Selasa, 04 Agustus 2009

HARI ANAK NASIONAL

Bangsa kita baru saja memperingati hari anak yang jatuh pada tgl 23 Juli. Penggagas penyelenggaraan hari anak nasional adalah presiden Soeharto dan menuangkan dalam Keppres no 44/1984. Sebetulnya keputusan ini agak terlambat, sebab Unicef, salah satu badan PBB pada sudah menyelenggarakan hari anak dunia pada 20 November 1954. Tanggal itu disahkan oleh Mejelis Umum PBB dalam sidang pada 14 Desember 1954. PBB juga mengusulkan pada semua anggotanya bahwa hendaknya ada satu hari dimana dirayakan hari anak nasional.

Peringatan hari anak muncul disebabkan ada jutaan anak di seluruh dunia yang hidup tidak layak, mengalami kekerasan, pelecehan seksual, tidak mendapatkan pendidikan yang cukup dan dimanipulasi oleh orang dewasa. Di beberapa negara Afrika dan Amerika Selatan ada anak yang dijadikan tentara. Menurut laporan ada 30 juta anak menjadi kurban peperangan. Unicef pada tahun 2004 melaporkan ada 166 juta buruh anak. Dari jumlah itu ada 74.4 juta anak melakukan pekerjaan sangat berbahaya seperti pengedar narkoba dan prostitusi. Pada tahun 2009 jumlah pekerja anak meningkat menjadi 245 juta. Selain itu diperkirakan ada 300 juta anak yang mengalami kelaparan akibat kemiskinan orang tuanya. Ada 130 juta anak yang tidak mampu sekolah bahkan Unicef mengatakan bahwa 1 dari 4 anak adalah anak miskin. Di negara berkembang seperti Indonesia angka itu perbandingan lebih meningkat menjadi 1 dari 3 anak.

Negara kita belum mampu sepenuhnya melindungi anak-anak. Menurut data pada tahun 2004 ada 1,4 juta buruh anak. Dari jumlah itu ada 700 ribu anak bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan 90% adalah anak perempuan. Sedangkan anak yang masuk dalam dunia prostitusi terus meningkat. Menurut Depsos pada tahun 1994 ada 65.094 PSK anak-anak sedangkan pada tahun 2004 menjadi 87.536 anak meningkat 34% selama 10 tahun. Menurut riset aktifis Hak Anak pada tahun 2006 jumlah PSK anak mencapai 30% dari jumlah keseluruhan PSK. Selain itu di 21 propinsi di negara kita ada 46.800 anak jalanan. Mereka sangat rentan akan kekerasan, prostitusi dan penggunaan atau pengedar narkoba. Hasil riset ILO pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 133 dari 255 anak jalanan adalah pengguna narkoba atau meminum minuman keras. Sedang dari riset Atmajaya, Jakarta menunjukkan bahwa 464 anak dari 500 anak jalanan adalah pengguna narkoba. Anak yang mengalami kekerasan pun terus meningkat. Menurut riset World Vision Indonesia pada tahun 2008 terdapat 1626 kasus kekerasan terhadap anak. Pada tahun 2009 sudah menjadi 1891 kasus. Dari semua kasus kekerasan itu 891 kasus terjadi di sekolah.

Data-data diatas, meski tidak akurat 100%, tapi dapat memberikan gambaran tentang kehidupan anak-anak di dunia dan negara kita. Saat ini di dunia ada 2,1 milyard anak. Bila dari jumlah itu terdapat jutaan anak menderita akibat kemiskinan, peperangan, kekerasan dan kurang berpendidikan, maka dapat dibayangkan pada 10 atau 20 tahun lagi dunia akan menjadi suram. Anak adalah generasi di masa mendatang. Bila mereka sudah sangat rapuh atau dirapuhkan maka dunia ke depan akan menjadi rapuh. Dorothy Law Nolte (12 Januari 1924-6 November 2005) seorang konselor keluarga menulis puisi yang indah tentang anak-anak. Salah satu baitnya berbunyi
Bila seorang anak hidup dengan kritik,
Ia belajar untuk menyalahkan.
Bila seorang anak hidup dengan rasa benci,
Ia belajar bagaimana berkelahi.
Bila seorang anak hidup dengan ejekan,
Ia belajar menjadi pemalu…

Dorothy hendak menjelaskan bahwa sikap manusia dewasa ditentukan oleh masa kanak-kanaknya. Bila melihat ada jutaan anak yang mengalami kekerasan, maka ada jutaan calon manusia dewasa yang mudah sekali melakukan kekerasan. Menurut laporan Unicef kekerasan terhadap anak paling banyak terjadi dalam lingkup rumah tangga dan sekolah dengan alasan menegakkan kedisiplinan. Seorang ayah mencaci maki bahkan memukul anaknya dianggap sebagai sesuatu yang biasa. Seorang ibu mengkritik keras anaknya dihadapan umum dianggap sebagai biasa. Seorang guru menghukum murid dengan kekerasan dianggap wajar. Hal ini sering tidak dilaporkan atau ditindak lanjuti sebab dinilai wajar oleh masyarakat. Bila mengacu pada puisi Dorothy Law Nolte maka ada jutaan anak sudah mendapat pembelajaran kekerasan yang akan menjadi bekalnya dikemudian hari.

Dalam budaya Jawa, anak dianggap sebagai titipan Tuhan kepada sebuah keluarga. Kita bayangkan seandainya seorang presiden menitipkan sesuatu kepada kita, maka kita akan bersyukur sebab sudah dipercaya olehnya. Kita berusaha sekuat tenaga untuk merawat dan menjaganya dengan sepenuh hati agar tidak membuatnya kecewa. Kini Tuhan sendiri yang menitipkan seorang pribadi manusia kepada kita. Mengapa kita memperlakukannya dengan semena-mena? Dalam konteks ini maka merawat anak bukan hanya sebagai kewajiban melainkan sebuah pertanggungjawaban kepada Tuhan yang telah menitipkannya pada kita. Merawat bukan hanya ketika anak itu sudah lahir melainkan sejak dia masih dalam kandungan dan apapun titipan Tuhan yang terwujud dalam pribadi anak harus dicintai dan dirawat sepenuh hati. Tidak ada pembedaan apakah dia normal atau cacat. Pandai atau bodoh, dan sebagainya. Apapaun kondisi seorang anak, dia tetap merupakan titipan Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan.

Hari anak adalah moment untuk mengingatkan kita bahwa masih ada jutaan anak yang menderita. Mungkin juga kita disadarkan akan sikap kita terhadap anak-anak kita. Kita diingatkan akan tanggungjawab kita sebagai orang yang lebih tua daripada anak-anak agar melindungi dan mencintainya. Bila kita mencintai anak sehingga mereka pun belajar untuk mencinta, maka kita sebetulnya telah membangun sebuah dasar yang kokoh bagi bangsa ini di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger