Sabtu, 04 Juli 2009

KONTRAK POLITIK

Akhir-akhir ini semakin dekat dengan pemilu capres, semakin sering kita melihat aneka kontrak politik yang dilakukan oleh para capres. Semua kontrak politik isinya sangat bagus. Beberapa waktu lalu pada saat pemilu caleg hal yang sama juga terjadi. Ada beberapa caleg yang membuat kontrak politik meski setelah dia terpilih kontrak itu hanya menjadi selembar kertas untuk bungkus kacang. Seorang caleg yang sebelum terpilih berjanji akan menghentikan penggusuran tapi setelah terpilih dia pun lari kalau bertemu warga yang menuntut janjinya. Kontrak politik tidak ada kekuatan hukumnya. Class action yang dilakukan warga selalu kalah. Rasanya pengadilan Indonesia belum pernah memenangkan sebuah kasus class action.

Sebetulnya kontrak politik bukan hanya dilakukan oleh para capres atau caleg tapi juga oleh banyak orang dan dalam banyak bidang. Hal ini terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung atau terbuka atau tidak terbuka. Tertulis atau tidak tertulis. Bila politik diartikan secara luas yaitu cara untuk mencapai sesuatu maka kontrak politik akan semakin banyak terjadi dalam masyarakat. Bahkan juga dalam bidang agama.

Saya memahami kontrak politik itu terjadi bila ada dua orang atau dua pihak yang membuat kesepakatan, entah tertulis atau tidak tertulis, dimana satu pihak berjanji akan mendukung dan pihak lain akan memberi fasilitas atau kemudahan bila dia mencapai apa yang ditujunya. Kontrak ini mengikat secara moral atau pun hukum, meski hal ini sangat kecil sekali. Sebetulnya kontrak politik ini membuat orang tidak bebas. Dia tidak dapat melakukan kebijakannya sebab dia terikat oleh pihak lain. Misalnya ada capres yang membuat kontrak politik dengan warga pinggir sungai, bahwa dia tidak akan menggusur mereka. Ternyata dalam garis besar kebijakannya dia ingin membangun kota modern yang bersih dan nyaman. Maka bisa terjadi dua kemungkinan yaitu dia mengingkari kontraknya atau dia melanggar kebijakannya sendiri.

Orang yang membuat kontrak dia akan terbelenggu dengan kontraknya, maka dia tidak bebas menentukan kebijakkannya. Dalam skala kecil hal yang hampir sama juga terjadi dalam Gereja. Seandainya ada orang kaya yang membantu seorang imam dalam bidang keuangan Gereja. Dia memenuhi segala kebutuhan imam itu bahkan sampai mau membiayanya studi keluar negeri, maka imam itu bisa menjadi orang yang tidak bebas. Orang itu bisa memaksakan keinginannya meski melanggar kebijakan yang telah dibuat oleh imam itu. Misalnya imam itu membuat kebijakan bahwa dalam memberi berkat perkawinan tidak boleh lebih dari satu imam apalagi sampai memanggil banyak uskup. Tapi karena orang yang menikah itu sudah banyak membantu, maka aturan itu dilanggar begitu saja.

Yesus adalah manusia bebas. Dia tidak mau diikat oleh kontrak-kontrak apapun juga sehingga Dia menjalankan misiNya tanpa terikat oleh orang lain. Dia tidak mau diikat oleh uang atau kebaikan orang, sehingga kebijakanNya menyimpang dari kehendak Bapa. Ketika Dia menyatakan bagaimana akhir hidupNya, maka Petrus menolak hal itu. Tapi Yesus malah menegur Petrus dengan keras. Apa yang sudah ditentukanNya tidak bisa diubah oleh siapapun juga. Ketika seorang penjahat yang tergantung di sebelah kanan salibNya membela diriNya dan memohon agar dia pun dapat masuk surga, maka Yesus tidak menjanjikan. Dia mengatakan saat ini juga dia sudah masuk surga. Yesus tidak mau terikat hutang budi pada orang sehingga Dia menjadi manusia bebas.

Kontrak politik adalah juga merupakan balas budi. Oleh karena hanya balas budi, maka banyak yang diingkari dan tidak ada tindakan nyata. Budaya Jawa yang ewuh pakewuh pun bisa dilupakan. Seorang pemimpin haruslah orang bebas bukan orang yang terikat dengan aneka kontrak dan rasa balas budi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger