Saat ini banyak orang membicarakan kasus Sumiati seorang perempuan berumur 23 tahun asal Dompu Nusa Tenggara Barat yang disiksa majikannya seorang warga Madinah, Arab Saudi. Penyiksaan itu begitu mengerikan dan sangat tidak pantas dilakukan oleh orang bermatabat bahkan lebih mengerikan dibandingkan dengan siksaan tawanan perang Irak di penjara Abu Ghraib yang sangat terkenal dan menjadi bahan kecaman banyak penduduk dunia. Ketua fraksi PKB Marwan Ja’afar menulis dalam pesan singkatnya, “aksi penyiksaan yang dilakukan majikan Sumiati adalah cermin perilaku jahiliyah warga Arab Saudi. Bahkan kaum kafir Quraish tidak pernah bertindak sekeji yang dilakukan terhadap Sumiati.” (Republika 17/11).
Sumiati bukanlah kasus pertama dan yang dibuka dalam forum publik. Ada banyak penyiksaan TKI di negara Kuwait, Arab, Malaysia dan negara lainnya yang sangat mengerikan. Kasus Siti Hajar di Malaysia yang wajahnya sampai rusak akibat siksaan, Siti Nur Janah yang disiksa dan digunduli di Arab, Ici binti Asmar yang disiksa di Suriah dan masih banyak lagi para TKW yang disiksa sehingga mengalami cacat fisik yang permanen. Belum lagi yang dihukum mati misalnya Yanti yang dihukum pancung di Arab pada 12 Januari 2008 dengan tuduhan membunuh atau para TKW yang hamil akibat diperkosa oleh majikan bahkan anak majikannya. Semua itu menggambarkan betapa kelam nasib TKI di negara asing.
Bila ada kasus semua lalu berbicara dan seolah akan menyelesaikan. Tapi kasus terus terjadi. Hal ini mungkin pemerintah tidak mengambil tindakan tegas terhadap negara yang bertanggungjawab. Dalam kasus Sumiati ini ada usulan untuk menarik duta besar Indonesia di Arab sebagai bentuk protes. Ada pula yang mengusulkan membawa pada mahkamah hukum internasional. Tapi rakyat masih harus menunggu apakah semua itu akan terwujud atau hanya sebuah letupan emosional sesaat saja. Dalam diskusi yang diadakan oleh sebuah stasiun TV swasta seorang tokoh dari PJTKI mengatakan bahwa kasus seperti yang dialami Sumiati hanya sebagian kecil saja dan jauh lebih banyak lagi orang yang dianggap berhasil memperbaiki ekonomi keluarganya. Hal ini menyiratkan bahwa kasus Sumiati adalah kasus kecil yang tidak perlu dipersoalkan. Toh pemerintah tidak mampu memberi lapangan pekerjaan dengan hasil yang cukup.
Aku melihat bahwa bangsa kita bermental inlander, sebuah mentalitas yang berhasil ditanamkan oleh bangsa Belanda ketika menjajah dulu. Mentalitas ini membuat kita tidak mempunyai kebanggaan diri. Kita minder bila berhadapan dengan bangsa lain. Tapi kita bisa bertindak keji terhadap bangsa sendiri. Ketika Malaysia mengumumkan beberapa budaya asli Indonesia sebagai budaya asli mereka, hal itu hanya ditanggapi dengan kemarahan di dalam negeri saja. Tidak ada usaha untuk memperjuangkan dalam tataran tingkat negara. Akibatnya Malaysia semakin arogan sehingga berani merebut pulau dan menahan petugas Indonesia yang berusaha menggagalkan pencurian ikan oleh pihak Malaysia di perairan Indonesia. Meski dihina seperti ini pemerintah tetap santun dan lemah lembut. Hal ini mungkin tidak akan terjadi pada jaman Soekarno yang mempunyai harga diri sehingga berani berhadapan dengan bangsa yang dianggap merendahkan martabat bangsa Indonesia.
Kasus Sumiati menunjukkan bahwa bangsa kita masih hidup dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Pemerintah gagal memberikan pendidikan kebangsaan, yang membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia. Kita adalah bangsa yang besar dari jumlah penduduk. Negara yang luas dan kaya. Tapi semua itu tidak ditanamkan sejak dini. Kita lebih bangga berbicara bahasa Inggris dari pada berbicara bahasa Indonesia. Nelson Mandela bangga memakai batik, tapi para pejabat kita lebih bangga memakai jas dan dasi atau pakaian dari budaya asing lainnya. Bangsa kita mengalami krisis kebangsaan yang menumbuhkan rasa bangga akan bangsa dan negara sehingga kita tetap menjadi bangsa terjajah yang dapat dihina oleh bangsa asing dengan sesuka hati. Kita mengalami krisis nasionalisme. Tidak bangga sebagai bangsa Indonesia.
Sumiati bukanlah kasus pertama dan yang dibuka dalam forum publik. Ada banyak penyiksaan TKI di negara Kuwait, Arab, Malaysia dan negara lainnya yang sangat mengerikan. Kasus Siti Hajar di Malaysia yang wajahnya sampai rusak akibat siksaan, Siti Nur Janah yang disiksa dan digunduli di Arab, Ici binti Asmar yang disiksa di Suriah dan masih banyak lagi para TKW yang disiksa sehingga mengalami cacat fisik yang permanen. Belum lagi yang dihukum mati misalnya Yanti yang dihukum pancung di Arab pada 12 Januari 2008 dengan tuduhan membunuh atau para TKW yang hamil akibat diperkosa oleh majikan bahkan anak majikannya. Semua itu menggambarkan betapa kelam nasib TKI di negara asing.
Bila ada kasus semua lalu berbicara dan seolah akan menyelesaikan. Tapi kasus terus terjadi. Hal ini mungkin pemerintah tidak mengambil tindakan tegas terhadap negara yang bertanggungjawab. Dalam kasus Sumiati ini ada usulan untuk menarik duta besar Indonesia di Arab sebagai bentuk protes. Ada pula yang mengusulkan membawa pada mahkamah hukum internasional. Tapi rakyat masih harus menunggu apakah semua itu akan terwujud atau hanya sebuah letupan emosional sesaat saja. Dalam diskusi yang diadakan oleh sebuah stasiun TV swasta seorang tokoh dari PJTKI mengatakan bahwa kasus seperti yang dialami Sumiati hanya sebagian kecil saja dan jauh lebih banyak lagi orang yang dianggap berhasil memperbaiki ekonomi keluarganya. Hal ini menyiratkan bahwa kasus Sumiati adalah kasus kecil yang tidak perlu dipersoalkan. Toh pemerintah tidak mampu memberi lapangan pekerjaan dengan hasil yang cukup.
Aku melihat bahwa bangsa kita bermental inlander, sebuah mentalitas yang berhasil ditanamkan oleh bangsa Belanda ketika menjajah dulu. Mentalitas ini membuat kita tidak mempunyai kebanggaan diri. Kita minder bila berhadapan dengan bangsa lain. Tapi kita bisa bertindak keji terhadap bangsa sendiri. Ketika Malaysia mengumumkan beberapa budaya asli Indonesia sebagai budaya asli mereka, hal itu hanya ditanggapi dengan kemarahan di dalam negeri saja. Tidak ada usaha untuk memperjuangkan dalam tataran tingkat negara. Akibatnya Malaysia semakin arogan sehingga berani merebut pulau dan menahan petugas Indonesia yang berusaha menggagalkan pencurian ikan oleh pihak Malaysia di perairan Indonesia. Meski dihina seperti ini pemerintah tetap santun dan lemah lembut. Hal ini mungkin tidak akan terjadi pada jaman Soekarno yang mempunyai harga diri sehingga berani berhadapan dengan bangsa yang dianggap merendahkan martabat bangsa Indonesia.
Kasus Sumiati menunjukkan bahwa bangsa kita masih hidup dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Pemerintah gagal memberikan pendidikan kebangsaan, yang membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia. Kita adalah bangsa yang besar dari jumlah penduduk. Negara yang luas dan kaya. Tapi semua itu tidak ditanamkan sejak dini. Kita lebih bangga berbicara bahasa Inggris dari pada berbicara bahasa Indonesia. Nelson Mandela bangga memakai batik, tapi para pejabat kita lebih bangga memakai jas dan dasi atau pakaian dari budaya asing lainnya. Bangsa kita mengalami krisis kebangsaan yang menumbuhkan rasa bangga akan bangsa dan negara sehingga kita tetap menjadi bangsa terjajah yang dapat dihina oleh bangsa asing dengan sesuka hati. Kita mengalami krisis nasionalisme. Tidak bangga sebagai bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar