Sabtu, 08 Agustus 2009

MARAH

Seorang mengkritisi tulisanku yang berjudul “Kekerasan”. Dia bertanya apakah bila kita dilarang melakukan kekerasan maka kita tidak boleh marah? Apakah bila kita melihat hal yang kurang tepat maka didiamkan saja? Bagiku marah dan kekerasan bisa dilihat secara berbeda. Kekerasan itu tidak sama dengan kemarahan meski kemarahan dapat menimbulkan kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Setiap orang boleh saja marah sebagai ungkapan emosi atas ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh suatu situasi atau perbuatan sesamanya.

Dalam budaya Timur orang cenderung mencari harmoni, sehingga bila ada hal yang membuatnya tidak nyaman maka dia lebih memilih untuk menyingkir daripada menghadapinya yang dapat menimbulkan konflik dan kemarahan. Selain itu juga orang yang menekankan toleransi sehingga berusaha untuk menerima saja sesuatu yang sebetulnya membuat dirinya tidak nyaman. Di bulan Ramadhan dengan menekankan toleransi pada orang yang sedang berpuasa, maka semua warung ditutup. Padahal bagi yang tidak berpuasa hal itu merugikan. Harmoni dan toleransi dalam hal ini kurang tepat penerapannya. Kita boleh saja mempertanyakan sesuatu yang mengangganggu meski dapat menimbulkan konflik dan kemarahan. Edmund Burke (1729-1797) seorang filsuf Inggris mengatakan “The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing”. Maka diam atau tidak marah belum tentu baik.

Dalam Injil Markus dua kali diceritakan Yesus marah (3:5 dan 8:33) sedang dalam Injil lain dikatakan lebih halus yaitu dengan kata “menegur”. Dia marah sebab orang degil hatinya. Kemarahan memang diperlukan untuk mengungkapkan rasa ketidakpuasan hati. Yesus tidak puas dengan orang-orang disekitarNya dan Petrus. Tapi kemarahan itu terpusat pada pokok masalah dan bertujuan untuk memperbaiki kesalahan. Hal yang sering terjadi adalah kemarahan melebar dari pokok masalah dan berdasarkan kebencian sehingga cenderung menyerang pribadi yang mengakibatkan luka dan kebencian baru tapi tidak memperbaiki keadaan. Orang marah pada penguasa maka meledakkan bom. Apakah setelah bom meledak maka pemerintah menjadi baik seperti yang diinginkannya? Seorang ayah mencaci maki anaknya yang mendapat nilai jelek di sekolah. Apakah setelah dicaci maki maka anaknya akan lebih pandai?

Dalam kemarahan orang mendapat tambahan energi yang luar biasa. Ketika terjadi demonstrasi di sebuah pabrik, para buruh perempuan yang sedang marah mampu menggulingkan truk kontainer yang bermuatan penuh. Energi kemarahan disalurkan untuk mendorong truk sehingga terguling. Bila orang berpikir positip maka kemarahan dapat disalurkan dalam aktifitas tubuh yang lebih bermanfaat misalnya mencangkul, dan sebagainya. Hal ini dapat menyalurkan energi tanpa menyakiti orang lain.

Kalau toh orang harus marah, maka dia harus tetap fokus pada masalah dan bertujuan untuk memperbaiki situasi. Mahatma Gandhi seorang pejuang India yang sangat cinta damai dan penuh kasih sehingga gerakannya disebut gerakan anti kekerasan, namun dia pernah marah. Dia marah karena martabatnya dan martabat bangsanya dilecehkan oleh bangsa Inggris. Demikian pula Martin Luther King yang berjuang untuk persamaan warga kulit hitam di AS. Akibat kemarahannya terjadi perubahan yang besar di Amerika. Perjuangan Gandhi pun menghasilkan kemerdekaan India. Mereka marah sebab tidak mentolerir perlakuan suatu bangsa atau warga yang merugikan dan merendahkan bangsa atau warga lain. Mereka marah dengan tujuan ada perubahan.

Kemarahan mereka diungkapkan dalam tindakan-tindakan yang santun dan terhormat namun penuh keberanian. Gandhi dan Martin Luther mengajak boikot dengan segala resiko yang harus ditanggungnya. Mereka tidak melakukan kekerasan dan melukai orang. Mereka hanya mengajak orang berusaha berubah. Memperbaiki dirinya dan pandangan hidupnya. Maka marah dapat dilakukan asal ada tujuannya yaitu perubahan cara pandang yang salah dan memberikan penyadaran akan kesalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger