudara tapi juga pada sesama, seseorang yang kita temui di sepanjang hidup. Orang yang tidak kenal sama sekali atau orang asing seperti kisah seorang Samaria yang menolong orang Yahudi yang dirampok. Mereka pun harus diperlakukan secara istimewa. Bila kita memberi saudara kita barang yang tidak layak mungkinkah kita akan memberikan yang terbaik untuk sesama?

MELEPASKAN

Waktu SMA aku mempunyai sebuah jam tangan murahan yang kubeli di tepi jalan. Setelah satu tahun lebih kupakai jam itu rusak. Sejak saat itu aku tidak lagi mempunyai jam tangan. Aku hanya mempunyai sebuah jam weker kecil yang dapat kubawa kemana-mana dan dapat membunyikan alarm yang sangat penting bagiku sebab untuk membangunkanku kalau sedang tidur. Bertahun-tahun aku hanya mempunyai jam itu.

Suatu hari ada seorang teman meminjami sebuah jam tangan, sebab dia memiliki beberapa buah. Aku sangat senang sekali, meski bukan milikku pribadi. Kini kemana-mana aku tidak perlu lagi membawa jam weker. Hampir dua tahun jam itu melekat di tanganku sampai akhirnya teman itu memintanya kembali. Saat itu hatiku sedih. Aku harus melepaskan jam yang sudah melekat selama ini. Aku sadar bahwa jam itu bukan milikku. Aku hanya dipinjami saja. Namun tetap saja rasa kehilangan itu melanda hatiku. Aku sedih melepaskan jam yang seolah telah menjadi milikku.

Beberapa saat rasa sedih itu terus mengeram dalam hati. Bila kulihat bekas jam di pergelangan tangan maka rasa sedih itu kembali muncul. Aku kecewa mengapa aku tidak mampu memilikinya. Rasa keinginan untuk memiliki selamanya dan kenyataan bahwa aku harus melepaskannya membuat hatiku sedih. Rasa kehilangan itu kuproses dalam diri. Aku tidak mau larut dalam kesedihan karena keterlepasan dari benda. Setelah beberapa saat berproses akhirnya aku bisa menerima. Aku meyakinkan diri sendiri bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya sekedar tempelan dan titipan atau pinjaman. Suatu saat pasti akan diambil oleh pemiliknya lagi. Aku bersyukur bahwa selama ini aku telah dipercaya untuk merawat apa yang bukan menjadi milikku. Kini jam itu kembali kepada pemiliknya. Aku hanya bisa mengingat bahwa suatu saat dulu aku pernah mempunyai jam. Aku mengingat kebahagiaan ketika memilikinya.

Kadang memang orang ingin menjadi pemilik apa yang dititipkan padanya bahkan menguasainya. Dalam Injil Yesus memberi gambaran tentang ladang yang dititipkan pada para pekerja oleh tuannya. Tapi para penggarap itu berusaha untuk menguasai. Keinginan itu begitu kuat sampai mereka sampai tega membunuh orang-orang utusan tuannya bahkan membunuh anak tuannya agar ladang itu tetap menjadi miliknya. Keinginan memiliki dan menguasai secara penuh membuat orang tega melakukan hal keji bahkan melegalkan segala cara. Tidak jarang orang berebut hak kepemilikan dan tega melakukan hal-hal yang keji demi mempertahankan apa yang dia miliki.

Sebetulnya semakin erat orang mengenggam segala sesuatu maka semakin sakit bila apa yang digenggamnya terlepas. Kepemilikan ini bukan hanya bicara soal harta tapi segala sesuatu, misalnya teman, pasangan hidup, keluarga, jabatan dan sebagainya. Banyak pejabat ketika dilantik mengatakan bahwa jabatan itu amanah yang dipercayakan Tuhan padanya. Tapi ketika jabatan itu lepas banyak pula yang tidak siap. Mereka masih ingin terus berkuasa dan menguasai jabatan itu. Kesadaran bahwa apa yang ada padanya bukan miliknya membuat orang tidak takut lagi akan kehilangan. Segala sesuatu adalah milik Tuhan yang dipercayakan pada manusia. Manusia hanya diminta untuk merawat dan mengembangkannya. Dalam perumpamaan tentang talenta, Tuhan marah kepada orang yang tidak mau mengembangkan talentanya. Jadi meski bukan miliknya namun orang tetap bertanggungjawab untuk mengembangkannya.

Pengalaman kehilangan jam membuatku tidak berani lagi begitu terikat pada apa yang kumiliki. Aku berusaha menanamkan dalam diriku bahwa apa yang ada padaku saat ini suatu saat akan hilang atau diambil lagi. Kesadaran ini membuatku lebih nyaman dan ringan. Aku tidak gelisah bila apa yang ada padaku diambil oleh orang lain. Bila aku menduduki sebuah jabatan lalu suatu saat diambil alih oleh orang maka aku tidak kecewa dan bertanya mengapa kok diambil? aku hanya berpikir bahwa dulu aku pernah menduduki jabatan itu. Dengan mengenang apa yang pernah ada aku bisa bahagia dan tidak iri bila ada orang yang saat ini mendapat apa yang dulu pernah ada padaku.

Minggu, 01 Februari 2009

DOA DAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Doa dan kehidupan sehari-hari sangat berkaitan erat. Untuk melihat kehidupan doa seseorang, kita bisa melihat kehidupan sehari-harinya dan sebaliknya. Dalam Luk 18:9-14 Yesus mengkritik orang yang memandang rendah sesamanya dengan memberikan perumpamaan tentang 2 orang yang sedang berdoa. Orang Farisi yang berdoa dengan sombong, menunjukan bahwa kehidupan sehari-harinya juga sombong. Dia merasa bahwa dia lebih hebat dari pada orang lain, apalagi pemungut cukai yang dianggap sebagai orang berdosa sebab dia bekerja sama dengan pemerintahan Romawi, bangsa penjajah.

Namun banyak orang melepaskan kehidupan doa dengan kehidupan sehari-hari. Orang dengan tekun berdoa di gereja, namun keluar dari gereja orang sudah melupakan doanya. Misalnya dalam upacara Kamis Putih, ada bagian dimana seorang imam mencuci kaki para tokoh umat, bahkan ada yang sampai mencium kaki itu. Pertanyaan besar apakah dalam kesehariannya imam itu berani melayani umat sampai mencuci kakinya? Yesus memberikan teladan itu agar semua murid juga melakukan hal yang sama. Ini tidak hanya imam tapi juga semua umat. Beranikah seorang bapak meminta maaf dan mencium kaki anaknya? seorang direktur meminta maaf dan mencuci kaki office boy? Kalau tidak berani berarti apa yang dilakukan dalam Kamis Putih hanyalah suatu kebohongan belaka. Hanya suatu ritus yang tidak ada artinya.

Ada seorang bapak yang memberikan kesaksian dan pengajaran Kitab Suci dimana-mana. Dia sangat bagus dalam menjelaskan ayat-ayat Kitab Suci, sehingga banyak orang kagum dan mengundangnya kemana-mana. Suatu hari ketika saya datang ke penjara Kalisosok, Surabaya, saya melihat seorang muda. Anak muda itu kenal saya dan tidak lama kemudian kami berbincang-bincang. Dia cerita bahwa dia adalah anak dari bapak itu. Dia masuk ke penjara sebab kasus sabu-sabu. Dia menceritakan keadaan keluarganya yang tidak harmonis dan kesepian hidupnya. Saya tidak tahu apakah ini suatu pembelaan diri. Tapi bukti adanya anak itu dalam penjara membuat saya bertanya-tanya, mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa bapak itu bisa dengan bagus menjabarkan ayat-ayat suci sedangkan keluarganya ditelantarkan? Mengapa bapak itu bisa berdoa dengan panjang dan bagus, namun keluarganya sendiri hancur?

Masih banyak lagi contoh kontradiksi antara kehidupan iman seseorang dengan sikap hidupnya sehari-hari. Banyak orang berdoa bagus-bagus namun kehidupan sehari-harinya menyebabkan orang lain menjadi jengkel dengan sikap hidupnya yang sewenang-wenang. Di dalam gereja orang menghormati Yesus yang miskin tapi begitu keluar dari gereja dia berselisih dengan tukang becak gara-gara uang Rp 500 saja. Mengapa di dalam gereja orang berlutut di depan tabernakel sedang di luar orang berlaku sewenang-wenang terhadap orang miskin? Bukankah Tuhan ada di dalam orang miskin?

Dalam doa kita berhadapan dengan Allah yang tidak kelihatan. Kita memuji Allah dan mencintai Allah yang tidak kelihatan. Bagaimana kita bisa mencintai Allah yang tidak kelihatan jika kita tidak bisa mencintai sesama yang kelihatan (bdk 1Yoh 4:20)? Doa bukan hanya saat kita di dalam gereja atau sedang dalam kamar sendirian atau bersama umat lain dalam suatu waktu tertentu, melainkan doa terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Sepanjang kehidupan kita adalah suatu doa, dimana kita berhadapan dengan Allah yang kelihatan. Kita memuji, memuliakan dan bersyukur pada Allah.

SEBUAH ONDE-ONDE DI PIRING

Suatu siang Amin, Bani dan Cony datang bertamu ke rumah Doni. Mereka sudah lama tidak pernah bertemu, maka pembicaraan mereka meloncat dari satu kisah ke kisah yang lain. Waktu terus bergeser dan sudah menjelang sore. Gelas-gelas teh yang dihidangkan Doni sudah tidak ada sisanya. Di meja tamu tinggal ada sebuah onde-onde yang berada dalam sebuah piring. Sejak mereka datang tadi piring berisi onde-onde itu sudah ada. Oleh karena hanya satu buah maka tidak ada yang mau mengambil. Mereka sungkan untuk mengambilnya. Doni pun tidak pernah menawarkan sebab hanya satu. Dia sudah tidak mempunyai uang untuk membeli lagi. Maka onde-onde itu hanya dilihat oleh mereka bersama namun tidak ada yang berani menyentuh.

Tiba-tiba datang Eri. Setelah berbasa basi sejenak dia langsung mencomot onde-onde itu dan memakannya dengan nikmat. Melihat sikap Eri yang seenaknya itu maka timbul kejengkelan dalam hati Amin, Bani dan Cony. Pembicaraan mereka akhirnya sampai pada akhir. Mereka semua berpamitan pada Doni untuk pulang ke rumah masing-masing. Di perjalanan Amin mulai menegur Eri yang kurang sopan dengan mengambil onde-onde itu. Dia beralasan bahwa siapa tahu itu milik anaknya Doni mengapa tega diambil. Bani pun turut menegur dengan alasan harusnya Eri bertanya apakah boleh dimakan atau tidak. Cony pun tidak tinggal diam. Dia mengatakan harusnya Eri tahu menjaga diri, sebab tindakannya itu memalukan. Mendengar semua itu Eri hanya diam, sebab dia mengira bahwa semuanya sudah makan dan itu adalah sisa mereka.

Apakah yang dikatakan oleh mereka bertiga itu benar? Secara teori memang benar tapi apakah itu jujur dari hati yang terdalam? Sebetulnya semua merasa lapar dan ingin memakan onde-onde itu tapi tidak berani. Mereka sungkan untuk mengambilnya. Akal budi mereka masih mampu menguasai atau mengendalikan rasa lapar yang melilit dan keinginan untuk mengambil apa yang mereka inginkan. Dorongan yang tersembunyi inilah yang membuat mereka menjadi marah dan jengkel ketika keinginannya ternyata tidak tercapai bahkan sebaliknya ada orang yang berani melakukannya.

Ada orang yang mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal budi. Manusia dan hewan dibedakan oleh penggunaan akal budi. Bila hewan mendasarkan segala tindakannya lebih pada insting atau naluri sedangkan manusia mendasarkan segala tindakannya pada keputusan akal budi. Oleh karena menggunakan akal budi maka manusia mempertimbangkan banyak hal sebelum dia bertindak. Namun ada saatnya akal budi menjadi dilemahkan, sehingga tindakannya lebih mendasarkan pada insting atau naluri kehewanan. Seorang filsuf mengatakan bahwa dalam diri manusia ada kuda liar yang harus terus dikekang oleh akal budi. Bila akal budi lemah maka manusia dapat bertindak liar seperti hewan.

Di sebuah jalan raya beberapa orang baik muda dan tua berteriak-teriak menentang penyerangan sebuah negara ke negara yang lain. Dalam orasinya sang pemimpin mengecam tindakan agresor itu. Tapi ketika orasi itu kurang diperhatikan maka mulailah terjadi tindak kekerasan dan anarkis seperti membakar bendera, mencaci maki orang, bahkan mengadakan perusakan. Lalu apa bedanya mereka dengan negara yang menyerang negara lain? Aku rasa kalau mereka mempunyai senjata mungkin juga akan menyerang negara lain. Saat ini juga ada beberapa orang yang mengecam para pejabat yang korup. Tapi apakah kalau mereka menduduki jabatan itu maka mereka akan anti korupsi? Aku kurang yakin. Saat ini mereka mengecam sebab mereka belum punya kesempatan untuk korupsi.

Semua orang ingin makan onde-onde hanya kekuatan akal budilah yang membuat mereka mampu menahan diri tidak memakannya. Namun keinginan yang mendesak itu berubah menjadi kemarahan sebab ada orang lain yang melakukannya. Mereka kecewa sebab apa yang diinginkannya ternyata dilakukan oleh orang lain. Rasa kecewa itulah yang membuat mereka membuat aneka teori tentang kebaikan.

Powered By Blogger