Minggu, 15 Maret 2009

KATA DAN MAKNA DIRI

Suatu saat seorang pembina anak-anak sekolah minggu mengkritikku. Dia menyatakan keberatan kalau aku memaki dan sampai didengar oleh anak sekolah minggu. Aku berpikir sejenak untuk mengingat apakah aku pernah memaki anak sekolah minggu. Pembina itu mengatakan bahwa aku mengatakan “jangkrik!” pada salah satu anak jalanan yang sedang berkunjung di pasturan dan kebetulan di dekatku ada anak sekolah minggu. Anak itu menyampaikan pada pembinanya bahwa aku memaki. Mendengar itu aku hanya menghela napas.

Di tengah anak jalanan aku dianggap orang yang tidak pernah memaki, sebab kata “jangkrik” itu bukan sebuah makian. Mereka terbiasa mengucapkan kata yang lebih kotor dan kasar lagi misalnya kata “j…k” atau sebutan hewan. Tapi kata yang sama ditangkap berbeda. Bagi anak sekolah minggu kata “jangkrik” itu sangat kasar maka perlu melaporkan pada pembinanya. Kata yang sama bisa ditangkap dan ditafsirkan secara berbeda oleh orang yang berbeda.

Di tengah anak jalanan aku adalah bagian dari mereka. Mereka tahu bahwa aku seorang romo tapi mereka tidak peduli dengan jabatan itu. Bagi mereka jabatan romo hanya diketahui sebagai seorang Katolik. Tidak mempunyai muatan apa-apa selain dianggap sebagai pemimpin. Tapi bagi anak bina iman, jabatan romo itu mempunyai makna tertentu. Jabatan itu memuat di dalamnya tentang kesucian, keteladanan, kewibawaan dan sebagainya, sehingga sedikit saja kata makian sudah dianggap masalah besar, sebab tidak mencerminkan kesucian, keteladanan dan sebagainya. Dengan demikian sebuah kata dimaknai secara berbeda sebab terkait erat dengan jabatan, dimana dia berada dan kepada siapa dia berbicara.

Dalam kitab Amsal beberapa kali dikatakan agar orang hati-hati dalam berbicara. alangkah baiknya perkataan yang tepat pada waktunya! (Ams 15:23) Kata “jangkrik” bila tepat di tengah anak jalanan tidak ada masalah, tapi bila di tengah anak sekolah minggu akan jadi masalah. Ini sebuah pembelajaran bagi bagaimana aku harus berkata tidak hanya berkata tapi harus tepat dimana aku berada. Namun hal ini tidak mudah. Tidak jarang kata meluncur begitu saja akibat kebiasaan atau kurang kesadaran diri siapa aku ini dan dimana aku berada. Hal ini dapat menimbulkan masalah.

Dalam budaya Jawa ada istilah, ajining diri soko lati, terjemahan sederhananya adalah orang dihargai dari lidahnya atau perkataannya. Perkataan merupakan perwujudan dari pikiran, perasaan, karakter dan keseluruhan diri seseorang. Memang untuk memahami perkataan seseorang perlu juga melihat apa yang implisit, sebab ada orang yang mengungkapkan dirinya lebih besar pada yang implisit daripada yang eksplisit. Namun apa yang eksplisit itulah yang ditangkap orang secara cepat dan jelas. Oleh karena itu perlu berhati-hati dalam berkata-kata, sebab dari situ orang akan dinilai.

Disinilah perlu kesadaran yang terus menerus baik kesadaran akan siapa diriku sesungguhnya maupun kesadaran tempat dan lawan bicara. Semakin tinggi jabatanku dalam masyarakat semakin harus mampu mengontrol diri sehingga dapat berhati-hati dalam berucap, sebab setiap ucapanku dapat dijadikan pegangan oleh umat. Aku tidak bisa berbicara seenaknya di tengah umat seperti kalau aku sedang duduk-duduk di tepi jalan bersama anak-anak jalanan. Kerunyaman dapat muncul bila aku tidak sadar siapa diriku, dimana aku berkata dan kepada siapa aku berkata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger