Kamis, 03 September 2009

MENGAMPUNI


Dalam kisah anak hilang Luk 15:11-32 sering kali yang menjadi pusat perhatian adalah sosok bapa yang begitu berbelas kasih. Dia sanggup menerima anaknya yang telah menghabiskan harta warisannya untuk berfoya-foya dengan tangan terbuka bahkan mengadakan pesta besar. Kisah ini merupakan rangkaian pengajaran Yesus tentang suka cita bila ada orang berdosa yang mau bertobat.

Menerima orang yang bertobat sebetulnya lebih mudah dibandingkan orang berdosa yang ingin bertobat. Orang yang tidak berdosa merasa tidak menanggung beban berat dalam hatinya. Mungkin seperti bapa dalam Lukas yang disakiti, maka dia akan teringat akan peristiwa yang menyakitkan itu. Tapi dimata masyarakat dia tidak dipandang buruk. Kesiapannya untuk menerima kembali anaknya akan menambah nilai dirinya. Masyarakat akan mengangguminya sebagai orang yang hebat.

Sebaliknya posisi anak adalah orang yang tidak berharga. Orang akan menyalahkan dan menghakiminya. Dosa menyebabkan manusia kehilangan martabatnya sebagai manusia. Lukas melukiskan dengan makan makanan babi. Bagaimana pandangan sesamanya ketika melihatnya melakukan hal itu? Bagaimana perasaan dirinya ketika harus memasukan makanan babi ke dalam mulutnya? Anak itu sadar bahwa dia berasal dari keluarga yang kaya dan terhormat, tapi saat ini dia tidak berbeda dengan seekor babi. Dosa menimbulkan konflik dalam dirinya Perbuatan dosa dinilai sebagai perbuatan hina yang merendahkan martabat manusia. Orang sadar bahwa dia adalah orang yang terhormat, tapi dosa telah membuatnya menjadi rendah, maka sejujurnya dalam hati orang berdosa timbul rasa malu baik pada dirinya maupun sesamanya.

Dapat dibayangkan betapa beratnya ketika anak itu memutuskan untuk pulang. Dia malu dan takut pada ayahnya yang dapat menyalahkan dan menilainya buruk. Pada kakaknya yang dapat mengadili dan memandang hina. Dia pulang sebagai orang yang kalah. Bertobat membutuhkan keteguhan hati serta keberanian untuk menerima kelemahan. Berani menerima penghinaan bahkan penolakan dari sesama. Maka anak itu tidak meminta diakui sebagai anak. Cukup baginya bila menjadi pegawai bapanya. Beratnya pertobatan membuat orang enggan bertobat. Bukan dia menikmati dosanya tapi dia tidak siap bila niatnya itu ditolak. Yesus bersabda “Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan.”

Perjalanan pulang adalah perjalanan yang sangat berat bagi anak itu. Rasa malu dan takut berdesakan dalam dirinya. Dalam lagu “Tie a yellow ribbon round the old oak tree” orang yang bersalah itu tidak berani menampakkan diri. Dia meminta kekasihnya untuk memasang pita kuning di pohon oak sebagai tanda apakah dia diterima atau tidak. Bila tidak maka dia akan melanjutkan perjalanan dan tidak menyalahkannya. If I don't see a ribbon round the old oak tree, I'll stay on the bus, forget about us. Put the blame on me” Dia berbeda dengan anak bungsu yang berani menghadapi kenyataan.

Sikap bapak yang menyongsong, memeluk, dan menciumi lalu mengadakan pesta adalah sikap yang membebaskan anak bungsu dari belenggunya. Dapat dibayangkan betapa bahagia pertemuan itu. Anak itu merasa beban yang menghimpitnya diangkat. Dia menjadi manusia bebas dan bermartabat kembali. Banyak orang tidak mengalami kebahagiaan ini, sebab tidak diampuni dosanya. Dia tidak diterima kembali. Dia masih dibelenggu oleh rasa bersalah. Beranikah kita memberi menerima permintaan maaf sesama? Ataukah kita masih hidup dalam dendam dan kebencian? Dalam lagu “Tie a yellow ribbon round the old oak tree” kita dapat membebaskan manusia dengan tindakan sederhana. I'm really still in prison and my love she holds the key. A simple yellow ribbon's what I need to set me free. Sebuah senyum pada orang yang bersalah sebagai tanda bahwa kita sudah menerima dirinya apa adanya. Orang bersalah hanya butuh sebuah pita kuning di pohon oak tua untuk membebaskannya dari rasa salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger