Minggu, 28 November 2010

INDONESIAKU: HILANGNYA BUDAYA MALU


Dalam budaya Jepang pada jaman dulu ada budaya harakiri atau yang lebih formal disebut seppuku yaitu menyobek perut dengan samurai pendek. Harakiri adalah suatu tindakan bunuh diri disebabkan merasa malu atau menanggung aib akibat gagal menjalankan tugas yang dipercayakan padanya. Harakiri biasanya dilakukan oleh para pemimpin atau jendral perang yang kalah dalam menjalankan peperangan. Atau ada pula orang yang gagal menjalankan tugas penting yang diembannya. Kekalahan dan kegagalan ini dianggap sebagai aib maka mereka melakukan bunuh diri. Tapi sekarang budaya itu sudah jarang terdengar lagi di Jepang.

Indonesia memang tidak mempunyai budaya harakiri tapi sebagai bangsa Timur, kita punya budaya malu yang sangat kuat. Sejak kecil kita sudah diajari untuk merasa malu bila melakukan kesalahan atau gagal dalam suatu tugas atau pekerjaan. Bahkan ajaran malu ini sering begitu kuat dan berlebihan sehingga membuat orang merasa malu bila ingin melakukan sesuatu atau menunjukkan siapa dirinya. Rasa malu itu akan semakin kuat bila kesalahan disebabkan melanggar aturan moral atau susila. Pada jaman dulu satu keluarga akan sangat malu bila salah satu anggota keluarganya hamil di luar nikah. Bahkan tidak jarang anak yang hamil ini disingkirkan jauh dari rumah.

Rasa malu terkait dengan martabat seseorang. Bila melakukan kesalahan maka orang merasa martabat atau harga dirinya akan jatuh. Orang sangat menjunjung harga dirinya sehingga apa saja yang dapat merusak martabatnya sebagai manusia akan disingkiri atau disembunyikan. Seorang peneliti Portugis mengatakan bahwa orang Jawa yang saat itu banyak ditemui dan dianggap mewakili wajah Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai harga diri tinggi, sehingga tampak angkuh. Mereka tidak mudah meminta maaf dan sangat menjunjung martabatnya sehingga berusaha menutup kesalahannya agar terhindar dari rasa malu. Mereka lebih baik mati daripada menanggung malu.

Saat ini budaya malu sudah mengalami krisis. Orang seolah tidak merasa malu meski melakukan kesalahan besar dan deketahui secara publik. Orang tidak malu meski dia menipu sesamanya untuk memperkaya diri. Orang tidak malu meski semua orang tahu bahwa dia telah menindas sesamanya. Freidrich Nietzsche (15 Oktober 1844-25 Agustus 1900) berpendapat bahwa rasa bersalah secara moral dan dosa adalah perasaan anak kecil dan budak. Rasa bersalah ini adalah sebuah kebohongan, penyakit yang harus diberantas. Bagi Nietzsche orang tidak perlu merasa melanggar moral dan malu. Bila orang menindas, memeras, bahkan membinasakan sesamanya hal itu memang harus terjadi atau sudah sewajarnya dalam dunia ini. Maka bila melakukan hal itu kita tidak perlu merasa menyesal atau merasa malu.

Pendapat Nietzsche pasti akan ditolak oleh bangsa kita, sebab ini berlawanan dengan nilai-nilai yang dijunjung misalnya harmoni, kasih sayang dan malu. Tapi kenyataannya apa yang dikatakan Nietzsche diikuti oleh banyak orang. Seorang tokoh meski dikecam sebab mengabaikan kurban yang disebabkan oleh kesalahanan perusahaannya tetap mempertahankan diri menjadi ketua partai politik. Seorang yang sudah terbukti korupsi tapi tetap berkuasa dan tampil dalam berbagai acara. Menteri yang dianggap gagal menjalankan tugasnya dan dituntut mundur oleh masyarakat ternyata tidak bergeming. Seorang menteri yang melanggar omongannya sendiri sehingga dikecam ramai-ramai ternyata tetap mempertahankan kedudukannya dengan membuat aneka alasan yang konyol. Masih banyak lagi yang dapat diceritakan bahwa kita sudah kehilangan rasa malu dan sesungguhnya kita mengikuti ajaran Nietzsche.

Jepang mampu membangun negaranya menjadi negara yang sangat maju setelah PD II disebabkan mereka mempunyai budaya malu. Para pejabat negara menjunjung budaya malu. Sedangkan kita mengalami krisis budaya malu. Hal ini membuat orang dapat berbuat sesuka hatinya tanpa beban bahwa dia sudah melanggar hukum. Dia tetap dapat tersenyum di depan kamera meski aibnya diketahui secara umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger