Ketika Yesus ditanya oleh ahli Taurat apakah hukum yang pertama dan utama, maka Yesus mengulang apa yang sudah tertulis dalam kitab Taurat agar manusia mengasihi Tuhan dengan seluruh dirinya. "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” (Mat 22:37). Mengasihi Tuhan bukan hanya dengan hati yang terkait dengan soal rasa yang dialami dalam sejarah kehidupan, atau dengan akal budi yang berusaha mencintai Tuhan dengan mempelajari semesta dan tanda alam melainkan dengan seluruh diri. Mengasihi Tuhan dengan keseluruhan hidup membuat manusia menyatu dengan Tuhan, “Aku dan Bapa adalah satu.” (Yoh 10:30)
Cinta yang penuh membuat orang menjadi satu dengan yang lain. Cinta membuat orang mengidentifikasikan diri dengan orang yang dicintai sepenuhnya, sehingga dia tidak lagi menjadi dirinya melainkan menjadi seperti orang yang dicintainya. “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:20) Mengidentifikasikan diri berarti berusaha berpikir, berkata, bersikap seperti orang yang dicintai. Dengan demikian bila kita mencintai Allah dengan seluruh diri maka seluruh sikap, kata dan pikiran kita merupakan sikap, kata dan pikiran Allah. Kita menjadi gambaran Allah meski jauh dari sempurna, sebab pengidentifikasian diri tidak mungkin bisa secara total. Kita adalah kita yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan dan berjuang untuk meniru sedekat mungkin Allah yang kita cintai.
Namun cinta pada Allah masih sering terbatas pada rasa atau akal budi. Belum menjadi satu kesatuan diri yang terwujud dalam tindakan nyata sehingga orang yang melihat kita akan melihat Allah. Pernah ada seorang tahanan menghitung semua ayat yang ada dalam Kitab Suci, dimana letak ayat yang berada tepat di tengah keseluruhan Kitab Suci, hafal ayat demi ayat yang ada dalam Kitab Suci. Kasih pada Allah harus kongkrit yang dapat diindrai oleh manusia. “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” (Yoh 1:14). Yesus mewujudnyatakan firman Allah dalam hidupNya, sehingga Dia adalah Firman yang hidup. Dia dan Allah adalah satu. Dari Dia kita bisa melihat kemuliaan Allah, kasih karunia dan kebenaranNya.
Cinta pada Allah juga sering terbatas dalam waktu. Ketika orang berdoa, misa dan sebagainya dia merasa sedang mencintai Allah. Tapi ketika dia sedang bekerja, belajar, atau melakukan aktifitas hidup maka dia melupakan cinta pada Allah. Di dalam gereja kita menyatakan cinta pada Allah tapi begitu keluar dari gereja kita sudah melupakan cinta pada Allah. Cinta pada Allah itu terwujud dalam keseluruhan hidup. Apapun yang kita lakukan tetap merupakan perwujudan cinta pada Allah. Maka Yesus menyatakan bahwa Allah bukan lagi ada di langit yang tinggi atau di gunung atau di Bait Allah di Yerusalem. Allah ada di dalam diri sesama terutama yang miskin dan menderita.
Keterputasan cinta pada Allah inilah yang membuat kita tidak mampu menjadikan diri kita sebagai gambaran diri Allah. Bagaimana mungkin orang akan melihat kita sebagai gambaran Allah yang benar dan penuh kasih karunia bila sikap kita sewenang-wenang. Arogan dan melecehkan sesama? Allah macam apa yang akan kita tampilkan dalam hidup sehari-hari di tengah keluarga dan masyarakat? Allah adalah kasih. Menampilkan Allah adalah menampilkan kasih kepada dunia. “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.” (1Yoh 4:12). Di negara kita setiap orang harus beragama. Banyak rumah ibadat didirikan. Hari-hari raya keagamaan menjadi hari libur nasional untuk memberi kesempatan bagi pemeluk agama untuk merayakannya. Tapi melihat situasi krisis moral dan penumpulan hati nurani yang semakin hari semakin parah, maka timbul pertanyaan apakah masyarakat sungguh mencintai Allah atau hanya sekedar taat pada negara agar mereka memiliki agama?
Cinta yang penuh membuat orang menjadi satu dengan yang lain. Cinta membuat orang mengidentifikasikan diri dengan orang yang dicintai sepenuhnya, sehingga dia tidak lagi menjadi dirinya melainkan menjadi seperti orang yang dicintainya. “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:20) Mengidentifikasikan diri berarti berusaha berpikir, berkata, bersikap seperti orang yang dicintai. Dengan demikian bila kita mencintai Allah dengan seluruh diri maka seluruh sikap, kata dan pikiran kita merupakan sikap, kata dan pikiran Allah. Kita menjadi gambaran Allah meski jauh dari sempurna, sebab pengidentifikasian diri tidak mungkin bisa secara total. Kita adalah kita yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan dan berjuang untuk meniru sedekat mungkin Allah yang kita cintai.
Namun cinta pada Allah masih sering terbatas pada rasa atau akal budi. Belum menjadi satu kesatuan diri yang terwujud dalam tindakan nyata sehingga orang yang melihat kita akan melihat Allah. Pernah ada seorang tahanan menghitung semua ayat yang ada dalam Kitab Suci, dimana letak ayat yang berada tepat di tengah keseluruhan Kitab Suci, hafal ayat demi ayat yang ada dalam Kitab Suci. Kasih pada Allah harus kongkrit yang dapat diindrai oleh manusia. “Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.” (Yoh 1:14). Yesus mewujudnyatakan firman Allah dalam hidupNya, sehingga Dia adalah Firman yang hidup. Dia dan Allah adalah satu. Dari Dia kita bisa melihat kemuliaan Allah, kasih karunia dan kebenaranNya.
Cinta pada Allah juga sering terbatas dalam waktu. Ketika orang berdoa, misa dan sebagainya dia merasa sedang mencintai Allah. Tapi ketika dia sedang bekerja, belajar, atau melakukan aktifitas hidup maka dia melupakan cinta pada Allah. Di dalam gereja kita menyatakan cinta pada Allah tapi begitu keluar dari gereja kita sudah melupakan cinta pada Allah. Cinta pada Allah itu terwujud dalam keseluruhan hidup. Apapun yang kita lakukan tetap merupakan perwujudan cinta pada Allah. Maka Yesus menyatakan bahwa Allah bukan lagi ada di langit yang tinggi atau di gunung atau di Bait Allah di Yerusalem. Allah ada di dalam diri sesama terutama yang miskin dan menderita.
Keterputasan cinta pada Allah inilah yang membuat kita tidak mampu menjadikan diri kita sebagai gambaran diri Allah. Bagaimana mungkin orang akan melihat kita sebagai gambaran Allah yang benar dan penuh kasih karunia bila sikap kita sewenang-wenang. Arogan dan melecehkan sesama? Allah macam apa yang akan kita tampilkan dalam hidup sehari-hari di tengah keluarga dan masyarakat? Allah adalah kasih. Menampilkan Allah adalah menampilkan kasih kepada dunia. “Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.” (1Yoh 4:12). Di negara kita setiap orang harus beragama. Banyak rumah ibadat didirikan. Hari-hari raya keagamaan menjadi hari libur nasional untuk memberi kesempatan bagi pemeluk agama untuk merayakannya. Tapi melihat situasi krisis moral dan penumpulan hati nurani yang semakin hari semakin parah, maka timbul pertanyaan apakah masyarakat sungguh mencintai Allah atau hanya sekedar taat pada negara agar mereka memiliki agama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar