Rabu, 12 Oktober 2011

GOSIP

Seorang teman duduk di depanku. Dia bercerita tentang berita yang didengarnya. Menurutnya selama ini aku sudah digosipkan. Aku tertegun. Begitu mengerikan cerita yang beredar tentang diriku selama ini. Teman itu meminta penjelasan apakah benar semua berita itu? Aku tersenyum. Aku serahkan padanya untuk menilai sendiri. Dia sudah mengenalku selama ini, maka apakah dia percaya atau tidak tentang berita itu silakan dia sendiri menilai. Bagiku setiap kata pelurusan hanya akan merupakan pembelaan diri belaka. Orang sudah terlanjur memakai kaca mata hitam sehingga semua akan tampak gelap.

Dalam budaya Jawa, entah budaya lain aku tidak tahu, menggunjing orang sudah merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan. Setiap hari dapat ditemui dimana-mana bila ada dua atau tiga orang berkumpul dapat muncul aktifitas mengunjing sesama. Entah berita baik atau buruk itu tergantung siapa yang menjadi bahan pembicaraan. Pada umumnya yang menjadi topik pembicaraan adalah hal buruk. Orang bisa tahan berjam-jam membicarakan keburukan sesama dengan sangat bersemangat.

Memang setiap orang berhak mempunyai pendapat mengenai orang lain. Dia bisa memuji orang lain setinggi langit atau menjelekkan sedalam lautan. Semua itu hak dan kebebasan orang dalam melihat sesamanya. Namun apakah kebebasan itu bisa diberitakan pada orang lain yang mungkin mempunyai pendapat yang berbeda? Apakah bijaksana bila orang menyatakan pendapatnya tentang orang lain tanpa meminta penjelasan? Bukankah ini sebuah pengadilan tidak adil? Dimana orang yang diadili tidak diberi kesempatan untuk membela diri, sebab semua tuduhan diungkapkan tanpa diketahui oleh si tertuduh?

Ada teman yang berusaha melihat hal positif kalau dia digunjingkan. Menurutnya hanya orang terkenal yang dijadikan bahan gosip. Misalnya saja seorang tokoh hanya membeli baju baru saja sudah menjadi bahan berita yang luas. Coba kalau dia orang biasa saja, pasti tidak akan ada orang peduli. Maka kalau digunjingkan orang jangan takut tapi harus bangga. Pendapat ini memang tampak konyol, tapi aku pikir bagus juga agar tidak terlalu tertekan bila gosip sedang menimpanya.

Dalam Kitab Suci beberapa penulis Kitab Suci sudah memperingatkan akan bahayanya perkataan yang muncul dari lidah. Yakobus mengatakan bahwa lidah itu seperti api, meski kecil dapat membakar seluruh hutan. Demikian pula gosip meski mulanya hanya kecil namun bila sudah sampai ketelinga satu dua orang pasti akan berkembang besar dan membinasakan orang itu. Ada sebuah cerita dari Antony de Mello tentang seorang ibu yang membuat gosip seorang pastor. Ketika ibu ini mengaku dosa pada pastor itu dan menyesal bahwa dia sudah menyebarkan gosip, maka pastor itu mengajaknya naik ke loteng tertinggi di gereja. Pastor itu membawa bantal lalu menyobek bantal itu sehingga bulu isi bantal berterbangan kemana-mana. Dia menyuruh ibu itu untuk mengumpulkan semua bulu dan memasukan kembali. Ketika ibu itu terheran-heran, maka pastor itu mengatakan demikian pula gosip. Dia akan menyebar kemana-mana dan tidak bisa dibersihkan semua.

Tuhan menciptakan mulut agar manusia bisa memujiNya. Namun sering kali yang keluar lain sama sekali. Yesus mengatakan kalau ada dua atau tiga orang berkumpul dalam namaNya maka Dia hadir. Namun sungguhkan bila ada dua atau tiga orang Kristen berkumpul Yesus hadir bila yang keluar adalah gosip? Yakobus mengatakan “jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya (Yak 1:26)”. Apa yang ditulis Yakobus sangat tegas dan keras, namun sebetulnya Yesus lebih keras lagi, Dia mengatakan barang siapa mengatakan saudaranya kafir, maka harus dihukum. Gosip tidak hanya mengatakan saudaranya kafir melainkan jauh lebih dari itu.

Kita memang tidak bisa menghindar dari gosip, sebab hal itu sangat menyenangkan. Bahkan hampir semua televisi menyediakan waktu khusus untuk membicarakan orang. Belum lagi majalah dan koran. Tidak jarang apa yang menjadi bahan berita adalah keburukan orang. Bahkan semakin buruk semakin sering ditayangkan, misalnya perceraian seseorang ditayangkan berulang-ulang. Mengapa kalau ada orang yang hidup perkawinannya bahagia tidak ditayangkan segencar kalau dia cerai? Dalam hal ini Yakobus mengatakan bahwa hendaknya orang cepat mendengar namun lambat mengatakan. Biarkan semua informasi masuk tapi orang tidak perlu menanggapi. Perlu dipertimbangkan baik buruknya. Apa gunanya bagi orang itu dan diri sendiri. Bila tidak ada gunanya bahkan menjatuhkan orang lain mengapa harus dikatakan dan disebarluaskan dengan penuh semangat?

Mungkin orang sangat senang mendengar atau mengetahui kejelekan orang lain. Dengan melihat keburukan orang lain dia bisa menutupi keburukannya sendiri. Dia bersembunyi dibalik keburukan orang lain. Semakin banyak keburukan orang lain yang diceritakan, maka lawan bicaranya bahkan dirinya sendiri tidak sempat untuk melihat keburukan yang ada dalam dirinya. Mungkin orang itu takut untuk melihat sisi negatif yang ada dalam dirinya maka dia lebih suka menutupi dengan menunjukkan sisi negatif orang. Beberapa teman yang tidak bisa menerima diri kulihat memang mempunyai kecenderungan yang kuat untuk menyebarkan atau membuat gosip.

Setiap orang mempunyai sisi negatif dan positif. Setiap orang dapat berbuat salah. Mengapa orang lebih suka melihat sisi negatif? Yesus sudah mengajarkan bila ada saudara yang bersalah maka ditegur empat mata, kalau tetap tidak mau berubah maka dibawa beberapa saksi. Kalau masih tidak bisa maka dibawa ke sidang. Bukan digosipkan. Anehnya ada orang yang menyebarkan gosip dengan alasan dia sangat mencintainya.

Temanku masih bersemangat cerita. Aku katakan padanya ya sudah. Aku ingat cerita A. de Mello tentang seorang pendeta yang dituduh menghamili seorang gadis desa. Ketika semua orang mencaci maki dan memaksanya untuk bertanggung jawab, maka dia mengatakan “ya sudah”. Namun akhirnya anak perempuan itu sadar bahwa dia sudah berbohong soal orang yang menghamili lalu mengatakan pada semua penduduk akan kebohongannya. Penduduk pun berbondong-bondong meminta maaf pada pendeta itu. Pendeta itu tetap mengatakan “ya sudah”. Nah aku ingin seperti pendeta itu yang berusaha mengatakan “ya sudah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger