Selasa, 27 Oktober 2009

SETELAH GEMPA


Seorang bapak renta duduk di dekat sebuah reruntuhan. Tubuhnya kurus dan kurang terawat. Rambutnya yang sudah memutih dan tipis menjadi atap wajahnya yang penuh keriput. Lengannya seperti batang pohon tua. Gelap dan kering. Menyangga sebungkus nasi. Perlahan namun mantap jemari tangan kanannya memasukan nasi dan sedikit lauk ke dalam mulut. Gigi yang tinggal beberapa dipaksa untuk menghancurkan setiap makanan yang hendak ditelannya. Dia menikmati setiap suap yang dikunyahnya.
“Kau dapat lauk apa?” tanya seseorang. Bapak itu menoleh sejenak. Di sisinya berdiri seorang perempuan yang tidak kalah rentanya. Perempuan itu lalu duduk di atas sebuah koran bekas. Berhimpitan dengan bapak itu.
“Tidak penting dapat lauk apa,” jawab lelaki tua itu sambil terus mengunyah. “Yang panting kita hari ini dapat makan. Tidak perlu mencari lagi.”
“Hem..” jawab perempuan itu. Mulutnya sudah penuh nasi. Mereka tidak peduli akan orang yang lalu lalang di sekitarnya. Seolah dunia berhenti pada setiap kunyahan.

Seleret sinar lampu blitz menerpa wajah sepasang orang renta itu. Mereka terkejut. Mulut mereka berhenti mengunyah. Mata mereka menatap sumber sinar itu. Beberapa meter dari tempat mereka duduk tampak seorang anak muda sedang jongkok. Di lehernya terkalung sebuah kamera dengan lensa panjang dan besar. Sebuah tas ransel besar menempel di punggungnya. Dia tersenyum ramah.

“Selamat siang,” sapanya ramah
“Siang..” jawab lelaki tua itu sambil berusaha menelan makanan yang tersisa di mulut.
“Boleh saya duduk disini?” tanya pemuda itu lagi
“Silakan nak,” jawab perempuan tua. Dia berusaha menyingkirkan beberapa sampah yang berserak di dekatnya duduk. Anak muda itu duduk. Melihat seonggok sisa nasi yang masih tersisa di bungkusnya. Nasi berwarna agak kemerahan karena tercampur sambal, sayur dan potongan daging ayam.

“Perkenalkan saya pak,” anak muda itu mengulurkan tangannya.
“Waduh tangan bapak kotor,” jawab lelaki itu agak malu. Ada beberapa sisa nasi dan sambal yang menempel di jemarinya.
“Tidak apa-apa pak,” kata pemuda itu. Dia menjabat jemari yang penuh sisa makanan. Lalu dia menjabat jemari tangan perempuan tua yang sama kotornya. “Saya Tio dari Jakarta.”
“Wah jauh sekali.”
“Ah tidak kok,”
“Sudah lama disini?”
“Belum baru beberapa hari sejak gempa terjadi.”
“O menolong kurban gempa?”
“Ya begitulah pak.” Jawab Tio. Sebersit nada bangga tersirat. Dia membolos kuliah untuk terlibat menjadi relawan membantu para kurban gempa yang menghancurkan kota dan beberapa desa yang ada di sekitar kota itu.
“Wah terima kasih sudah jauh-jauh kemari untuk membantu kurban disini.” kata bapak itu. Sinar kagum dan bangga memancar dari kedua bola matanya yang buram akibat katarak dan dimakan umur.
“Ah biasa saja pak,” jawab pemuda itu sambil tersenyum. Sebuah rasa bangga yang akan menyeruak dari wajahnya berusaha ditekan dalam hati yang terdalam. “Saya hanya ingin memberikan apa yang saya miliki kepada orang yang sedang menderita.”

Lelaki dan perempuan itu kembali menikmati nasi bungkus yang diterima dari posko bencana. Bagi banyak orang nasi dari posko adalah nasi darurat. Tapi bagi mereka berdua nasi itu sudah sangat mewah dan jarang mereka nikmati dalam hidup sehari-hari. Mereka menikmati setiap suap nasi yang masuk dalam mulut. Keringat menetes dari dahi yang keriput akibat pedasnya sambal yang diaduk dengan nasi.

“Rumah bapak dan ibu juga hancur?” tanya Tio berusaha membuka percakapan lagi. Kedua orang itu sejenak saling memandang. Hampir serentak mereka menggelengkan kepalanya perlahan. Tio memandang penuh heran.
“Syukurlah kalau begitu,” sambungnya. “Rumah bapak dan ibu di daerah mana?”
“Kami tidak punya rumah,” jawab bapak itu lirih. Terbesit sebuah senyum malu.
“Tidak punya rumah?”
“Ya,”
“Apa hancur terkena gempa?” Tio berusaha menegaskan.
“Kami memang sudah lama tidak punya rumah lagi,” jawab ibu itu. Matanya yang redup seperti lampu kehabisan minyak menatap Tio.
“Lalu,”
“Kami ini sudah lama jadi pengemis di kota ini.”
“Ah…”
“Rumah kami beberapa tahun lalu sudah dijual dan uangnya sudah habis untuk biaya berobat ibu,” kata bapak itu. Matanya mengarah ke arah perempuan tua yang ada di sisinya. Perempuan itu menundukkan kepala. Suapan terakhir yang hendak masuk mulutnya terhenti. Terlintas sebuah rumah sederhana yang terpaksa dijual untuk biaya operasi tumor di rahimnya.
“Kok tidak tinggal bersama anak?”
Bapak itu menghela nafas panjang. Dengan lemah mereka berdua menggelengkan kepala kembali. Mata mereka menatap jauh ke arah orang yang sibuk lalu lalang. “Satu anak tapi satu menantu.” Jawab bapak itu lirih. “Selama kami masih bisa hidup sendiri maka kami tidak ingin merepotkan anak,”

Sebuah kebisuan menggantung diantara mereka. Tio menatap mereka. Teringat akan papa dan mamanya di rumah. Selama ini dia kerap menentang mereka. Ke pergiannya ke tempat bencana ini juga karena dia merasa bosan di rumah. Dia ingin lari dari rumah dan kedua orang tuanya. Ada sebuah pedang menyayat hatinya. Dia bangkit berdiri.

“Saya ke tempat teman-teman dulu pak,” katanya dingin. Lelaki tua itu menatap sambil tersenyum ramah. Mereka berdua menganggukkan kepalanya. Tio merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan selembar uang seratus ribu.
“Ini bu untuk beli minum nanti.”
“Wah kok merepotkan,” sahut perempuan tua itu. Matanya berbinar. Sering dia melihat lembaran uang itu tapi baru beberapa kali dia mampu menyentuhnya. Kini uang itu ada dalam genggamannya. Dengan hati-hati uang itu diselipkan di sela harta bendanya yang ada dalam sebuah tas kain yang sudah usang. Tio berlalu. Dia memotret beberapa obyek lainnya.

“Mengapa kita sekarang kita menjadi orang yang penting ya bu?” tanya lelaki tua itu. Matanya menatap ke arah punggung Tio dan orang yang berlalu lalang.
“Maksud bapak?” tanya perempuan tua itu sambil menatap tas kainnya. Dia tidak ingin melepaskan pandangannya dari lembaran uang pemberian Tio.

Lelaki itu terdiam. Setiap hari dia berjalan dari rumah ke rumah atau berdiri di tepi jalan menanti uang receh yang jatuh di telapak tangannya yang penuh keriput. Selama ini banyak orang menjauh bahkan mengusirnya. Tapi gempa membuat semua berubah. Dia diberi makan, pakaian dan kemarin diajak untuk berobat. Semua gratis! Dia tidak perlu lagi mengemis untuk mendapatkan uang receh. Dia tidak takut kelaparan sebab di posko ada makanan. Saat ini tanpa bersusah payah pun dia dapat satu lembar uang seratus ribu. Diajak berbicara layaknya manusia terhormat. Difoto oleh seorang pemuda dari ibu kota. Suatu yang tidak pernah lagi dialami selama melewati tahun-tahun sebagai seorang pengemis. Semua kemewahan itu tidak akan diperolehnya bila tidak ada gempa yang merobohkan sebagian besar bangunan kota ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger