Rabu, 26 Agustus 2009

KITA MENJADI AUTIS


Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Anak autis membangun dunianya sendiri dan hidup dalam dunianya sendiri.

Saat ini banyak sekali anak autis. Tapi bagi saya lebih banyak lagi orang yang menjadi autis. Orang yang maksud adalah orang yang memilih hidup dengan dunianya sendiri. Dia sibuk dengan dunianya meski di sekitarnya ada banyak orang. Dia menarik diri sedemikian rupa sehingga meninggalkan rasa sosialnya. Di ruang tunggu bandara dan banyak tempat umum, sering aku melihat orang tenggelam dalam dunia ipod atau HP. Mereka duduk bersanding dengan sesamanya tapi sama-sama tidak berkomunikasi satu dengan yang lain sebab telinga mereka sama-sama dijejali oleh earphone entah yang tersambung pada ipod atau HP. Mereka menikmati dunia yang mereka bangun sendiri sehingga terisolasi dari sesamanya. Dia terasing dari sesama.

Sejak jaman dulu telah terjadi pertentangan dalam melihat hubungan manusia dengan sesama. Ada yang mendukung individualis sebaliknya ada yang menolaknya. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) filsuf Perancis, berpendapat bahwa manusia sebagai molekul atau atom yang telah lengkap dalam dirinya. Bukan sel yang mengandaikan perlunya hubungan dengan sel lain. Menurutnya manusia adalah mahluk mandiri yang mengkaitkan diri dengan sesama bukan berdasarkan kebutuhan batin melainkan struktur. Hal senada juga diungkapkan oleh John Locke (1632-1704), filsuf Inggris. Dia mengatakan bahwa manusia bersedia mengikatkan diri dengan sesamanya supaya sama dalam segi hukum. Hal ini demi keamanan diri sendiri. Lebih keras lagi adalah pendapat Thomas Hobbes (1588-1679), dia mengatakan bahwa masyarakat adalah himpunan individu-individu yang masing-masing secara egoistis mengejar kepentingan mereka sendiri. Akibatnya adalah manusia perang melawan sesamanya. Homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Kalau mereka membangun pertemanan dengan sesama hanya untuk cease fire, sebab mereka takut dengan sesamanya yang akan menelannya. Jean Paul Sartre berpendapat bahwa manusia adalah neraka bagi sesamanya. Maka lebih baik tidak berhubungan dengan sesama.

Apa yang dikatakan oleh beberapa filsuf di atas sudah terbukti dalam masyarakat kita saat ini. Banyak orang telah mengasingkan diri atau terasing dari sesamanya. Seseorang mengatakan inilah paradoks jaman ini. Orang mudah berhubungan dengan sesamanya yang jauh tapi sulit berhubungan dengan sesama yang dekat. Dia SMS atau chatting dengan teman-temannya dalam dunia maya tapi mengabaikan orang yang nyata disebelahnya. Selain itu alat hiburan sudah berubah bukan lagi menjadi sarana hiburan untuk mengisi waktu luang melainkan sudah menjadi tuan yang mengasingkan manusia dari sesamanya. Orang dapat tenggelam dalam dunia hiburan entah game atau lagu, sehinga tidak sadar kalau dia berada di tengah masyarakat.

Manusia hanya bisa berkembang bila ada manusia lain. Gabriel Marcel (1889-1973), filsuf Perancis berpendapat bahwa manusia hanya bisa mencapai kesempurnaannya jika dia mengarahkan diri pada orang lain dengan cinta, sebab manusia tidak sempurna dari dirinya sendiri. Maka kesatuan antara "aku" dengan "kamu" menghasilkan kepenuhan hidup. Demikian pula Martin Heidegger (1889-1976) seorang filsuf Jerman dia mengatakan bahwa, persatuan antar manusia mulai pada asal mula dan sepanjang seluruh hidupnya bahkan sampai yang dianggap paling pribadi misalnya hati nurani, sifat dan sebagainya. Dengan demikian manusia ada untuk sesama dan hanya dapat menjadi manusia hanya bila dia bersama sesama yang riil. Dua pendapat yang berbeda antara para pemikir itu tidak akan habis bila dibahas. Namun kita bisa memilih apakah kita akan menjadi orang autis atau mulai menyapa sesama yang ada di dekat kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger