Anak-anak wajahnya ceria. Tawa mereka seakan tidak pernah berhenti. Ada saja kata yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak, meski perkataan itu sangat biasa mereka dengar atau ucapkan. Tapi dalam situasi seperti ini semua kata menjadi lucu dan dapat membuat tertawa. Sebetulnya bukan kata itu yang lucu melainkan situasi hati yang bahagia sehingga semua menjadi menyenangkan. Situasi hati mempengaruhi diri seseorang. Bila hati bahagia maka segala sesuatu tampak sangat menyenangkan. Gerakan tubuh yang biasanya dapat menimbulkan pertengkaran kini tampak lucu dan menjadi bahan tertawaan. Rekreasi yang sangat jarang dilakukan membuat anak-anak menjadi ceria. Sejenak mereka terlepas dari situasi hidup sehari-hari yang suntuk.
Ketika aku mengajak pulang semua langsung protes. Mereka ingin menikmati situasi bahagia yang dirasakan selama mungkin. Pulang berarti mereka harus menghadapi lagi situasi hidup yang berat. Tidur di kamar yang kotor dan pengap. Bekerja di jalanan dan mendapat tatapan penuh curiga dan sinis dari beberapa orang. Disini di tempat rekreasi mereka menjadi manusia yang terhormat. Tidak ada orang yang memandang rendah atau dengan rasa kasihan. Mereka kini menjadi sama dengan semua manusia yang ada di sekitar mereka. Bahkan beberapa orang pengamen dan pengemis datang lalu meminta sedekah padanya. Biasanya mereka ada di posisi itu, kini mereka ada di posisi orang yang dapat memberi. Orang yang lebih berkuasa sebab dapat memutuskan apakah akan memberi atau tidak.
Pulang dari rekreasi adalah hal yang mengecewakan, sebab orang harus menghadapi lagi situasi hidupnya sehari-hari. Ketika memberi retret atau rekoleksi sebagian peserta juga mengatakan hal yang hampir sama. Mengapa rekoleksi ini cepat berakhir dan mereka harus kembali lagi kekehidupannya sehari-hari? Hidup yang nyata adalah kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Rekreasi, rekoleksi, retret dan sebagainya bukan hidup yang nyata. Disini orang hanya mencari kekuatan atau penyegaran agar lebih kuat dalam menghadapi kehidupan sehari-hari yang berat. Seindah apapun tempat rekreasi atau sebagus apapun materi rekoleksi, semua itu bukan tempat kita. Bukan milik kita. Rumah dan kehidupan sehari-hari adalah tempat dan milik kita.
Petrus dan dua murid lain pun ketika melihat kemuliaan Yesus mereka ingin menetap di gunung. “Kata Petrus kepada Yesus: "Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." (Mat 17:4). Petrus merasa bahagia dan tidak ingin kehilangan rasa itu. Tapi Yesus mengajak turun gunung untuk menghadapi situasi nyata bahwa Dia sebentar lagi akan menjalani penderitaanNya. Yesus mengajak ketiga muridNya bukan untuk masuk dalam situasi rekreasi, meninggalkan situasi nyata dan masuk dalam situasi tidak nyata, melainkan Dia ingin memberikan kekuatan pada para murid sebelum mereka akan menghadapi situasi sulit dan membingungkan yaitu kisah sengsara dan kematianNya. Pengalaman di gunung diharapkan mampu meneguhkan iman mereka bila terjadi hal-hal yang menggoncangkan imannya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita pun bisa masuk dalam situasi rekreasi. Situasi yang berbeda dengan situasi yang kita alami setiap hari dan membuat kita bahagia. Ketika hubungan suami istri menjadi dingin lalu muncul orang yang menawarkan cinta yang didambakan, sehingga terjadilah hubungan yang tidak diijinkan. Ketika kehidupan biara mulai menjadi sangat membosankan lalu muncul orang yang menawarkan kebahagiaan seolah semua akan berjalan menjadi kenyataan. Bila kita masuk dalam situasi rekreasi, maka sebaiknya kita tetap mempunyai kesadaran bahwa situasi ini tidak akan terwujud selamanya. Ini hanya sejenak dapat dinikmati atau ada batasnya. Kita harus kembali ke rumah dan situasi hidup kita sendiri. Dalam hal ini membutuhkan keberanian untuk menerima situasi hidup meski sepahit apa pun juga sebab itulah realita. Seandainya mengalami situasi rekreasi, maka pengalaman itu dijadikan saat untuk memperteguh diri dalam menghadapi situasi nyata sehari-hari bukan untuk menetap.
Ketika aku mengajak pulang semua langsung protes. Mereka ingin menikmati situasi bahagia yang dirasakan selama mungkin. Pulang berarti mereka harus menghadapi lagi situasi hidup yang berat. Tidur di kamar yang kotor dan pengap. Bekerja di jalanan dan mendapat tatapan penuh curiga dan sinis dari beberapa orang. Disini di tempat rekreasi mereka menjadi manusia yang terhormat. Tidak ada orang yang memandang rendah atau dengan rasa kasihan. Mereka kini menjadi sama dengan semua manusia yang ada di sekitar mereka. Bahkan beberapa orang pengamen dan pengemis datang lalu meminta sedekah padanya. Biasanya mereka ada di posisi itu, kini mereka ada di posisi orang yang dapat memberi. Orang yang lebih berkuasa sebab dapat memutuskan apakah akan memberi atau tidak.
Pulang dari rekreasi adalah hal yang mengecewakan, sebab orang harus menghadapi lagi situasi hidupnya sehari-hari. Ketika memberi retret atau rekoleksi sebagian peserta juga mengatakan hal yang hampir sama. Mengapa rekoleksi ini cepat berakhir dan mereka harus kembali lagi kekehidupannya sehari-hari? Hidup yang nyata adalah kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Rekreasi, rekoleksi, retret dan sebagainya bukan hidup yang nyata. Disini orang hanya mencari kekuatan atau penyegaran agar lebih kuat dalam menghadapi kehidupan sehari-hari yang berat. Seindah apapun tempat rekreasi atau sebagus apapun materi rekoleksi, semua itu bukan tempat kita. Bukan milik kita. Rumah dan kehidupan sehari-hari adalah tempat dan milik kita.
Petrus dan dua murid lain pun ketika melihat kemuliaan Yesus mereka ingin menetap di gunung. “Kata Petrus kepada Yesus: "Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia." (Mat 17:4). Petrus merasa bahagia dan tidak ingin kehilangan rasa itu. Tapi Yesus mengajak turun gunung untuk menghadapi situasi nyata bahwa Dia sebentar lagi akan menjalani penderitaanNya. Yesus mengajak ketiga muridNya bukan untuk masuk dalam situasi rekreasi, meninggalkan situasi nyata dan masuk dalam situasi tidak nyata, melainkan Dia ingin memberikan kekuatan pada para murid sebelum mereka akan menghadapi situasi sulit dan membingungkan yaitu kisah sengsara dan kematianNya. Pengalaman di gunung diharapkan mampu meneguhkan iman mereka bila terjadi hal-hal yang menggoncangkan imannya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita pun bisa masuk dalam situasi rekreasi. Situasi yang berbeda dengan situasi yang kita alami setiap hari dan membuat kita bahagia. Ketika hubungan suami istri menjadi dingin lalu muncul orang yang menawarkan cinta yang didambakan, sehingga terjadilah hubungan yang tidak diijinkan. Ketika kehidupan biara mulai menjadi sangat membosankan lalu muncul orang yang menawarkan kebahagiaan seolah semua akan berjalan menjadi kenyataan. Bila kita masuk dalam situasi rekreasi, maka sebaiknya kita tetap mempunyai kesadaran bahwa situasi ini tidak akan terwujud selamanya. Ini hanya sejenak dapat dinikmati atau ada batasnya. Kita harus kembali ke rumah dan situasi hidup kita sendiri. Dalam hal ini membutuhkan keberanian untuk menerima situasi hidup meski sepahit apa pun juga sebab itulah realita. Seandainya mengalami situasi rekreasi, maka pengalaman itu dijadikan saat untuk memperteguh diri dalam menghadapi situasi nyata sehari-hari bukan untuk menetap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar