Yesus dalam perjalanan ziarah ke Yerusalem bersama murid-muridNya akan melewati daerah Samaria. Rute yang diambil Yesus adalah rute yang tidak biasa, sebab orang Samaria bermusuhan dengan orang Yahudi. Dia dan para muridNya dapat diganggu oleh orang Samaria, sebab dianggap musuh. Maka keinginan Yesus untuk singgah di daerah itu langsung ditolak oleh penduduk Samaria. Penolakan itu membuat dua murid menjadi marah. “Ketika dua murid-Nya, yaitu Yakobus dan Yohanes, melihat hal itu, mereka berkata: "Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka?” (Luk 9:54) Mereka ingin meniru Elia, “Tetapi Elia menjawab mereka: "Kalau benar aku abdi Allah, biarlah turun api dari langit memakan engkau habis dengan kelima puluh anak buahmu!" Maka turunlah api Allah dari langit memakan dia habis dengan kelima puluh anak buahnya.” (2Raj 1:12) Permintaan kedua murid itu ditolak oleh Yesus sebab tujuan Dia datang ke dunia untuk menyelamatkan bukan untuk memusnahkan. Musuh pun perlu diselamatkan.
Yesus datang ke dunia untuk memulihkan relasi manusia dengan Allah dan manusia dengan sesama yang rusak akibat dosa. Allah menawarkan persahabatan kepada manusia. Persahabatan dapat terbangun bila kita mau menghilangkan sekat-sekat yang dibangun oleh manusia. Kita menyadari bahwa kita setara, meski situasi dan kondisinya berbeda. “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.” (1Kor 12:13).
Kita masuk dalam jaman global dimana batas negara dan budaya menjadi kabur atau terasa tidak ada lagi. Kemajuan tehnologi transportasi membuat kita dapat berpergian kemana pun tempat di dunia ini secara cepat. Kita dapat berpindah dari satu negara ke negara lain. Kemajuan tehnologi komunikasi memungkinkan kita berkomunikasi dengan murah dan cepat dengan orang di negara lain. Kita dapat membangun persahabatan dengan orang yang sangat jauh dan mungkin tidak akan pernah bertemu muka dengan muka. Tapi anehnya pada jaman global ini di negara kita sering terjadi bentrok antar warga dengan aneka alasan. Mulai dari masalah olah raga, politik, agama dan lainnya.
Ternyata globalisasi membuat banyak orang mengalami krisis identitas. Mereka lalu berusaha membangun kelompok-kelompok kecil berdasarkan kesamaan hoby, agama, pandangan hidup dan sebagainya untuk membangun identitas dirinya kembali. Dalam Gereja pun muncul aneka kelompok baru walau yang dibahas hampir sama. Dalam agama pun muncul kelompok-kelompok yang berusaha menjalankan secara ketat nilai-nilai agama yang sesuai dengan Kitab Suci. Mirip kaum Farisi di Israel pada jaman Yesus. Kelompok-kelompok ini membangun sekat-sekat baru diantara manusia. Tidak jarang terjadi perkelahian antar kelompok akibat mereka semua merasa benar.
Pertentangan muncul sebab orang ingin menunjukkan ego dan kekuatannya seperti Yohanes bersaudara. Orang merasa bahwa kelompoknya paling benar dan kuat. Bahkan ada orang yang mengklaim kebenaran Allah hanya ada pada mereka. Orang terjebak dalam kurungan pikiran-pikiran dan keyakinan kelompoknya. Mereka bagaikan katak dalam tempurung yang hanya mampu melihat sepetak kecil dari dunia. Pemikiran yang sempit ini tidak mampu dibongkar oleh perkembangan tehnologi informasi. Setiap hal baru dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan kelompoknya maka perlu diawasi dan ditentang. Bila mungkin perlu dihancurkan.
Persahabatan hanya dapat terwujud bila orang berani melepaskan egonya. Menyadari bahwa dirinya lemah dan membutuhkan sesama. Melihat sesama mempunyai martabat yang sama. Orang dapat saja membentuk kelompok tapi bukan berarti bahwa mereka dapat hidup hanya dengan kelompoknya. Sekelompok orang membenci AS, seolah tidak membutuhkan AS, ironisnya mereka menggunakan tehnologi buatan AS. Gereja harusnya menjadi kelompok terbuka yang terus menerus menawarkan persahabatan kepada siapa saja meski mungkin ditolak.
Yesus datang ke dunia untuk memulihkan relasi manusia dengan Allah dan manusia dengan sesama yang rusak akibat dosa. Allah menawarkan persahabatan kepada manusia. Persahabatan dapat terbangun bila kita mau menghilangkan sekat-sekat yang dibangun oleh manusia. Kita menyadari bahwa kita setara, meski situasi dan kondisinya berbeda. “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh.” (1Kor 12:13).
Kita masuk dalam jaman global dimana batas negara dan budaya menjadi kabur atau terasa tidak ada lagi. Kemajuan tehnologi transportasi membuat kita dapat berpergian kemana pun tempat di dunia ini secara cepat. Kita dapat berpindah dari satu negara ke negara lain. Kemajuan tehnologi komunikasi memungkinkan kita berkomunikasi dengan murah dan cepat dengan orang di negara lain. Kita dapat membangun persahabatan dengan orang yang sangat jauh dan mungkin tidak akan pernah bertemu muka dengan muka. Tapi anehnya pada jaman global ini di negara kita sering terjadi bentrok antar warga dengan aneka alasan. Mulai dari masalah olah raga, politik, agama dan lainnya.
Ternyata globalisasi membuat banyak orang mengalami krisis identitas. Mereka lalu berusaha membangun kelompok-kelompok kecil berdasarkan kesamaan hoby, agama, pandangan hidup dan sebagainya untuk membangun identitas dirinya kembali. Dalam Gereja pun muncul aneka kelompok baru walau yang dibahas hampir sama. Dalam agama pun muncul kelompok-kelompok yang berusaha menjalankan secara ketat nilai-nilai agama yang sesuai dengan Kitab Suci. Mirip kaum Farisi di Israel pada jaman Yesus. Kelompok-kelompok ini membangun sekat-sekat baru diantara manusia. Tidak jarang terjadi perkelahian antar kelompok akibat mereka semua merasa benar.
Pertentangan muncul sebab orang ingin menunjukkan ego dan kekuatannya seperti Yohanes bersaudara. Orang merasa bahwa kelompoknya paling benar dan kuat. Bahkan ada orang yang mengklaim kebenaran Allah hanya ada pada mereka. Orang terjebak dalam kurungan pikiran-pikiran dan keyakinan kelompoknya. Mereka bagaikan katak dalam tempurung yang hanya mampu melihat sepetak kecil dari dunia. Pemikiran yang sempit ini tidak mampu dibongkar oleh perkembangan tehnologi informasi. Setiap hal baru dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan kelompoknya maka perlu diawasi dan ditentang. Bila mungkin perlu dihancurkan.
Persahabatan hanya dapat terwujud bila orang berani melepaskan egonya. Menyadari bahwa dirinya lemah dan membutuhkan sesama. Melihat sesama mempunyai martabat yang sama. Orang dapat saja membentuk kelompok tapi bukan berarti bahwa mereka dapat hidup hanya dengan kelompoknya. Sekelompok orang membenci AS, seolah tidak membutuhkan AS, ironisnya mereka menggunakan tehnologi buatan AS. Gereja harusnya menjadi kelompok terbuka yang terus menerus menawarkan persahabatan kepada siapa saja meski mungkin ditolak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar