Selasa, 13 Januari 2009

KETULUSAN

Seorang teman pengungsi di pasar baru porong bertanya padaku mengapa aku tidak ikut rame-rame ke Surabaya? Aku tanya ada apa ke Surabaya? Apakah ada aksi demo lagi? Dia bilang di sebuah tempat di Surabaya sekarang sedang ada pertemuan untuk mendengarkan 25 calon presiden RI. Aku tersenyum geli. Bagaimana mungkin rakyat disuruh mendengarkan presentasi dari 25 calon presiden? Mendengarkan dua orang saja sudah bosan apalagi mendengarkan 25 orang yang kemungkinan besar intinya sama yaitu membela masyarakat terutama yang tertindas.

Saat ini memang sedang gencar orang berkampanye untuk menjadi pemimpin entah tingkat kabupaten maupun tingkat nasional. Mereka memasang foto mereka dalam ukuran besar dan kecil di berbagai tempat. Aku tanya apakah orang yang fotonya terpasang besar itu datang kesini? Seorang teman mengatakan orang itu datang dan membawa sembako. Teman-teman pengungsi di pasar baru Porong saat ini sedang senang sebab ada saja orang-orang datang membawa bingkisan lalu memasang poster atau baliho. Beberapa waktu lalu ada juga yang mengajak warga untuk datang pada pertemuan akbar. Setiap warga yang mau ikut akan diberi uang Rp 20.000 plus kaos. Caleg dari partai X itu menyediakan 3 truk besar untuk mengangkut warga ke Surabaya. Panitia penjemputan menjanjikan uang akan diberi setelah mereka sampai di Surabaya. Namun warga meminta uang diberikan terlebih dahulu. Karena tidak ada kata sepakat maka warga tidak ada yang mau berangkat. Warga pengungsi sudah bosan dengan janji-janji sebab mereka sudah sering dikhianati. Namun bagaimanapun juga mereka senang sebab diperhatikan dan mendapat bantuan.

Seorang pengurus pengungsi mengatakan bahwa dia sanggup saja bila disuruh mengumpulkan warga mendengarkan caleg itu berpidato asal caleg itu datang ke pasar baru Porong dan membawa bingkisan. Persoalan apakah nanti warga mencoblos caleg itu atau tidak, itu bukan urusan pengurus. Pada pemilu lalu, banyak tukang becak mendapat kaos dari beberapa partai. Kalau ada partai A berkampanye maka mereka ikut datang dan mendapat kaos. Demikian pula bila ada partai B, C, D dan sebagainya. Mereka senang dapat kaos meski pada pemilu mereka tidak mencoblos, sebab tidak ada biaya untuk pulang ke desanya.

Memang pada saat ini banyak warga miskin yang tiba-tiba mendapat perhatian dari para calon pemimpin. Seorang teman mengatakan bahwa biar saja orang memberikan bantuan meski ada motivasi tersembunyi. Bila orang cerdik menggunakan kesempatan maka saat ini adalah saat untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Kaum miskin mencari keuntungan dari kedermawanan yang mendadak dari para caleg, sedangkan para caleg mencari keuntungan bahwa orang akan memilihnya. Aku bertanya dalam hati siapakah yang dimanfaatkan dan memanfaatkan?

Melihat semua itu aku bertanya dalam hati apakah nilai ketulusan sudah luntur bahkan tidak ada? Dulu masyarakat masih mengenal nilai tulus, dimana orang membantu tanpa pamrih apa-apa selain keinginan untuk membantu. Kini tampaknya segala sesuatu dilakukan dengan pamrih. Segala sesuatu dilihat dalam konteks untung rugi. Pemikiran ini sudah merambah kesegala aspek kehidupan. Dalam membangun pertemanan pun orang melihat apakah untungnya bagi dirinya bila berteman dengan orang itu? Maka orang yang dianggap tidak menguntungkan akan ditinggalkan. Demikian pula dalam beraktifitas. Maka aktifitas yang tidak memberikan keuntungan atau pelayanan akan dihindari oleh orang. Banyak Gereja yang kekurangan pelayan. Pada waktu aku masih kecil, banyak kaum muda dan ibu-ibu muda membantu membersihkan gereja pada hari-hari tertentu. Aku pun sering ikut membersihkan gereja. Namun saat ini sudah tidak diketemukan lagi hal seperti itu, kecuali di gereja-gereja yang ada di desa-desa. Ternyata jaman sudah berubah. Ketulusan dalam memberi dan bertindak sudah menghilang dan tinggal menjadi kenangan masa lalu yang hanya dapat diceritakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger